necklace

Disclaimer: Masashi Kishimoto / Shonen Jump

Lagi-lagi GaaHina dan selanjutnya akan GaaHina hihi~ #dilempar

Thanks for read ya semuaaaa :D jangan lupa review~ ;3;


CHAPTER 1


Hujan terus turun deras. Suaranya tidak menyenangkan gadis yang sedang duduk di atas bangku goyang itu. Ingin rasanya gadis itu menutup jendela kaca besar di kamarnya. Tapi, matanya tidak mau melewatkan kejadian yang sedang ia saksikan saat itu. Apertemennya yang berada di lantai 6 cukup tinggi melihat sekitarnya. Gadis yang mengangkat kedua kakinya diatas kursi itu terus menggoyang-goyangkan kursi kayu itu perlahan. Wajahnya terlihat pucat pasi. Bibirnya kering dan tampak kebiruan. Tubuhnya sudah terlalu lama terkena air hujan karena jendela besarnya tetap ia bukan lebar-lebar. Matanya terus mengikuti gerak-gerik objek yang berada di depan matanya.

Seorang laki-laki berparas tampan terlihat sedang ribut dengan wanita di depannya. Dan satu hal yang membuat gadis yang berada di kursi goyang itu tertarik adalah kejadian dimana pipi laki-laki itu ditampar oleh wanita di depan laki-laki itu.

"Sakitkah?" Ujar gadis itu lirih.

Pria itu lalu ditinggalkan oleh sang wanita yang langsung berlari meninggalkannya. Gadis cantik yang masih melihatnya tertarik untuk melihat lebih jelas. Ia menurunkan kakinya perlahan dari kursi dan keluar ke atas balkon, membuat tubuhnya yang hanya memakai baju terusan hitam itu langsung basah kuyup sekejap.

Merasa ada yang memperhatikannya, laki-laki itu langsung menatap ke arah gadis yang berada di lantai 6 apartemen itu. Laki-laki itu langsung memasuki rumahnya dengan wajahnya yang kesal menyelimutinya.

"Hinata! Apa-apaan kau basah-basahan beginin disaat aku tidak ada?" Seru laki-laki berambut panjang saat memasuki kamar gadis bernama Hinata.

"Memandang... Malaikat?" Ucap Gadis itu pelan. Tubuhnya yang putih pucat dan kurus itu membuat siapapun pasti takut untuk menyentuhnya. Takut, seakan-akan bila disentuh terlalu kencang gadis itu akan pecah.

"Jangan bodoh, Hinata. Ayo, ganti pakaianmu." Ucap lelaki itu menarik tangan Hinata pelan, sangat pelan.

Selesai membereskan kamar gadis itu yang berantakan karena hujan badai tadi, laki-laki itu menunggu Hinata hingga Ia selesai mengganti pakaiannya.

"Bagaimana?" Tanya Hinata pada Neji, laki-laki yang sedari tadi menunggunya.

"Bagus. Cantik." Jawab laki-laki itu melihat penampilan gadis itu. Meski kurus, baju apapun cocok untuknya. Gadis ini terlalu cantik untuk dipandang.

Tangan dingin gadis itu menyentuh lengan Neji. "Dingin, kak." Ucapnya.

"Aku akan mengambilkan mantel." Neji langsung mengambil mantel yang berada di kamarnya. Mantel yang cukup tebal untuk menghangatkan adik yang sangat ia sayangi itu. Ia lalu memakaikan mantel itu diatas pundaknya. Jujur Neji sangat takut menyentuh gadis ini. Tubuhnya benar-benar kurus.

"Apa aku akan mati?" Tanya gadis itu. Neji langsung menggeleng cepat.

"Tidak."

"Kau bilang padaku tak ada sesuatu yang akan abadi. Begitupun manusia." Ucap Gadis itu dengan suaranya yang serak.

"Hinata, tubuhmu mulai panas. Kau demam. Ayo ke Rumah Sakit. Aku akan siapkan mobil." Ujar Neji khawatir mengenai kondisi adiknya yang semakin hari semakin melemah.

"Tidak mau. Aku benci ruangan putih itu."

"Hinata.." Neji lalu memandang Hinata dengan harapan besar.

"Kalau begitu, jawab pertanyaanku." Gadis itu lalu menatap mata kakak laki-lakinya.

"A..Apa?"

"Sebenarnya aku hidup untuk apa?"

Neji hanya diam. Tidak tahu kalimat apa yang harus dilontarkan pada Adik-nya. Neji lalu menelepon tunangannya.

"Halo." Jawab yang disebrang.

"Kau dimana?" Tanya Neji.

"Sedang di jalan."

