Sengaja aku bikin pair yang jarang dipake. Kakashi dan Sakura di fic ini adalah sepupu dan umur mereka gak terpaut jauh. Happy reading!


Warning : Alternate Universe, OOCness, character death dan mungkin kekerasan di chapter mendatang.

--

Terinspirasi dari film 'Pearl Harbour', serial asia jaman dulu, 'Kabut Cinta', dan 'Puisi Cahaya Bulan'-nya Nicholas Saputra untuk film 'Gie'.

--

--

A Promise I Make

--

--

Genma Shiranui

--

Langit malam ini sangat terang. Bulan purnama menggantung rendah di angkasa dilatarbelakangi taburan bintang. Indah... Indah sekali...

Aku tersenyum tipis. Seandainya saja keadaan dunia seindah dan sedamai itu. Oh, Tuhan... aku benar-benar berharap perang ini cepat berlalu.

Aku menutup mata, menikmati kesunyian malam dan semilir angin sejuk yang menerpa kulitku. Suasana yang tenang seperti ini selalu membuatku teringat padanya. Ah, sudah berapa hari sejak kami berpisah? Tidak, sudah berapa minggu? Bukan. Bulan? Tahun? Aku sudah lupa. Peperangan ini membuatku buta akan waktu.

Shizune... Shizune... Betapa namamu tidak pernah berhenti bergaung dalam kepalaku. Dalam hatiku...

Aku mengernyit ketika rasa nyeri kembali menerpa lenganku yang terluka. Kubuka mataku dan mendapati bebatan perban yang menutupi luka tembak yang kudapatkan beberapa hari yang lalu kembali memerah. Merah di atas putih... Mengapa segalanya selalu mengingatkanku padamu, Shizune?

Shizune... Wanitaku yang cantik. Apakah kau masih menungguku sampai sekarang seperti janji kita dulu?

Mengabaikan rasa nyeri yang mulai menjalar ke bahu, aku merogoh saku celanaku. Mengeluarkan secarik foto yang sudah agak menguning. Aku tersenyum memandangnya, wajah mungil yang manis itu balas menatapku.

Shizune...

Aku menghela napas, sementara semilir angin malam yang sejuk membawa kembali ingatanku ke peristiwa beberapa waktu yang lalu. Saat aku pertama kali bertemu dengan bidadariku yang manis...

--

"Ah, Genma! Kukira kau tidak jadi datang!" seru wanita muda itu cerah ketika ia membukakan pintu untukku. Ia mundur dan membuka pintunya lebih lebar, memberi jalan untukku masuk.

"Aku sudah mendapatkan izin. Jadi aku bisa kemari," kataku sambil melangkahkan kaki memasuki rumah mungil itu. "Lagipula, aku tidak mungkin melewatkan ulangtahun sahabatku, bukan?"

Wanita itu tersenyum. "Pantas saja Raidou selalu mengagumimu. Kau sangat setia kawan."

Aku sungguh tersanjung mendengar pujian dari istri sahabatku itu, maka aku membalas senyumnya. "Terimakasih, Ayame."

"Genma!" Raidou tiba-tiba muncul. Ia tersenyum lebar ketika membuka tangannya lebar-lebar menyambutku. "Senang kau bisa datang!"

"Selamat hari jadi, sobat!" kataku sambil memeluknya.

"Terimakasih," ucapnya. Ia melepaskan pelukannya dan menatapku. "Kau tampak kusut, teman. Ada masalah di markas?" tanyanya dengan nada cemas.

Aku menggeleng pelan dan tersenyum menenangkan. "Tidak. Hanya kesepian sejak kau menikah dan meninggalkan barak kita," sahutku dengan nada bergurau. Memang begini nasib menjadi seorang serdadu. Kalau kau belum berkeluarga, kau diwajibkan tinggal di barak khusus dan hanya boleh pindah kalau kau menikah.

Raidou tersenyum menyesal sambil menepuk bahuku. "Kalau begitu, ayo kita masuk. Aoba, Yamato, Kakashi dan yang lain sudah menunggu kita!" katanya sambil menggiringku ke dalam, menyusul Ayame yang sudah masuk lebih dulu.

Aoba, Yamato, Kakashi dan yang lainnya memang sudah menunggu kami di dalam. Mereka duduk mengelilingi meja di ruang tengah, membuat ruangan mungil itu menjadi jauh lebih sempit. Aku menyapa mereka dan duduk di antara Kakashi dan Yamato. Kami mengobrol beberapa saat sebelum kemudian para wanita memasuki ruangan.

"Makanan sudah siap!" seru Ayame sambil mengangkat baki berisi makanan yang dibawanya. Kami para pria yang tidak tahu diri, bersorak menyambutnya, bukannya bergegas membantunya yang tampak keberatan. Hanya Raidou, sang suami, yang tergerak untuk membantu sang istri.

