Suaramu memenuhi lingkup jantungku...
Wajahmu membayangi ingatanku...
Aku mulai bersikap tak wajar...
Karena dirimu yang begitu menawan...
Hanya kau,
Yang bisa membuat tubuhku bergerak tanpa sekemauku...
Jurang pun kucoba langkahi seberapa dalam tampaknya...
Disclaimer:
BoBoiBoy © Animonsta Studios
The Little Mermaid © Disney
All Boboiboy main chara, plot taked in little mermaid setting. Typo, sho-ai, ranjau plottwist(?)
.
.
Dedicated for #FusionBBBChallenge
.
.
Pilihanku, adalah Dosa
by
oczelt
Desiran ombak laut menghantam bebatuan karang. Matahari bersinar terang dari langit. Awan-awan tak terlalu terlihat menemani sang surya. Para burung-burung mulai melakukan aktivitasnya untuk mencari makan.
Kelangsungan hidup yang begitu normal.
"Yak, Api! Kau hebat!"
Dari tepi pantai, kedua pemuda berdiri berseberangan dengan jarak lumayan jauh. Diantaranya ada pembatas berupa jaring. Satu orang laki-laki berwajah lumayan dengan iris emas menepuk-nepuk tangannya. Menggunakan kaos putih biasa dengan celana atas lutut. Satunya lagi pemuda berwajah sama namun beriris merah jingga, berjongkok untuk mengambil bola voli. Dia hanya bertelanjang dada dengan memakai celana ketat pendek sepaha.
"Gempa, jangan remehkan aku!" pemuda yang dipanggil Api itu menggerutu.
"Ehh—aku memang sudah mengeluarkan tenaga tinggi itu."
"Pukulan yang lebih kuat dong. Seperti ini."
Bola voli dilambungkan pada udara. Api melompat menyusulnya dan melakukan pukulan menggunakan bidang telapak tangan. Lawannya bersiaga memasang kuda-kuda. Tangannya sudah di tempatkan pada dada. Bersiap memantulkan kembali serangan lawan seberangnya.
DUAKH!
Permukaan bola voli justru menghantam pipi Gempa kuat. Lawan main Api langsung pingsan di tempat.
"Eh... terlalu kuat, kah?"
"Iya sayang. Itu mengagumkan."
Api tidak bisa mendengar suara, bahkan ia tidak tahu ada yang membalas ucapannya.
Pada bongkahan batu besar yang masih tenggelam dalam air laut, ada seorang pemuda dengan tubuh setengah di tepi batu itu. Kedua tangannya memapah kedua pipinya yang berisi. Namun wajahnya tertutup topi. Cahaya matahari hanya mengenai punggungnya yang tanpa busana.
"Kau begitu sempurna... wajahmu begitu terang lebih dari sinar matahari..."
Sesuatu menarik pemuda yang terdiam di karang itu menuju dalam laut. Tubuhnya diseret cepat, sampai-sampai pemuda itu tidak sempat menahan diri dengan berpegangan pada karang. Kepalanya tenggelam dalam laut. Buih-buih gelembung menjadi jejak mulutnya membuka tutup mengeluarkan angin.
"Ah! Jangan mengagetkan lamunan orang!"
Pemuda itu membentak sarkatik. Kedua tangannya masih menahan topinya agar tidak terbawa arus laut. 'Milik'nya menepak wajah seseorang dari dalam laut kasar. Miliknya, sebuah ekor.
"Aduh kasar sekali pangeranku."
Orang yang ditampar mengelus pipinya. Seorang laki-laki dengan rambut pendek berwajah ceria dengan sirip biru gelap. Beda dengan orang yang ia panggil 'pangeran' dengan sirip biru muda. Irisnya tidak kalah sama dengan warna ekornya sendiri.
"Jadi kau mengintip pangeran dunia atas, lagi?"
"..."
"Air, aku ini abangmu. Aku tahu kamu suka dia."
Pemuda bernama Air itu meregap kakaknya. Sampai-sampai topi yang ia kenakan terlarut menuju bawah air. Baru diketahui, bahwa tampang mereka sama persis. Dari potongan rambur, bentuk wajah, namun yang membedakan Air mempunyai pipi yang berisi.
