Disclaimer: Naruto © Masashi Kishimoto
New Hope © Black Skull
Rating: T
Genre: Friendship and Romance, meybe little hurt for something present
Warning: Au, Sequel of 'When Love Meet Friendship', short, OOC (meybe), Ino POV, flat.
Chara: Yamanaka Ino, Nara Shikamaru, Akusuna Gaara, Haruno Sakura, and more
Pairing: Just Check It Out
Summary: Pertemuan dengan cinta pertamanya. Harapan baru setelah dia bahkan tidak mampu untuk berharap dan tidak mau mempercayai harapan.
.
A special fic for Fujirai Ichinoyomi. Semoga tidak mengecewakan yah, F-chan ^^.
.
Happy Read Minna~ ^^
.
New Hope
By Black Skull
.
.
:: Stage 1 :: -Prolog-
.
.
Aku mencoba mengacuhkan pandangan orang itu. Pandangan penuh selidik dan seperti —mencurigai? Entahlah, pandangan macam apa itu, yang jelas aku amat sangat tidak menyukainya. Orang itu sudah memperhatikanku dengan pandangan seperti itu selama tiga menit! Hey, itu bukan waktu yang sebentar kalau kau diperhatikan dengan cara seperti itu! Dia memperhatikanku seperti aku ini mangsanya. Dia seperti laki-laki brengsek yang doyan nongkrong di pinggir jalan dan suka menggoda wanita yang melewatinya. Aku benci sekali laki-laki macam itu.
Aku muak sekali dengan pandangannya. Sudah berulang kali berusaha kuacuhkan, tapi pria brengsek itu tetap memperhatikanku. Kuberanikan diri mengalihkan pandanganku ke arahnya. Dan sedetik kemudian dia membuang pandangannya ke arah lain. Dasar pengecut! Oke, itu cukup melegakan. Tapi beberapa detik kemudian aku kembali merasa dia memandangiku. Oh Shit! Apa aku salah tempat? Tapi ini kan taman, lebih tepatnya taman rumah sakit tempatku bekerja. Ini tempat umum! Dan, tak mungkin kan aku tiba-tiba berada di taman rumah sakit jiwa dengan dia pasiennya? Tak mungkin, bukan!?
"Selamat siang, dokter." Seorang perawat menyapaku sambil membungkukkan badannya dan tersenyum ramah. Ini membuktikan aku tidak salah tempat.
"Siang," jawabku, membalas senyumnya. Perawat itu hanya menyapaku, lalu berlalu. Sepertinya dia mau ke kantin atau pantry, soalnya di bagian kiri; tujuan perawat itu, hanya ada dua bangunan kecil itu.
Aku mengikuti langkah perawat itu dengan ekor mataku. Sekilas aquamarineku menangkap pria itu masih memperhatikanku. Menatap rambut pirangku yang dikuncir kuda dengan penuh selidik. Memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. Bahkan sesekali kulihat dia mencoba curi pandang ke iris biruku. Demi Kami-sama, mengesalkan sekali!
Bukan, bukan karena aku tidak suka diperhatikan. Hanya saja cara dia memperhatikanku benar-benar aneh dan menakutkan. Aku sedang tidak dalam mood baik saat ini. Err sebenarnya sudah beberapa bulan terakhir ini moodku tidak baik. Ditinggal menikah oleh kekasih yang sangat aku cintai dan -dia bilang- juga mencintaiku. Terlebih lagi pria itu menikah dengan sahabatmu. Bukankah itu sangat menyakitkan? Dan sekarang aku harus menanggung dosa besar karena masih mencintai suami orang, suami Sakura —sahabatku. Ditambah lagi pekerjaanku yang semakin berat saja akhir-akhir ini. Menjadi dokter spesialis penyakit dalam seorang diri di rumah sakit Konoha yang sebesar ini. Beberapa pasien yang seharusnya bukan pasienku —pasien Sakura, sekarang ikut menjadi tanggung jawabku. Sakura dan Gaara sedang pergi berbulan madu. Entahlah apa yang mereka cari dari bulan madu tersebut, toh Sakura sudah hamil, bukan?
Sekarang sedang jam istirahat, aku sedang menghirup udara segar di taman ini dan harus merasa terganggu. Gara-gara orang berambut hitam itu! Oh, dia benar-benar menyebalkan. Sampai kapan dia mau memperhatikanku seperti itu?
Drrrtt...Drrrttt...Drrttt
Handphoneku bergetar, —video call—.
"Haaahh~," Aku menghela nafas berat begitu melihat siapa penelpon itu.
Aku sebenarnya sangat malas mengangkat telpon itu. Tapi aku tidak punya pilihan lain selain mengangkat telponnya. Aku sudah mengacuhkan telpon dan smsnya berkali-kali dengan alasan 'mengurus pasien'. Tapi sekarang sedang jam istirahat; dia tau percis.
"Hai, Sakura," Aku berusaha tersenyum setulus mungkin, mengingat dia dapat melihat ekspresi wajahku dari layar mungil ini.
