Title: Lost and Render

Author: Gin and Amaya

Characters/ Pairing: Hatake Kakashi & Haruno Sakura

Type: Multiple Chapter

Genre: Romance/ Family

Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto

.

(Kami tidak mencari keuntungan dalam bentuk materi apapun dari penggunaan karakter-karakter ciptaan Om MK ini)

.

LOST AND RENDER

(Chapter 1)

Grey and Green

.

Sakura menjulurkan kepalanya keluar dari jendela mobil yang terbuka. Udara dingin langsung menyapu wajahnya yang mungil dan kini titik-titik merah mulai berkumpul di pipinya yang bulat menggemaskan. Matanya yang berbentuk seperti buah almond dengan iris hijau zamrud nampak bersinar saat menatap pepohonan pinus yang berjejer di kiri dan kanan jalan. Sesekali dia menoleh ke belakang, pada hempasan dedaunan kering yang beterbangan di jalanan.

Terdengar derak kerikil saat ban mobil melindasnya lalu berhenti di depan sebuah rumah mungil bertingkat dua yang terbuat dari kayu cedar, dengan pekarangan yang dibatasi petakan rumpun bunga melati. Saat itulah Sakura tahu kalau dirinya sudah tiba di tujuan. Sang supir membuka pintu untuk seorang pria yang sedari tadi duduk diam di sebelah Sakura dan tanpa menunggu, gadis kecil itu langsung membuka pintu mobil dan menghambur turun. Lalu dia berkata dengan suara lantang sembari menatap pada dua pria di depannya.

"Meski aku menikmati perjalanannya, tetap saja Tousan tidak bisa memaksaku untuk tinggal di sini!" semburnya marah dengan bibir mungil mengerucut sebal.

Salah satu dari pria itu, yang memiliki warna rambut sama dengannya—merah muda—memperlihatkan raut wajah tegas namun di bibirnya seulas senyum sedih tersungging. "Kau akan dan harus melakukannya, Sakura."

Sakura menggeram, pipinya menggembung. Tampak jelas dia menahan kekesalan dan hal itu membuatnya membalikkan badan menjauhi mereka sambil menendangi batu-batu kerikil dengan sepatu keds-nya. Tidak puas, dia pun berjalan sambil menjambaki dahan perdu melati hingga daun dan tangkainya berhamburan. Punggungnya menghilang di balik kerimbunan pepohonan pinus dan pria yang tadi dipanggilnya Tousan, mendesah pelan sebelum sepasang matanya mendapati sesosok jangkung seorang pria yang masih mengalungkan handukdi lehernya berjalan cepat keluar dari dalam rumah.

"Ya, Tuhan, di mana sopan santunku!" Pria itu bergegas mendekati tamu-tamunya lalu membungkuk 90 derajat. "Haruno-sama , maafkan aku!" Saat tubuhnya kembali menegak dia berkata dengan nada penuh sesal, "Aku sedang di kamar mandi. Aku tidak tahu Anda akan datang secepat ini! Aku benar-benar tuan rumah yang buruk. Mari masuk ke dalam!"

Haruno-sama menatap pria muda di hadapannya dan sekali lagi tersenyum. "Aku tidak akan lama, Kakashi. Dan aku tidak butuh berbasa-basi jadi aku akan menjelaskannya di sini saja. Dengar baik-baik karena aku tidak suka mengulangi perkataanku."

Kakashi terdiam. Seperti biasa, Haruno-sama berbicara langsung pada intinya. "Baiklah," angguknya. "Jadi, di mana dia?" Kakashi mencari sosok gadis kecil sepuluh tahun dan tak menemukannya. Mata abu-abu gelapnya menatap tangkai-tangkai melati yang dipatahkan berhamburan sepanjang jalan menuju samping rumah. Jelas siapapun yang mematah-matahkannya tidak sedang dalam suasana hati yang bahagia dan lebih mirip dengan tingkah beruang Grizzly saat dibangunkan dari tidurnya di musim dingin. "Aah… rupanya begitu."

"Aku tidak punya waktu lagi, Kakashi." Haruno-sama tampak mendesah sebelum melanjutkan, "Penyakitku sudah menjalar dan kematian sepertinya sudah di depan mataku." Haruno-sama tiba-tiba terbatuk hingga wajahnya berubah merah. Sang supir, yang setia berdiri di sampingnya, memberikan sebotol wiski yang dengan cepat diteguknya. Saat berangsur tenang, dia lalu mengeluarkan sebuah amplop yang cukup besar, "Bagaimana pun aku tidak bisa memercayakan Sakura pada orang lain."

Kakashi hanya menatap benda di tangan pria itu, tidak mencoba meraihnya atau menyela rentetan kalimat yang keluar darinya.