"Kebetulan, kau bisa mampir kerumahku sebentar?" Tanya Neji penuh harapan. Gadis itu langsung menyetujui.

Setelah telepon di tutup, Neji kembali lagi ke tempat Hinata.

"Kau tidak menelepon Dokter untuk kemari lagi, kan?" Ujar Hinata mengingat kejadian sebelumnya.

"Tidak."

Hinata lalu menaikkan kedua kakinya keatas sofa yang sedang ia duduki. Ia lalu melihat kembali kearah jendela yang berada di ruang tamu itu. Hujan tampaknya mulai jinak. Tetesan air yang tersisa dari luar terdengar hingga ke telinga Hinata. Ia lalu memainkan jarinya yang kurus itu di langit-langit.

"Hinata," Ucap Neji menyadarkan adiknya.

"Tenang, aku sudah baikkan."

Gadis itu lalu kembali bangun dari duduknya hendak menuju kamarnya yang tidak jauh dari tempat tadi. Neji hanya melihatnya berjalan perlahan-lahan.

"Permisi." Seru seseorang di balik pintu apartemen mereka. Neji yang langsung tahu siapa dibalik pintu itu segera membukanya cepat.

"Maaf merepotkan," Ujar Neji melihat tunangannya sudah berdiri di depan pintu apartemennya. Gadis itu menggeleng cepat.

"Mana Hinata?" Tanya gadis itu dengan nada khawatir.

"Didalam kamarnya." Neji lalu segera mengantarkan gadis itu ke dalam kamar Hinata yang sedang duduk terlamun di atas kasurnya yang berwarna biru muda.

"Hinata! Bagaimana kabarmu?" Tanya gadis itu.

"Tenten-nee, baik-baik saja." Jawab Hinata. Ia hanya berkutat dengan sebuah boneka kecil pemberian Neji dulu. Hinata lalu memandang Tenten lekat. "Pasti Neji yang memanggilmu."

"Tidak, aku sedang kebetulan lewat." Tenten lalu segera menatap Neji. Ya, mereka tidak mau kalau Hinata akan merasa bersalah karena sudah merepotkan Tenten.

Tenten lalu menyentuh pundak Hinata yang terlihat rapuh itu. "Aku besok mau pergi, kamu mau ikut?"

Hinata hanya memandang Tenten lalu memandang Neji. Hinata tampak berfikir, lalu ia mengangguk.

"Syukurlah. Aku akan menginap disini, jadi pagi hari kita langsung berangkat ya."

Tenten lalu segera berdiri dari duduknya dan keluar bersama Neji.

"Bagaimana?" Kata Tenten setelah keluar dari kamar Hinata.

"Tidak apa. Aku juga besok harus pergi kerja. Aku sudah terlalu lama mengambil cuti."

Neji lalu mengajak Tenten untuk ikut duduk bersamanya.

"Jangan cemas begitu. Aku akan menjaganya baik-baik." Tenten lalu menatap wajah Neji yang terlihat sangat cemas dengan Hinata.

"Kalau begitu, telepon aku segera saat terjadi sesuatu pada Hinata." Neji lalu tersenyum tipis.

Setelah makan malam siap, Tenten memasuki kamar Hinata. Dilihatnya gadis itu sedang tertidur dikasur besar yang berada di tengah ruangan.

"Hinata." Tenten menyentuh wajah Hinata, mencoba membangunkannya.

Hinata mulai mengerjapkan matanya perlahan-lahan. Dengan bantuan Tenten, Hinata lalu bangun dari tidurnya. Kepalanya masih terlalu pusing untuk berdiri. Tenten dengan sabar menahan Hinata untuk tetap duduk hingga kepalanya tidak pusing terus-menerus.

"Masih pusing?" Tenten menaruh telapak tangannya di dahi Hinata, merasakan suhu Hinata yang masih panas.

"Ada apa?"

Neji lalu masuk kedalam kamar Hinata. Ia menggantikan Tenten untuk menahan tubuh Hinata.

"Dia demam. Neji, bawa ke Rumah Sakit." Tenten lalu segera menyiapkan pakaian Hinata dan menggantinya pada Hinata yang masih terduduk lemah.

"Aku akan menyiapkan mobil dulu."

Tenten lalu membantu Hinata berdiri dan membantunya berjalan perlahan.

"Kau tidak apa, Hinata?"

Hinata hanya mengangguk.

Perjalanan mereka ke Rumah Sakit ditempat biasa Hinata dirawat ternyata sangat ramai hingga terjadi kemacetan.

"Sial, padahal sudah malam begini." Ucap Neji melihat jam digital di mobil-nya menunjukkan jam 8 malam.