"Kau mengacuhkanku, pig." Sakura cemberut, di belakangnya terlihat pemandangan pantai yang indah yang terlihat dari jendela, sepertinya dia sedang di kamar. Aku yakin mereka pasti bersenang-senang.
"Maaf, forehead, kau tau aku sangat kerepotan gara-gara kau tinggal dengan banyak pasien." Lagi, aku berusaha tersenyum, memamerkan gigi-gigiku.
"Hahahahaha, maaf sudah merepotkanmu, Ino." Dia tampak menyesal, tapi ekspresi senang di wajahnya tidak juga bisa hilang. Yeah, menjadi pasangan pengantin baru yang sedang berbulan madu pasti akan membuat siapa saja merasa senang, bukan?
"Tak masalah, asal kau bersenang-senang di sana, Kura."
"Kau memang baik, Ino. Apa yang bisa kulakukan untuk membalas kebaikanmu?"
'Suamimu, Sakura! Aku mau Gaara kembali. Kembalikan Gaara padaku dan aku akan bahagia.' Teriakku dalam hati, tentu saja hanya dalam hati, aku tidak mau merusak honeymoon-nya dan melukai perasaan sahabatku. Bukankah aku yang dulu meminta Gaara 'menemani' Sakura. Walau ending ini tidak kuharapkan.
"Piiigg~„ kenapa kau melamun?" Aku tersentak dari lamunanku. "Kau sedang ada masalah ya? Akhir-akhir ini kau sering sekali melamun. Kau bahkan melamun dihari pernikahanku dulu."
"Tidak, Sakura, aku baik-baik saja." Aku berusaha tersenyum, menenangkan sahabatku. "Hey, bagaimana bulan madumu?"
"Baik dan menyenangkan. Banyak permainan asyik di sini, aku dan Gaara mencoba banyak kegiatan menyenangkan. Kau harus kesini kapan-kapan." Sakura menjelaskan dengan semangat.
"Gaara juga bersenag-senang?" Ada perasaan aneh saat aku menanyakan ini.
"Ya tentu saja. Sekarang dia sedang tidur karena kecapekan. Lihat,"
Sekarang kamera mengarah ke Gaara. Memperlihatkan pria berambut merah itu sedang tertidur pulas di kasur dengan sprei putih. Rambut merahnya terlihat berantakan. Tattoo 'ai' di keningnya sedikit tertutup rambut. Aku tak dapat melihat baju apa yang dia pakai, karena badannya tertutup selimut yang juga berwarna putih. Wajahnya terlihat sangat tenang dan damai.
"Dia terlihat seperti bayi yang sedang tidur." Kata Sakura lembut, bisa kutebak dia sedang tersenyum sekarang. Layar handphone-ku masih menampilkan wajah tidur Gaara.
Perlahan-lahan kulihat mata itu terbuka perlahan. Mata itu, entah bagaimana, terlihat menatap tajam iris biruku. Jade yang sangat aku sukai.
"Ino..." gumamnya lirih, tanpa terasa butir-butir air mata mengalir membasahi pipiku –cengeng.
"A-aku harus mengurus pasien lagi, bye Sakura, Gaara."
Aku menutup sambungan video call itu tanpa mendengar respon Sakura. Aku sempat melihat ekspresi sedih di muka Gaara saat dia melihatku menangis. Aku harus mati-matian meyakinkan diriku sendiri; bahwa pria itu pasti akan bahagia bersama Sakura dan anaknya –bayi dalam kandungan Sakura. Dan mungkin pria itu akan melupakanku seiring kebahagiaannya bersama keluarga kecilnya.
Mengingat aku mungkin akan dilupakannya, membuatku semakin merasa sedih. Aku menangis semakin menjadi. Aku memang cengeng dan lemah. Aku masih saja menangis saat mengingat sakit hatiku, atau lebih tepatnya 'kebodohanku'.
Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Mencoba menutupi air mata dan sakit hatiku. Kami-sama, kenapa susah sekali melupakan pria itu? Aku bahkan masih ingat bagaimana Gaara menatapku dari atas altar saat dia seharusnya mencium Sakura. Aku masih ingat bagaimana Gaara mengatakan betapa dia mencintaiku. Masih jelas di ingatanku bagaimana Gaara sangat menyesali perbuatan yang menyebabkan Sakura hamil. Gaara, aku benar-benar tidak bisa menghapus nama itu dari hatiku. Aku tidak bisa lupa rambut merahnya, iris jade yang tajam tapi menenangkan, tattoo 'ai' di keningnya dan semua tentangnya tak bisa aku lupakan.
Aku menangis semakin menjadi. Aku merasa punggungku bergetar hebat. Mengingat Gaara sama saja mengingat sakit hatiku. Sakit karena ditinggalkan dan sakit karena ketololanku membuatku menderita.
"Berhentilah menangis." Aku mendengar suara bariton di depanku. Aku mendongak dan mendapati pria yang dari tadi memperhatikanku berdiri di hadapanku. Aku belum bisa menatap wajahnya dengan jelas; mataku masih kabur dipenuhi air mata.
