Hai bertemu lagi dengan saya! bagi yang sudah membaca dan mereview fic saya sebelumnya, saya ucapkan terima kasih banyak!
I love you all!(plak!)
Nah, bagi yang pertama kali baca aku ucapkan salam kenal. Aku sangat suka pairing ini, jadi aku buat lagi. Setelah hampir 3 bulan nganggur di rumah karena sudah lulus SMA (Nggak ada yang nanya!), kuputuskan membuat fanfic saja. Akhir-akhir ini inspirasiku sedikit memudar jadi saya mohon maaf yang sebesar-besarnya jika baru sekarang update. Jadi….
Pembantu rumah sebelah: Ya ampun author-san, kenapa jadi malah curhat. Nggak tau apa kalau sudah ditunggu para readers?
Ya elah mbak ngapain juga ikut-ikutan? Bentar lagi juga sudah mulai. Nyapu lantainya selesain dulu tuh. Nanti aku kasih tau majikan mbak lho!
Pembantu rumah sebelah: Ehh, aduh jangan dong. Iya-iya deh maaf! Jangan kasih tau ya!(puppy dog eyes)
Iya-iya aku bercanda kok mbak. Haha ya sudahlah, daripada kelamaan kita mulai saja.
Disclaimer: Dulu, sekarang, dan selamanya akan selalu milik Hiro Mashima seorang. Aku hanya pinjam karakter untuk sekedar berkreasi.
N/B: Maaf aku nggak pakai istilah bahasa Jepang. Masih belum terlalu hafal, hehe(ketawa nggak jelas)
So In Love
Third person's POV
"Hey selamat pagi semuanya!" Sapa si gadis pirang ketika mendekati meja para teman-teman ceweknya. Yah siapa lagi kalau bukan Lucy dan CSnya. "Ah pagi juga, Lucy-chan!" Lisanna yang pertama kali membalas salam sapanya.
"Pagi yang cerah, benar kan Lucy?" Ucap Cana setengah mabuk. "Benar juga. Hey Cana, ini masih pagi kenapa kau sudah memesan bir?" Tanya Lucy pada gadis berambut coklat yang kembali meneguk minumannya. "Ahh….bir di pagi hari membuat badanmu hangat Lucy. Cobalah!"
"Oh tidak kok, terima kasih Cana." Tolak Lucy dengan tertawa kecilnya.
Lucy mulai mendudukkan dirinya di kursi samping Levy. Di depannya adalah seorang Titania cantik yang (selalu) melakukan kebiasaannya, mengasah pedang. Di samping Erza adalah adik dari Mirajane, Lisanna Strauss. Dan kakaknya sendiri sedang duduk di belakang bar. Melakukan pekerjaannya sebagai waitress di guild.
"Bagaimana novel terakhirmu, Lucy? Apakah sudah selesai? Apa sudah boleh aku baca?" Tanya Levy tanpa jeda sedikitpun dan dengan mata berbinar. Selalu bersemangat ketika akan membaca novel buatan Lucy. "Sudah kuselesaikan, Levy. Aku hanya perlu merevisinya sedikit, kalau sudah selesai kau boleh membacanya." Mendengar jawaban Lucy, sontak saja Levy teriak kegirangan, seperti anak kecil baru mendapatkan permen.
"Asyik, novel terbaru Lucy selesai!" Seisi guild memandang Levy dengan tatapan aneh. Tak terkecuali Lucy sendiri.
"Ssstt….kau ini seperti anak kecil saja. Jangan berlebihan begitu dong!" Dengan begitu semua orang di guild kembali melanjutkan rutinitas mereka masing-masing. "Hehehe….maaf Lucy. Aku terlalu bersemangat." Ucap si rambut biru sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Yaah, baiklah tidak apa-apa." Desah Lucy pelan. "Oh iya, apa kau melihat Gray, Levy?" Secara kebetulan Lucy teringat si penyihir es itu. Apalagi mengingat kejadian beberapa malam yang lalu membuat pipinya merona merah. "Maaf Lucy, aku tidak melihatnya hari ini. Eh, kenapa pipimu merah Lucy? Ada apa? Kau sakit ya?" Tanya Levy yang hendak menyentuh dahi Lucy. 'Oh tidak, ini gawat!' batin Lucy. "Hmm…maaf Levy, tapi aku harus pergi. Ada sesuatu yang aku lupa. Sampai jumpa!" Ujarnya sambil berdiri dan bergegas keluar dari guild. "Lucy, tunggu kau mau ke mana?" Panggil Levy dari kejauhan tetapi Lucy tidak mempedulikannya. Justru mempercepat langkah kakinya. "Ada apa sih dengannya?" Gumamnya heran. "Atau jangan-jangan…."
