2 tahun lalu,
"Kenapa barang seperti ini bisa ada di laci Kak Fumika!? Kenapa kau tidak memberitahuku kalau Kak Fumika sedang sakit!? Kenapa!?"
Aku tidak bisa menjawabnya. Kepalaku terus menunduk. Kecewa pada diriku sendiri, juga kecerobohanku untuk tidak membiarkannya tahu soal ini.
"Saat aku melihat hasil pemeriksaan terakhir kali di benda ini, hanya ada 5 deret angka tersisa yang tercatat. Jadi..."
Ia mengarahkan benda persegi panjang itu ke arahku. Ya, aku tahu betul apa yang akan terjadi pada diriku. 5 deret angka yang tersisa dengan waktu saat ini, umurku...
"Seharusnya... Kak Fumika sudah..."
Aku memejamkan kedua mataku. Terlalu takut untuk mengetahui apa yang terjadi selanjutnya. Aku... Aku...
'Aku tidak ingin mengucapkan selamat tinggal. Tidak! Tidak untuk saat ini!'
Hatiku menjerit.
*beep*
Setidaknya aku bersyukur sebuah keajaiban datang menyelamatkanku dari penyakit yang seharusnya ada untuk merenggut nyawaku. Akan tetapi,
Dua tahun kemudian, itu sudah beda cerita.
DISCLAIMER
Game THE iDOLMASTER by Bandai Namco Games 2005
Fanfic '"in fact" dalam Arti Sebenarnya', sequel of '"in fact" dalam Sudut Pandang Berbeda' by Sachiya Haruyuki 2018
"in fact" dalam Arti Sebenarnya
Yang namanya keajaiban tentu tak mungkin bertahan untuk selamanya. Bukannya begitu?
Kemarin lusa, 2 tahun sejak konser tunggal Arisu Tachibana. Hari itu benar-benar menjadi hari kelabu bagi si idola yang kini berusia 14 tahun itu. Sang ibunda telah dikonfirmasi meninggal dunia akibat tubuhnya tak mampu menanggung komplikasi penyakit yang dideritanya sejak salah satu ginjal nya mengalami malfungsi. Terhintung satu minggu sebelum konser tunggal dimulai.
"Aku turut berduka cita atas meninggalnya ibumu, Arisu."
Shiki Ichinose menjadi satu-satunya saksi bisu kematian ibunda Arisu dua hari yang lalu. Kala itu Arisu sedang dalam sesi pemotretan bersama Fumika dan tiga anggota Caerula lainnya. Ketika mengetahui kabar itu, Arisu langsung pergi meninggalkan tempat kerjanya terburu-buru menuju rumah sakit. Hanya untuk mengetahui raga ibunya sudah tidak bernyawa.
"Itu... Tidak mungkin... I-Ibu..."
Tentu saja siapa yang tak sedih saat mengetahui orang terdekatmu meninggal? Apalagi jika dia sudah menjadi bagian dari keluargamu.
Tetapi Arisu sendiri, entah mengapa tidak bisa lebih sedih ketimbang saat pertama kali mendengar kabar ibunya masuk rumah sakit dua tahun lalu.
"Ibu... Aku tahu... Kau akan pergi meninggalkanku suatu saat nanti... Tapi tetap saja... Sedih..."
Arisu mengucapkan itu dengan nada lirih sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, sesekali juga menghapus air matanya yang terus menetes.
"Arisu, jangan kau paksakan dirimu."
"Bukan begitu, Kak Shiki... Hanya saja..."
Idola bermulut kucing itu menatap Arisu bingung.
"Setiap aku menangis, aku selalu ingat ibu dan Kak Fumika... Rasanya seperti... Tak tega jika mereka harus melihatku begini..." ucapnya lagi sambil terus menyeka air matanya. "Aku tak tahu bagaimana perasaanku sekarang... Aku tentu saja sedih... Tapi aku juga bingung... Aku..."
"Sudah sudah, Arisu. Sudah kukatakan untuk jangan memaksakan diri."
*pat*
"Eh?"
Shiki berucap demikian sambil menepuk kepala Arisu, sesuatu yang ia tahu tidak disukainya. Namun Arisu sendiri tidak menolak kali ini.
"Sebaiknya kita tunggu saja disini. Aku yakin anak-anak Caerula pasti sedang mencarimu sekarang."
"B-Baiklah."
Dan hari ini,
Di depan makam ibunya, hanya Arisu dan Fumika yang berada disana. Memberi doa dan harapan terakhir untuk almarhumah.
"Arisu, boleh aku tanya sesuatu?"
Fumika menjadi yang pertama buka suara.
"Kak Fumika?"
