Aku sudah tidak tahan dengan semua ini. Ada dua pilihan di hadapanku, dan hanya satu yang harus kupilih. Api di sekelilingku mulai terasa panas. Apa yang kutunggu? Bukankah jalan keluar sudah ada di depan mata? Hanya dengan melompat keluar dari jendela itu, maka aku akan terbebas dari belenggu panas api ini.

Aku memandangnya dengan hampa. Tubuhku terasa berat untuk meninggalkannya di dalam kobaran api ini. Seolah gravitasi bumi menahanku untuk melangkah mengambil jalan keluar.

Ada yang menahanku. Ya, kutahu ada yang menahanku di sini. Kenginanku. Keinginan hidupku saat ini tidak ada. Sudah tidak bersisa kembali. Semuanya gelap di mataku. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Otakku terasa lumpuh dengan semua siksaan ini.

.

.


Freedom presents.. A Naruto Fanfiction

YOUR SMILE

Rate: T

Genre: Romance, Drama, Hurt/Comfort, Slice of Life

Disclaimer: Naruto belongs to Masashi Kishimoto

Warning: AU, Shounen-ai/YAOI, mungkin typos, DON'T LIKE DON'T READ!

Pair: SasuNaru

Author: Uzumaki Aoi


Act 1: The Beginning of the Story


.

.

Remaja berusia 17 tahun itu berjalan dengan agak terhuyung sambil berpegangan pada tembok panjang yang ada di sampingnya. Anak lelaki itu bermata bagai langit musim panas, dengan rambut blonde berantakannya yang indah. Wajahnya terlalu manis untuk ukuran laki-laki, dan tubuhnya tidak bisa dibilang tinggi untuk pemuda seusianya. Walaupun tidak dapat dikatakan terlalu kurus karena tubuhnya agak berisi walau masih berkesan mungil.

"Sial!" umpatnya lalu terduduk di bawah tiang listrik.

Tidak ada seorangpun di jalan ini. Ini jalan yang tidak dikenalnya. Seluruh tubuhnya terasa sakit karena memar dan luka, juga kedinginan karena ia hanya mengenakan pakaian yang tipis dan berjalan dengan bertelanjang kaki di tengah malam. Baju putihnya ternoda oleh bercak merah darah. Ia merintih, lalu memaksakan diri untuk bangkit kembali. Pikirannya kacau! Ia bingung, juga kaget dengan semua hal yang terjadi secara tiba-tiba ini. Kenapa semua ini menimpanya? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua ini bisa sampai terjadi?

"Kau tidak apa-apa?" tanya seorang perempuan yang muncul tiba-tiba.

Sepertinya perempuan itu baru berumur awal 20-an tahun. Remaja itu memandang perempuan yang ada di hadapannya dengan kaget—ia meringis—memar di tubuhnya langsung terasa kembali.

"Kau tidak apa-apa?" tanya perempuan itu lagi dengan cemas sambil memandangnya.

Seketika Naruto Namikaze—nama remaja itu—memandang perempuan yang ada di hadapannya dengan waspada. Pandangan tajam yang mengatakan bahwa Naruto tidak menerima perempuan itu. Tangannya gemetar—bukan karena kedinginan karena hari menjelang pagi, tapi karena ingatan tentang kejadian itu masih melekat kuat di ingatannya.

Perempuan itu mengerti dan tersenyum lembut memandang Naruto. Ia mengulurkan tangannya—hendak menyentuh Naruto. Namun, Naruto langsung menepis tangan itu dan seketika bangkit lalu berlari. Ia tidak memperdulikan rasa sakit di sekujur tubuhnya juga teriakan perempuan itu menyerukannya. Ia tidak perduli. Ingatan di tempat itu membuat otaknya terasa membeku. Membuatnya tidak bisa berfikir jernih. Membuatnya—bukan hanya tubuh, tetapi juga perasaannya terasa sakit. Namun, rasa sakit itu justru sekarang menjadi mati rasa karena satu pikiran yang terlintas. Yang menolak semua logika dan penyangkalan atas apa yang dilihat dan di alaminya di tempat itu.

