IS THAT LOVE?
Dramione Fanfiction

.

Pairing: Draco M. & Hermione G.
World: Before War
Genre: Romance, Adventure, Sacrifical, Vulnerable

.

SUMMARY
Taruhan itu. Taruhan yang berhadiah Perpustakaan Terbesar se-Britania Raya itu membuat Hermione harus bersikap manis dan memikat hati Draco. Semua berjalan lancar seperti yang diharapkan Hermione. Tapi satu yang tidak berjalan lancar... / RnR / Jika sudah membaca mohon review.

.

Chapter 1.


"Crucio," seru seorang pria tanpa hidung. Matanya menusuk, menyalang kearah tubuh pria pirang dihadapannya yang sedang terkapar tidak berdaya.

"Tak berguna," desisnya.

"Kau mengabaikan perintahku."

Pria berambut pirang itu meringis. Ia masih menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh crucio yang sudah berulang kali dilontarkan Voldemort.

Rasa sakitnya tidak bisa tertahankan. Efek mantra crucio langsung masuk menembus kulitnya seakan ingin mengoyak apapun yang mereka temui.

"Pergilah, Draco. Sebelum aku kehabisan kesanaranku dan mulai menyiksamu," ujar Voldemort memukul udara dengan geram.

Draco bangkit dengan bertumpu pada dinding disebelahnya. Dipegangnya dadanya yang masih menimbulkan rasa nyeri yang mendalam menahan cruciatus yang menghantam telak didadanya.

Ia menaiki tangga Malfoy Manor dengan tertatih-tatih menuju kamarnya setelah ia melihat Voldemort menyeringai menatap kepergiannya. Ia menduduki tepi kasurnya yang menghadap jendela. Dilihatnya keadaan Malfoy Manor yang semakin kacau, memburuk. Taman-taman indah untuk menyegarkan mata sudah dihancurkan demi membangun tempat peristirahatan Pelahap Maut yang berjaga diluar.

Voldemort adalah orang yang paling dibencinya.

Sebuah ketukan mengintrupsinya. Seorang wanita berambut pirang berliris hitam memasukinya dengan keadaan kacau. Kantung matanya tercetak jelas dibawah matanya, bahkan matanya masih terlihat basah.

"Jangan berlebihan, mum," ujar Draco mengelus tangan ibunya yang sedang memeluknya dari samping.

"Berlebihan katamu? Pangeran Kegelapan takkan membiarkanmu hidup jika ia tahu kau tidak bisa membunuh Dumbledore," bisik Narcissa tersedu-sedu.

"Jika kau tidak tahan dengan semua masalah ini, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskanmu, aku akan menukar nyawaku agar kau mendapatkan kebebasanmu, Draco."

Draco menggeleng dan kembali memeluk ibunya yang sedang menangis. "Aku lebih menderita jika melihatmu mati karnaku," katanya

"Kapan kau kembali ke Hogwarts?" Tanya Narcissa melepaskan pelukannya dengan menyeka air matanya yang masih menetes.

"2 hari lagi aku akan kembali ke Hogwarts" jawabnya santai.

"Jaga dirimu baik baik. Aku takkan memaksamu untuk membunuh Dumbledore atau tidak, tapi lakukanlah yang terbaik menurutmu," pinta Narcissa.

Suara hentakan kaki terdengar lagi oleh Draco dan ibunya. Tak lama kemudian derap langkah kaki itu semakin terdengar jelas ditelinga keduanya. Draco menatap kearah pintu mencoba menerka-nerka siapakah yang akan masuk dan mengasihaninya setelah itu.

"Draco!" Seorang gadis berambut blonde bergelombang tiba tiba membuka pintu kamar Draco dengan kasar dan berhambur kepelukan Draco.

"Jennifer," seru Draco

Jennifer memeluk erat saudara jauhnya. Draco sudah lebih dari sekedar saudara baginya, pemuda itu selalu mendengarkan curahan hatinya dikala sedih, pemuda itu selalu memberikan solusi brilian yang tak pernah terpikirkan olehnya, pemuda yang bersifat dingin selama bersekolah itu ditambah menjadi pria angkuh yang tak berperasaan.

"Jagalah diri kalian selama di Hogwarts. Aku akan menemui Lucius," ujar Narcissa lalu meninggalkan kedua insan manusia itu saling bertatapan bisu.