'Dia di mana ya? Aku harus mencarinya.' Pikir Lucy seraya berjalan keluar guild. Saking cepatnya dia berjalan, hingga tidak sadar bahwa Lucy menubruk seseorang. "Ahh maafkan aku. Aku tidak…." Lucy meminta maaf pada orang di hadapannya. Tetapi kemudian terkejut mengetahui siapa orang itu. Dan mata Lucy sedikit melebar. "Gray!" Ucapnya dengan nada yang agak tinggi.
"Lucy?" Gray ikut terkejut karena juga menubruknya secara tidak sengaja. "Kau kemana saja Gray? Aku mencarimu dari tadi!"
"Ah maafkan aku Lucy. Aku sebenarnya juga mencarimu tapi kau tidak ada di rumah. Jadi aku ke sini saja. Hehe…" Gray minta maaf dengan tertawa kecilnya. "Lalu, ada apa?" Tanya Gray dengan sedikit memiringkan kepalanya.
Lucy berpikir sejenak. "Sebaiknya kita mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol. Kita pergi ke taman saja!" Ajaknya dan segera dia berjalan bersama Gray. Awalnya Gray sedikit bingung dengan ajakan Lucy. Perasaan bingung, namun juga bercampur senang. Dia tidak punya pilihan lain selain menuruti permintaanya. "Oke, baiklah!"
Skip dalam perjalanan…..
Dan sampailah mereka berdua di taman Magnolia. 'Sungguh pemandangan yang menakjubkan.' Lucy terkagum melihat pemandangan sekitarnya. Banyak pepohonan rindang yang terdapat di berbagai sudut taman, dan juga beraneka ragam bunga yang menghiasi taman. Juga terdapat pegunungan yang subur akan pepohonan di sejauh mata memandang. Pegunungan tersebut digunakan untuk tempat para pendaki dan sebagai batas kota Magnolia.
Saat itu taman tidaklah ramai pengunjung. Hanya sering digunakan untuk merayakan pesta kembang api sebagai festival tahunan.(Ya, bisa dibilang tahun baru)
Mereka berdua duduk di kursi taman yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri semula. "Indah sekali, benar kan Gray?" Kata Lucy tanpa menghadap ke wajah Gray, tetapi masih memandang keindahan alam di hadapannya. "Kau benar sekali Lucy!" Balas Gray sambil menghirup udara segar di taman itu.
"Gray…" Suara Lucy menjadi rendah dan sedikit serius. "Kau tahu, pemandangan ini selalu sama seperti sepuluh tahun yang lalu. Ketika ibuku mengajakku ke tempat ini…." Secara perlahan tangan kecil Lucy menggapai tangan Gray dan meletakkan di pangkuannya. "Lucy…" Kedua pipi Gray menunjukkan semburat merah dan sedikit malu saat tangan lembut Lucy menggenggam tangannya.
"Dan….waktu itu adalah yang terakhir kalinya ibuku mengenalkanku pada keindahan alam ini." Ucap Lucy pelan dengan mempererat genggamannya. Sungguh kenangan yang tak bisa dilupakan meskipun di sisi lain cukup sakit untuk diingat. Hingga dia meluangkan waktu menulis surat untuk ibunya. Bahkan ratusan surat ia selesaikan hanya untuk almarhum ibunya yang sangat ia sayangi. Layaknya surat yang tak tersampaikan. Dan Gray betul-betul memahami perasaan Lucy saat ini.
Mata Lucy mulai berkaca-kaca dan perlahan memandang wajah penyihir tampan tersebut. "Aku sungguh tidak bisa melupakan kenangan bersamanya." Ungkapnya dengan senyum kecil di wajahnya. Gray sungguh merasa iba dan ingin sekali menghibur lara di hatinya. Semua kenangan indah bersama orang terkasih hilang begitu saja, memang terasa sangat sakit. Andai saja sepuluh tahun yang lalu Gray bisa berada di sampingnya. Dengan senyum kecil di wajah Gray, dia mendekatkan dirinya dengan Lucy dan membawanya dalam sebuah pelukan.