Naruto terus berlari dan ia tidak mengenali jalan itu. Namun, meskipun nafasnya sudah memburu dan orang-orang mulai keluar dari rumah mereka, Naruto tidak perduli. Ia masih berlari—kakinya melangkah dengan pasti melewati labirin perumahan. Dan, langkahnya langsung terhenti saat ia sampai di depan sebuah rumah.

Rumah yang sederhana dengan taman yang agak luas. Tidak ada siapapun terlihat dari rumah itu. Hanya ada kesunyian tanpa ada tanda-tanda kehidupan. Tubuh Naruto seketika gemetar dan terasa lemas. Ia sudah tidak tahan lagi gara-gara memaksakan diri untuk terus berlari. Tubuhnya terasa sakit—dan akhirnya Naruto tidak sadarkan diri.

.

.

-Uzumaki Aoi-

.

.

Naruto membuka kedua matanya. Memperlihatkan iris safire yang menyaingi indahnya langit. Ia mengerjap. Bingung dengan suasana asing yang langsung menyambutnya begitu ia membuka kedua matanya. Matanya melihat sebuah langit-langit. Itu membuatnya terkejut dan sentak langsung bangun dari tidurnya.

"Akh!" rintihnya sambil memegang perut yang terasa berdenyut sakit itu.

Naruto terkejut melihat sekelilingnya. Ia sudah berada di sebuah kamar sederhana. Ruang kamar yang hanya tersedia sebuah lemari kayu dengan meja kecil tepat di samping kasur untuk satu orang yang ia pakai. Kamar ini kecil juga tidak mewah, namun bersih dan terawat.

Naruto memandang tubuhnya. Pakaiannya berganti. Bukan sebuah kemeja putih penuh noda darah dan celana hitam yang robek. Ia mengenakan sebuah piyama. Piyama putih yang warnanya sudah kusam dan sangat kebesaran di tubuhnya. Naruto juga mendapati tangan, kaki—semua bagian tubuhnya yang memar dan terluka telah diperban. Bahkan di wajahnya terdapat plester pada pinggiran bibir dan pipinya, karena memang bibir dan pipinya terluka.

Naruto memandang ke arah jendela yang terbuka lebar yang ada di sebelah lemari pakaian itu. Di luar terlihat terang—sepertinya sudah siang. Saat itu juga, Naruto langsung teringat kejadian di tempat itu kembali. Kepalanya langsung terasa pusing dan tubuhnya gemetar mengingatnya. Jantungnya langsung berdetak dua kali lipat dan darahnya berdesir. Ia mengepalkan kedua tangannya.

"Ceklek."

Sentak, Naruto langsung memandang pintu yang tiba-tiba terbuka—membuyarkan lamunannya.

"Wah, kau siuman juga akhirnya," ucap seorang wanita cantik.

Ia sepertinya berumur pertengahan 30 sampai awal 40 tahun. Rambut hitam perempuan itu dipotong pendek dan tubuhnya mungil. Wanita itu bersama dua orang perempuan dan seorang anak lelaki.

Perempuan pertama lebih tua. Umurnya sekitar 21 tahun dan sangat cantik. Rambut birunyanya dikuncir dengan mawar putih yang terlihat dari kertas. Matanya memandang Naruto dengan senyuman di bibirnya. Perempuan yang kedua hanya berbeda dua tahun dengan Naruto. Sekitar 19 tahun. Rambut panjang berwarna merahnya dikuncir. Perempuan itu terlihat cantik dengan kaca mata yang menghiasi wajahnya. Lalu yang lelaki. Dia masih anak-anak—sekitar 10 tahun. Anak lelaki itu memandang Naruto dengan binar rasa penasaran yang kentara. Rambut gelapnya berantakan, dibalik topi hitam yang dipasang terbalik itu.

Naruto hanya diam. Memandang orang-orang asing yang ada di hadapannya dengan sepasang safire-nya yang terlihat redup. Perempuan berambut hitam dengan bunga kertas itu langsung menghampiri Naruto.