"Apa yang telah dilakukan Pengeran Kegelapan kepadamu?"

"Sepertinya ia berusaha untuk memantaumu melewatiku."

"Ini seperti neraka. Lebih dari neraka. Pria tak berhidung itu memperlakukanku selayaknya pembantu yang bisa ia suruh apapun yang ia mau," gerutu Draco kesal.

"Kita masih memiliki harapan, Draco, kau tidak boleh langsung menerima tugas Pangeran Kegelapan tanpa memikirkannya terlebih dahulu, kau harus menerima konsekuensinya," ujar Jennifer.

"Apa yang dapat kulakukan? Dia pasti akan menghukumku atau bahkan membunuhku jika aku tidak mengikuti perintahnya."

"Jika masa depanku selalu seperti ini, aku lebih memilih untuk tidak dilahirkan didunia ini," lanjut Draco tiba tiba yang membuat Jennifer membulatkan matanya.

Jennifer terdiam.

"Jadi, kau menyesal telah dilahirkan dikeluarga ini?" Tanya Jennifer.

"Aku menyesal mempunyai ayah seperti Lucius, aku menyesal mempunyai bibi sepeti Bella, aku menyesal lahir dikeluarga Malfoy walaupun aku mempunyai harta yang berlimpah, tapi aku tak menyesal mempunyai ibu seperti Narcissa. Dialah malaikatku," kata Draco sedikit tersenyum.

"Itulah yang dinamakan kasih sayang seorang ibu. Karena itu kau bertahan hidup, karena kau mempunyai rasa kasih sayang dan rasa cinta."

"Cinta dan kasih sayang antara ibu dan anak, aku percaya. Tapi jika cinta antara wanita dewasa dan pria dewasa... Hanya mitos kurasa. Itu hanyalah dusta, diciptakan oleh orang kejam dan diterima oleh orang bodoh."

"Kau salah. Cinta-lah yang membuatmu memperjuangkan sesuatu, cinta-lah yang membuatmu tetap hidup demi Cissy. Kau bertahan hidup demi ibumu, demi seorang wanita. Kau pasti akan menemukan seseorang lagi yang akan membuatmu bertahan hidup," kata Jennifer. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia bisa berkata sedemikian bijaknya terhadap orang yang putus asa seperti Draco.

"Kurasa kau perlu istirahat, aku akan pergi berlatih dengan Dolohov lagi." Kemudian Jennifer meninggalkan Draco yang sedang berkecamuk dengan pikirannya

"Semoga yang kau katakan terbukti, Jane." Draco bergumam sambil menghela napasnya berat.

Dia pun melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk meredakan masalah masalahnya sesaat. Ia menyalakan keran bath up dan menuangkan sari Vanilla kedalamnya yang membuatnya beraroma vanilla, seperti harapannya. Air di bathup bergetar, menandakan adanya orang yang sedang berendam.

Draco memejamkan matanya perlahan. Siapakah orang itu? Yang akan menerimanya apapun yang terjadi, apapun keadaannya.


Hari ini adalah hari keberangkatannya ke Hogwarts. Perasaannya... Ia sendiri seperti tidak bisa merasakan apapun lagi. Kesenangan yang biasanya ia rasakan di Hogwarts kini sudah mendadak hilang.

Perasaannya telah mati.

Tibalah dia didepan Hogwarts Express. Ia memperhatikan sekitar-nya sejenak. Kebanyakan dari mereka memakai baju santai, casual. Mungkin hanya dirinya yang berpakaian formal seperti ini.

Dia tidak akan berangkat ke Hogwarts bersama Jennifer. Ia sengaja karena Jennifer masih memiliki urusan dan lain di Malfoy Manor yang Draco tidak ingin tahu dan ikut campur

Sambil membawa tasnya ia berjalan menaiki tangga Hogwarts Express. Tahun ini adalah tahun ketujuhnya sebagai siswa Hogwarts, sekolah sihir terbaik se-Britania Raya. Setelah tahun ketujuhnya di Hogwarts selesai, dia akan mengabdi sepenuhnya kepada Voldemort. Rasanya ia tak mau cepat-cepat menamatkan tahun ketujuhnya.

