Falling Angel

Disclaimer : Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi

Pairing : Aomine x Fem!Kise

Genre : Fantasy, Romance, Hurt/Comfort, Drama (Semuanya saya tidak yakin)

Rated : K+

Warning : Alternate Universe, OOC pake banget, Typo sudah pasti, EYD belum tentu sesuai, Plot amburadul, diksi masih belajar, Newbie & mainstream story, inspired from SM the Ballad MV - Miss You, tapi gak sepenuhnya mirip. Masih sangat banyak kekurangan.

Chapter 1. She Comes From Heaven

.

.

.

Jam digital diatas meja nakas sudah menunjukkan pukul 06.00, dering alarm pun sudah mencoba dimatikan sejak setengah jam lalu. Aomine Daiki menggeram kesal begitu alarm yang berisik itu kembali terdengar, ini sudah yang ke 6 kalinya berbunyi, artinya alarm itu sudah diset berbunyi setiap 5 menit sekali sebelum mati sungguhan setelah dilepas baterainya. Aomine tahu ini ulah Satsuki, sahabat masa kecilnya yang sekarang masih setia bersamanya sampai masuk ke Touou Gakuen. Gadis bersurai merah jambu itu memberi Aomine jam digital sebagai kado ulang tahun kemarin lusa, Aomine sih senang senang saja mendapat kado karena dari sekian kenalan yang ia punya, hanya Satsuki lah yang ingat ulang tahunnya. Tapi ia tidak mengira gadis bermarga Momoi itu memberi benda yang berbunyi lebih menjengkelkan daripada omelannya sendiri.

Aomine bangun secara terpaksa dan sesuai petunjuk Satsuki, ia mencabut baterai jam digitalnya untuk membinasakan sang alarm. Terkadang ia bingung dengan cara kerja benda itu dan darimana Satsuki mendapatkannya, tapi setidaknya itu bisa sedikit mengurangi pekerjaan Satsuki untuk selalu membangunkannya dan sedikit mengurangi sakit kepalanya di pagi hari kala si surai merah jambu mulai mengomel.

Masalahnya hari ini yang membuatnya kesal bukanlah Satsuki yang memberi benda itu atau benda itu yang mengeluarkan suara berisik. Sudah sepatutnya alarm berbunyi seperti itu karena membangunkan orang adalah tugas pokoknya. Tapi yang membuat Aomine kesal adalah ia memasang alarm pada akhir pekan juga. Pagi di akhir pekan yang seharusnya masih Aomine gunakan untuk bergulung di dalam selimut, sekarang digunakan seperti 6 hari sebelumnya yang biasa. Aomine sebenarnya bisa saja untuk tidur kembali setelah mematikan alarm, tapi itu membuatnya tidur secara tidak alami dan bukannya nyaman malah akan membuatnya migrain. Lebih baik melanjutkannya siang nanti atau tidur lebih awal.

Setelah selesai dengan urusan toiletnya, Aomine mengambil roti yang baru saja keluar dari toaster dan langsung melahapnya tanpa selai. Sebagai gantinya, caramel machiato menjadi teman makan roti sekaligus penghilang 'seret' di tenggorokan. Laki laki jangkung berkulit eksotik ini terlihat seperti pegawai kantoran sibuk yang menikmati akhir pekan sendirian di rumahnya padahal ia baru saja merasakan sweet 17 kemarin lusa. Oke, kita sebut saja badan, wajah, dan kebiasaannya tidak mencerminkan sebagai anak kelas 1. Kegiatan menyesap kopi terpaksa ia tunda begitu mendengar si flip phone birunya mulai berdering di atas meja belajar. Aomine menekan tombol hijau kemudian menempelkannya ke telinga, ia tidak lantas menyebutkan kata "halo" atau yang lain sebagainya karena menunggu yang menelpon bicara lebih dulu.

"Dia pikir dia itu siapa, masih kelas 1 sudah banyak tingkah, hei Momoi, kau sudah menelponnya belum?" Aomine mendengus kecil mendengar suara orang kesal disana, siapa lagi selain Wakamatsu yang hobinya ngomel dan marah-marah tidak jelas padanya.

"Ma, maaf, saya tidak bisa menghubungi Aomine-san sejak tadi,"

"Iya senpai, tunggu sebentar dia masih belum mengangkat-Halo? Dai-chan?" Satsuki sepertinya sadar Aomine sudah menjawab panggilannya.