"Kau juga bantu dong!" omel seorang gadis muda berambut merah muda yang baru saja muncul di belakang Ayame, yang aku kenali sebagai perawat yang dulu pernah berkunjung ke barak tempatku tinggal untuk pemeriksaan kesehatan rutin. Gadis itu memelototi Yamato yang langsung pura-pura mengeluh.

"Iya iya. Sini aku bantu," temanku itu berdiri dan membantu si rambut merah muda. "Sepupumu ini bawel sekali, Kakashi," bisiknya pada Kakashi.

Kakashi hanya mengulum senyum.

"Aku dengar itu!" kata si rambut merah muda lagi sambil meninju bahu Yamato main-main.

"Oops! Hei, hati-hati! Tumpah nih!" ujar Yamato sambil tertawa. Ia meletakkan sepanci besar stew yang masih panas dengan hati-hati di atas meja.

"Shizune, bisa kau ambilkan piringnya sekalian?" kata Ayame pada seseorang di dapur.

"Sebentar, Ayame..." balas suara lembut seorang wanita.

Selang beberapa saat, wanita itu keluar, membawa setumpuk piring. Entah mengapa saat itu aku tidak bisa mengalihkan mataku dari sosoknya yang mungil. Langkahnya yang anggun ketika mendekati meja, rambutnya yang pendek hitam berkilauan tertimpa cahaya temaram dari lampu di atas kami, dan mata onyx-nya yang memancarkan keceriaan yang nyata. Juga senyumnya ketika ia mengedarkan piring.

Aku tidak yakin pernah melihat seseorang secantik dirinya.

Dan ketika mata kami bertemu, jantungku serasa berhenti bedetak.

--

Sampai sekarang, aku tidak pernah ragu mengatakan bahwa aku telah jatuh cinta padanya pada pandangan pertama. Dan entah bagaimana caranya, tapi aku tahu kalau ia merasakan hal yang sama.

--

Kali kedua aku bertemu dengannya adalah saat paramedis mendatangi barak kami untuk pemeriksaan kesehatan rutin bulanan.

Saat itu hari amat cerah. Matahari bersinar tanpa terhalang awan sedikitpun. Aku bersama rekan-rekan sejawatku sedang mengantri di depan tenda yang cukup besar dengan lambang palang merah di depannya, menunggu untuk diperiksa.

"Shiranui, Genma!" aku mendengar namaku dipanggil. Dengan langkah mantap khas serdadu, aku melangkah masuk ke dalam tenda. Seorang petugas medis menyambutku di depan. Pemuda itu memegang clipboard di tangannya.

"Tuan Shiranui?" tanyanya sopan sambil tersenyum.

"Ya," sahutku.

"Silakan ke bilik nomor dua," katanya sambil menunjuk ke bilik dengan angka dua besar di depannya. Aku mengangguk dan berjalan menuju bilik itu.

Udara seakan menyusut ketika aku menyibak tirai yang menutupi bilik dan mendapati seorang wanita muda dengan rambut pendek hitam berseragam putih-putih tengah duduk di satu-satunya kursi yang ada di sana. Ia sedang menunduk memandang catatan di meja kecil di depannya. Tiba-tiba saja jantungku berdegup kencang.

Itu Shizune.

Ia mengangkat kepalanya ketika mendengar suara langkahku. Kulihat ia juga sama terkejutnya denganku saat melihatku muncul di sana. Shizune melompat bangun. Aku bisa melihat wajahnya yang putih bersemu kemerahan ketika tak sengaja ia menjatuhkan catatannya. Ia buru-buru berlutut untuk mengambilnya sebelum meletakkannya kembali ke meja.

"Genma?" serunya agak terengah. Senyumnya masih secantik yang kuingat.

"Hai," balasku sambil berjalan mendekat, mencoba menetralisir perasaanku yang tidak karuan.

Suasana canggung sejenak menyusup di antara kami sebelum aku memecah keheningan, "Kau petugas medis juga?" tanyaku sambil mengerling emblem palang merah yang tersemat di lengan seragamnya.

"Oh!" ia seperti baru saja tersadar dari lamunannya, wajahnya semakin merah. Manis sekali. "A-aku perawat di sini," jawabnya terbata. "Silakan berbaring di sana, Genma," katanya gugup sambil menunjuk ke tempat tidur kecil di sudut.

Aku menurut sementara ia mengambil peralatannya. Kasur itu sangat keras. Aku merasa seperti sedang berbaring di atas batu. Tapi semua itu tidak berarti apa-apa dibanding perawat di sisiku ini, yang jemarinya yang mungil sekarang tengah menyentuh pergelangan tanganku, mencari denyut nadi. Aku bisa merasakan jemarinya sedikit gemetar di kulitku. Aku tersenyum.

"Kau baru jadi perawat?" tanyaku kemudian.

Matanya teralih dari arloji di pergelangan tangannya, langsung menatap mataku. Tatapannya membuatku merasa seperti meleleh, bersatu dengan kasur yang keras. Tapi aku berusaha bersikap biasa.

"Sudah cukup lama juga," jawabnya lembut, ia tersenyum. "Aku belum pernah memeriksa di sini sebelumnya. Biasanya di barak tempat Yamato dan Kakashi."