Draco segera mencari kompartemen kosong yang biasa ia tempati bersama Pansy, Theo, Blaise, Crabbe dan Goyle. Draco menempatkan tas-nya di tempat barang bagian atas.

"Quibbler... Quibbler..."

Ternyata Luna Lovegood, siswi Ravenclaw berambut pirang sedikit keriting. Semua orang menyebutnya gadis aneh. Selalu memakai sepatu saat tidur, mempercayai takhayul yang beberapa orang bahkan tidak pernah mendengarnya. Ayahnya, Xenophillius, bekerja sebagai karyawan di majalah Quibbler dan memanfaatkan anaknya yang besekolah untuk mendapat tambahan uang.

"Um.. Malfoy. Quibbler?"

Draco mengangguk singkat lalu Luna memberikan Quibbler dan Draco pun membayarnya.

Ia membuka halaman pertama untuk membaca berita apa saja yang ia lewatkan selama di-siksa Voldemort di Malfoy Manor.

'Pangeran Kegelapan membantai salah satu Pelahap Maut'

Begitulah kalimat pertama yang tertera di halaman Quibbler. Dengan seksama ia membaca artikel dibawahnya.

'Pangeran Kegelapan akan mengambil alih dunia. Dia yang-namanya-tak-boleh-disebut kini sedang membuat dunia sihir gempar. Pasalnya, ia baru saja menyiksa seorang Pelahap Maut karena tidak menjalankan tugas mulianya. Belum jelas apa tugas yang diberikan oleh Pangeran Kegelapan kepada Pelahap Maut itu. Dikabarkan Pelahap Maut yang menjadi korban siksaan Pangeran Kegelapan itu kini sedang menempa pendidikan disekolah Sihir Terbaik Didunia: Hogwarts School Witchcraft and Wizardry. Diketahui ia sedang menjalani tahun ketujuh dan terpilih untuk menghuni asrama Slytherin. Tidak ada informasi lain.

Masih belum ada klarifikasi tentang hal ini oleh sang Kepala Sekolah, Albus Dumbledore. Kini pihak sekolah masih bungkam dan enggan memberikan sepeser informasi. Sekian dan apabila anda ingin menikmati berita lain silahkan halaman selanjutnya...'

4... Kementrian Memperketat Pengawasan Penyihir Dibawah Umur
7... Albus Dumbledore Menolak Melakukan Wawancara Bersama Majalah Quibbler dan Yang Lainnya
12... Pelahap Maut Semakin Gencar Melancarkan Serangan
14... Seluruh Sekolah Sihir di Dunia Memperketat Pengawasan Mereka dan Membatasi Orang-Orang yang Memasuki Kawasan Mereka
16... Pelajar Beauxbatons Dipulangkan Kerumah Masing-Masing

Draco menutup kasar Quibbler yang baru saja ia beli. Tentu yang dimaksud oleh Quibbler adalah dirinya. Tapi mereka tak tahu. Tak ada yang tahu bahwa Draco Lucius Malfoy adalah seorang Pelahap Maut kecuali teman teman Pelahap Maut-nya yang bersekolah di Hogwarts.

Derapan langkah kaki terdengar oleh telinga Draco. Itu Pansy, Blaise, Theo, Crabbe dan Goyle datang.

"Kami mencarimu di kompartemen ini, tapi kau tidak ada. Ku pikir kau mencari kompartemen lain, maka dari itu juga kami mencarimu," kata Blaise panjang lebar.

"Lalu, kami berniat kembali ke kompartemen ini, tahunya kau sudah disini," lanjut Pansy duduk didepan Draco

"Kau terlihat lesu, Mengapa?"

"Lihatlah headline Quibbler bulan ini," jawab Draco mengusap wajahnya kasar.

Teman temannya pun memandangnya prihatin setelah membaca headline yang tertera dihalaman pertama majalah Quibbler. Mereka tak bisa berkata apa-apa selain menatap Draco prihatin. Mereka adalah Pelahap Maut, sebenarnya, anak dari Pelahap Maut. Draco terkadang merasa iri karena mereka—teman temannya saat ini— belum memiliki tanda kegelapan. Pergelangan mereka masih mulus tanpa gelombang-gelombang hitam yang menghiasi. Tapi Pangeran Kegelapan pasti memberikan tanda kegelapan kepada mereka entah kapan waktunya.

