Dumm

Dumm

Dumm

Aomine kecil men-drible bola, menggiringnya menuju ring di depannya, melewati beberapa lawan yang usianya lebih tua darinya, seukir senyum tergambar jelas di wajah manisnya, helaian rambut birunya tersapu angin mengikuti gerakannya, tawa pelannya mengalun bersama sepoi angin dan menghilang di udara.

Pruuiitt

Peluit dibunyikan tanda kemenangannya yang kesekian kali baginya,ia tersenyum bangga. Para orang dewasa di depannya memegang lutut sambil bergumam luar biasa untuknya. Ah … basket memang satu-satunya olahraga yang paling ia sukai.

Bunyi decitan alas kaki dengan lantai tribun, sorak sorai penonton yang menggemborkan semangat, bau keringan dan adu tatapan, kegesitan, dan juga bunyi bola basket yang memantul. Ia suka, sangat suka dengan semuanya yang menyangkut basket. Baginya basket adalah hidupnya.

"Dai-chan," panggil sahabatnya dari luar lapangan, wajah ayunya memeberengut kesal tanda minta diperhatikan.

"Baiklah … besok kita bisa bermain lagi di sini, kan? Aku akan datang lagi besok, jangan mulai tanpa aku ya!" Aomine Daiki berucap riang, tangan kanannya melambai pelan, kakinya berlari keluar lapangan.

"Yo! Satsuki, gomen," Aomine mendekati sahabat perempuannya, menggaruk belakang kepalanya dan memasang senyum menyesalnya.

"Nee… Dai-chan, kita telat pulang gara-gara kamu keasyikan main basket."

"Gomen… gomen Satsuki, ayo pulang."

"Dai-chan menang lagi hari ini? Sugoii ne Dai-chan," Sastsuki melempar seyum tulusnya, gadis itu tak habis pikir jika sahabat laki-lakinya benar-benar menyukai permainan basket mengalahkan segalanya. Pulang telat akan selalu menjadi kebiasaannya jika ia harus menunggu sahabatnya selesai bermain basket terlebih dahulu.

Mentari oranye bersinar di ufuk barat, burung-burung mulai kembali ke sangkarnya. Termasuk juga kedua sahabat itu, Aomine Daiki dan Momoi Satsuki.

.

.

.

A Hole in The Heart presented by Hakuya Cherry

Desclaimer Fujimaki Tadatoshi

Tidak ada materil apapun yang saya terima dari pembuatan fict ini

.

.

.

KRIIINGGG

"Emmh," gumam pelan seorang gadis yang masih berada dalam batulan selimut, gadis dengan surai warna pink yang mencolok itu segera mengucek kedua matanya, tangan kanannya meraih alarm di atas nakas sebelah ranjang,

Klik

"Hoaaamh," ia menguap lebar, meregangkan otot-otot tubuhnya, kaki-kakinya mencumbui lantai kamar bernuansa biru muda miliknya. Ia melangkah menuju jendela, membuka tirai yang menghalangi cahaya pagi masuk ke kamarnya.

Momoi Satsuki —nama gadis itu— tersenyum pada pagi dengan udara musim gugur yang menggelitik kulitnya, merasakan dinginnya angin yang menghempas tubuhnya, meresapi cicitan burung gereja yang hinggap di pohon samping kamarnya, ia melangkah pada pintu sebelah jendela, membukanya dan bersandar pada balkon di sana, menghempas napas pelan, mengisinya dengan oksigen bagi paru-parunya.

Manik magentanya melirik jam dinding yang terpasang di atas pintu masuk kamarnya, kuliah pertamanya di mulai pada pukul 10 pagi nanti, ia masih memiliki waktu dua jam guna bersiap-siap sebelum berangkat ke Tokyo University—tempatnya menimba ilmu untuk beberapa tahun ke depan.

Gadis itu melangkah memasuki kamarnya, merapikan tempat tidurnya. Tangan kanannya terulur menggapai bingkai foto di atas meja belajarnya, bibirnya tersenyum simpul memandangi foto dirinya bersama seorang anak laki-laki di sana—Foto masa kecilnya.

"Ohayou, Dai-chan," gumamnya pelan, ia kemudian meletakkan kembali bingkai fotonya, kakinya mulai melangkah keluar kamar menuju dapur apartement miliknya. Ia tinggal sendirian selama masa kuliahnya berlangsung, terpisah dari kedua orang tuanya, ingin mencoba mandiri asumsinya.

.

.

.

Tempat itu tersembunyi di balik gedung-gedung pencakar langi di sekitarnya, jauh dari pemukiman penduduk di kota , hanya tempat kecil yang penuh kesenangan, tempat membuang resah gulanda, tempat indah penuh kubangan dosa, 'Surga Dunia' kata mereka.

"Engh … ouch … ah!"