"Bagaimana tubuhmu? Kau sudah merasa lebih baik?" tanya perempuan itu dengan ramah.

Naruto diam memandang perempuan yang ada di hadapannya lalu ke wanita yang sudah ada di sebelahnya—yang tengah menaruh sebuah nampan berisi makanan juga obat.

"Kau tidak sadarkan diri selama lebih dari 3 hari dan kata dokter, itu pengaruh dari memar dan juga luka-luka itu. Tapi sekarang, yang kau perlukan adalah istirahat. Kau perlu memulihkan kondisi tubuhmu," ucap wanita itu lembut.

"Lalu siapa nama Kakak?" tanya anak kecil lelaki itu. "Namaku Konohamaru,"

Naruto langsung memandang anak kecil bernama Konohamaru itu. Wajah Naruto tanpa ekspresi. Tidak menunjukan satupun ketertarikan untuk mendengarkan ataupun menjawab pertanyaan Konohamaru.

"Kalau kau enggan memberi tahu duluan siapa dirimu, kami yang akan memberi tahumu duluan tentang kami," ucap wanita itu saat menyadari Naruto yang enggan bersuara. "Kau bisa memanggilku Shizune, aku bisa di sebut pemilik rumah ini dan mereka keluargaku," ucap wanita yang mengaku bernama Shizune itu.

"Aku Konan," ucap perempuan berambut biru itu dengan ramah.

"Kau bisa memanggilku Karin. Nama yang cantik kan? Sesuai dengan namaku, aku memang cantik," ucap perempuan berambut merah itu sambil nyengir memandang Naruto.

"Sekarang kakak! Nama kakak siapa? Siapa?" tanya Konohamaru semangat.

Naruto memandang keempat orang yang ada di dekatnya dengan pandangan kosong. Ia menunduk lalu memandang perban yang ada di sekujur tubuhnya.

Diam.

Itulah yang dilakukan ke-4 orang itu saat Naruto hanya diam dan menunduk. Mereka menunggu si orang asing ini berbicara. Lalu, bibir mungil itu terbuka. Memperdengarkan suara parau dan agak serak untuk pertama kalinya.

"Naruto—Uzumaki Naruto."

Kali ini, ke-4 orang itu terdiam kembali. Namun berbeda dengan yang tadi. Kali ini, senyuman dan wajah kebahagiaan mengukir jelas di wajah mereka berempat. Senang, akhirnya orang yang mereka tunggu siuman selama beberapa hari ini sadar dan setidaknya—berbicara.

"Kalau begitu kami akan memanggilmu Naruto!" ucap Konan, Karin dan Konohamaru dengan kompak.

Tapi Naruto tidak menunjukkan reaksi apapun mendengarnya. Shizune tersenyum.

"Naruto, kau sudah pingsan selama lebih dari 5 hari—keluargamu harus diberi tahu," ucap Shizune. Naruto mengerti mendengarnya, namun ia enggan bersuara. Enggan memberi tahu karena dia sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi bila ia mengatakan hal yang sebenarnya.

"Hmn," hanya itu yang dapat diucapkannya.

"Jangan-jangan kau dipukuli preman ya?" tanya Karin tiba-tiba.

"Atau kau habis kecelakaan?" tanya Konan.

"Kakak kabur dari rumah?" tanya Konohamaru.

Tidak ada satupun dari pertanyaan itu yang dijawab Naruto. Ia hanya diam dengan wajah tanpa gairah untuk hidup. Shizune menghela nafas melihat Konan, Karin, dan Konohamaru yang mendesak Naruto untuk berbicara, namun Naruto sendiri sepertinya sudah tidak memperhatikan keberadaan mereka lagi. Terlihat dari iris safire yang terlihat mati itu. Entah bagaimana Shizune merasa miris saat melihat iris indah yang redup itu.