"Dia mirip dengan wajahku, dan aku merasa dia itu bukan keluarga saja... dia calon pasanganku, pasti..."
"Yang satunya juga berwajah sama dengan kita."
"Taufan! Jangan menghancurkan halusinasiku!"
Taufan terdiam pasrah.
"Tapi dunia kalian berbeda sudah. Kau mungkin bisa ke atas, tapi dia tidak mungkin bisa bernapas di air. Mungkin kau bisa bernapas di sana, tapi belum tentu bisa muncul terus bersama 'pangeranmu' itu. Kau harus memikirkan masa depanmu juga, Air..."
"Api begitu menawan, aku tidak bisa melupakannya..."
"Keras kepala."
Desisan terakhir dari Taufan menjadi akhir mereka saling berpelukan. Air mengibas ekornya, berenang kesana kemari. Wajahnya begitu ceria. Dalam pikirannya penuh akan imajinasi indah, yang membuat senyumnya mengembang.
Pangeranku yang begitu menawan...
Sudikah engkau menjadikanku mempelaimu?
Aku ingin kau ada untukku...
Aku akan buat kau bisa bersamaku...
Air terus bernyanyi. Suaranya yang merdu menggema di seluruh penjuru lautan. Taufan ikut menyaksikan kegembiraan adiknya yang bergerak lincah.
'Katanya, kalau kita bahagia apapun akan terlihat sempurna. Bahkan suara Air juga sempurna.'
Dalam hati Taufan begitu gelisah. Mimpi adiknya tidak boleh terwujud.
Mereka adalah keluarga terpandang yang berhak mengatur lautan sekehendak hati. Para makhluk laut adalah prajurit dan pelayan mereka. Semua penghuni lautan mengabdi, bahkan para duyung dari kelas rendah juga tidak bisa seenaknya bertindak di depan kedua saudara itu.
Taufan bersyukur ayahanda mereka sebelum meninggal, memercayakan tanggung jawab menjaga lautan pada tangan Taufan. Katanya Taufan adalah pemuda yang tidak pernah khawatir akan emosinya. Dia yang katanya selalu ceria dan ringan tangan memang cocok sebagai pemimpin kerajaan.
Walau bagaimana dia memandang rendah jabatannya sesekali membuat para penghuni lautan ragu akan keunggulannya. Beberapa kali—bahkan sekarang saja, Taufan tidak mau memakai mahkotanya. Trident sebagai lambang kekuasaannya jarang ia bawa. Juga karena wajah Taufan dan Air yang sama, mereka berdua susah dibedakan mana yang raja dan mana yang adik dari kejauhan.
Seharusnya, Taufan bisa saja mengubah sirip Air menjadi kaki.
Sayang, ia terlalu cinta adiknya. Ia juga perlu suara Air.
Sebagai raja, Taufan boleh 'kan egois?
=oOo=
"Oh iya, Taufan... kau benar, Air tidak boleh di atas air selamanya..."
Bola kristal mengambang, memantulkan replika keberadaan Air dan Taufan ada di mana. Sekitarnya begitu gelap mencekam. Hanya benda itu saja yang memberikan secercah sinar dalam penjuru itu.
Cahayanya membiaskan keberadaan adanya sosok pemuda bertudung. Parasnya tak tampak, tersembunyi. Namun bibirnya yang tipis bisa terlihat. Ia juga memiliki ekor pada bagian bawah.
"Tapi sebagai raja, egoisnya dirimu... kasihan adik tercintamu, tidak bisa berjumpa dengan replika pangeran idamannya sendiri... Raja serakah harusnya tidak boleh menjadi raja... kasihan rakyatnya... Tunggu saja, Air... aku akan menyelamatkanmu dari penderitaan raja egoismu..."
Lengkungan bibirnya tak kunjung naik. Bola kristal tiba-tiba saja redup. Cahaya tak ada lagi dari tempat sana.
"Seharusnya kau tidak pantas menjadi raja!"