"Oh..." kataku.

Kami terdiam lagi sementara ia melakukan prosedur pemeriksaan yang biasa; mengukur tanda-tanda vital atau apalah namanya. Prosedur yang biasanya sangat membosankan itu, entah mengapa terasa jauh lebih menyenangkan. Aku tidak tahu apakah ia bisa mendengar degupan jantungku yang menggila saat ia menyentuhkan stetoskopnya ke dadaku untuk memeriksa bunyi jantungku. Tapi kurasa ia bisa merasakannya karena aku bisa melihatnya tersenyum lagi saat itu.

"Kau gugup?" tanyanya, sambil tersenyum penuh arti.

"Yeah..." sahutku mengakui. "Katahuan, ya?" Kurasakan wajahku memanas. Situasi ini memalukan sekali, tapi sangat lucu. Kurasa Shizune juga sepakat denganku, karena kemudian ia tertawa kecil. Aku ikut tertawa bersamanya.

"Maaf, bisakah?" tanyanya sambil menunjuk batang ilalang yang biasa kukulum di mulut.

"Oh, sori," aku buru-buru mengambilnya dan membuangnya ke tempat sampah dekat situ. Lalu ia mulai memeriksa kondisi fisikku secara keseluruhan, mulai dari kepala, mata, hidung, mulut... semuanya sampai ke kaki. Kuakui aku sangat menikmati saat ia menyentuhku.

Kamudian ia mulai mewawancaraiku. Dan aku menjawabnya dengan jawaban yang entah sudah keberapa kalinya kuulangi saat pemeriksaan kesehatan, tapi aku sungguh tidak keberatan.

"Pemeriksaan sudah selesai, Genma," beritahunya di akhir sesi. Ia kembali memeriksa catatan kesehatanku. "Bagus sekali," komentarnya sambil tersenyum, "Kondisimu sangat sehat. Kau pastilah sering berolahraga, ya?"

Aku tertawa kecil menanggapi pertanyaannya. "Serdadu mana yang tidak banyak berolahraga, Shizune?" kataku.

Wajahnya memerah lagi, tapi ia ikut tertawa. "Yah, pertanyaan bodoh," kekehnya. Lalu ia membantuku bangun.

"Kau bisa pergi sekarang, Genma," katanya ketika melihatku belum beranjak dari tempatku semula.

"Kau sedang mengusirku?" tanyaku.

"Bukan begitu. Tapi aku harus memeriksa yang lainnya juga," sahutnya sambil menaruh catatan kesehatanku di tumpukan tinggi catatan kesehatan yang lain dan mengambil formulir yang masih kosong.

"Sayang sekali. Padahal aku ingin sekali mengobrol denganmu," kataku sambil berdiri.

Shizune menengadahkan kepala untuk menatapku—Ia sekepala lebih pendek dariku—Tatapannya menyelidik. "Apa kau selalu melakukan ini pada perawat yang lain, hm?"

"Menurutmu?" aku balik bertanya sambil mendekat padanya—aku mempelajari ini dari Raidou. Salahkan bajingan itu. Ia dulu sering sekali merayu para perawat dengan cara seperti ini sebelum akhirnya mati kutu di hadapan Ayame—tapi ia tidak mundur seperti kebanyakan perawat wanita yang biasa dirayu Raidou dulu. Ia hanya mengangkat alisnya. Ia bahkan tidak mendorongku ketika aku mencondongkan tubuh ke arahnya dan meraih kedua tangannya. Aku tak bisa menahan senyum ketika ia memejamkan mata saat wajah kami sudah berdekatan.

Tidak. Apa yang terjadi selanjutnya tidak seperti dugaan kalian. Aku bukan tipe pria yang suka berbuat seperti itu terhadap seorang wanita pada pertemuan kedua, sesuka apapun aku pada wanita itu. Terutama pada Shizune. Tidak. Aku sangat menghargainya dan tidak bijaksana melakukan itu padanya sekarang. Waktunya tidak tepat, meskipun sepertinya ia memberiku kesempatan itu.

"Bagaimana kalau kita mengobrol lain waktu, Shizune? Hanya kau dan aku... Aku tahu tempat yang bagus di sekitar sini," bisikku di telingannya.

Ia membuka matanya, dan mata kami langsung bertemu. Mata onyx-nya seakan mengebor mataku. Sepertinya saat itu ia sedang berusaha membaca apa yang sedang kupikirkan. Ia masih menatapku beberapa saat sebelum berkata, "Kau boleh pergi sekarang, Genma."

Hatiku mencelos. Kurasa ia baru saja menolakku. Aku melepaskan tangannya dan mundur teratur. "Aku pergi," kataku dengan senyum masam, lalu berbalik.

"Genma?" suaranya menghentikan langkahku ketika aku sudah mencapai tirai. Aku berbalik dan mendapati ia sedang tersenyum padaku.

