Kegelapan dunia bawah sedikit demi sedikit mengikis kehidupan dalam diri penguasanya, Hades. Keabadian yang berada di genggamnya tidak bermakna terlalu banyak. Mengawasi penghukuman di kolam siksa Tartarus, memastikan pengadilan jiwa-jiwa baru berjalan sebagaimana mestinya, dan menjaga kekayaan di dalam Bumi agar tetap menjadi miliknya... tugas-tugas besar ini dijalankannya dalam kesunyian yang jarang sirna, membekukannya. Perlahan tapi pasti, dihanyutkan ketenangan berwarna hitam, Hades sekarat dan ia tidak kenal lagi perasaan-perasaan yang dulu pernah menderanya. Ketakutan pada ayahnya yang kejam, kebahagiaan bertemu kembali dengan adik bungsunya, bahkan ketegangan Perang Besar Titanomachia, Hades telah lupa semuanya.

Namun, entah perbuatan siapa, mimpi-mimpi Hades mulai disisipi sosok asing yang bercahaya. Terlalu lama mata Hades tidak menangkap cahaya seterang itu sejak kelahiran Zeus, adiknya, ajaibnya ia sama sekali tidak disilaukan, barangkali karena ada setitik kelabu yang mewarnai si gadis belia dalam mimpinya. Indah, magis, seolah surreal, tetapi begitu dekat hingga beberapa kali Hades mencoba meraih gadis itu. Yang ia dapati berikutnya hanya kehampaan.

Dan detakan bernyawa di dadanya.

Rambut ikal si gadis lembut tertiup angin. Gaun putih membalut tubuh mungilnya yang menari sambil sesekali menyapu ilalang tinggi. Kulit sehalus pualam itu tanpa cela. Suara cerianya bagai musik di telinga Hades.

Gadis itu memanggilnya.

Maka Hades, terdorong getar hasrat dan rasa ingin tahu, memacu keretanya ke taman kehidupan, mencari sosok yang mengusik akal sehatnya. Di dataran Sisilia dia mendarat, terkurung keasingan berselimut sinar mentari dan harum bebungaan.

Manik hitam-merah Hades akhirnya menemukan sang pujaan hati.

Laju darah Hades kini tidak lagi menyerupai lambat aliran Sungai Kebencian Styx. Dalam nadinya, muncul gejolak yang kian lama kian hebat, mungkin bisa mengombak. Keinginan menyentuh dan merengkuh kecantikan yang membuatnya kewalahan itu menyalakan api yang tak tanggung-tanggung besarnya. Setengah sadar, Hades melecut kuda-kudanya, memerintahkan mereka membawanya pada si cantik. Tanpa basa-basi, lengan kokoh Hades terlingkar pada pinggang ramping gadis itu, sementara telapaknya yang lain membekap sang gadis. Desiran ganjil dan nikmat kembali menjalari saat kulit maskulinnya bergesekan dengan bibir lembab si gadis, kemudian menghebat ketika dwisulanya menepis serangan-serangan dari dua kawan baik si gadis, Athena sang dewi kebijaksanaan dan Artemis si pemburu jelita.

Akhirnya, sang raja kegelapan mampu merasakan lagi debaran luar biasa kala melindungi sesuatu yang menjadi miliknya.

Hades membawa si gadis menuju istana kematian. Dihempaskannya gadis itu ke atas selimut yang menggelari tempat tidurnya. Gigil ketakutan sang tawanan tidak menghentikan Hades; diperangkapnya gadis itu di antara dua lengannya, lalu dipandangnya dua manik bernoda kelabu di bawahnya lurus-lurus. Ketika si gadis mencoba berpaling, Hades menahan wajahnya agar tatapan mereka tetap saling mengunci.

"Siapa kau sebenarnya?" tanya Hades kaku, "Kegelapan dari mana yang menodaimu ini? Mengapa cahayamu tidak membutakanku seperti milik Zeus?"

Bibir si gadis yang memucat terbuka sedikit, menggumamkan jawaban atas pertanyaan Hades dengan terlalu lirih. Atmosfer istana kematian yang sarat derita pasti telah mengeringkan tenaga gadis ini begitu hebatnya... dan untuk kali pertama, Hades merasa iba pada seseorang. Ia lepaskan cengkeramannya dari pergelangan tangan sang dara, kemudian menyingkir dari atas tubuh itu, memberi 'tamunya' ruang lebih banyak. Si gadis buru-buru duduk tegak dan menarik diri dari Hades, menggigit bibir untuk mencegah isakan lolos. Hades mendekat, gadis itu mundur, tetapi ia telah mencapai ujung lain dari ranjang dan tidak bisa lagi bergerak. Iris hitam-merah Hades ternyata amat melumpuhkan, maka gadis itu tak bisa berbuat apa-apa tatkala jemari panjang Hades menghapus air matanya, menyingkirkan helai-helai yang melengketi pipi sembabnya.

Sentuhan di atas kulit pualam itu, rupanya, tidak hanya berefek pada Hades sekarang.

"Ulangilah jawabanmu. Kau terlalu pelan, aku tak dapat mendengarmu."

Jarak yang dipangkas sedemikian banyak oleh Hades, juga suara beratnya yang memuat perintah, memaksa si gadis melawan hunjaman perasaan asing yang membuat kelimpungan ini. Kata-katanya bergetar dipadu sedu, cemas, dan satu emosi baru yang tak pernah ia tahu.

"Saya K-Kore. P-Putri Yang Mulia Zeus... dan Dewi Demeter, Yang Mulia H-Hades..."

Demeter?

Zeus memang terkenal senang menjalin hubungan dengan banyak sekali wanita, abadi maupun tidak, menyebabkan Hera, istrinya, melancarkan berbagai kutukan sebagai bentuk kemurkaan. Satu hal yang tidak Hades sangka adalah: Zeus menduakan Hera dengan saudara mereka sendiri, Demeter yang amat rapuh itu, bahkan hingga membuahkan seorang putri? Ah, sungguh, merajai dunia bawah menjauhkannya dari segala hal tentang keluarga lamanya di Olympus, sampai hal sepenting ini saja ia tak pernah mengetahui. Hera jelas akan menyusahkan hidup Demeter dan gadis ini—Kore. Kegelapan di antara binar mata Kore kini tak diragukan lagi asalnya.

Degup gelisah dalam dada Hades lambat-laun berganti ngilu. Kore terluka, sama seperti dirinya, jadi tidak sepatutnya ia menambah parah luka yang belum sembuh tersebut.

"Yang Mulia... mengapa Yang Mulia membawa saya ke sini? A-apakah saya bisa pulang?"

Masih tak kuat bergerak, Kore bertanya dari atas ranjang sebelum Hades melangkah keluar kamar.

"Kau..." Di ambang pintu, Hades menoleh ke belakang, "...akan menjadi ratuku, Kore."