"Sudahlah Konan, Karin, Konohamaru," sela Shizune di antara rentetan pertanyaan yang dilontarkan ke-3 orang itu. "Naruto baru sadar, ia perlu istirahat," lanjutnya. Ke-3 orang itu langsung ber-oh-ria. Mengerti. Dan akhirnya, mereka meninggalkan kamar Naruto. Meminta, agar Naruto beristirahat agar cepat pulih.

.

.

.

.

Hampir 2 bulan sudah berlalu, Naruto sudah mendapati tubuhnya pulih seutuhnya. Memar dan bekas luka yang ada di tubuhnya tidak ada yang meninggalkan bekas fisik di tubuh Naruto. Dan keluarga ini—rumah ini menerima keberadaannya sekalipun mereka hanya mengetahui satu hal. Bahwa nama remaja ini adalah Naruto. Uzumaki Naruto.

"Naruto-nii!" teriak Konohamaru dengan senang lalu langsung menghampiri Naruto.

"Shizune-neesan sudah menunggu—ia marah," ucap Naruto dengan datar. Konohamaru nyengir mendengarnya.

"Kalau aku nggak main sampai sore, okaa-san nggak akan nyuruh Naruto-nii menjemputku—karena aku mau di jemput Naruto-nii, aku jadi nggak pulang cepat!" jelas Konohamaru dengan girang.

"Kalau aku menjemputmu pulang dari sekolah, artinya kau akan pulang tepat waktu juga Konohamaru?" tanya Naruto.

Konohamaru mengangguk antusias mendengarnya.

"Ya, tentu saja!" jawabnya.

"Kalau begitu aku akan menjemputmu sepulang kau sekolah, tapi tidak sering. Kau mau berjanji untuk pulang tepat waktu setiap hari?" tanya Naruto.

Konohamaru menggerutu kesal mendengarnya. "Itu nggak adil!" gerutunya kesal.

"Tapi adil untukku. Ini demi kebaikanmu—setidaknya beritahu Shizune-neesan sebelum kau pulang terlambat," nasehat Naruto.

Mereka mulai berjalan kaki menuju rumah. Konohamaru mendesah kesal.

"Toh okaa-san, Konan-nee, dan Karin-nee nggak akan tahu. Mereka nggak bakalan ngerti. Beda dengan Naruto-nii, mereka selalu keluar rumah tanpa tahu mau kapan pulangnya. Aku jadi malas pulang," gerutu Konohamaru.

"Aku harus menjaga rumah selama mereka pergi."

"Kalau begitu kenapa Naruto-nii nggak ngantar-jemput aku setiap hari saja?" tanya Konohamaru sambil memandang Naruto dengan jengkel. Naruto memandang Konohamaru dengan bingung.

"Tidakkah kau ingin pergi dan pulang bersama teman-temanmu?" kali ini Naruto yang balik bertanya.

Konohamaru langsung bereaksi mendengarnya.

"Teman-temanku itu semuanya menyebalkan! Mereka mengejek Konan-nee, Karin-nee, juga okaa-san terus! Aku benci mereka semua! Mulut mereka menyebalkan!" gerutu Konohamaru. Naruto mengerti mendengarnya.

"Jadi kau ingin aku menemanimu," itu bukan pertanyaan, tapi pernyataan.

"Tentu saja! Soalnya kalau ada Naruto-nii, aku jadi nggak sendirin lagi deh! Naruto-nii kan sudah seperti sahabat, juga Niisan-ku!" ucap Konohamaru dengan senang. Naruto tidak berkomentar apapun mendengarnya.

"Terus okaa-san kok bisa pulang sore? Tumben?" tanya Konohamaru tiba-tiba.

Naruto tidak menjawabnya. Ia juga tidak tahu kenapa Shizune pulang cepat. Padahal biasanya Shizune pulang malam.

"Hmn... mungkin okaa-san sedang nggak kerja lagi. Aku heran kenapa okaa-san bisa bertahan hidup selama ini hingga melahirkanku dengan pekerjaan yang nggak tentu kayak itu. Sampai sekarang aku nggak tahu apa pekerjaan okaa-san, ataupun Konan-nee dan Karin-nee," gerutu Konohamaru. Naruto memandang Konohamaru, lalu langsung memandang ke depan lagi.