"Neji, Rumah Sakit itu terlalu jauh. Cari saja Rumah Sakit didaerah ini." Saran Tenten. Neji hanya mengikuti perkataan Tenten dan memutar balikkan mobilnya menuju Rumah Sakit terdekat.


"Bagaiman keadaannya?" tanya Tenten saat melihat seorang Dokter laki-laki dengan beberapa dokumen di tangannya.

"Tenang saja. Dia baik-baik saja."

Dokter itu lalu duduk bersama Neji dan Tenten.

"Gadis itu, kenapa bisa keadaannya sampai seperti itu?" Tanya Dokter berambut hitam itu memulai pembicaraannya. Tenten melihat name tag yang berada di jubah putih Dokter itu. 'Sai' itulah tulisan yang tertera di papan kecil itu.

"Hm, begini.. Ada suatu kejadian yang tidak mengenakkan untuk-nya. Karena itulah, kondisi tubuhnya menurun, dan ia menjadi stress. Semenjak itulah, tubuhnya tidak menerima makanan." Tenten menjelaskan dengan perlahan, menggantikkan Neji yang tampaknya tidak menyukai topik pembicaraan itu.

"Menolak makanan?" Dokter itu tampak mulai tertarik dengan pembicaraannya. Ia lalu mendengarkan kembali penjelasan Tenten.

"Begitulah, tapi, akhir-akhir ini, Ia sudah bisa makan meski hanya sedikit. Tapi, karena tubuhnya lemah, jika demam sedikit, tubuhnya langsung tumbang."

Sai langsung menghela nafasnya. "Baiklah, ada baiknya gadis itu dirawat saja sampai kondisinya membaik. Karena tubuhnya tidak bisa tahan dengan suhu yang dingin saat ini, bisa saja gadis ini tumbang lagi dan akan membuat tubuhnya semakin melemah."

Tenten lalu menatap Neji menunggu jawabannya. Bagaimanapun, Neji adalah kakak sekaligus wakil Hinata selama Orangtua mereka sedang berada di luar.

"Kuserahkan padamu." Neji lalu mengangguk setuju. "Aku akan menelepon Ayah dan Ibu Hinata, tunggu sebentar."

Setelah Neji pergi menuju tempat yang agak jauh, Tenten langsung mengalihkan pembicaraan.

"O,ya Dok, aku dari tadi melihat-lihat banyak sekali Dokter muda disini. Apa mereka semua sedang training?" Tanya Tenten bingung.

Sai hanya tersenyum. "Kau tidak tahu? Ini Rumah Sakit Universitas, jadi isinya tentu saja kebanyakan dari mahasiswa-mahasiswi yang sudah lulus atau masih belajar. Jadi, tentu masih banyak yang muda. Yang sudah berumur, paling Kepala Dokter dan Senior-senior." Sai lalu tertawa kecil.

"Wah, hebat."

Neji yang kembali lalu mengajak Tenten pulang. "Baiklah, Tenten ayo kita kembali dulu mengambil pakaian Hinata."

"Kau sudah menelepon Paman Hiashi?" Tanya Tenten penasaran.

"Begitulah. Ia menyerahkan semuanya padaku."

"Baiklah, Dokter. Kami pamit dulu, kami titip Hinata padamu."

Setelah Tenten dan Neji berpamitan, Sai kembali masuk kedalam ruangan Hinata mengecek kembali keadaan gadis itu. Belum sempat ia mengecek tubuh gadis itu, Hinata tiba-tiba terbangun.

"Selamat malam, Hinata." Salam Sai menyadari gadis itu terbangun.

"Ini dimana? Kau bukan Dokter yang biasanya." Ujar Hinata bingung.

"Kakakmu membawa kemari karena Rumah Sakit biasanya terlalu jauh." Sai lalu duduk di pinggir kasur Hinata yang masih tetap diam.

"Salam kenal." Ucap Hinata.

Sai sedikit kaget mendengarnya. Ia tidak menyangka gadis yang memiiki paras wajah terkesan tertutup ini adalah gadis penurut. Ia lalu menggapai tangan Hinata dan mengecek infus di tangannya.

"Tanganmu kecil sekali." Ujar Sai kaget. Ini pertama kalinya Sai memiliki pasien dengan tubuh sekurus Hinata.

"Dimana kakak-ku?" Tanya Hinata pada Sai yang masih mengecek infusnya dengan seksama.

"Dia sedang mengambil pakaianmu."

"Maksudnya? Aku akan dirawat disini?" Tanya Hinata tampak tidak senang. Sai hanya mengangguk lemah.

Sai lalu berdiri kembali dan mengambil segelas air putih pada Hinata.

"Kenapa? Kau kecewa?" Tanya Sai.

"Tidak."