=oOo=
Rutinitas bagi pangeran Air, adalah naik ke permukaan air. Mengintip apa yang dilakukan pangerannya. Mendaratkan pantatnya pada karang yang dapat menyembunyikan keberadaannya. Walau setidaknya terbesit sedikit pemikiran, ia ingin dilihat oleh pujaannya.
Mungkin mereka bisa berjodoh. Andai Api dapat melihatnya.
Andai saja...
Atau nyawanya yang menjadi kontra ekspektasi.
Air sadar sosoknya sebagai mermaid adalah unik bagi kaum manusia. Diabadikan dalam rekaman gambar yang manusia awam menyebutnya 'foto'. Dibunuh mungkin? Atau lebih parah, dijadikan pajangan dengan sengaja dimatikan organ-organnya lalu dibekukan dengan zat kimia tertentu agar dagingnya tidak terkerat bakteri.
Itulah alasan-alasan Air takut menjumpai manusia.
Namun ia tahu, Api adalah pria yang baik. Yang tidak mungkin melakukan segala perlakukan manusia haus pengetahuan dan hal unik. Memang untuk apa Air memuja manusia berwajah sama dengannya itu, sampai setiap ada waktu luang hanya untuk mengintip kegiatannya?
"Hiii, Api! Kau menghempas bola terlalu kuat!"
"Gempa, masa' gitu aja dibilang kuat? Aku belum serius nih!"
"Api! Kalau ada dendam sama aku ya?!"
Air tertawa kecil. Wajah Api yang sedang iseng memang mempesona sekaligus menghibur.
"Eh kita dipanggil makan, nih!"
"Haa? Belum selesai lagi main volinya!" Api berkacak pinggang.
"Ada makanan enak katanya."
"Hoo—ikut deh!"
Buru-buru Air menenggelamkan tubuhnya pada dasar air. Bagaimanapun, menjaga keberadaannya itu memang penting. Dia tidak mau tertangkap basah.
'Ah, hari ini juga dia begitu bersemangat.'
Bibir Air melengkung senyum.
"Apa tidak bosan, untuk selalu mengintip pangeranmu itu tanpa bisa mendekatinya?"
Air menoleh pada sumber suara yang diyakininya berada. Disana tampak sosok duyung dengan memakai jubah untuk menutupi tubuh dan wajahnya. Sejenak ia melihat secercah cahaya merah menyala dari dalam tudung itu. Mungkin...matanya...
"Apa yang kau mau dariku?!" bentak Air ketakutan.
"..."
Sirip bertudung itu mendayung kencang. Ia langsung meregap tubuh pangeran selautan dari pinggang tanpa tanggung-tanggung. Ekornya meilit pada ekor Air. Wajahnya menumpu pada bahu.
"Yah, aku juga tahu rasanya mencintai itu menyakitkan. Apalagi kalau orang itu, yang kita cintai, tidak akan membalas perasaan kita... sampai kapanpun... selamanya..."
Suaranya memang terdengar datar. Namun dari kalimat-kalimatnya, Air bisa menebak kalau ada selipan rasa sakit darinya. Seakan, pernah merasakan atau mengalaminya.
"Aku juga berada di pihakmu... jangan takut..."
Justru suara datarnya yang membuat Air tidak yakin, kalau tidak ada tabiat darinya.
"Mau tahu cara untuk mendekati pangeran? Aku bisa mendekatkanmu padanya, jika kau membuat perjanjian denganku..."
"...perjan..jian... apa?"
"Dasar, itu kata umum yang sering kudengar kalau ada penawaran pada awal pembicaraan."
Tangan duyung bertudung itu menjamah pipi Air. Mengelusnya seakan memegangnya secara hati-hati. Ibaratnya seperti menyentuh sebuah guci mewah yang berdebu.
"Tukar... tukar ekor dengan kaki..."
".. tukar..?"
"Hmm... tapi untuk membuat sihir ini bekerja, kau harus mendapatkan cinta orang yang kau idamkan... kakimu, akan menjadi sebuah kaki permanen... kau akan menjadi manusia, selamanya..."
Sinar kerlap-kerlip mengitari siripnya. Air dapat melihat ekor miliknya yang berubah menjadi kaki. Kedua alat gerak manusia yang bisa multifungsi; berjalan, berenang, melompat, apapun yang tidak dapat dilakukan oleh kaum duyung. Betapa menyenangkannya bisa mempunyai sesuatu yang sama dengan pujaan hati.