"Kapan?" tanyanya, wajahnya memerah. "Kapan kita bisa bertemu lagi?" ulangnya lebih keras. Ia menggigit bibir bawahnya sambil tersenyum malu-malu.

Aku merasa seperti terbang ke langit ketujuh.

--

Tanganku yang kotor gemetar membelai foto yang menguning itu. Senyumnya saat itu sama seperti foto ini. Malu-malu. Dan kemudian aku teringat malam itu, saat aku menyatakan cintaku padanya. Seperti saat ini, malam itu juga langit sangat cerah bertabur bintang.

--

Aku bertemu dengannya beberapa kali lagi setelah itu. Di tempat yang sudah kujanjikan padanya, di bukit di dekat barakku. Dari sana kami biasa mengobrol sambil memandangi lampu-lampu kota kecil di bawah sana, Konoha. Hanya obrolan ringan, tapi menyenangkan. Dan belum pernah terjadi sesuatu. Bukankah sudah kukatakan aku bukan tipe pria seperti itu?

Tapi yang pasti, semakin kerap aku menghabiskan waktuku bersamanya, semakin aku yakin kalau aku telah jatuh cinta padanya. Perasaanku begitu mendalam padanya sampai-sampai menjauh selangkah saja darinya terasa begitu menyiksaku.

Dan malam itu, seperti malam-malam sebelumnya. Kami duduk-duduk di rerumputan sambil menghadap ke taburan cahaya lampu di bawah sana.

"Lihat! Itu mars!" Shizune menunjuk ke angkasa, ke arah sebuah titik kemerahan di angkasa.

Aku mengikuti arah pandangnya. "Bagus, ya..." kataku.

Ia menoleh memandangku dan tersenyum manis. "Terimakasih sudah menunjukkan tempat ini padaku, Genma," ujarnya lembut.

"Sama-sama," balasku.

Lalu ia kembali memandang langit. Tatapannya menerawang. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu. Cahaya bulan yang lembut menyinari wajahnya yang mungil, membuatnya seolah memancarkan cahayanya sendiri. Seperti malaikat... Aku merasakan berbagai emosi menyerangku ketika aku memberanikan diri meraih tangannya dan menggenggamnya erat-erat.

Shizune kembali menoleh padaku. Aku lega ia tidak menarik tangannya, hanya tersenyum penuh arti. Kurasa saat itu ia sudah tahu apa yang sedang kurasakan. Dan ia sedang menungguku mengucapkan sesuatu.

Aku menatap matanya lekat-lekat, tersenyum dengan segenap perasaanku. Tiba-tiba saja jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya. Aku tahu ini sudah waktunya. Aku tahu aku tidak akan sanggup menyimpan kata-kata itu lebih lama lagi.

"Shizune," bisikku. Suaraku agak bergetar ketika menyebut namanya. Belum pernah aku segugup ini sebelumnya. Bahkan saat tes penerimaan akademi militer, aku tidak segugup ini. Aku menarik napas panjang dan mengucapkan kata-kata itu seiring dengan hembusan napasku, "Aku mencintaimu, Shizune. Kaulah hal terindah yang pernah terjadi dalam hidupku."

Ia menatapku selama beberapa saat, tidak berkata apa-apa. Lalu ia menggigit bibir bawahnya dan menunduk, wajahnya merona merah. Hatiku mencelos ketika aku melihat bening mengalir dari sudut matanya. Ia menangis.

"Ada apa?" Aku bertanya-tanya sendiri apakah ada yang salah dengan ucapanku. "Shizune?" aku meletakkan sebelah tanganku yang tidak menggenggam tangannya di bawah dagunya, memaksanya menengadah.

"Kau serius?" bisiknya di tengah isakannya.

"Tentu saja aku serius. Aku belum pernah merasa seyakin ini sebelumnya," kataku sambil menatap matanya dalam-dalam, supaya ia tahu aku sungguh-sungguh dengan perkataanku. Dan aku tahu aku berhasil meyakinkannya ketika seulas senyum merekah di wajahnya yang berkilau karena air mata.

"Maafkan aku. Aku tidak mengerti kenapa bisa begini emosional..." ujarnya. Ia membalas tatapanku. "Kau pria pertama yang mengatakan itu padaku. Aku tidak menyangka rasanya akan begitu... membahagiakan. Aku--"

"Sshhh..." aku meletakkan telunjuk di bibirnya. "Jangan dilanjutkan, aku mengerti." Meskipun aku agak terkejut mendengar pengakuannya. Perlahan, kuseka basah di wajahnya, selembut yang bisa dilakukan tanganku yang terlalu terbiasa dengan kekerasan ini. "Kau percaya padaku, kan?" tanyaku.

Ia mengangguk.

Aku tersenyum dan ia membalas senyumku. Kucondongkan tubuhku mendekat seraya sekali lagi mengangkat dagunya dengan tanganku. Ia memejamkan mata, perlahan memiringkan kepalanya. Wajah kami semakin mendekat dan aku tahu dengan pasti, saat bibir kami bertemu, itu adalah momen yang tidak akan pernah kami lupakan seumur hidup kami.