"Anak itu harus tinggal bersamamu dan kau akan menjadi walinya. Ingat, jangan mengirimnya ke sekolah asrama. Di ulang tahunnya yang ke-21, tugasmu sebagai walinya akan berakhir." Haruno-sama menarik napas panjang lalu melanjutkan, "Sekarang, sebagai rasa hormatku padamu, setengah dari uangku sudah kusimpan untukmu kalau-kalau kau membutuhkannya selama menjaga Sakura. Lalu sisanya kuberikan padamu untuk memenuhi kebutuhannya."

"Dan bagaimana jika aku sakit atau mati atau apapun itu sebelum tugasku selesai?" tanya Kakashi perlahan.

Haruno-sama menarik napas panjang yang lelah sambil memegang dada kirinya. "Lakukan apa yang harus kau lakukan. Dengar, Kakashi, aku tak punya waktu lagi untuk membuat rencana lain. Meski kau sudah keluar dari organisasi, aku tetap mengupahmu. Uang yang kau dapatkan seharusnya cukup untuk membuatmu menikmati waktu luang bersama wanita mana pun yang kau inginkan."

Kakashi terbatuk-batuk mendengar kata-kata yang blak-blakan itu. Tapi entah kenapa, yang terbayang di matanya bukanlah wanita namun justru adalah tumpukan koleksi Icha-Icha Paradise dan Icha- Icha Tactics yang sangat langka dan sebentar lagi akan memenuhi separuh dari ruang perpustakaannya.

"Aku akan melakukannya." Kakashi berkata pelan sambil memandangi wajah pria di depannya. Mata itu telah berubah menjadi hijau gelap, tidak seperti saat mereka pertama kali bertemu. Seorang pria yang telah menolongnya dari kehidupan jalanan yang keras dan liar. Permintaannya kali ini, sebuah permintaan yang tentu saja Kakashi tak bisa mengabaikannya. Sebuah permintaan dari seorang pria yang sedang sekarat.

"Terima kasih, Kakashi. Terima kasih. Tidak ada apapun lagi yang ingin kukatakan. Bersumpahlah atas nama Tuhan kau akan menjadi wali bagi anak itu."

"Aku bersumpah," kata Kakashi dengan khidmat sambil memejam kedua matanya.

"Meski aku sudah mati dan mungkin terlupakan, aku ingin kau mengingat ini, bahwa suatu hari aku akan bertanya mengenai tanggung jawab dari sumpahmu." Dan sekali lagi batuk yang terdengar mematikan menyerang Haruno-sama tiba-tiba. "Aku harus pergi sekarang. Kau akan dibayar, Kakashi, dan aku tahu kau orang yang jujur, tapi jika kau mengkhianati kepercayaanku, aku akan menghantuimu ke mana pun kau pergi. Hantuku akan mencekikmu dan membuangmu ke dalam sumur."

Kakashi hanya bisa terdiam, terlalu seram untuk membayangkan dia harus bersama Sadako di dalam sumur.

Haruno-sama berbalik memunggungi Kakashi. Dia berhenti sejenak, menatap bayangannya pada kaca mobil. "Dalam beberapa hari ke depan atau mungkin beberapa jam berikutnya, aku akan terbujur kaku dan dingin. Perjalananku sudah berakhir. Tapi kehidupan anak itu—Sakura, masih harus berlanjut. Biarkan dia menikmati cinta dan kebahagiaan yang tidak bisa aku berikan. Biarkan dia hidup sebagai gadis biasa yang tak terikat dengan masa lalunya termasuk… aku." Dia kembali menatap Kakashi. "Kau memiliki keberanian dan kesetiaan. Ajarkan dia tentang itu." Kemudian dia mengalungkan tangannya ke pundak pria muda itu sambil berujar getir, "Selamat tinggal, Kakashi!" Tubuhnya memutar dan dia bergerak menjauh dengan langkah limbung.

Dan Kakashi tahu itu benar. Dia tahu bahwa waktu Haruno-sama sudah hampir habis. Haruno-sama memang lebih dari mampu untuk membayar bahkan kumpulan dokter terbaik di dunia. Tapi dia memang tidak akan pernah mampu membeli kehidupan. Waktunya sudah tiba. Sambil tersenyum getir, dan dengan kata 'Ingatlah' yang terakhir terucap darinya, Haruno-sama pergi.

Kakashi terdiam menatap mobil yang menjauh, meninggalkan jejak debu di belakangnya. Dia menghormati pria itu. Dia pernah berhutang nyawa padanya di masa belasan tahun yang silam. Kakashi menoleh saat didengarnya derap langkah kecil yang begitu berisik seperti seekor kuda liar berlarian.