Hinata lalu mengambil gelas dari tangan Sai dan menegaknya perlahan hingga air itu habis.

"Syukurlah kau masih bisa minum." Sai lalu mengambil kembali gelas dari tangan Hinata. Wajahnya terlihat cukup senang dengan pasiennya kali ini.

"Ng. Hanya air yang bisa kumasukkan dalam tubuhku." Hinata lalu tersenyum tipis.

Sai yang terlihat tidak mau ikut campur lalu hanya duduk di sebuah bangku hijau disebelah Hinata.

"Kau kenapa masih disini?" Tanya Hinata bingung dengan sikap Dokter satu ini.

"Hm? Kau pasienku sekarang. Sudah tugasku menjagamu." Sai hanya tersenyum tipis dan mengambil sebuah buku untuk Ia baca.

Hampir 2 jam mereka diam, hingga ahirnya Neji dan Tenten kembali dan memasuki ruangan Hinata.

"Hinata!" Neji yang melihat adiknya sudah terbangun langsung menghampirinya.

"Kakak, aku akan dirawat disini?" Tanya Hinata. Neji hanya mengangguk lemah.

"Untuk kondisimu lebih baik, Hinata."

"Benar, Hinata." Tambah Tenten seraya memeluk Hinata.

"Ah Dokter, aku ingin mengurus administrasinya." Jelas Neji. Sai lalu keluar menuntun Neji meninggalkan Tenten dan Hinata.

"Baiklah, Hinata. Aku dan Neji akan tetap datang. Kau telepon kami kapanpun kau mau ya." Jelas Tenten.

"Maafkan aku ya menyusahkan kalian." Ucap Hinata merasa bersalah.

"Tidak! Kami tidak merasa kamu menyusahkan Hinata."

"Ung, hati-hati dijalan, Tenten-san." Hinata lalu tersenyum tipis.

Setelah pembicaraan panjang dengan Sai, akhirnya Neji dan Tenten kembali pulang mneinggalkan Hinata dan Sai lagi.

"Baiklah, kau panggil saja suster atau kau bisa menghubungiku kapanpun." Sai lalu memberikan secarik kertas dengan nomor yang tertulis diatasnya.

Hinata lalu mengangguk. Dilihatnya jam dinding di ruangan itu menunjukkan pukul 12 malam lewat. Setelah Sai keluar untuk pulang dari pekerjaannya. Hinata yang hanya berada sendiri di ruangan itu lalu mengangkat kakinya. Infusnya yang sudah dilepas oleh Sai tadi, membuatnya lebih leluasa untuk bergerak. Hinata lalu membuka pintu ruangannya. Dilihatnya koridor Rumah Sakit itu kosong. Tak terdengar langkah kaki yang berjalan. Bau Rumah Sakit yang khas sedikit membuat Hinata mual. Perlahan Hinata mulai berjalan pelan, tanpa Ia sadari tubuhnya masih terlalu lemah untuk berjalan dan tumbang.

"Ka...Kakak.." Ucap Hinata lirih yang sudah terkapar di lantai yang dingin membuat tubuhnya semakin melemah.

Tanpa Hinata sadari, ada seorang laki-laki yang berjalan ke arahnya dengan cepat dan langsung mengangkat tubuhnya.

"Siapa kau?" Tanya laki-laki itu datar. Jubah putihnya yang mengenai kulit Hinata cukup membuatnya hangat. Tahu gadis ini terlalu lemah, Dokter itu langsung mengangkat gadis itu dan menaruhnya perlahan kembali ke atas kasurnya.

Dokter berparas tampan itu lalu mengecek name-tag di depan ruangan itu 'Hyuuga Hinata'. Tertulis nama itu didepan kamar pasien bernomor 151, dibawahnya tertulis nama Dokter yang sudah sangat Ia kenal. Dokter itu lalu langsung menelepon Sai yang menjadi tanggung jawab atas pasien ini.

"Sai, dimana kau?" Tanyanya tidak sabaran.

"Aku baru saja pulang, masih ada di jalan. Tumben sekali kau meneleponku. Ada apa?" Tanya Sai santai.

"Kembali ke Rumah Sakit. Aku tidak salah bukan jika kubilang pasienmu itu bernama Hyuuga Hinata?" Jelas Dokter itu cepat.

"Kenapa kau tahu? Jangan katakan terjadi sesuatu padanya."

"Jangan banyak bicara! Cepat kemari. Aku tidak bisa menungguinya, aku masih banyak kerjaan!"

Tanpa menunggu balasan Sai, Dokter itu langsung mematikan handphonenya.

"Kau siapa?" Tanya Hinata yang mulai terbangun.

"Gaara." Jawab Dokter itu pelan.