"Iya... kaki... namun ada tantangannya sendiri..."
"...Apa? Jangan bilang untuk mengambil mahkota dan trident Taufan! Sudah banyak duyung yang mengincar kedudukan Taufan hanya karena ingin membantuku! Aku tidak mau!"
Tangan pemuda bertudung itu mencengkeram lengan Air kasar. "Hhh, tenanglah. Tentu tidak. Aku hanya perlu, kau bisa mendapat ciuman sejati dari pujaanmu selama sehari dari besok."
"M—mana mungkin aku bisa melakukannya!"
"Toleransinya bisa kutambah tenggatnya menjadi tiga hari. Pembayarannya bisa berupa suaramu, atau nyawa... kau atau kakakmu, mungkin?"
"Tapi kalau aku tidak bisa mendapat ciuman pangeran?"
"... tentu saja nyawamu," duyung bertudung itu menjauhkan diri dari Air. "Daripada tersiksa karena cinta kalian takkan pernah bersemi? Kau yakin bisa melepas rasa cintamu dari Api?"
Air menimbang-nimbang ucapan orang asing itu. Sejenak ia berkeringat dingin membayangkan nyawanya harus menjadi taruhan. Namun... ia juga ingin bisa berkomunikasi dengan Api. Sangat ingin.
"Lagian cintamu sudah terlarang. Kau laki-laki, dia pun demikian. Lebih baik menanggung dosa banyak daripada setengah-setengah. Supaya puas, 'kan?"
"... cinta kami, terlarang?"
"Mereka menikah dengan lawan jenis, itu juga berlaku di dunia air. Tentu, kecuali binatang dengan berkelamin ganda," balasnya. "Menahan cinta itu menyakitkan. Kau percaya kau bisa melupakannya, setelah momen kau selalu mengingat kebiasaanya sampai-sampai kau selalu ke permukaan air deminya? "
"... lebih baik pernah mencobanya, ya?"
"...iya... lagian, kakakmu sudah mewarisi kedudukan raja. Kau tidak akan menyusahkan siapapun..."
"Aku mau..."
Air termakan bujukan setan. Ia paham resikonya, namun sejak awal Air sudah masuk perangkap terlarang. Ia menyukai laki-laki. Kehidupan abadi dalam air hanya membuahkan rasa penasaran yang tak kunjung henti kepada pangeran dunia atas.
"Biarkan aku... bernyanyi, untuk terakhir kalinya... tiga hari, 'kan?"
Duri terhadang dari laluan jurangku...
Sayap yang kuyakini bersamaku, kini hanyalah ilusi...
Tergores saja tidak cukup untuk menembus dosaku...
Biarkan..
Biarkan dadaku tertusuk...
Semayamkan rasa mati, sebagai penebus jalan terlarangku...
...
Cahaya kerlap-kerlip mengerubungi tubuh Air. Sementara pemuda bertudung itu mengadahkan tangannya. Ajaib, kumpulan cahaya itu mengelilingi tangannya seakan sudah tahu mereka harus berpulang ke mana. Membentuk sebuah bilah pisau dengan ornament indah pada bagian pangkalnya.
"Aku tidak percaya kau benar-benar menyepakatinya... semoga kau berhasil, mendapatkan cintanya.."
Air membuka matanya seiring cahaya yang memudar. Pemuda itu merasakan udara sekitar sesak. Ia terbatuk, mengeluarkan buih-buih air. Instingnya untuk menyuruh anggota geraknya berenang cepat menuju permukaan. Ia tidak terbiasa dengan pergerakan renang yang melambat. Setelah ekornya kini berubah... menjadi sepasang kaki.
"Kalau kau butuh kehadiranku, panggil namaku dari dalam hatimu saat ke depan genangan air, Air..."
Air bisa mendengar jelas perintah pemuda itu. Dalam hati ia mengiyakan ucapannya.
"Panggil saja Halilintar..."
To be Continued
A/N: Yha Hali jadi antagonis kau 'kan serem soalnya.