Waktu telah berganti. Pagi menjadi malam, sinar matahari yang tadinya menyinari kompartemen-kompartemen kini digantikan oleh sinar rembulan yang redup. Sampailah juga Draco kerumah keduanya. Hogwarts.

Draco langsung mengambil barangnya, keluar dari Hogwarts Express diikuti teman-temannya dari belakang. Ia melangkahkan kakinya santai menuju ruang Slytherin. Beberapa dari gadis yang merasa bahwa Draco mengenalnya akan menyapanya dengan wajah memerah dan senyum malu-malu yang bisa membuat orang ingin mengeluarkan isi perutnya seketika.

Draco membuka pintu kamarnya, kamar yang sangat ia rindukan. Tempat ia dan teman temannya berbagi canda tawa. Jangan salah, Slytherin juga memiliki selera humor, mereka tidak selalu arogan dan berlagak merekalah yang paling hebat walau kenyataannya memang begitu. Ia lalu mengganti bajunya menjadi seragam Hogwarts dengan jubah berlambang Slytherin yang selalu menjadi kebanggaannya dan bersiap untuk makan malam.

Draco memutar kenop pintu kamarnya dan bertemu dengan Blaise dan Theo. "Draco, ayo kita makan malam. Sepertinya kita sudah terlambat," ajak Theo menepuk pundak Draco dan Blaise.

"Ayo," jawab Draco mendahului mereka berdua.

Blaise membuka pintu Aula Besar dengan sekuat tenaga. Semua pandangan tertuju pada seseorang yang sedang didepan pintu. Pria yang berada ditengah itu menjadi pusat perhatian. Tampilannya mampu mencolok mata gadis-gadis asrama sampai berdarah. Rambut pirang, mata abu-abu, seragam Slytherin dengan pas melekat dan membaluti tubuhnya dengan sempurna. Draco dan teman-teman berhasil menarik perhatian kaum hawa sejenak.

Mereka ada yang berteriak dalam sunyi kala melihat pangerannya kembali ke Hogwarts. Draco melirik meja makan Slytherin dan mencoba mencari tempat kosong. Setelah mendapat tempat kosong, Draco dkk duduk ditempat kosong itu.

"Sonorus. Your attention, Please." Sebuah suara tua tiba tiba menghentikan aktifitas semua siswa yang sedang berjalan. Mata dan pandangan mereka tertuju pada seorang pria tua berjanggut putih yang sedang berdiri dibelakang podium yang berhiaskan burung Rajawali yang selalu mengembangkan sayapnya kala Dumbledore membuka suara.

"Setelah libur yang cukup panjang, kita akan memasuki tahun ajaran baru bagi siswa siswa Hogwarts. Tahun ini, Hogwarts tidak menerima siswa baru." Suara-suara bisikan tidak mengenakkan langsung terdengar. Para siswa tahun kedua langsung mendesah penuh kekecewaan.

"Ini dikarenakan, Topi Seleksi telah dicuri." Kini bisik bisik itu semakin terdengar jelas. "Oleh Bellatrix Lestrange." Perkataan Dumbledore sukses membuat bulu kuduk siswa Hogwarts meremang. Tak seperti biasanya Dumbledore membicarakan masalah ini dihadapan umum. Biasanya ia akan membicarakan ini hanya kepada para Profesor, Ketua Murid, dan Prefek. Tapi sekarang ia justru dengan terang terangan membeberkan hal apa yang terjadi. Bahkan kepada siswa tahu kedua, ketiga, dan keempat yang seharusnya tidak boleh tahu.

"Aku mengatakan hal ini terang terangan, tentu saja kita tidak mau terjadi hal yang tidak diinginkan selama bersekolah disini, bahkan Prefek mulai bekerja lamban akhir akhir ini. Aku tak mau kalian tidak waspada karena kelalaian Prefek memberitahukan informasi. Untung saja ini adalah hari terakhir mereka menjabat." ujar Dumbledore menyindir Prefek yang jabatannya akan habis tahun ini.

"Karena tidak ada murid baru untuk diseleksi, langsung kita mengumumkan siapa Ketua Murid laki laki dan Perempuan yang baru tahun ini!" Seru Dumbledore yang mencoba untuk mengusir suasana mistis karena pembicaraan tadi. Ia berharap Ketua Murid yang dipilihnya ini mampu menjalankan tugas mereka dengan baik.