Hinata hanya melihatnya lekat hingga akhirnya Hinata menyadari bahwa laki-laki inilah yang Ia lihat saat hujan tadi sore. Hinata lalu menunduk dalam dan kembali turun dari kasurnya.

"Hei! Jangan kemana-mana!" Seru Gaara yang langsung menarik lengan Hinata menghentikkan pergerakan gadis itu.

Bukannya tetap menahannya, Gaara langsung melepaskan tangannya. Tiba-tiba tubuhnya terasa takut menyentuh tangan Hinata yang terlalu kecil, rasanya Gaara takut bahwa tadi Ia meretakkan tulang Gadis itu. Dengan cepat, Gaara langsung mengecek kembali tangannya. Berusaha menyentuh Hinata tanpa menggunakkan kekuatan sedikitpun, Gaara memeriksa tulang Hinata.

'Untunglah tidak kenapa-kenapa' Ucap Gaara dalam hati lega.

"Tetaplah di atas kasurmu. Selama Sai belum datang, aku yang akan bertanggung jawab." Gaara lalu menghela nafasnya panjang. Ia terus melihat Hinata yang kembali menaiki kasurnya.

"Gaara!" Seru Sai saat memasuki ruangan Hinata. Tampak nafas Dokter itu memburu. Ia lalu kembali memeriksa Hinata.

"Tadi dia berjalan keluar koridor, dan terjatuh pingsan." Jelas Gaara yang langsung berdiri hendak keluar.

"Kau tidak apa, Hinata?" Tanya Sai yang langsung mengecek tubuh Hinata.

"Tidak." Hinata hanya menggeleng lemah.

"Gaara, aku ingin bicara denganmu. Tunggu sebentar, ya Hinata."

Sai lalu menarik Gaara menuju keluar ruangan Hinata dan mulai berbisik.

"Kenapa bisa begitu?" Tanya Sai khawatir.

"Aku tidak tahu. Aku menemukannya sudah tersungkur di lantai. Memang gadis itu sakit apa?"

"Dia hanya memiliki tekanan dan tubuhnya menolak makanan." Sai lalu duduk di sebuah bangku depan ruangan itu diikuti Gaara.

"Gaara, aku bisa minta tolong padamu?" Tanya Sai melanjutkan.

"Apa?"

Sai lalu tersenyum penuh arti. "Sebenarnya besok aku harus pergi ke Rumah Sakit di luar kota bersama Senior Shuzune. Tadi baru saja Ia meneleponku." Sai lalu menyentuh lengan Gaara.

"Lalu? Apa maksudmu hah?" Ucap Gaara mengetahui gerak-gerik aneh temannya ini.

"Kau kan sama-sama Dokter bagian dalam sepertiku. Kau juga sedang tidak memegang pasien, bukan? Jadi, aku menyerahkan Hinata padamu, ya?"

Gaara langsung berdiri dan melepaskan genggaman Sai. "Aku tidak mau!" Gaara langsung beranjak pergi.

"Tunggu Gaara! Apa kau tega? Ayolah."

Gaara tampak berfikir sebentar dan menatap kembali ke ruangan gadis itu.

"Terserahlah!" Gaara langsung mendengus kesal dan meninggalkan Sai.

"Terimakasih Gaara! Aku akan membawakan oleh-oleh!"

Setelah Gaara pergi, Sai lalu langsung kembali memasuki ruangan Hinata.

"Hinata, aku akan memasang infusmu lagi, agar tubuhmu juga dapat nutrisi. Kau sudah siap?" Ujar Sai seraya memakai sarung tangan setelah mencuci tangannya.

"Ng."

"Rileks saja, Hinata." Sai lalu menyiapkan alat-alat untuk infus dan dengan perlahan memasangkan infus tersebut pada tubuh Hinata.

Setelah beberapa menit, infus tersebut selesai dipasang dan Hinata mulai kembali tertidur.

"Sudah?" Tanya Gaara yang kembali lagi ke ruangan Hinata.

"Iya."

"Dia bukan anorexia, kan?" Tanya Gaara memastikan.

Sai hanya menggeleng. "Tidak, mungkin orang yang melihatnya akan berfikir begitu. Tapi dia tidak."

Gaara lalu berjalan menuju gadis itu, penasaran apa sesuatu yang membuat gadis ini bisa tertekan sampai seperti ini.

"Penasaran? Aku juga." Ucap Sai tampak seperti bisa membaca pikiran Gaara.

"Yang pasti ini bukan orphan disease kan?" Ucap Gaara.

"Tentu tidak."

Sai lalu mengambil sebuah lembaran kertas berwarna putih dan menyerahkannya pada Gaara.