"Aku juga mencintaimu, Genma..." bisiknya setelah kami saling memisahkan diri.

Aku menariknya dalam pelukanku, mengecup dahinya lembut. Aku selalu bermimpi mendengar kata-kata itu meluncur dari bibirnya, dan sekarang mimpi itu telah menjadi kenyataan.

--

Lamat-lamat, aku mendengar seseorang bersenandung di kejauhan. Aku mengalihkan pandanganku dan memandang sekelilingku. Gorong-gorong itu sunyi senyap kalau saja pria yang sedang duduk di ujung sana, di dekat kawat berduri itu, tidak bersenandung pelan. Dari kejauhan, aku bisa melihat kilauan di wajahnya yang kehitaman kena jelaga.

Aku tersenyum getir. Pria itu pastilah sedang teringat pada orang yang dicintainya juga. Seperti aku.

Aku kembali menatap langit. Ke arah bulan yang bersinar temaram.

Shizune-ku yang manis... Apa gerangan yang sedang kau lakukan sekarang? Tahukah kau betapa aku merindukanmu?

"Some day, when I'm awfully low.. When the world is cold.. I will feel a glow just thinking of you.." tanpa sadar aku bersenandung lirih. Air mataku mengalir di pipi.

--

"And the way you look tonight..." aku mengikuti alunan lagu yang mengalun lembut memenuhi ruangan itu. Aku tahu suaraku jelek, tapi siapa peduli? Aku tidak peduli pada apapun saat itu selain wanita di depanku ini.

Shizune mendongak dan tertawa kecil. "Aku tidak tahu kau suka bernyanyi, Genma," ujarnya.

"Entahlah. Mungkin karena ada kau di dekatku. Biasanya aku tidak terlalu suka menyanyi," ucapku lembut sambil menariknya lebih dekat, melangkah perlahan mengikuti alunan musik. Kening kami bertemu. Aku bisa merasakan kehangatan aliran napasnya di kulitku.

"Ku bisa sangat manis kadang-kadang, kau tahu?" bisiknya sambil tersenyum.

"Yeah, aku tahu," kataku. "Mereka bilang aku tukang menggombal nomor satu. Ah, tidak. Nomor dua--nomor satunya si Raidou."

Shizune tertawa kecil. Bahkan suara tawanya terdengar seperti alunan musik di telingaku. Bahkan lebih merdu dibandingkan suara penyanyi pria yang sedang melantunkan lagu diiringi dentingan grand piano di atas panggung di sana.

Saat itu kami sedang menghadiri acara resmi kalangan militer. Beberapa kolegaku baru saja naik pangkat, termasuk temanku, Kakashi Hatake. Di acara itu, kami diizinkan membawa partner. Tapi temanku itu justru sedang duduk sendirian di sudut, memainkan gelas wine-nya seraya memperhatikan orang-orang di lantai dansa dengan pandangan tertarik. Kalau saja pria malang itu tidak begitu pemalu, ia pasti bisa menggaet beberapa wanita sekaligus. Aku tahu reputasinya sebagai 'lelaki idaman' di kalangan para wanita.

Tapi sekarang bukan saatnya memikirkan Kakashi. Aku punya rencana yang sudah kususun bersama sahabatku, Raidou. Dan rencana itu ada hubungannya dengan Shizune. Juga ada hubungannya dengan hidupku...

Aku memeluk Shizune rapat sementara kami berdansa dan aku bisa melihat dari atas kepalanya, Raidou bersama istrinya sedang melambai ke arahku. Aku nyengir gugup pada mereka. Aku benar-benar gugup saat itu sampai rasanya mau pingsan, sungguh. Maka sekali lagi aku bersenandung pelan untuk menutupi kegugupanku.

"Lovely... Never, ever change. Keep that breathless charm. Won't you please arrange it? 'Cause I love you... Just the way you look tonight.."

Aku melepaskannya saat musik berakhir dan kami bertepuk tangan bersama yang lain. Lalu aku membawanya ke sudut yang agak jauh di dekat jendela tinggi. Sinar lampu jalanan menerobos masuk ke dalam ruangan dengan pencahayaan temaram itu. Aku menunduk menatapnya dan ia juga sedang menatapku penuh tanda tanya.

"Adakah yang pernah memberitahumu betapa cantiknya kau?" aku memulai.

Wajahnya merona merah ketika ia membalas malu-malu, "Kau juga amat tampan."

Aku tersenyum. "Aku mencintaimu," ujarku sungguh-sungguh.

"Aku juga mencintaimu," bisiknya.

Aku menunduk untuk menciumnya lembut, tidak memedulikan tatapan orang-orang di sekeliling kami. Kemudian aku merogoh saku celanaku dan mengeluarkan sebuah kotak beludru warna marun. Aku bisa melihat mata onyx-nya melebar ketika aku membuka kotak itu di depannya.

"Genma... I-ini..." ucapnya terbata. Bibirnya bergetar. Sepertinya ia tidak sanggup berkata-kata.