Desahan itu menggema, memantul menabrak dinding di sekitarnya. Suara decitan ranjang yang menyakitkan tak mereka hiraukan. Yang mereka tau mereka hanya sedang haus saja, entah haus dalam artian yang bagaimana.

"Ahhh … Aomine-kun, lebih ce-path." Wanita itu bersuara mesra, meminta dipuaskan lebih, lebih dan lebih lagi, ia merasa sebentar lagi klimaks akan menghampirinya. Kedua matanya memejam menahan sensasi di atasnya, bagian bawah tubuhnya sudah perih tapi ia tak menggubrisnya.

"Enggggh!" lenguhan panjang itu menandai selesai sudah permainan mereka. pemuda berambut biru gelap itu ambruk menindih si wanita di bawahnya. Ia kemudian beranjak turun dari ranjang, memunguti pakaiannya, sedikit meregangkan ototnya lelaki itu meraih knop pintu bersiap pergi dari ruangan itu.

"Kau mau ke mana, Aomine-kun?"

Pemuda itu sedikit menguap sebelum membuka pintu di depannya, "Pulang, akan kutransfer bayaranmu nanti." Kalimat terakhirnya sebelum pintu itu tertutup rapat.

A Hole in the Heart

Mobil Bugatty Veyron Super Sport miliknya melaju sedang, ia masih mengantuk gara-gara kegiatannya semalam, badannya sedikit pegal, apalagi kepalanya yang mulai merasa pusing akibat kurang tidur. Mungkin setelah beristirahat di rumah nanti ia akan berencana mengunjungi gym guna menjaga kesehatannya.

Manik biru sipitnya sedikit melirik lampu lalu lintas yang berwarna merah sebelum ia menghentikan mobilnya, memandang bosan pada jalanan di depannya. Mata biru itu tak sengaja menangkap sosok gadis yang mirip dengan orang yang dikenalnya berjalan melewati mobilnya, gadis itu sedikit kerepotan dengan barang bawaannya, tangan kanannya menggenggam beberapa buku yang cukup tebal baginya, sedangkan tangan kirinya sibuk memegang handphone seluler, bibir itu bergumam menandakan ia sedang berbincang dengan seseorang di sebrang sana.

Untuk sekejab ia kehilangan porosnya, matanya masih terpaku pada objek di depannya. Ia nyata, berdiri di sana, berjalan di antara kerumunan orang penyebrang jalan lainnya.

Tiiiinnn

Ia kembali mendapatkan pijakannya kala suara klakson dari arah belakang mobilnya menyadarkannya, menginjak pedalnya pelan. Ia masih memerhatikan gadis yang di belakangnya sebelum sosoknya membaur dengan orang sekitar dan hilang dari pandangan kaca spion mobilnya.

Tiiinnn

Untuk kedua kalinya ia disadarkan dari lamunannya oleh bunyi klakson dari kendaraan di belakangnya. Ia mengacak rambut biru gelapanya, menambah kesan berantakan pada dirinya. Mengusap wajahnya kasar sebelum mengembus napas panjang. Sepertinya ia terlalu kelelahan hingga membuatnya kacau saat berkendara, ia butuh istirahat sekarang juga. Memajukan persnelling mobil, pemuda dengan kulit tan itu segera melajukan mobilnya ke tempat tujuannya.

.

.

.

Momoi Satsuki berjalan cepat menaiki tangga, kuliahnya dimulai lebih cepat satu jam dari jadwalnya. Terkutuklah dosen sosiologinya, yang mengganti jadwal kuliah sesuka hatinya. Membuat gadis bersurai kapas itu tergopoh-goboh dalam segalanya, ia bahkan membiarkan dapurnya masih dalam keaadaan berantakan, percuma membuat sarapan jika ia saja tak sempat menikmatinya.

Ia menghela napas panjang, berusaha menenangkan degup jantungnya, bukan karena bergetar tanda jatuh cinta tapi karena pacuan kakinya yang beriringan cepat menuju ke kampusnya , membuat jantungnya berlarian mengimbanginya.

1

2

3

Ia membuka pintu di depannya, langkah kaki kanan pertamanya mengetuai langkah berikutnya memasuki kelasnya. Menarik sebuah kursi kosong dan mendudukinya, Satsuki menghela napas lega. Karena ia tidak terlambat untuk datang di jam pertamanya.

Kepala pink-nya menoleh ke arah pintu, mendapati sang ketua kelas masuk dan berjalan ke depan. Mata berbingkai itu memandang seluruh kelas, bibirnya membuang napas.

"Hari ini kuliah diliburkan."

WHAT THE HELL

Sorak-sorai lisan bersuara, helaan napas lega dan kemarahan tercetak jelas di wajah mereka. 'Dosen keparat' sebagian memprovokasi, sebagian lagi merasa tak peduli. Momoi Satsuki memandang teman sekelasnya, mengukir senyum tipis di mukanya.