"Hmmmhh,"

"Dai-chan kau ada dimana? Semuanya ada di gym sekarang, jangan bilang kau tidak akan hadir lagi! Ayolah aku malas harus menjemputmu terus,"

"Aku memang tidak ingat dan tidak berniat untuk hadir, sudahlah Satsuki, aku malas aku pengen tidur, "

"Hei! Tunggu dulu, ini sudah ke 7 kalinya kau tidak hadir di latihan, aku sudah lelah dengan Wakamatsu-senpai yang terus mengomel dan aku takut Imayoshi-senpai jadi melotot saking menahan emosinya, ayolah datang hari ini saja Dai-chan, menampakkan wajahmu saja juga lebih baik daripada tidak,"

"Tidak, sudah kubilang aku malas, latihan malah membuat orang lain menjadi semakin payah, yang,-"

"Bisa mengalahkan gangurou hanyalah gangurou, huh, uhmm, bagaimana kalau aku memberimu bonus kalau hadir?"

"Tergantung, memangnya kamu mau ngasih apa?"

"Kalau Horikita Mai-chan edisi bulan ini? Dai-chan belum membelinya kan? Aku dengar itu edisi terbatas khusus September,"

Aomine mengangkat sebelas alisnya, bersamaan dengan aura wajahnya yang berubah lebih, antusias.

.

.

.

Skip Time

Aomine berjalan santai keluar dari gerbang sekolah, sesuai perjanjian dengan Satsuki ia hanya menampakkan wajahnya sebentar di hadapan semua pemain terutama si Wakamatsu. Dan menendang perutnya sekali lagi karena berani menarik leher bajunya. Tidak ada yang protes ia melakukan itu dan tidak ada yang berani menghalanginya untuk keluar. Ore-sama selalu mendapatkan apa yang diinginkannya bukan?

Tapi ternyata kali ini apa yang ia dapat benar-benar tidak sesuai dengan ekspektasinya. Edisi spesial bulan September yang diberi Satsuki tadi memang benar adanya tapi itu bukan Horikita Mai, apakah orang lain tidak bisa membedakan antara Horikita Mai dan Horiuchi Mako? Padahal dimata Aomine yang masih sehat dan keranjang mereka itu jelas jauh berbeda. Tapi setidaknya lumayan daripada dapatnya Zhunon Boys, memangnya dia mau lihat apa disana?

Aomine mengangkat sebelas alisnya kala melihat orang-orang berkumpul di tengah jalan seperti mengelilingi sesuatu. Syukurlah jalan ini tergolong jalanan besar yang sangat jarang dilalui kendaraan, hanya sepeda yang terkadang lewat.

"Jalannya rusak seperti habis kejatuhan meteor, tapi tidak ada batuan meteorit disana,"

"Benarkah? Lalu kenapa bisa rusak seperti itu? Seingatku tadi malam masih normal,"

"Apa alien yang melakukannya?"

"Jangan bercanda, alien itu tidak ada,"

Aomine menahan tawa mendengar percakapan dua anak SMP yang baru keluar dari kerumunan banyak orang. Aomine baru kali ini merasa bersyukur karena diberi tinggi yang melampaui standar anak kelas 1 SMA, ia tidak perlu menyela masuk untuk melihat apa yang masyarakat setempat lihat. Cukup berjinjit sedikit dan terlihat meski tidak terlalu jelas.

Garis polisi dipasang disekeliling TKP berdiameter sekitar 3 meter, seperti yang dua anak SMP bicarakan tadi, jalan beraspal itu rusak dan berlubang seperti kejatuhan benda berat.

Bukanlah seorang Aomine Daiki jika ikut campur dan memikirkan urusan yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya. Aomine memasukan kedua tangannya ke dalam saku jeans dan kembali berjalan menuju apartemennya yang tinggal beberapa blok lagi.

Namun Aomine kembali menghentikan langkahnya begitu melewati gang kecil di sebelah kanannya. Tapi kali ini ia tidak tenang seperti sebelumnya, karena sebuah ah tidak, seseorang tengah terbaring di dekat tempat sampah dalam kondisi yang sangat tidak baik. Aomine lantas menghampiri seseorang yang dipastikan berjenis perempuan karena mengenakan dress putih panjang selutut yang lusuh.