Suasana kembali riuh, dan mereka mulai memperdebatkan siapa yang menjadi Ketua Murid tahun ini. Mungkinkah Hermione Granger? Atau Millea Mistradea? Atau siswi lainnya?

"Well, Ketua Murid laki laki kita ini sangat pintar, menduduki peringkat kedua O.W.L. diseluruh sekolah sihir di dunia, tak hanya itu, ia sangat menguasai pelajaran Ramuan, bahkan ia berani membuat Ramuan yang gagal dibuat oleh profesor Snape dan Slughorn. Dan tidak lupa dia juga terkenal akan kekayaannya, ketampanannya."

Seruan menggoda langsung hadir dari siswi Hogwarts dari berbagai asrama. Mereka tak perlu menerka-nerka lagi. Terkenal akan kekayaan, ketampanan. Sudah tidak bisa dielakkan bahwa Draco Malfoy akan menempati posisi menjadi Ketua Murid sampai ia lulus.

"Draco Malfoy, Slytherin!" Sorak Dumbledore memberi tepuk tangan. Siswa Hogwarts pun bertepuk tangan dengan meriah. Para siswinya sudah berteriak histeris hampir mengalahkan suara tepuk tangan. Draco dengan santainya bangkit, mengibaskan ekor jubahnya yang menyapu lantai. Draco sendiri sudah yakin sebelumnya bahwa ia akan menjadi Ketua Murid karena ialah yang menjadi juara kedua O.W.L Seluruh Sekolah Sihir. Murid Slytherin, Hufflepuff, Ravenclaw, -beberapa- Gryffindor tersenyum dan memberi selamat kepada Draco saat ia bangkit dari meja makannya untuk ketempat para Profesor untuk menerima sambutan dan lencana Ketua Murid

Kecuali Harry dan Ron yang menatapnya sinis.

"Malfoy..."

"Sepertinya akan banyak lagi julukan untuknya setelah Pangeran Slytherin!"

"Jika saja aku bisa menjadi Ketua Murid Perempuan."

"Jangan bermimpi."

"Silahkan. Berpidatolah sedikit," bisik McGonagall.

Draco sendiri yang bingung ingin berkata apa, otaknya langsung merangkai kata-kata manis yang akan ia lontarkan.

"Saya tidak akan berbicara banyak. Saya sangat berterima kasih pada Profesor McGonagall dan Profesor Dumbledore yang telah memilih saya menjadi Ketua Murid tahun ini. Saya berharap saya bisa bekerjasama dengan baik dengan Ketua Murid perempuan."

Suara riuh tepuk tangan kembali mengisi suara yang kosong di Aula Besar. Draco memberikan senyuman mautnya kepada semua orang dihadapannya yang sukses membuat murid perempuan menjerit histeris.

"For the Headgirl, Hermione Granger, Gryffindor."

Kini suara dari asrama Gryffindor-lah yang paling riuh dan mendominasi. Suara asrama lain hanya menyemangati seketika, tak bisa dilupakan tatapan membunuh dari penggemar Draco yang semakin hari semakin menggila. Harry dan Ron menatapnya bangga sambil bertepuk tangan. Apalagi Ginny. Lavender dan Cho juga memberi selamat kepada Hermione.

Sementara Hermione? Dia sangat senang, Sungguh! Tapi satu yang tidak membuatnya senang, Partnernya.

Pria itu menatapnya sinis dari depan, matanya seakan ingin menusuk dan mengoyak jiwa Hermione. Bukannya takut, Hermione justru menaikkan dagunya menatap Draco dari jauh dengan pandangan meremehkan.

"Silahkan. Berpidatolah sedikit seperti Mr. Malfoy."

"Saya berterima kasih kepada Profesor yang telah memilih saya. Dan saya harap Mr. Malfoy bisa bekerja sama dengan baik," ucapnya singkat.

Semua orang kembali bertepuk tangan untuk Ketua Murid mereka yang baru.

"Mr. Wood dan Ms. Cleanwater silahkan lepaskan lencana Ketua Murid kalian dan berikan kepada ketua murid yang baru," kata McGonagall.