Aku mengeluarkan sebentuk cincin emas sederhana yang kupilih bersama Raidou ketika kami 'turun gunung' ke Konoha. 'Genma's' terukir di bagian belakang cincin itu, yang melambangkan pemakainya adalah milikku. Aku berlutut di hadapannya.

Aku menelan ludah dengan gugup sebelum bertanya dengan segenap hatiku, "Maukah kau menikah denganku, Shizune?"

Air mata tumpah di wajah mungilnya saat ia mengangguk sambil menutup mulutnya dengan satu tangan, menahan keluarnya isakan. "Iya... Iya... aku mau. Aku mau..." ujarnya kemudian, setengah mengisak.

Itulah kalimat terindah yang pernah kudengar darinya. Jawaban atas permohonan hatiku. Aku merasa hatiku membengkak berkali-kali lipat dan air mata kebahagiaan juga terjatuh dari sudut mataku ketika aku menegakkan diri. Kupasang cincin itu di jari manisnya yang gemetar. Aku menciumnya sekali lagi. Lalu memeluknya. Ia balas memelukku lebih erat.

"Hei, dengar!" seru seseorang di dekat kami. Aku melepaskan pelukanku dan menoleh. Yamato, anak muda jahil itu mengumumkan pada semua orang di sana sambil mengangkat gelas wine-nya. "Rekan kita yang tampan ini, Genma Shiranui, baru saja melamar kekasihnya!"

Serta merta semua orang bersorak memberi selamat sambil bertepuk tangan. Lalu mereka mengangkat gelas masing-masing dan bersulang untuk kebahagiaan kami. Di sampingku, Shizune menangis terharu.

"Oh, Shizune, Genma, selamat ya..." seru Ayame sambil berlari kecil ke arah kami dan memeluk calon istriku. Di belakangnya, Sakura si rambut merah muda menyusulnya.

Aku melihat sahabatku, Raidou, berjalan mendekati pemusik di atas panggung kecil itu dan berbisik pada mereka. Mereka mengangguk dan saat berikutnya denting piano terdengar lagi. Kali ini mereka memainkan 'Endless Love' untuk kami. Lagu yang indah. Benar-benar mewakili perasaan kami saat itu.

Kami menikah dua hari kemudian di kantor catatan sipil. Semua temanku hadir; Raidou bersama Ayame, Kakashi, Aoba, Yamato, Sakura juga beberapa rekan perawat Shizune yang lain.

Shizune tampak sangat anggun dengan gaun satin putih sederhana. Meskipun makeup di wajahnya tidak terlalu tebal, tapi ia tetap kelihatan cantik. Ia tersenyum saat melihatku. Jemarinya yang cekatan merapikan lipatan kerah seragam militer resmiku.

"Kau gugup?" tanyaku.

"Sedikit," sahutnya agak terengah.

Petugas catatan sipil berdehem. "Apa sudah bisa dimulai?"

Kami berdua mengangguk. Para saksi—teman-temanku—ikut mendekat. Suasana hening ketika kami mengucapkan janji pernikahan. Aku mengucapkannya dengan sepenuh hati, ketika aku menjanjikan cinta dan kesetiaanku padanya seumur hidupku, dalam susah dan senang, dalam sakit dan sehat. Dan ia juga melakukan hal yang sama padaku. Lalu kami saling menyelipkan cincin pernikahan di jari manis masing-masing dan dinyatakan sebagai suami-istri setelah kami menandatangani surat pernikahan.

Kebahagiaan kami di hari itu dilengkapi dengan berita yang dibawa sahabat kami, Raidou dan Ayame. Mereka mengumumkan bahwa dalam beberapa bulan ke depan, Namiashi junior akan segera lahir. Dan pertanyaan berikutnya yang keluar dari mulut-mulut jahil mereka adalah, "Kapan kalian akan menyusul?" Kontan saja membuat wajah kami merah padam.

"Raidou dan Ayame pastilah sangat bahagia sekarang," ujarnya malam harinya, ketika kami sudah berbaring di atas ranjang kami yang baru.

Saat itu kami sudah menempati apartemen kami yang baru—aku tentu saja sudah meninggalkan barak mengerikan itu. Apartemen baru kami mungil dan sederhana, tapi itu sudah cukup untuk kami berdua. Aku harus berterimakasih pada Raidou dan Aoba yang punya ide gila untuk memenuhi apartemen kami dengan bunga mawar putih. Terimakasih karena kalian telah memberi kami tugas pertama sebagai suami istri besok pagi—bersih-bersih rumah.

Tanganku membelai lembut rambutnya yang hitam. "Kita juga," kataku.

Aku bisa merasakan istriku tersenyum di dadaku. Lalu ia mendongak untuk menatapku. "Kehadiran seorang anak pasti akan meramaikan suasana," katanya sambil tersenyum. Cahaya temaram bulan purnama yang menerobos masuk melalui tirai jendela kamar kami memantul di matanya yang hitam pekat, membuatnya berkilauan.