"Ini dokumen yang kemarin kau minta. Ngomong-ngomong kau tidak pulang? Karena gadis ini sudah tertidur, aku rasa aku pulang sekarang, untuk siap-siap pergi besok."

Sai lalu kembali memakai jaketnya dan membereskan isi tasnya.

"Aku menginap di Rumah Sakit hari ini. Yah, aku akan menjaganya karena sekarang dia tanggung jawabku selama kau pergi." Gaara kemudian duduk di sebuah sofa panjang dan melipat kedua tangannya seraya melihat Sai yang masih membereskan alat-alat serta barang kerjanya.

"Bagus. Tumben sekali kau menurut begini. Baiklah, aku pergi dulu." Sai tersenyum tipis dan segera keluar dari ruangan itu, mencegah Gaara yang akan berubah pikiran nantinya.

Sudah pukul 2 malam Gaara masih terjaga. Terkadang ia membuka handphone-nya yang berwarna silver itu, dan langsung mendengus kesal melihat tidak ada pesan satu pun. Matanya lalu tertuju pada Hinata yang tertidur pulas. Gaara lalu menatapnya lekat hingga akhirnya dia ingat sesuatu. Gadis itulah yang Ia lihat kemarin sore saat hujan lebat didepan apartemennya. Mengingat hal itu Gaara sedikit kesal. Ia lalu beranjak dari duduknya dan mengambil segelas air untuk dirinya yang mulai bosan berada di ruangan itu.

"Kau tidak tidur?"

Gaara langsung membalikkan tubuhnya. Dicarinya pemilik suara itu. Gaara melihat gadis cantik itu terbangun dari tidurnya.

"Ada apa? Kau haus?" Gaara lalu mendekatkan dirinya ke arah Hinata yang mencoba bangun dari tidurnya. Gadis itu menggeleng lemah.

"Mana Sai-sensei?" Hinata memutar kepalanya pelan mencari lelaki yang masih ada bersamanya sebelum ia tertidur.

"Dia ditugaskan, jadi sampai ia kembali aku yang akan menjadi penanggung jawabmu."

Gaara lalu menyerahkan gelas berisi air tadi kepada Hinata. Hinata menolaknya halus.

"Terimakasih,"

Merasa keadaan canggung, Gaara buru-buru kembali ke atas sofanya setelah menaruh kembali gelas tadi diatas sebuah meja. Tempat Hinata dirawat merupakan kelas terbaik di Rumah Sakit itu. Maka dari itu, ruangan tersebut memiliki perabotan yang lumayan cukup untuk pasien. Hinata tahu, Neji tidak akan mau meninggalkan Hinata diantara banyak orang yang berada dalam satu ruang.

"Kau bisa makan?" Tanya Gaara membuka pembicaraan dalam suasana mati tadi.

"Bisa." Hinata mengangguk. Gaara lalu membuka tas kerja miliknya dan mengeluarkan sebuah yoghurt strawberry dengan ukuran mini bentuk cup.

"Makan ini, kau harus makan walau sedikit." Gaara lalu membukanya dan menyerahkannya pada Hinata.

"Terimakasih."

Perlahan demi perlahan Hinata mulai memakannya. Gaara yang duduk di sebelahnya hanya melihat gadis itu. 'rapuh' itulah yang Gaara pikirkan terhadap gadis ini.

"Bisa dimakan? Besok aku akan membawa makanan yang lebih mudah dicerna untuk tubuhmu." Gaara kemudian kembali berdiri dan mengambil sebuah buku kecil. "Catatlah semua makanan yang kau inginkan."

Mendengar hal itu, Hinata hanya tersenyum dan langsung tertawa kecil. "Baru kali ini ada dokter yang meminta begini padaku."

Gaara hanya diam. Selesainya Hinata menghabiskan yoghurt tadi, Gaara kembali mengecek keadaan Hinata.

"Untung demam-mu sudah turun. Tidurlah lagi." Gaara lalu menyelimuti Hinata dan kembali mematikan lampunya. Merasa Hinata tidak akan terbangun lagi, Gaara langsung keluar dari ruangan tersebut dan kembali ke ruang kerjanya.


"Selamat pagi, Hinata!" Seru Tenten saat masuk kedalam kamar perawatan Hinata.

"Tenten-nee, selamat pagi."

"Syukurlah kau sudah membaik." Tenten langsung memeluk Hinata yang masih terduduk diatas kasurnya. Neji yang datang belakang ikut memasuki keruangan tersebut dan bergantian memeluk adiknya itu.

"Kau baik-baik saja sekarang?" Tanya Neji. Hinata langsung mengangguk.

"Selamat pagi. Aku penanggung jawab Hyuuga Hinata sekarang, namaku Gaara. Dokter bagian dalam. Salam kenal." Gaara yang sudah berada di ruangan tersebut langsung membungkuk.

