Waktu sudah menunjukkan nyaris pukul 2 pagi saat mobil yang mereka tumpangi tergocang 2 kali.
Jungkook yang memang belum tertidur sedari tadi ingin menggerutu karena setelah pagelaran MAMA 2016 yang membuat Bangtan mendapat beberapa penghargaan itu ia sungguh lelah. Meskipun hatinya luar biasa bangga sekaligus bahagia. Akhirnya setelah sekian lama, setelah seluruh pengorbanan mereka: Bangtan diakui oleh dunia.
Jungkook tidak ingin menangis, tetapi melihat Hyungnya menangis karena bahagia, akhirnya airmatanya luruh juga.
Malam-malam yang dilewatkan Yoongi dengan mengaransemen lagu, atau dini hari yang dihabiskan Namjoon menulis lirik lagu, atau latihan dance selama 16 jam nyaris setiap hari selama satu minggu sebelum mereka comeback, latihan vokal yang membuat tenggorokannya serak, seluruh waktu yang mereka habiskan dengan terus belajar, berkembang, melewatkan detik demi detik bersama keluarga atau menit-menit yang harusnya mereka habiskan dengan bersenang-senang, akhirnya terbayar sudah.
Air mata yang mereka teteskan kala orang-orang mencaci, mencemooh mereka terlalu kejam, keringat dan darah yang mereka kucurkan agar mereka diakui akhirnya terbalas sudah.
Terbalas dengan begitu indah.
Siapa yang menyangka akhirnya mereka bisa menjadi group yang dikenal dunia? Terpopuler tahun ini? Yang benar saja, mimpi saja Jungkook tidak berani.
Jungkook melirik ke samping kanan, Yoongi sudah tertidur pulas. Lengkap dengan hoodie dan penutup mata serta headphone yang menyumbat telinga. Dengkuran Namjoon terdengar keras seperti biasa, kekehan Taehyung dan Hoseok sudah lama tidak terdengar dan Seokjin bahkan tertidur sejak pertama kali duduk di dalam mobil. Yang terjaga hanya ia dan sopir yang sedang mengemudikan mobil.
Lampu di dalam mobil sudah dimatikan. Suasana remang karena hanya sesekali cahaya dari luar mobil yang menyorot ke dalam. Jungkook melirik ke samping kanan, tempat di mana Park Jimin yang biasanya sedang sibuk memainkan ponselnya kini terlihat telah terlelap.
Wajahnya buruk. Terlihat aneh. Sumber dari segala ejekan.
Namun Jungkook sedang tidak berniat untuk menerangkan dengan penuh ejekan bagaimana rupanya. Jungkook hanya ingin sedikit saja melihat wajah Hyungnya itu.
Jimin yang tadi tidak sempat menyuarakan suaranya di hadapan fans ketika mereka mendapat penghargaan itu adalah orang yang membungkuk dengan tunduk pada semua crew yang ia temui di balik stage mengucapkan terimakasih dengan teramat tulus. Jimin yang memeluk semua member bergantian, mengucap terimakasih lengkap dengan ucapan bahwa mereka telah bekerja keras. Jimin yang menangis tanpa suara, entah terlampau bahagia atau justru nelangsa karena yang Jungkook tahu, Hyungnya yang satu ini terlalu banyak menyimpan misteri. Memikirkan banyak hal ketika senggang, menyesali hal-hal remeh ketika malam dan berusaha memenuhi seluruh harapan orang-orang kepadanya setiap waktu.
Jungkook selalu ingat pada malam dimana ia akan menemukan Jimin tengah merenung di ruang tengah. Memikirkan hal yang tidak pernah ia bagi terhadap siapapun. Terkadang menelungkupkan wajah dan tanpa Jungkook bertanya, ia tahu Jimin sedang menangis.
Jungkook ingin melarang setiap melihat Jimin yang terus berlatih dance padahal latihan telah usai, atau Jimin yang terus bernyanyi ketika anggota lain makan, atau Jimin yang terus berusaha agar menjadi lebih baik lagi dan lagi.
Padahal ia dan Jimin sama-sama tahu: Jimin sudah nyaris melampaui batasan tubuhnya sendiri. Beberapa orang mungkin tidak tahu jika sebenarnya Jimin tidaklah sekuat itu. Ia lemah dan tubuhnya seringkali berakhir demam setelah latihan berkepanjangan atau konser berjam-jam.
Dan melihat Jimin terus memaksakan diri membuat Jungkook jengah, keras kepala adalah salah satu DNA penyusun Park Jimin. Jangan berharap bisa melarangnya terus melakukan hal-hal seperti itu karena Jimin tidak akan pernah mau mendengarnya.