"Apa kau, benar-benar tak sedih kehilangan ibumu?"
"..."
Ugh. Pertanyaan menjebak lagi. Fumika selalu seperti itu apalagi kalau sudah berdua dengan adik kesayangannya.
"Aku sendiri bahkan tidak tahu jawabannya."
"Begitu."
Fumika menatap adiknya dalam keadaan murung. Terlalu jelas jawabannya. Pastinya sedih bagi Arisu karena harus kehilangan satu-satunya keluarga yang ia miliki, satu-satunya alasan ia mau bergabung dengan agensi idola 346.
"Berkali-kali aku coba memikirkan jawabannya, tetap saja aku jadi bingung sendiri. Aku tak tahu apakah ini alasan yang benar-benar sesuai dengan keadaanku sekarang..." Mata Arisu berpaling ke arah langit biru siang hari yang terik. "Tapi ada satu hal yang kuketahui."
"Hm?"
"Aku tak tahu apa ini bisa dijadikan jawaban, tapi. Aku... Sedikit merasa lega..."
"Apa maksudmu, nak?"
Tentu saja Fumika bingung. Sedikit kebahagiaan di tengah duka bukan hal yang agaknya masuk akal di pemikiran Fumika sendiri. Tapi ia tahu Arisu pasti punya alasan.
"Dua tahun ibuku terus menderita karena hanya memiliki satu ginjal. Dua tahun belakangan pula kondisinya terus menurun. Berbagai penyakit sudah masuk dalam tubuhnya. Tapi... Kini ibu sudah tenang disana. Ia tak perlu merasakan sakit di tubuhnya lagi. Ibu... Pasti sedang menikmati indahnya surga disana..."
Mata Arisu berkaca-kaca membayangkan almarhumah ibunda nya, tersenyum bagai anak-anak menikmati surga dengan segala keindahannya. Meski begitu, ia tak memungkiri dalam hatinya menyimpan banyak rasa rindu yang harus ia tahan hingga akhir hayatnya kelak.
"Mungkin karena itulah... Sulit bagiku untuk sedih... Apalagi setiap aku menangis seperti sekarang," Arisu kembali menyeka air matanya lalu mengalihkan pandangannya ke kakak tercintanya. "Ibu dan Kak Fumika, pasti aku langsung ingat kalian berdua... Jadi..."
Fumika sedikit terkejut dibuatnya namun langsung menyunggingkan senyum kecil di wajahnya.
"Iya iya. Aku sudah mengerti, Arisu sayang."
Tapi kemudian Fumika jadi kepikiran sesuatu. Apakah ini adalah imbas dari keajaiban yang ia terima dua tahun lalu? Saat dirinya yang 'semestinya' meninggal karena gagal jantung malah bisa sembuh sedia kala?
'Mungkin aku berpikir terlalu jauh.'
Malam ini aku sendirian di kamar.
Tangan kananku bergerak menuliskan deret kalimat demi kalimat di buku harianku. Sesuatu yang jujur saja sangat kuno untuk dilakukan di era teknologi seperti sekarang. Ditemani lampu meja yang tidak terlalu terang sehingga tidak sampai menyakiti kedua mataku.
Dan Arisu belum juga datang kemari.
'Mudah-mudahan anak-anak LiPPS tidak ada yang berbuat macam-macam padanya.'
Coba kalau dipikir lagi. Belakangan anak-anak LiPPS jadi dekat dengan Arisu sejak konflik dua tahun lalu. Ketika ibunya masuk rumah sakit, Shiki jadi orang pertama yang mendekatinya.
Shiki dan Kanade, dua orang berbahaya dari LiPPS.
'Mulai lagi berpikiran yang aneh-aneh.'
Tangan kananku sudah cukup lelah untuk menulis. Seketika aku menaruh bolpoin ku kembali di tempatnya dan melihat kembali tulisan di buku harianku.
Aku punya kebiasaan cukup aneh ketika menulis, aku sering tidak melihat apa yang kutulis langsung di kertas sehingga aku harus mengecek ulang untuk memastikan. Dan,
Wajahku memanas karena tulisanku sendiri.
'Ya ampun... Ini...'
Akalku masih cukup kuat untuk membaca literatur yang isinya hal-hal berbau eksplisit. Tapi ini, murni dari tanganku sendiri. Tulisanku sendiri. Bagaimana aku tidak merasa malu?
'Uh... Tidak boleh... Arisu tidak boleh membaca ini... A-Aku harus menyembunyikannya...'
Tapi belum sempat aku melakukannya,
"Aku kembali~"
"H-Hyaah!"
Tangan kananku refleks melempar buku harianku yang dari tadi kupegang ke arah Arisu.
