Dari Sudut Batas
A Magi Fanfiction
Written by Gokudera J. Vie
Magi © Shinobu Ohtaka
Di depan matanya adalah sebuah sekat tembus pandang, menghalanginya untuk merentengkan tangan dan melangkah maju, menahannya di sebuah sudut yang gelap dan tak kenal ampun. Judal tidak mengerti kenapa dia tak bisa bebas dan membiarkan hatinya terbang menuju dunia yang lebih bercahaya, dia hanya tahu bagaimana meninta dunia bercahaya itu menjadi segelap dunia kecilnya.
Judal tidak mengerti perbedaan antara apa yang salah dan apa yang benar meski dia mengenal konflik, konfrontasi, dan paradox seolah mengenal telapak tangannya sendiri. Kenapa? Karena dunia ini dipenuhi oleh hal-hal kejam penuh tanda tanya yang menghimpitnya di tengah, menyudutkannya ke tanah dan mencekiknya dengan gumpalan egoisme.
Judal telah akrab dengan hitam dan gelap, teman sejatinya di dunia sempit tempatnya terhimpit. Suatu hari dia berbaring dengan bosan, menatap gelap dan absurd, dan tiba-tiba langit-langit itu retak, retakannya meluas menghancurkan sekatnya dan dia menatap biru.
Pemandangan baru itu mengirim perasaan baru dan haru, bahagia sampai dia ingin melompat dan tertawa sampai tenggorokannya perih dan serak, meraih biru itu dan mendekapnya begitu erat hingga melebur menjadi gelapnya, menjadikannya miliknya.
Kemudian dia mati. Retakan itu kembali menyatu dan mengungkungnya. Judal berteriak, mencoba menghancurkan sekat itu dari balik kesadarannya, dengan putus asa mencari jejak biru yang bersisa. Dan para Rukh datang menawarkan jawaban, mengelilinginya dengan cahaya mereka dan melukis jiwanya dengan sebuah energi harapan.
Judal terbangun, mendapati dunia kembali tidak berwarna, menyisakan abu-abu dan cahaya para Rukh yang seolah menjadi penunjuk jalan dengan birunya berada di ujung pelangi cahaya. Kemudian dia melangkah di bawah tuntunan para burung-burung, menulikan telinganya dari teriakan dan jeritan, memfokuskan rubynya dalam pencarian warna. Dan dia menangkapnya. Biru itu begitu mencolok sebagai satu-satunya warna di dunia Judal, satu-satunya yang bisa melepaskannya dari jeratan tangan-tangan berlumur lumpur, satu-satunya suara yang menghapus bisikan manis penuh racun dari mulut-mulut yang memakan darah dan daging sejenisnya.
Judal ingin memilikinya, tak ingin membaginya, terkurung bersamanya, jadi dia menyingkirkan semua yang menghalanginya. Di matanya mereka semua hanya gumpalan hitam tak berbentuk yang tak jauh berbeda dari monster-monster ciptaan orang-orang yang mengurungnya. Bahkan makhluk yang disebut-sebut sebagai raja dari tujuh lautan juga tidak bisa melukis dunianya, karena makhluk itu juga sudah tertinta oleh hitam pekat.
Judal menatap tidak mengerti ketika biru itu mengacuhkannya dan lebih mempedulikan mereka yang tidak dipandang oleh Judal. Ah, tapi Judal bisa merasakan hitamnya terkikis saat sepasang manik biru tajam terfokus padanya. Dan di situlah dia menyadari, dia tidak peduli apa bentuknya, dia menginginkan biru itu. Sekali pun hanya berupa tatapan tajam dari sebuah sudut batas, karena ternyata Judal masih belum bisa melangkahkan kaki dari dunia kecilnya, dibatasi oleh sekat bernama salah, kontradiksi, inferior, dan rasa takut.
Biarkanlah Judal terbakar dalam api merah senada warna matanya, biarkanlah Judal terluka dan berdarah dan sekarat, tapi jangan biarkan merahnya kehilangan biru itu untuk sejenak. Karena ketika biru itu menghilang, berbalik dan pergi, tak terlihat dari sudut batas dunianya, maka Judal kembali hitam dan tenggelam dan tercekik oleh keburukan dunia.
# End #