Hidup di bawah atap yang sama nyaris selama 5 tahun membuat Jungkook sedikit banyak mampu mengetahui perangai semua Hyungnya. Dan Jimin adalah orang yang selalu membuat Jungkook terpukau. Bagaimana bisa ada orang yang selalu berdiri sebagai pihak yang mengulurkan tangan pada seluruh member ketika mereka terpuruk namun tidak menginginkan siapapun mengetahui keterpurukannya?
"Kesedihanku tidak seberharga itu sampai harus kubagi-bagi." Kata Jimin suatu ketika Jungkook bertanya mengapa Jimin tidak pernah sekalipun menceritakan masalahnya.
Jungkook tersenyum kecil, Jimin adalah Hyungnya yang paling berharga. Orang yang pertama kali bertanya bagaimana keadaanya ketika pening menghampiri, yang memperhatikan hal penting hingga remeh yang terjadi padanya, yang menjadi gurunya. Terkadang murid, lebih banyak seperti sahabat, sosok kakak yang mengayomi, hingga adik yang mengesalkan bahkan keluarga ketika rindu menyapa.
Jungkook mengulurkan tangannya, meraih helaian rambut blonde Jimin yang sedikit kaku karena hairspray. Meski begitu tetap tidak mampu menyembunyikan kehalusan setiap helainya. Dengan tekun Jungkook mengamati bagian leher Jimin yang terbuka, setitik tahilalat yang mengedip dan nafas yang berirama. Halus seperti untaian harmoni dari senar harpa.
"Terimakasih karena sudah bekerja keras, Hyung," bisik Jungkook, "Bangtan beruntung memilikimu." Aku beruntung mengenalmu, adalah kalimat yang Jungkook bungkam erat-erat karena Jimin dengan mata terpejam meraih jemari Jungkook yang masih asyik bercengkrama dengan anak rambut di pelipis Jimin.
"Kau pasti sedang melindur." Ucap Jimin dengan mata masih terpejam, jemarinya menggenggam jemari Jungkook erat dan membawanya ke atas perutnya sendiri.
Jungkook terdiam namun jemarinya membalas genggaman Jimin. Bibirnya terangkat menjadi lengkungan kecil, sepertinya Jimin sudah mengerti tanpa Jungkook perlu berkata-kata.
"Akulah yang beruntung karena terpilih sebagai anggota Bangtan," Jimin membuka matanya yang cantik, "kau dan Bangtanlah alasanku banyak bersyukur selama ini."
Jungkook mengangguk sebelum memejamkan matanya di samping Jimin. Ia akan tetap menunggu hingga Jimin mau bicara. Membiarkan jarak terbentang ketika Jimin enggan mendekat, namun bersiap menanti Jimin membutuhkan tempat bersandar. Menjadi jemari pertama yang akan menghapus airmata di pipi Jimin, menjadi bahu pertama yang akan menenggelamkan wajah Jimin dan seluruh tangis pedihnya, dan bibir pertama yang akan mengecup kening Jimin bangga dengan seluruh kerja kerasnya.
Karena sebagaimana Jimin rasakan, Jungkook pun banyak bersyukur telah mengenal Jimin dan anggota Bangtan yang lain di kehidupannya.
"Kita akan tetap menarikan Dope di usia senja kan, Hyung?"
"Sebelum usia empatpuluh kurasa iya, tapi kalau lebih dari itu aku tidak tahu," Jimin menguap lebar, "aku bisa sakit pinggang meliuk seperti itu. Tapi kalau yang lain masih mau, aku akan pikir-pikir."
Jungkook mendengus, bersama Bangtan ia rasa ia mampu menyanyikan Tomorrow atau menarikan Fire selamanya.
"Terimakasih, Jiminie Hyung."
Dan sebuah kecup mendarat di kening terbuka milik Jimin.
Karena Jimin tahu, berkata-kata bukanlah keahlian Jungkook dalam menyuarakan pendapat atau perasaannya. Cukup dengan tepukan di pundak atau satu dua pelukan cukup mampu menguatkan Jimin.
Namun kecupan yang Jungkook daratkan malam ini nyaris membuat Jimin kelepasan sebelum akhirnya ia sendiri memilih lepas. Membiarkan dirinya menangisi kekhawatirannya selama ini di dalam pelukan Jungkook, lengkap dengan belaian halus di kepala dan punggungnya serta satu dua kecup yang menyambangi pelipisnya.
"Kau selalu punya aku, Hyung. Berbagilah denganku sesekali jika kau rasa terlalu lelah untukmu menghadapinya seorang diri."
Dan Jimin hanya mampu mengangguk di lekuk leher Jungkook.
x
FIN
x
Berakhir pointless seperti biasa. Maapkeun. Fict saya kebanyakan JiKook trash, gimana ya? Bikin Fict khusus JiKook atau biarin aja saya publish fict JiKook 'tak berfaedah itu satu-satu? Bingung.
With Love,
December D.