Oliver Wood dan Catarina Cleanwater pun maju kedepan dan melepaskan lencana ketua murid mereka dan memberikannya pada Hermione dan Draco.

"Semoga betah menjadi Ketua Murid, kawan," ucap Oliver menepuk pundak Draco pelan disambut kekehan kecil dari Draco dan Hermione.

"Kau juga, semoga betah satu ruangan dengan Malfoy," kata Catarina.

"Oke. Baiklah. Sepertinya waktu sudah berjalan cukup lama. Ketua murid yang baru silahkan menempati ruangan ketua murid di menara astronomi, barang barang kalian sudah dipindahkan," ucap Dumbledore.

Hermione dan Draco pun kembali pada meja makan masing masing.

"Kau takkan tahu betapa bangganya kami bisa menjadi sahabatmu," ucap Harry yang dibalas senyuman oleh Hermione.

Setelah saling mengucapkan ucapan selamat, makanan makanan itu muncul secara misterius dibalik piring diiringi kicauan ringan dari masing masing asrama yang mewarnai makan malam itu.


"Sungguh melelahkan," ucap seorang gadis menghempaskan bokongnya tepat ditengah tengah sofa ruang rekreasi Gryffindor.

"Aku pasti sangat merindukanmu. Berhati hati-lah dengan si ferret-brengsek-bajingan itu." Ron mengingatkan.

"Sudahlah Ron. Tak usah memeperkeruh suasana," kata Harry menenangkan sahabatnya yang satu lagi.

"Aku seorang penyihir, Ron. Aku bisa melakukan sihir dan bisa menjaga diriku sendiri." Hermione menambahkan.

Semenjak Ron dan Hermione memutuskan hubungannya, Hermione selalu menjaga jarak dengan Ron. Jika tidak ada Harry, Hermione akan menghindari Ron dan memilih bercakap cakap dengan Cho, Luna atau Ginny. Sering juga Hermione bercakap dengan siswa Hufflepuff yang dikenalnya. Hermione mengangkat empat perkamen dan tintanya yang tertinggal dan tak sempat dibawa oleh Mr. Filch.

"Baiklah, Harry Ron. Aku akan pergi sekarang."

"Oke."

Hermione menghilang dibalik pintu ruang rekreasi Gryffindor. Dengan susah payah Hermione memegang keempat perkamennya dengan sabar. Sebenarnya perkamen itu tidak berat tetapi terlalu banyak dan tangannya tidak mampu untuk mengangkut semuanya sekaligus tanpa membuat sebercak kertasnya sedikit rusak, itu terlalu menyusahkan

Saat ia ingin menaiki tangga menuju menara astonomi tubuhnya mendadak kehilangan keseimbangan. Ia sudah menggenggam erat kertas perkamennya sampai ia sadar kertasnya akan rusak akibat ia meremasnya terlalu kuat. Tapi tak apa daripada menulis ulang seluruh isinya. Hermione memejamkan matanya sambil menunggu tubuhnya akan berguling menghantam lantai marmer Hogwarts yang keras.

Tapi jutru ia merasakan ada tangan yang mencegahnya untuk jatuh. Saat ia membuka mata, barulah ia sadar siapa yang menolongnya.

"Malfoy!" Teriaknya spontan.

Lalu Hermione langsung bangkit dari posisinya dan menatap tajam dan heran kearah Draco yang masih memasang wajah datarnya. Cukup hening keadaan sampai akhirnya Draco membuka suara

"Sangat sopan, sudah dibantu tapi tidak berterimakasih," ujar Draco sarkastik.

"Seorang Malfoy mengharapkan kata terimakasih dari seorang mudblood?" Tanya Hermione tidak percaya.

"Setidaknya aku lebih sopan dan tahu tata krama dibandingkan Granger yang selalu menjadi nomor satu pada saat pelajaran tapi tidak pernah diajarkan bagaimana caranya berterimakasih kepada seseorang yang baru saja menyelamatkan nyawanya," sindirnya telak.

Hermione mengepalkan tangan sekuat tenaga, berusaha membenam emosinya yang semakin memuncak kala Draco menyebut nama keramat itu lagi.

Draco tak tahu apa yang merasukinya sehingga ia mau menopang badan Hermione agar tidak terjatuh. Draco seperti dapat dorongan dari belakang untuk mencegah Hermione terjatuh.