"Ah begitukah? Saya mohon bantuan anda." Ujar Neji.

"Aku beli minum dulu, ya." Tenten lalu pamit pada Neji dan segera keluar. Neji lalu segera duduk disebelah Hinata dan tersenyum senang melihat adiknya kembali segar.

"Sepertinya kau lebih ceria sekarang."

"Ng! Soalnya aku mau cepat-cepat mencari kalung itu." Hinata tersenyum seraya menatap Neji.

"Iya. Kau juga cepatlah lekas sembuh dan bisa kembali ke Sekolah ya." Neji menepuk kepala Hinata pelan.

"Kakak, kau tidak kerja lagi hari ini?" Terlihat raut wajah Hinata yang merasa tidak enak hati. Neji buru-buru menggelengkan kepalanya.

"Tidak, aku baru selesai mengajar."

"Begitukah?" Hinata lalu tersenyum kecil.

"Hinata, ini minuman untukmu. Kau suka bukan?" Seru Tenten yang baru kembali seraya menyerahkan sebuah kotak minuman bergambar sapi didepannya. Hinata meraihnya dengan senang.

"Terimakasih."

"Kapan kau kembali ke Sekolah, Hinata?" Tanya Tenten cemas. Hinata hanya menatap Tenten lesu.

"Anda Guru?" Tanya Gaara yang mencoba mengalihkan pembicaraan. Mendengarnya Neji hanya mengangguk.

"Ya," Jawab Neji.

"Padahal dia ini lumayan nakal." Sambung Tenten jahil. Hinata yang mendengarnya hanya tertawa kecil.

"Benar, padahal kalau jadi Guru, Naruto-kun lebih..." Tiba-tiba ucapan Hinata terhenti.

Neji dan Tenten yang mendengarnya hanya terdiam seraya menunduk. Keadaan mulai canggung setelah nama 'Naruto' keluar. Gaara yang mendengarnya hanya melihat pasangan kakak beradik itu dengan datar seraya bertanya-tanya. Belum sempat Gaara keluar, tiba-tiba saja Hinata terbatuk-batuk dan langsung pucat pasi.

"Hinata? Kau kenapa?" Seru Neji. "Hei dokter!"

Gaara dengan cepat langsung mengangkat Hinata dari kasurnya dan membawanya ke toilet.

"Muntahkan, Hinata." Ujar Gaara pelan. Hinata buru-buru melaksanakan perintah Gaara. Tubuhnya langsung lemas seketika.

"Maaf ya, Niisan." Ucap Hinata lirih.

"Tidak apa, Hinata."

Gaara hanya bertanya-tanya dalam hati apa yang terjadi gerangan. Ia membiarkan Neji dan Hinata di ruangan tersebut dan menunggu diluar hingga akhirnya Neji kembali keluar.

"Maaf, ya Dok." Neji yang baru kembali dari ruang rawat Hinata lalu membungkuk dihadapan Dokter satu ini.

Gaara hanya menggeleng. "Ini salahku, harusnya aku memberi dia makanan yang lebih mudah dicerna."

Neji hanya tersenyum tipis, dahinya mengerut. "Bukan salahmu."

"Sebenarnya, gadis itu sakit apa?" Gaara lalu menatap Neji yang langsung menundukkan wajahnya dalam.

Neji kembali tersenyum tipis dengan seraut wajah kecewa. "Meski hanya sebuah cerita, tanyakanlah. Yah, sekalian minta maaf."

Gaara hanya mengikuti perintah Neji dan kembali memasuki ruangan itu setelah akhirnya Tenten kembali.

"Bagaimana Hinata?"

Neji hanya menunduk. "Baik-baik saja." Ia lalu duduk di bangku panjang sebelah pintu menunggu yang berada di dalam ruangan Hinata kembali keluar.

Gaara mulai melangkahkan kakinya menuju kasur Hinata yang masih terlungalai lemas di atasnya.

"Ada apa?" Gaara mendelik ke arah Hinata.

"Tidak." Hinata hanya terseyum tipis. Gaara lalu mulai mengambil kursi kecil dan menaruhnya disebelah ranjang Hinata. Ia lalu duduk dan melipat kedua tangannya didepan dadanya.

"Sebenarnya kau sakit apa?" Gaara menatap Hinata yang menerawang jauh.

"Neji-niisan dan Tenten-nee, aah.. akhirnya aku hanya membuat mereka khawatir, kan?" Hinata lalu tersenyum kecil dan menutup kedua matanya.

"Maksudmu?" Gaara lalu menatap gadis itu dengan seksama.