"Sekalipun kau mengetahuinya, itu tidak akan mempengaruhi apapun," ucap Naruto kemudian.

"Aku nggak ngerti. Apa maksudnya?" tanya Konohamaru bingung.

Naruto hanya diam mendengarnya, sementara Konohamaru mulai menggerutu kembali. Kesal, karena ucapannya sama sekali tidak ditanggapi oleh Naruto. Namun, tidak mau berlarut dengan rasa kesalnya, Konohamaru mulai bercerita kembali tentang sekolahnya. Dan seperti biasa, Naruto mendengarkannya, sekalipun ia sangat jarang sekali menanggapi semua cerita Konohamaru.

Yah, banyak hal yang mau tidak mau Naruto rasakan juga di tempat tinggal barunya ini. Bahwa Shizune, Konan dan Karin adalah saudara sepupu dan Konohamaru adalah anak Shizune yang lahir di luar nikah. Dan bahkan ke-3 sepupu itu melakukan pekerjaan yang sama.

.

.

-Uzumaki Aoi-

.

.

Naruto langsung bangkit sambil membopong Konohamaru yang tertidur pulas dipelukannya. Agak berat, namun ia sanggup membawa beban tubuh Konohamaru hingga sampai ke kamarnya. Lalu dengan perlahan Naruto membaringkan tubuh itu di atas kasur miliknya sendiri. Naruto mendesah memandang Konohamaru yang sudah terlelap.

Konohamaru mati-matin ingin menunggu Shizune, Konan, atau Karin—siapapun yang pulang lebih dulu. Malam ini Konohamaru berulang tahun—ia ingin merayakannya dan memutuskan untuk menunggu anggota keluarganya itu datang. Namun, hingga Konohamaru tertidur lelap di atas sofa, belum ada seorangpun yang pulang. Naruto mendesah kembali lalu menyelimuti tubuh Konohamaru. Ia terdiam sejenak, lalu mengusap kepala Konohamaru dengan lembut.

"Selamat ulang tahun," bisiknya lalu langsung keluar dari kamar Konohamaru saat mendengar suara ketukan pintu.

Tentu saja Naruto langsung tahu siapa yang pulang dari nada ketukan pintu itu. Naruto langsung membuka pintu dan mendapati Shizune dalam keadaan mabuk.

"Arigatou Naruto!" ucap Shizune dan dengan agak terhuyung langsung masuk ke dalam rumah.

Naruto langsung mengunci rumah lagi. Shizune, Konan dan Karin memang sering pulang malam dan Naruto sudah sangat terbiasa dengan kepulangan mereka yang terkadang dalam keadaan mabuk—atau sadar.

"Kau tahu Naruto? Hik. Ada pelanggan yang melamarku! Hah! Lucu sekali! Ha ha ha! Dia mau melamar wanita sepertiku! Hik. Wanita murahan sepertiku! Apa yang dilihatnya dariku selain fisik dan tubuh yang kotor ini?" ucap Shizune dengan geli sambil berbaring di atas sofa.

Lalu, Shizune menangis sambil bergumam sedih dengan nasibnya. Naruto langsung memberikan segelas air putih kepada Shizune. Ia tahu kalau Shizune, Konan, dan Karin bekerja sebagai perempuan penghibur.

Ya, demi menghidupi Konohamaru dan juga keseharian mereka. Sejak dulu mereka menjadi pelacur. Naruto tidak bertanya apapun tentang hal itu ataupun ambil pusing—ia mengetahuinya dengan sendirinya dan ia tidak perduli. Naruto tidak akan bertanya apapun tentang keluarga ini karena mereka juga tidak bertanya apapun juga tentang dirinya. Bukankah itu impas?

.

.

TBC


Author's Note: Chapter 1 masih prolog, maaf klo ceritanya pendek. Bwt para readers sekalian, mkch ya udah baca fanficku ini. Ini fanfic kedua yang kubuat. Kali ini bwt yg multichapter.

Mkch semuanya~

Jangan lupa review ya..^^