"Lucy…aku sungguh mengerti perasaanmu yang sesungguhnya. Aku benar-benar memahami betapa sakitnya kehilangan orang yang sangat kau sayangi. Aku di sini Lucy, selalu bersamamu, aku tidak akan pernah meninggalkanmu." Ucapnya lembut menenangkan hati Lucy. Kedua tangan Lucy melingkari punggung kekarnya dan memeluknya erat. "Aku tidak bercanda tentang malam itu Lucy, aku….sungguh mencintaimu." Lanjutnya dengan mengungkapkan perasaannya sekali lagi. Mendengar pengakuan Gray, gadis pirang tersebut terisak dan air mata mengalir lancar melewati kedua pipinya.
"Gray….aku tahu, kau tidak akan pernah bercanda tentang perasaanmu. Aku juga…sungguh tulus mencintaimu." Mengungkapkan perasaan yang memang sudah tak tertahankan lagi, membuat air matanya semakin mengalir deras.
"Hey hey….sudahlah. Jangan menangis terus Lucy!" Perintah Gray lembut. Dan Lucy melepaskan dirinya dari pelukannya.
"Umm Lucy, sebenarnya ada satu hal lagi yang ingin kusampaikan kepadamu."
"Ada apa Gray?" Tanya Lucy dengan senyum manisnya.
"Sebenarnya…." Gray berhenti sejenak dan meraih saku celananya dan mengambil sebuah kotak berbentuk hati dan membukanya.
Terdapat sebuah cincin berlian, dan Gray mulai menyatakan sesuatu hal. "Maukah kau….menjadi pendampingku, Lucy Heartfilia?" Mendengar tawaran pelamaran dari Gray, Lucy segera menangis (lagi) mengeluarkan air mata bahagia.
"Ah….Gray! Tentu….tentu saja, Gray. Aku mau….!" Ungkap Lucy kepadanya. Dan segera dia mengeluarkan cincin itu dari kotak, Gray memasangkan cincin tersebut pada jari manis sebelah kiri.
"Terima kasih, Lucy….aku sungguh bahagia kau mau menerimaku dengan sepenuh hati." Ucap Gray dengan memeluknya lagi dan membelai rambutnya yang pirang.
"Seharusnya aku yang berterima kasih, Gray. Kau telah membuat diriku lebih bahagia dari sebelumnya. Ini adalah hal terindah yang kau beri. Sungguh….tidak ada yang lebih indah dari ini!" Kedua tangan Lucy kembali memeluk tubuhnya dan membenamkan wajahnya dalam dadanya yang telanjang. (HAH TELANJANG?)
"Hah, Gray mana bajumu?" Tanya Lucy dengan pipi yang sedikit merah. 'Tapi, harus kuakui dadamu benar-benar indah, Gray.' Puji Lucy dalam hatinya.
"AHH, kapan hilangnya ya?" Teriak Gray kebingungan sambil mencari-cari bajunya. (Beruntung hanya bajunya). Sementara Lucy hanya tertawa kecil melihat keantikan nakama serta kekasihnya itu. Seluruh orang di guild juga sudah tidak asing lagi dengan kebiasaan anehnya.
"Hah ketemu!" Setelah beberapa menit, akhirnya menemukan baju putihnya. "Umm, Gray." Panggil Lucy pelan.
"Ada apa Lucy?" Tanya Gray yang sedang kembali memakaikan bajunya. "Apa aku juga boleh….meminta suatu hal?" Lucy menunduk karena sedikit malu menyampaikan permintaannya.
"Dan apa itu?" Suara Gray benar-benar lembut di telinga Lucy. "Apakah aku….boleh memanggilmu, Gray-sama?" Dan sekarang kedua pipi Lucy benar-benar merah.
Gray juga sungguh tersipu malu mendengar panggilan barunya. Dia mengira hanya Juvia seorang yang memanggilnya seperti itu. Tetapi dia benar-benar bahagia jika Lucy bisa menyebutnya dengan nama itu.
"Tentu Lucy, aku senang sekali." Ucapnya lembut sambil perlahan-lahan bibir Gray menyentuh bibir sang penyihir langit. "Aku juga senang, Gray-sama." Seketika itu juga Lucy membalas ciumannya.
Mereka berdua bertahan dalam saat-saat seperti itu hingga mereka tak menyadari bahwa seseorang sedang mengawasi mereka berdua. Secara kebetulan seorang penyihir berambut biru melewati taman itu, dan tak sengaja melihat sepasang kekasih itu yang berciuman dengan mesranya.
TBC
Yah, sekian chapter 1 dariku. Apapun yang ada dalam benak para readers, dimohon klik 'Review' dan curahkan seluruh pendapat kalian. Arigatou!
Bagi yang penasaran, chapter 2 langsung up!