"Neji-niisan bukan kakak kandungku, dia anak angkat di keluargaku, anak dari pamanku. Semenjak dia kuliah, dia harus pindah keluar kota. Sedang, semenjak Ibu-ku tiada, Ayah jadi harus lebih bekerja keras. Agar tidak membuat mereka khawatir, aku berada di rumah sendirian." Hinata kembali membuka matanya dan menjadi lebih serius.

"Pada saat musim dingin, keadaan tubuhku semakin menurun. Pada saat itu, kak Neji yang datang menjengukku, menemukan aku sudah pingsan di rumah. Aku dilrarikan kerumah sakit." Hinata lalu tersenyum dan menatap Gaara yang masih setia mendengarnya. "Pada saat itu, semua keluargaku berkumpul. Aku bersyukur akhirnya semua dapat berkumpul, tapi.." Hinata lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.

"Tapi apa?" Tanya Gaara penasaran.

"Mereka bilang, 'Maafkan kami'. Kenyataan bahwa aku membuat repot mereka membuat keadaan tubuhku menurun dan kembali memasuki Rumah Sakit."

"Berapa lama?"

"2 tahun. Tapi, sejak ada seseorang, keadaan tubuhku membaik."

"Seseorang?"

Hinata lalu kembali tersenyum. "Ya, seseorang. Pemilik kalung yang kucari. Dia orang yang seperti air. Meski bentuknya berbeda, tetap saja yang dialirkan sama saja. Orang yang membuatku mau terus menjalani hidup. Namanya Naruto, orang yang seperti dia itu jarang ada." Jelas Hinata dengan tawa kecil.

"Kau menyukainya?" Koreksi Gaara tepat sasaran.

"Ng. Dia pasien juga, dirawat karena penyakit lambung. Dia mengajarkan aku untuk terus melakukan apapun yang kusukai. Orang yang kukagumi. Dan, dia juga adalah teman kak Neji saat SMU. Tetapi karena 'suatu' kejadian, aku... Menyakitinya." Hinata mulai menautkan kedua alisnya wajahnya tampak ingin menangis.

"Tapi bukan berarti kau menyakitinya sepenuhnya, kan? Buktinya kau bisa melakukan hal yang kau sukai dengannya." Gaara lalu menatap Hinata yang sedikit kaget dengan pernyataan Gaara. Hinata lalu tersenyum.

"Iya! Berkat dia aku bisa makan. Kami melakukan hal-hal, banyak sekali hal yang menyenangkan!" Seru Hinata senang mengingatnya.

Gaara lalu berdiri. "Lalu apa hubungannya dengan kalung?"

Hinata yang mendengarnya hanya terkesiap, ragu untuk menjawabnya. "Hal itu.. Bagaimanapun, aku harus menemukan kalung itu. Karena, serpihan itu.." Mengerti hal itu merupakan hal tabu bagi sang gadis, Gaara menghela nafasnya panjang.

"Istirahatkan dirimu agar bisa menemukan kalung itu." Gaara lalu membukakan kotak minuman yang tadi dibeli Tenten dan menyerahkannya pada Hinata. "Kalau air, masih bisa masuk tubuhmu, kan?"

Hinata lalu menerimanya dan tertawa kecil. "Iya. Terimakasih."

Gaara lalu kembali keluar. Ia menemukan Neji yang terlihat lesu sedang duduk diatas bangku dan meninggalkannya setelah membungkukkan tubuhnya. Dia memasuki ruang kerjanya dan merapihkan dokumen-dokumen yang berantakan di atas meja kerjanya. Pikirannya masih terpaku dengan gadis yang menjadi pasiennya sekarang. Sebenarnya hal apa yang membuat gadis itu ingin bersikeras menemukan seutas kalung? Bodoh? Tidak. Gaara tidak berfikir itu bodoh. Yang pasti, Gaara sedikit penasaran dengan pasiennya kali ini.

"Hyuuga Hinata." Ia menghela nafasnya panjang. Dalam pikirannya terkecamuk bahwa pasien kali ini ia yakini akan merepotkannya. Gaara kembali duduk diatas bangkunya dan merogoh saku di dalam kemeja dokternya. Tidak ada pesan satupun untuknya selain dari Sai yang hanya membuat kepalanya semakin memanas. Gaara kembali menutup matanya dan mengingat cerita Hinata. "Hn, Merepotkan.''


Selesaii Chapter 1 -nya muahahaha

gimana? aneh nggak? TTATT buat fic ini ngarang banget. pengen coba buat fic diluar konoha/shinobi/dll.

sankyuuuu buat udah baca. review kalian akan sangat membantu untuk next chapter semuanyaaa love youuuu semuaaa (suki)/

review ya review uhuu~