Sakura muncul dari balik pohon sambil berseru, "Tousan, ada sungai kecil di belakang sana! Airnya jernih dan…" Langkahnya melambat saat menemukan tak ada siapapun di halaman kecuali seorang pria muda jangkung dengan rambut keperakan yang masih basah serta sebuah handuk yang melingkar di lehernya. "Tousan sudah pergi?"

Kakashi menatap gadis kecil itu dengan iba. Tiba-tiba saja kerongkongannya terasa kering. Dia tidak terbiasa dengan tipe perpisahan semacam ini. Perpisahan antara ayah dan anak. Kakashi mungkin tidak tahu artinya, karena dia tidak pernah melihat ayahnya sendiri.

"Kenapa dia tidak memelukku? Apakah dia tidak menyayangiku?" tanya Sakura lagi membuat Kakashi memutar otak mencari kata-kata yang pas.

Pria muda itu menghela napas panjang dan berkata, "Justru karena dia tidak memelukmu, itu berarti dia sangat menyayangimu. Haruno-sama merasa... jika dia melakukannya, akan semakin sulit baginya untuk berpisah denganmu. Kau mengerti?"

"Tidak! Aku tidak mengerti!" kata Sakura menggeleng dengan keras kepala hingga kuncirnya bergoyang-goyang. "Aku tidak mengerti mengapa Tousan membawaku pindah ke sebuah rumah yang besarnya hanya sebesar kandang kelinciku! Dan aku juga tidak mengerti kenapa aku harus tinggal bersama orang yang wajahnya tertutup masker seperti iklan-iklan pencarian penjahat di koran!"

Sakura mulai terisak, menangis, dan akhirnya meraung-raung. Kakashi menarik napasnya dalam-dalam. Astaga, rumah yang dia beli dengan susah payah menabung selama sepuluh tahun dibilang seperti kandang kelinci! Nona kecil yang manja dan merepotkan . Tapi itu benar, dia memang tak mungkin mengerti. Dia baru sepuluh tahun.

Kakashi menahan dorongan aneh untuk menarik pipinya yang bulat menggemaskan dan kini penuh air mata. Dia akhirnya hanya menepuk-nepuk kepala gadis kecil itu dengan kaku dan membawanya masuk ke rumah, menunjukkannya kamarnya dan seharian penuh dia mengunci diri di dalam sana. Kakashi memintanya keluar untuk makan siang dan makan malam, tapi anak itu lebih memilih berada di dalam kamar. Sesekali dia mendengar isakan kecil di dalam sana dan yang dilakukan Kakashi hanyalah membawakannya makanan di nampan dan ditaruh di depan kamar.

Karena itu pula dia tidak tidur semalaman. Bagaimana kau bisa tidur jika kau terus menerus mendengar suara isakan yang mirip anak kucing terjepit pintu? Saat tubuhnya sudah benar-benar lelah, akhirnya dia jatuh tertidur. Sepertinya dia baru tertidur beberapa menit ketika ponselnya berdering, membuatnya terlonjak.

"Halo?" tanyanya serak dengan suara melayang. Separuh nyawanya sepertinya masih tertinggal di atas bantal.

"Kakashi-senpai…"

"Yamato?" Kakashi mengenali suara itu. Kesadarannya langsung pulih. "Ada apa? Suaramu terdengar aneh."

"Ya, memang. Pagi ini aku datang untuk menemui Haruno-sama, seperti biasa. Dan… kulihat dia sudah…" Yamato berdehem dan pria di seberang bisa menebak apa yang terjadi. "… mati."

.

Sembilan Tahun kemudian...

Kakashi memasukkan sepotong pancake ke dalam mulutnya sambil memperhatikan Sakura yang mondar-mandir mengurus keperluannya di hari pertama kuliah. "Sudah kubilang 'kan!" seru Kakashi dari meja makan. Seminggu sebelumnya, dia sudah memberitahu Sakura untuk mempersiapkan segalanya. Tapi Sakura rupanya terlalu sibuk dengan pekerjaan barunya―menjadi pelayan kedai tak jauh dari kompleks tempat tinggal mereka―hingga melupakan sesuatu yang lebih penting.

"Jangan mengingatkanku!" teriak Sakura dari kamarnya. Lalu tiba-tiba dia berlari keluar saat menyadari Kakashi yang sedang sarapan. Melihat pria itu sudah membereskan piringnya sendiri, dia pun mengerang pelan. "Kenapa kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk melihat wajahmu?"

"Sudah kulakukan. Kau saja yang terlambat," kata Kakashi dari balik maskernya.

Sakura mendengus, tahu jika Kakashi sedang mengejeknya. "Omong-omong, kau lihat di mana kaos kakiku?"