"Waaa! Wawawawa~"
Kedua tangannya tergesa-gesa mencoba menangkap bukuku yang tidak sengaja kulempar padanya. Tentu saja, siapa yang tidak kaget ketika kau mendengar suara keras tiba-tiba di sekitarmu?
"Duh, Kak Fumika ini bikin kaget saja. Hampir saja bukunya kena mukaku."
"I-Iya. Maaf..."
"Ngomong-ngomong aku baca isinya, ya."
"..."
Bagai kilat yang tiba-tiba menyambar. Aku... Tidak salah dengar. 'kan? Dia, mau baca isi buku harianku?
'Oh tidak... Habislah aku...'
Kedua tangannya bergerak memindahkan halaman demi halaman. Kuperhatikan ekspresi mukanya baik-baik. Sampai menuju halaman terakhir yang kutulis,
"Wa..."
Wajahnya memerah. Sepertiku barusan.
"A-A-A-Apa-apaan ini!?"
"M-Maaf... Maafkan aku... Aku benar-benar tidak sadar aku menulis itu di bukuku..."
Dan bukannya membaca buku harian orang lain itu tidak sopan?
"A-Aku tidak mau tahu! Pokoknya Kak Fumika harus robek halaman ini! Nanti jadi kebiasaan!"
Arisu benar-benar kubuat malu karena tulisanku. Dengan loyo aku melangkah mendekati Arisu, hendak mengambil buku harianku dan merobek halaman terakhirnya sesuai yang ia minta.
Tapi,
"Kena kau..."
*grep*
"Eh? W-Wah!"
*brugh*
Arisu secara mendadak meraih bahuku dan mendorongku ke kasur. Kebingungan ia mendadak jadi agresif begini.
Agresif? Tunggu dulu. Bukannya itu,
"A-Arisu! Apa yang- uh..."
Belum sempat aku bangun, Arisu sudah berada tepat di atas tubuhku. Aku dikunci.
"Sebenarnya apa yang barusan kubaca tepat seperti apa yang tadi terjadi padaku."
"H-Huh?"
Oh jangan bilang.
"I-Ini salah Kak Shiki dan Kak Kanade yang menyarankan hal-hal seperti ini padaku..."
...
Tuh kan apa yang kupikirkan tadi! Dua orang itu memang berbahaya!
'Shiki dan Kanade sialan. Beraninya mereka meracuni adikku.'
"Kak Fumika, aku akan jujur padamu sekarang."
"Eh?"
Tatapan Arisu padaku mulai melembut.
"Sedikit terlambat aku mengatakannya, tapi... Aku... Mencintaimu..."
"A-Arisu?"
Cinta? Arisu, mencintaiku?
Ya, aku tahu rasa cintaku sendiri padanya tidak lebih dari sebatas rasa cinta seorang kakak kepada adiknya. Tapi jika itu datang dari seorang Arisu, tentu saja maksudnya lain.
"Arisu... Kau tahu 'kan kalau-"
"Aku paham... Kita sama-sama perempuan, tapi rasa cintaku bisa lebih dari itu. Bodoh sekali."
Arisu selalu malu ketika membicarakan masalah cinta. Aku tahu ia ingin dipandang sebagai wanita dan bukan anak kecil. Mencintai seseorang adalah salah satunya. Tapi, kenapa harus aku?
"Aku juga... Ingin berterimakasih padamu."
"Arisu?"
"Ketika aku harus mengalami masa-masa sulit, Kak Fumika selalu ada untuk menyemangatiku. Kak Fumika tak pernah mengeluh ketika kerepotan mengurusiku. Sama sekali tidak pernah. Aku sering merasa tidak enak hati sekaligus kebingungan bagaimana caranya membalas semua kebaikan yang Kak Fumika berikan padaku."
Seperti itu kah? Sebesar itu rasa cintanya sampai ia bahkan tak tahu cara mengungkapkannya?
"Aku tidak mau membuatmu repot lagi karenaku. Aku tak mau lagi kau ragu padaku. Jadi-"
"Arisu..."
Tangan kiriku bergerak menggenggam tangan kanan kecilnya. Aku yakin kornea mataku sudah menggelap karena pikiranku tak lagi bersih seperti biasanya.
"Jika terjadi sesuatu padaku, kau yang tanggung jawab ya, sayangku~"
"Oh, Kak Fumika..."
Selanjutnya yang kurasakan hanya beberapa hal. Ciuman yang memabukkan, dentuman kasur, dan huruf vokal "a" yang entah berapa kali menggema di kamar ini.
~ Aku ingin memilikinya seutuhnya, cukup agar ia tak sedih lagi ~
~ Selesai ? ~