'Cih sok perhatian.' Aku mendengus. Membuang pandanganku ke arah lain –mengacuhkan pria yang dengan kurang ajarnya memperhatikanku sejak tadi. Aku memang sedang lemah, tapi bukan berarti aku jadi gampangan. Aku tidak mudah menerima kebaikan pria yang bahkan belum aku kenal.
"Sudah berhentilah, menangis. Apapun yang kau alami, anggap saja itu bagian dari lembar buku kehidupan yang harus kau isi. Kau hanya perlu melewatinya tanpa perlu menyesalinya."
"Cih, jangan sok tau!" Aku mendengus kesal. Aku kembali menunduk; ogah melihat wajahnya, menghapus air mataku dengan punggung tangan.
"Ini, pakai saja ini," dia menyodorkan sebuah sapu tangan ke arahku.
"Jangan sok perhatian begitu." Aku menampik tangannya yang terjulur ke arahku, membuat sapu tangan itu terjatuh tepat di dekat kakiku.
"Tck, masih saja keras kepala, eh Ino?" Aku terkesiap, bagaimana bisa dia tau namaku? Aku bahkan sedang tidak memakai baju dokterku yang tertempel nametag. Aku menjadi semakin benci saja pada pria ini, mungkin saja dia bertanya pada seorang pegawai mengenai namaku.
"Jangan sok kenal memanggilku dengan nama kecilku!"
"Tak ingat denganku, Yamanaka Ino? Mendokusai~…" Dia bahka tau nama keluargaku? Dia benar-benar pria yang sangat hobi menguntit!
Tapi tu-tunggu dulu, 'mendokusai'? Kata itu mengingatkanku pada seseorang. Seorang bocah Nara yang kukenal dulu. Bocah dengan rambut hitam yang diikat ke atas menyerupai nanas. Sahabat kecilku sekaligus cinta pertamaku. Aku menegakkankan kepalaku. Memandang pria yang sedari tadi kuacuhkan. Menangkap sosok di depanku dengan lebih jelas. Aquamarineku menangkap obsidian yang begitu tajam, obsidian yang ku kenal. Style ramput nanas yang tidak pernah kulupakan. Cengiran malas yang menjadi khasnya. Aku kini mengenalinya. Tersenyum pada sosok di depanku.
"Baru ingat ya? Mendokusai."
"SHIKAMARUUUUU…" Aku langsung berhampur memeluknya. Mengacuhkan cengiran menyebalkan di wajahnya.
"Aku sudah memperhatikanmu dari tadi." Katanya membalas pelukanku.
"Aku sangat merindukanmu, Shika,"
"He-em, aku juga." Aku dapat merasakan dia mengangguk dalam pelukanku.
Aku menikmati pelukan ini, pelukan hangat yang dapat sedikit mengurangi lukaku. Pelukan dari sahabat kecil sekaligus cinta pertamaku yang sangat aku rindukan.
.
.
.
TO BE CONTINUE?
.
.
.
Next Chap
"...menjadi playboy.""Kau jadi playboy?"
"Aku sudah pernah punya satu dan hubungan kami tidak berjalan baik. Kami putus sebelum kami menikah"
"Kau itu masih saja terlalu baik dan mengagungkan cinta."
"Apa setiap pria itu bodoh kalau dia tak dapat memahami perasaan wanita yang telah mencintainya mati-matian?"
. "Kecuali aku tentunya."
"Kenapa menangis? Kau masih cengeng, eh?"
"Aku membiarkanmu berbuat baik padaku, memperhatikanku layaknya sahabat yang sudah menghabiskan hampir seluruh masa kecilnya bersama."
"Kau ini bodoh, Shika! Pria terbodoh yang pernah aku kenal!"
.
.
.
Merupakan request dari F. Gomen ne, F-chan, ShikaIno-nya sedikit bgt dan ditambah lagi pendek pake banget! Gomon ne? Tapi kalau emang masih ada yang mau baca lanjutan cerita ini aku janji ShikaIno-nya bakal lebih lebih lebih kerasa. Karena jujur saja ini bisa dibilang prolog. Gimana F-chan? Suka nggak? Aaahhh maaf kalau gaje gini, padahal udah lama bgt janji mau publish, gomen gomen gomen *bungkuk 90%*
Cerita ini bisa saja selasai atau lanjut. Saya sedikit 'trauma' membuat cerita multichap sebenarnya. Jadi yeah...kalau para reader masih bersedia membaca lanjutan dari cerita ini (untuk selanjutnya menjadi ShikaIno) silahkan review fic gaje ini. Dan saya rasa fic ini sangat flat alias datar, nggak ada konflik yang begitu terasa, mungkin di chap-chap depan akan terasa konfliknya. Tapi untuk awal-awal akan terasa sangaaaaaatttt datar. Walau begitu saya sangat mengharapkan review reader semua. Saya akan terbuka untuk semua review walau sejujurnya saya sedikit terganggu dengan flame, but it's okay. Asal flame dengan kata-kata yang sopan dan berupa concrit bukan flame asal-asalan ^^.