Aku tertawa kecil seraya mengambil tangannya lalu menjalinkan jari jemari kami. Kukecup punggung tangannya dengan lembut. Aku mengerti betul apa yang sedang ia bicarakan. Bukankah itu yang selalu diharapkan dalam sebuah rumah tangga? Begitu juga dengan istriku yang cantik ini. Dan kehamilan Ayame membuatnya sedikit... er... bersemangat—kalau kalian tahu maksudku.

"Apa kau bahagia, Shizune?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.

"Ya," jawabnya mantap. Tapi kemudian kernyitan samar muncul di antara kedua alisnya. "Mengapa kau bertanya seperti itu?"

Aku menghela napas panjang sebelum menjawab, "Tidak. Hanya saja... aku takut mengecewakanmu, aku takut tidak bisa membahagiakanmu. Kau tahu pekerjaanku, kan? Aku seorang tentara yang bisa ditugaskan ke medan tempur kapan saja. Terlebih kondisi sekarang yang cukup gawat. Aku takut..."

Kata-kataku terhenti saat kurasakan telunjuknya menyentuh bibirku. "Aku tidak akan menerima lamaranku kalau aku tidak siap dengan resiko itu, Genma," ujarnya lembut. "Aku sudah membuat keputusan dan aku tidak akan pernah menyesal dengan keputusanku. Meskipun..." suaranya tercekat, "suatu hari nanti kau diharuskan pergi jauh dariku."

"Maafkan aku," kataku menyesal sambil memeluknya lebih erat.

Ia merebahkan kembali kepalanya ke dadaku. "Jangan meminta maaf," bisiknya.

Aku tidak bisa merasa lebih bersyukur lagi dari ini. Mendapatkan wanita dalam dekapanku ini sebagai istri, adalah hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupku.

"Genma?"

"Hm?"

"Aku bisa mendengar detak jantungmu di sini," ujarnya. Aku bisa merasakan jemarinya menelusuri dadaku, tempat di mana jantungku berada.

Aku tersenyum, teringat saat ia melakukan pemeriksaan kesehatan rutin pertama kalinya padaku berbulan-bulan yang lalu. "Bagaimana bunyinya?" tanyaku.

Ia mengakat kepalanya lagi dan tersenyum nakal padaku. "Bunyinya seperti mengatakan kalau kau mencintaiku," jawabnya sambil tertawa kecil.

Aku ikut tertawa bersamanya. "Itu benar, dear..." kataku sambil mencubit hidungnya yang mungil dengan gemas. Kami bertatapan lagi beberapa saat sebelum aku menunduk untuk mencium istriku dalam-dalam. "Tidurlah, Nyonya Shiranui. Kita perlu istirahat," kataku kemudian.

"Hm..." ia merebahkan diri rapat padaku, memejamkan mata. "Selamat malam, Genma..."

"Selamat malam..." bisikku seraya menarik selimut kami lebih tinggi.

--

Aku tidak ingat pernah mengalami malam yang lebih sempurna dibanding malam itu. Sungguh...

Tapi rupanya kebahagiaan kami tidak bisa berjalan lebih lama. Peristiwa yang terjadi pada negeri tempatku tinggal membuat perhatian kami teralih sepenuhnya. Dan apa yang kutakutkan saat itu benar-benar terjadi beberapa hari setelah pernikahan kami.

--

Suara sirine pertanda darurat meraung-raung memecah keheningan pagi itu. Suasana pagi Konoha yang biasanya damai mendadak siaga. Para tentara yang tinggal berbaur dengan warga sipil berhamburan keluar rumah dengan wajah tegang, termasuk aku.

Telah terjadi sesuatu yang gawat, pikirku sambil berlari bersama para kolegaku yang lain menuju markas besar. Dan benar saja...

"Pihak Oto melanggar perjanjian. Mereka menyerang perbatasan Barat," beritahu Kakashi Hatake pada para prajuritnya ketika kami semua sudah berkumpul di lapangan. "Pihak pusat sudah memberi perintah untuk mengirim beberapa batalyon pasukan untuk mempertahankan daerah Barat dan Utara hari ini juga!" Kami semua terdiam sementara Kakashi menatap kami dari atas truk, tatapannya keras. "Beritahu keluarga kalian secepat kalian bisa," lanjutnya, kemudian terdiam lagi. Ia menelan ludah. "Bersiaplah, prajurit Negara Hi! Kita akan berperang!"

"Aku sudah tahu dari dulu kalau mereka semua keparat!" umpat Raidou gusar ketika kami bergegas menuju gudang penyimpanan senjata.

"Bukan cuma kau, Raidou. Kita semua tahu mereka akan melanggar perjanjian itu. Tinggal tunggu waktunya saja sampai mereka benar-benar menyerang!" geramku.

Setelah kami mendapatkan persenjataan lengkap, kami langsung berkumpul dengan pimpinan pasukan masing-masing untuk mengatur strategi dan menentukan di mana saja kami harus ditempatkan. Aku dan Raidou ditempatkan di perbatasan Barat sementara Aoba, Yamato dan Kakashi akan ke Utara.