Sebenarnya, Draco tidak terlalu membenci Hermione. Draco hanya menunjukkan kebenciannya kepada Hermione saat dimuka umum. Justru Draco penasaran dengan sifat dan kepribadian gadis itu yang kata orang lembut walau diluarnya terlihat seperti itu. Draco sangat meragukannya.

Draco memandang matanya tajam. Tapi yang Draco dapati hanya matanya terfokus melihat kearah bawah... dan ternyata dia melihat pergelangan tangan Draco dan ia melihat tanda kegelapan yang tak sengaja terlihat karena bajunya sedikit tersingkap. Buru buru Draco menurunkan kembali lengan bajunya hingga tanda itu tertutup sempurna.

"Apa yang kau lihat?" Tanya Draco ketus. Hermione membalas Draco dengan tatapan

"Dan aku sudah membuang 3 menit waktu berhargaku untuk berbicara dan menolongmu." Draco berkata ketus lalu meninggalkan Hermione yang sedang mematung.

Sementara gadis itu masih terpaku ditempatnya "Jadi, Malfoy sebenarnya memang Pelahap Maut?" Tanya Hermione dalam hati. Desas-desus yang sering bertebaran menjadi angin lalu pun terjawab sudah. Ia, dirinya sendiri telah melihat sebuah tanda kegelapan terpatri sempurna dipergelangan tangannya

Hermione tersentak secara tiba tiba, dengan lamunan tentang tanda kegelapan itu buyar, ia mulai memungut perkamen dan tintanya yang terjatuh ditanggga. "Beruntung tintaku sudah kututup, kalau tidak pasti tumpah," kata Hermione dalam hati sesaat setelah tintanya sudah aman digenggamannya.

Setelah sampai ke ruang rekreasi Ketua Murid, Hermione tidak menemukan Draco. Padahal tadi ia melihat Draco berjalan melaluinya menuju ruang rekreasi Ketua Murid. "Dia sudah berada dikamarnya." Hermione menyimpulkan dalam hati.

Karna terlalu lelah, Hermione pun memilih untuk langsung mengistirahatkan badannya. Ia masih memiliki waktu dua hari untuk membereskan barang barangnya karena besok dan lusa adalah hari libur.


"Aaa!" Seorang gadis berseru sekuat tenaga dengan suara nyaringnya.

"Draco Malfoy! Apa yang kau lakukan dikamarku?" Teriak gadis itu dengan wajah panik.

"Argh.." Draco mengerang, langsung terbangun dari tidurnya dengan tiba tiba dan membuat kepalanya berkunang-kunang.

"What the hell, Granger? What are you doing here?" Tanya Draco yang juga kaget dan panik.

"Ini kamarku," tegas Hermione. Draco mengernyitkan dahinya.

"Apa kau buta atau memang tidak melihat? Didepan pintu sudah jelas tertulis kamar ini milik Ketua Murid laki-laki," jelas Draco.

"Ini kamarku, Malfoy,"

"Jika kau ingin tidur bersamaku, katakanlah. Jangan berpura-pura tidak melihat papan nama yang berada didepan pintu padahal papan nama itu sudah ditulis dengan huruf besar dengan lambang ular ditengahnya," kata Draco tiba-tiba.

"Apa? Kau pasti bercanda."

"Untuk apa aku bercanda pada saat saat seperti ini?"

Hermione mengatupkan mulutnya. "Jangan harap kau bisa menyentuhku lagi." Hermione beranjak dari tempat tidur Draco dan hendak keluar dari kamarnya.

"Siapa yang ingin menyentuhmu? Badanmu sangat tidak menarik, bahkan badan siswi Hufflepuff tahun kelima lebih menarik daripada badan kurus keringmu itu."

Hermione mengabaikan cibiran Draco dan memilih untuk segera keluar dari kamar Draco.

"Semua sihir dikamarku tentunya hanya aku yang dapat mempengaruhinya. Itu sudah tertulis dikertas yang diberikan McGonagall, "

"Kalau seperti itu, buka pintunya."

Draco membuka selimutnya dengan gerak perlahan-lahan dan menghampiri Hermione.

"Are you sure?"

"Yes."

"Turuti 10 permintaanku dan jangan membantah."


Review please...