Aomine kaget bukan main begitu melihat sesuatu yang menutupi bahu gadis itu sampai pinggang ternyata bukan selimut seperti yang terlihat dari kejauhan, tapi gundukan rapi bulu-bulu putih mirip bulu angsa yang membentuk sepasang sayap. Untuk lebih memastikan kalau gadis itu bukan seorang cosplayer, aomine menyibakkan sedikit rambut pirang gadis itu. Aomine semakin bingung melihat sayap itu menempel di punggung si gadis pirang. Gadis ini jelas jelas bukan manusia normal. Dengan sangat hati-hati Aomine mengangkat gadis itu dan menggunakan lengan kirinya untuk menahan kepala, leher, dan bahunya agar menghadap padanya. Dan dengan tangan kanan aomine merapikan surai-surai panjang yang menutup sebagian wajah gadis itu.

Sebagai remaja laki-laki normal yang sedang dalam masa pubertas, Aomine tidak bisa membohongi dirinya sendiri untuk tidak terpesona dan mengakui paras gadis bersayap ini begitu elok. Entah karena selama ini Aomine selalu melihat gadis gadis yang ada disekitarnya hanya dari 'ukurannya' sehingga begitu melihat wajah gadis bersayap ini terlihat indah, atau gadis bersayap ini memang memiliki paras sangat cantik meskipun terpejam. Yang pasti Aomine dibuat lupa sejenak pada nama Horikita Mai, Horiuchi Mako, atau berbagai model cantik lain yang ada di hardisk otaknya.

"H, hei, apa kau masih hidup?" Aomine menepuk nepuk pelan pipi gadis itu, tangannya sedikit merinding merasakan halusnya permukaan kulit wajah gadis itu. Bahkan Satsuki saja yang menggunakan berbagai macam pelembab wajahnya tidak sampai sehalus ini.

Sekarang Aomine meletakkan telunjuknya melintang di depan lubang hidung si gadis bersayap, tidak ada angin yang terasa berhembus disana tapi aomine masih merasakan suhu tubuh gadis itu masih hangat, hangatnya orang hidup. Akhirnya tanpa ragu dan sebelum orang lain menemukannya dan memicu berita heboh, kontroversial, breaking news, dan sebagainya. Aomine memangku gadis itu yang sebelumnya dipakaikan jaket miliknya untuk menutupi punggung gadis itu lebih tepatnya menutupi sayap putihnya. Kebetulan sekali gang sepi ini merupakan jalan pintas yang biasa dilewatinya dulu saat musuh bebuyutannya di SMP, Haizaki Shougo dan antek anteknya sering mencegatnya jika lewat jalan yang biasa. Meski memakan jarak lebih panjang dan hawanya kurang mengenakkan, Aomine kali ini terpaksa melewatinya lagi demi gadis bersayap yang dibawanya aman dari orang orang pemicu kehebohan.

Aomine merasa tidak terlalu rugi ditinggalkan kedua orangtuanya ke Osaka sejak 1 bulan lalu untuk urusan bisnis mereka. Toh meskipun ia harus home alone, pekerjaan rumah tangga yang terdiri dari mencuci, membersihkan rumah, menyetrika sudah dilakoni oleh bibi yang datang seminggu sekali di hari Jum'at atau Sabtu. Selebihnya urusan perut ia terbiasa mengobrak abrik dapur sendiri dan menghasilkan makanan yang porsi, rasa, dan seleranya dirasa layak untuk sendiri. Sekarang Aomine tidak akan membuat gempar orang rumah, membuat ibunya menjerit heboh bukan main dan membuat gosip yang tidak tidak ke tetangga dan membuat ayahnya menjitaknya habis habisan karena membawa gadis aneh ke rumah karena yah, dia sendirian.

Aomine menurunkan gadis itu dengan perlahan ke atas kasurnya, sekali lagi ia menaruh telunjuknya di depan hidung si gadis dan hasilnya masih sama, gadis itu tidak bernafas, ia menyentuh kening kemudian perbatasan rahang dan leher, tapi tubuhnya masih tetap hangat sama seperti sebelumnya. Setelah melihat kondisi eksternal gadis itu yang tidak baik karena banyak luka goresan seperti habis terjatuh, dan long dress putih yang dikenakannya sudah tidak putih lagi karena terkena noda tanah dan darah dan banyak robek sana sini, Aomine memutuskan lari ke dapur untuk mengambil air hangat dan handuk bersih, dan kotak P3K. Mau manusia atau bukan Aomine berpikir ia akan menanyakannya nanti pada gadis itu jika sudah siuman, sekarang yang terpenting melakukan PP pada gadis itu seperti yang sudah ia pelajari saat seminar tentang Pertolongan Pertama di SMP.