Ia merapikan bukunya, menjadi tumpukan satu di tangannya, berdiri dan menggeser kursi beranjak dari sana, meninggalkan hingar-bingar keluhan dan umpatan teman-temannya. Kakinya mengayun pelan menuruni anak tangga. Getaran handphone seluler menghentikan langkahnya, melihat nick name si penelepon sebelum mengangkatnya.

"Kagami-kun," panggilnya pada si penelepon di sebrang sana, lengkungan tipis menghiasi wajahnya, nada bicaranya berubah ceria.

"….."

"Aku akan ke sana,"

"….."

"Tidak, kuliahku diliburkan hari ini, jadi aku bebas."

"….."

"Ha'i, aku akan menunggumu di sana. Sampai jumpa," Satsuki menutup handphone-nya. Bibirnya tak mampu menahan senyuman yang datang dari hatinya, ia sedang gembira.

.

.

.

Triiing

Bunyi lonceng restaurant yang bersenggolan dengan pintu bersuara nyaring, memberi tanda bahwa ada satu lagi pengunjung yang datang. Momoi Satsuki masih sibuk memerhatikan handphone selulernya, jari-jari lentiknya mengetik sesuatu di sana, bibir mungilnya menggumam nada-nada tak jelas yang baginya terasa indah. Ia kembali memasukkan handphone ke dalam saku jaketnya, ia melirik sebentar ke arah meja pemesanan sebelum berlalu pergi mencari tempat duduk.

"Aku akan menunggunya terlebih dahulu sebelum memesan," gumamnya pada diri sendiri. Momoi Satsuki menghempaskan pantatnya ke salah satu kursi yang dirasanya kosong, entah hanya perasaannya saja atau memang kursi di restoran cepat saji itu jadi lebih empuk, terasa duduk di pangkuan seseorang.

Tunggu—

"Summimasen," suara itu mengalun dari belakang tengkuknya. Seseorang sedang menghembuskan napas dari balik lehernya sebelum ia menyadari sesuatu, sudah ada tangan lain yang mendorongnya.

"Kyaaa—" kagetnya, ia menyadari telah berperilaku salah, menduduki seorang pemuda denagn surai biru langitnya.

Momoi Satsuki segera berdiri, ia ber-ojigi tanda meminta maaf atas perilakunya yang tak sopan. "Gomen," ucapnya pelan.

"Daijobu desu," pemuda itu berucap ringan, mata yang Senada dengan warna rambutnya itu menatap ke arah Satsuki, wajah datarnya tak berubah sedikitpun, sepertinya ia benar-benar tak memepermasalahkan kejadian yang barusan.

Satsuki segera menegakkan tubuhnya, ia mengangguk dan tersenyum canggung yang dibalas anggukan juga oleh si pemuda biru itu, "aku akan mencari meja lain. Aku permisi. Sekali lagi maafkan aku atas ketidaksopananku."

Satsuki berlalu setelah mendapatkan jawaban 'silakan' dari sang pemuda, ia berbalik berlalu pergi. Tangan kanannya mmengetuk-ngetuk pelan kepala pink-nya, merutuki kebodohannya untuk kesekian kalinya.

Brruukh

Apa lagi sekarang? Menabrak pengunjung lain dan menjatuhkan nampan yang berisi makanan. Hari ini ia benar-benar sial.

"Hountoni sumimasen," Satsuki segera berjongkok mengambilkan nampan milik orang yang ditabraknya, seperti idiot saja, gumamnya dalam hati. Kembali meletakkan makanan yang telah berserakan di lantai pada nampan. Satsuki meringis pelan saat menyadari betapa banyaknya burger teriyaki yang berceceran.

"Aku akan menggantinya, kumohon maafkan aku. Aku tak seng—"

"Yo!"

Ia tak percaya pada apa yang ditangkap oleh retinanya. Rambut itu, mata itu, dan jugah wajah itu. Ia masih mengingatnya, masih tercetak jelas dalam ingatannya bahwa yang ada di depannya adalah —mantan— sahabat kecilnya.

.

To Be Continue

Sesi curhat sedikit :

Pertama kalinya Author membuat fict dengan rate M, mencoba suasana baru. Setelah kematian yang begitu lama yakni tiga tahun, Author mencoba kembali menulis, mungkin setelah ini Author akan sedikit lebih aktiv dibanding sebelum-sebelumnya.

Terima kasih untuk Karikazuka a.k.a Cintya Dinda, yang sudah berjasa membuat semangat menulis Author bangkit. Jasamu takkan kulupakan, cyin XD

Yak sekian dari omongan Author yang gak mutu ini, kritik, saran dan concrit begitu Author butuhkan. Nagih Update-tan? Silahkan kejar-kejar Author di Facebook dengan id name Hanik Inayatul Ulya.

Review, Please