Lalu kami diberi waktu untuk berpamitan dengan keluarga. Beberapa langsung berlari ke arah rumah masing-masing sementara aku bersama beberapa yang lain berlari menuju rumah sakit Konoha. Istriku bertugas shift malam hari sebelumnya dan seharusnya jam-jam segini ia baru selesai bertugas.

"Genma!" aku melihat istriku berlari-lari kecil keluar dari rumah sakit. Wajahnya yang pucat lelah tampak cemas luar biasa. Ia langsung masuk ke dalam pelukanku. "Aku sudah dengar apa yang terjadi," ucapnya setelah ia melepaskan pelukannya. Suaranya bergetar hebat dan aku bisa melihat matanya basah.

"Aku harus pergi, Shizune," ucapku berat sambil menyeka air mata di wajahnya dengan kedua tanganku.

Istriku mengagguk keras. "Aku tahu. Aku tahu..." katanya sambil menatapku dengan matanya yang sembab. Ia mengambil kedua tanganku yang menyentuh wajahnya, mengecup keduanya. "Lakukan tugasmu, Genma. Lindungi negara ini."

Aku mengangguk. "Aku tahu. Kau jaga dirimu baik-baik, Shizune..." kataku dengan suara tercekat.

Ia mengangguk lagi, air matanya kembali mengalir ketika ia berjingkat menciumku lembut. "Kau juga. Berjanjilah kau akan kembali dengan selamat."

Aku menciumnya lagi. "Aku janji," kataku. "Kau juga akan terus menungguku, kan? Sampai aku kembali nanti?"

"Seperti sumpahku saat pernikahan kita, Genma. Aku akan mencintai dan setia padamu dalam keadaan apapun. Ya, aku akan selalu menunggumu!"

Aku menariknya ke dalam pelukanku sekali lagi. Memeluknya erat-erat seakan tidak ada hari esok. Aku sungguh-sungguh berharap saat ini tidak akan pernah berakhir, supaya aku tidak perlu meninggalkan istriku. Tapi sekeras apapun aku berharap, aku sadar, pada akhirnya aku memang harus meninggalkannya. Demi tanggung jawab yang lebih besar terhadap negaraku. Dan aku yakin Shizune akan mengerti itu... Meskipun ini teramat berat bagi kami berdua.

Shizune menyeka air matanya setalah kami saling melepaskan diri. Ia senyum tulus. "Hati-hati, prajurit," ucapnya.

Aku mengecup dahinya lembut. "Doakan aku, dear..."

"Selalu, Genma. Selalu..."

--

Itulah kali terakhir aku melihatnya. Senyuman dan lambaian tangannya mengiringi kepergianku. Senyuman yang tidak akan pernah aku lupakan hingga sekarang, selamanya. Aku mendekap fotonya di dadaku, tepat di mana ia selalu berada--dalam hatiku.

Aku memejamkan mata lagi. Semilir angin malam yang sejuk menyapu rambut cokelatku yang kotor dari dahiku.

"Genma?"

--

TBC...

--

Disclaimer : Naruto milik Masashi Kishimoto, Lagu "The Way You Look Tonight" milik Frank Sinatra dan lagu "Endless Love" milik Lionel Ritchie.


A/N :

Muahahaha... iputz bikin romance! Aneeeh... Tapi di fic ini aku bener-bener menyalurkan bakat menggombal. Dan aku memasukkan banyak kissing scene --ada berapa ya? Gak ngitung--Biasanya aku mikirnya suka lama kalo mau masukkin adegan seperti ini. Huehehe... --dilempar senbon ama Genma--

GenShizu!! Pairing dewasa yang paling aku suka. Mereka serasi banget soalnya. Genma ganteng, Shizune manis.

Soal RaiAya... sebenernya aku bikin pairing ini karena gak nemu tokoh cewek yang dah gede yang pantes untuk Raidou. Yuugao cuma buat Hayate. Kurenai udah punya Asuma. Hana... aku lebih suka masangin dia sama Itachi yang seumuran. Jadinya Ayame deh. Memang sih, umur mereka jauh banget... Di Naruto pertama aja, Raidou udah 32 th sementara Ayame baru 17 th. Bedanya 15th... --Jadi inget Remus-Tonks-- Tapi anggep aja di cerita ini umur mereka gak jauh beda yah..

YamaSaku... yeah! salah satu pairing favorit aku juga! Gak tau kenapa suka aja liat mereka bareng (bosen sama SasuSaku. hihi...—ditakol fans-nya SasuSaku--). Yamatonya agak OOC di sini yah. Gomen! Dan Sakura... anggap aja mereka seumuran. --maksa!--

Chapter berikutnya pake POV-nya Shizune. Btw, chapter depan ada sekitar 6ribu kata. Menurut kalian, sebaiknya dibagi jadi 2, 3, or 4, atau sekalian aja?