"Engh," gadis itu melenguh pelan saat Aomine menyeka luka lecet di keningnya dengan handuk kecil yang dibasahi air hangat yang sudah dicampur sedikit cairan antiseptik. Sungguh Aomine benar benar ingin menampar pipinya sendiri atas apa yang dilakukannya hari ini. Ini bukanlah gaya biasa seorang Aomine Daiki yang terkenal dingin, skeptik, dan tempramen. Ia tidak pernah se peduli ini pada siapapun termasuk Ayah Ibunya. Bahkan saat Satsuki jatuh dari sepeda bukannya menolong ia malah tertawa. Ia tahu ini aneh tapi kali ini ia merasa tidak ingin tidak peduli pada gadis antara manusia dan bukan itu yang entah akan siuman atau tidak.

Tanpa Aomine sadari mata gadis itu terbuka, sepertinya ia merasakan sesuatu yang hangat dan agak basah menyeka kulit lengannya. Iris madunya menatap Aomine dengan penuh rasa ingin tahu. Tidak ada raut kesakitan atau perih dari wajahnya saat Aomine perlahan mengusap lukanya yang cukup besar di bagian tulang kering.

"Kau, siapa?" Gadis itu akhirnya buka suara. Suara yang begitu lembut seperti angin yang meniup padang rumput yang berhasil membuat Aomine merinding.

Aomine menoleh pada gadis itu, aneh, benar benar aneh. Gadis itu merubah posisinya menjadi duduk selonjor dengan tenang dan tanpa merasakan sakit padahal hampir seluruh tubuhnya mengalami lecet dan memar. Aomine nyaris melemparkan handuk basah yang dipegangnya kepada wajah gadis itu jika ia tidak ingat dongeng ibunya tentang sebuah makhluk ciptaan Tuhan yang lain yang bernama malaikat. Yah, malaikat, makhluk yang tercipta dari cahaya dan katanya memiliki sayap putih seperti merpati. Tapi Aomine tidak menyangka malaikat yang dideskripsikan ibunya dulu ternyata berbeda jauh dengan apa yang dilihatnya sekarang. Bodoh, kenapa Aomine baru terpikirkan itu sekarang?

"Kau, apa kau malaikat?" Aomine balas bertanya pada gadis berambut pirang sepinggang itu. Yang ditanya malah memiringkan kepalanya dengan ekspresi wajah tidak mengerti.

"Aku ada dimana?"

"Kenapa kau memiliki sayap merpati putih besar seperti itu?"

"Apa yang terjadi denganku?"

"Kau datang darimana?"

"Kau siapa?"

Keduanya tidak mau saling mengalah untuk mencoba menjawab pertanyaan salah satu pihak, Aomine dan gadis itu malah saling melempar pertanyaan satu sama lain.

"Baiklah, aku yang menjawabnya dulu," ternyata Aomine yang mengalah.

"Namaku Aomine Daiki, kau ada di rumahku, tadi kau pingsan di gang dekat rumahku dan aku membawamu untuk mengobati luka-lukamu yang banyak,"

"Luka?" Gadis itu memperhatikan tubuhnya dari lengan sampai ujung kaki, memang benar tubuhnya dipenuhi banyak luka dan pakaian putihnya sudah benar benar lusuh tak berbentuk gaun.

"Sekarang bolehkah aku yang bertanya?" Gadis itu kembali memperhatikan Aomine dengan iris madunya yang begitu berbinar.

"..." Bukannya bicara iris biru tuanya malah membalas balik tatapan si iris madu. Gadis itu kemudian menggerak-gerakkan tangannya di depan wajah Aomine untuk membuatnya sadar.

"Apakah aku berada di bumi?" Gadis itu kembali bertanya.

"Hah? I, iya, ini planet bumi,"

"Berarti aku pergi sangat jauh,"

"Pergi? Maksudnya kau tidak berasal dari bumi?"

Gadis itu kembali menoleh pada Aomine, dengan tatapan yang dipenuhi rasa penasaran.

"Beritahu aku, sudah berapa lama aku disini?" Manik topaz itu melebar, seolah menuntut jawaban yang sejelas jelasnya dari Aomine.

Aomine mengeryit bingung.

"Apa maksudmu? Mana aku tahu? Lagipula kau belum menjawab pertanyaanku, kau itu apa, siapa, darimana, dan bagaimana kau bisa memiliki sayap seperti itu?"