"Di mesin pengering. Tapi kau tidak..." Kakashi belum menyelesaikan kalimatnya saat dilihatnya Sakura sudah tak ada di tempat dan telinganya langsung mendengar teriakan lagi dari basement.

"KAKASHI! APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN SEMUA BAJUKU?" Sakura membuka mesin pengering dan menemukan semua bajunya telah berubah warna. Dia lalu naik ke atas dan menatap pria yang sedang duduk di sofa sambil membaca novel favoritnya. Sakura menghentakkan kakinya di lantai kayu dengan sangat keras, membuat isi rumah seolah bergetar, "KAKASHI!"

Kakashi menghela napas panjang sambil menutup bukunya. Sakura telah memanggilnya 'Kakashi' yang berarti dia sedang marah besar, tentu saja. "Gomen, Sakura-chan. Aku salah. Bukannya memasukkan pengharum cucian, aku malah memasukkan cairan pemutih ke mesin cuci."

Bibir Sakura membuka dan menutup seperti ikan koi mencari air. "Hooooh! Tenang sekali kau mengatakannya!" Suaranya kini terdengar hampir menangis. "Kau tahu sendiri kalau aku tidak punya banyak baju!"

"Kau bisa memakai bajuku," kata Kakashi tanpa beban sambil mengangkat bahu.

Sakura yang murka seperti Medusa lalu melempar baju-baju di tangannya ke wajah pria itu. "Aku benci kau, Kakashi! Dan kau masih berutang padaku. Kau akan menyesal kalau tidak membayarnya!"

"Jangan khawatir. Aku pasti membayarmu," sahut Kakashi sambil memindahkan baju-baju itu ke sofa dengan sangat tenang.

Sakura lalu menatap jam dinding yang sudah menunjuk angka delapan. "Sial, aku akan terlambat!"

"Kau tidak sarapan?"

"Memangnya kau peduli?"

"Ya."

"Yang benar saja." Sakura memutar sepasang mata zamrudnya lalu menyeberangi ruang tamu menuju pintu depan.

"Kau ingin aku mengantarmu?"

"Tidak, terima kasih!"

"Kau akan menyesal."

"Tidak akan!"

Terdengar langkah sepatu Sakura di ruang depan lalu menghilang. Kakashi menghela napas. Pagi yang sibuk—seperti biasa . Dia lalu membaca beberapa halaman lagi dari novelnya sebelum ke kamar mandi.

.

Sakura bernapas lega saat mengetahui dosen yang akan mengisi jam pertama ternyata belum menunjukkan batang hidungnya.

"Sakuraaaaaa, sebelah sini!" teriak seorang gadis pirang dari kursi deretan tengah. Sakura tersenyum tipis sambil berjalan mendekatinya.

"Pagi, Ino," sapanya sebelum menjatuhkan bokongnya di sebelah Ino.

"Hari yang buruk lagi?" tanya Ino saat melihat wajah Sakura yang kusut.

"Jangan tanya," sahut si rambut merah muda sambil menghembuskan napas panjang. "Siapapun tidak akan tidak mengalami hari yang buruk jika tinggal bersama manusia baka itu!" geram Sakura.

Ino tersenyum tipis melihat kawannya itu. Terkadang Sakura bisa menjadi sangat menyebalkan seperti sekarang ini. Tapi ada saat-saat dia juga bisa sangat menyenangkan. Dibanding teman-teman wanitanya yang lain, Sakura adalah sosok pekerja keras, selalu berpikir dengan sangat hati-hati sebelum memutuskan sesuatu atau bagaimana cara melakukan sesuatu. Dia juga bisa menjadi sangat macho, melebihi seorang pria.

"Jangan khawatir," katanya. "Hari-harimu pasti akan menjadi lebih baik."

"Kuharap begitu. Mudahan-mudahan aku masih hidup saat mengalaminya," Sakura lalu menguap lebar-lebar kemudian menjatuhkan kepalanya ke meja. Belum lagi sempat tertidur, Ino mengguncang-guncang tubuhnya, membuatnya menggeram seperti beruang yang terganggu saat masa hibernasi, "A-pa yang kau la-ku-kan?"

"Bangun, Sakura! Lihat... dia... ng, anu..."

"Bicara yang jelas, Ino-pig!"

"Ya, ampun! Lihat!" Dengan gemas Ino memegang kepala si rambut merah muda dan memutarnya ke kanan.

Mata Sakura membelalak lebar saat melihat seorang pria berkemeja putih dengan dasi hitam, jeans hitam dan sepatu kulit yang mengkilap serta ransel yang tampak berat oleh buku-buku.

Apa-apaan dia ada di sini?

.

TBC

.

A/N:

Terima kasih buat readers yang bersedia meluangkan waktu membaca fic ini.

Review?