Gadis itu malah diam menggaruk pelipisnya. Aomine menunduk lesu kali ini, sekarang ia ragu besar dengan dongeng ibunya kalau malaikat itu sangat cerdas lebih dari manusia. Dan juga cerita Satsuki kalau malaikat selalu mencatat segala perbuatan manusia untuk mencegahnya membaca majalah Horikita Mai setiap hari. Malaikat jenis seperti gadis di hadapannya tidak menggambarkan watak malaikat seperti dongeng dua wanita yang paling dekat dengannya itu. Atau malaikat ini mengalami amnesia karena dilihat dari luka-lukanya, malaikat ini mungkin terjatuh dari langit. Aomine tidak bisa berpikir yang rasional untuk menggambarkan apa yang terjadi pada makhluk manis tapi berantakan dihadapannya ini.

"Aku, aku memang tidak berasal dari permukaan bumi,"

Aomine kembali menoleh pada gadis itu.

"Namaku Ryouta, aku berasal dari langit ke-7, seperti yang kau pikirkan aku ini bukan manusia,"

"Berarti kau memang malaikat,"

"Malaikat? Tidak, tidak, kasta mereka terlalu tinggi untuk disejajarkan denganku,"

"Lalu kau itu apa? Manusia bukan, malaikat bukan, asalmu dari langit ke-7, langit ke-7 itu surga kan? Atau apa kau itu jin? Setan? Iblis? Dedemit? Makhluk jadi-jadian?" Aomine sepertinya mulai kesal dengan gadis bernama Ryouta itu. Ditanya ini belok ke situ, ditanya itu belok ke sini.

"Kau sendiri inginnya menganggap aku apa?"

"Sudahlah, kalau begitu aku menganggapmu malaikat saja," Aomine sebenarnya ingin mengatakan bidadari, tapi kesannya ia memuji gadis itu yang tidak bisa dipungkiri berwajah sangat sangat cantik dan tidak bisa dibandingkan dengan gadis gadis bumi.

"Yasudah, terserah, sebenarnya aku ini calon malaikat,"

"Kenapa jadi lebih rumit? Haish, sudah, lukamu itu memangnya tidak sakit yah?" Aomine menunjuk-nunjuk luka Ryouta dengan sedikit ngeri, apalagi ia baru melihat luka seperti luka tusuk versi tidak berdarah banyak menganga di punggung Ryouta sepanjang pisau dapur.

"Duh, luka-lukaku memang separah itu yah?" ujar Ryouta dengan santainya.

"Manusia kalau punya luka seperti itu bisa tewas kau tahu?"

"Tapi aku tidak merasakan apapun, padahal aku jatuh dari langit ke-7 loh,"

"Ck," Aomine inginnya berkata "Terus gua harus bilang WOW elu jatoh dari sana?" tapi mengingat ia berhadapan dengan makhluk bukan manusia, aomine mencoba mengeluarkan kosakata yang sebaik mungkin untuk berjaga-jaga. Bagaimanapun juga jatuh dari ketinggian setinggi itu dan tidak hancur adalah kekuatan tersendiri yang dimiliki Ryouta. Siapa yang tahu kalau Ryouta punya kekuatan sihir yang bisa membuatnya ikut naik ke langit.

"Berarti jalan yang rusak itu bekas kau terjatuh?"

"Uhm, maaf sudah membuat jalanmu rusak, tadinya aku ingin jatuh di genangan air raksasa yang aku lihat dari langit, tapi ternyata mengendalikan meteor itu lebih sulit dari yang aku kira sebelumnya,"

Aomine menganga tidak percaya, jatuh dari langit ke-7 bersama dengan meteor. Harusnya ini menjadi breaking news di pagi hari, berarti memang benar kawah yang terbentuk di jalan itu disebabkan oleh meteorit, dan juga makhluk yang mengaku calon malaikat.

.

TBC

Duh, gimana bilangnya yah, Hallo kah? Hai kah? Saya gak tahu harus bilang apa, saya bener-bener newbie yang kebelet nyepam di fandom ini. Masih panjangan semester sekolah dibanding usia saya ngefans Kurobas. Ini cerita harusnya masih berlanjut dan harusnya bukan yang ini yang publish tapi saya takut keburu tanggal 21. Saya gak mau bikin kecewa sensei saya dalam dunia anime author Saerusa, takut beneran nunggu publish-an saya. Saya gak keberatan gak ada yang baca ini, yang penting unek-unek di otak saya ini udah keluar separo. Review pertama bakalan saya kenang. Ini beneran FF pertama saya yang berhasil saya publish dan semoga bisa sampe tamatnya dan ber-sequel.