Delicate
Jaemin x Haechan
.
Look who is me. Isn't it delicate?
.
Haechan tersenyum kala lampu-lampu blitz kamera menghujaninya. Ia harus terlihat sempurna berjalan di atas karpet merah ini. Meski lehernya terasa tercekik dan gatal karena kerah kemeja yang kaku dan dasi kupu-kupu yang dipasang rapat. Para bodyguard mengelilinginya. Seolah jika mereka merenggang sedikit, Haechan akan mati. Sama sekali tidak membantu dirinya yang mulai kehabisan udara segar.
Haechan membiarkan helaan nafas keluar dari bibirnya kala ia sudah sampai di dalam gedung. Ia mengendurkan sedikit wajahnya yang mulai kelu lantaran terlalu banyak tersenyum lebar.
"Haechan-ssi!"
Ah, mulai lagi. Haechan mendongak dan menatap ke arah seseorang yang menyapanya. Tak lupa ia menyunggingkan senyuman lebar.
"Prince Lucas! Sebuah kehormatan bertemu dengan anda malam ini."
Orang yang disebut Lucas oleh Haechan itu tersenyum hingga memperlihatkan gigi-giginya. Terlalu lebar, bahkan Haechan berpendapat senyuman yang diberikan Lucas padanya terlihat bodoh. Namun untuk menjaga nama baik Haechan, ia tak menyuarakan pikirannya.
Mereka terlalu lama berdiam di tempat dan berbincang basa-basi. Para bodyguard Haechan seperti cacing kepanasan. Mereka merapat pada Haechan, memberi Haechan kode lewat gestur, bahwa laki-laki manis bersurai madu itu harus menyudahi basa-basinya dengan Lucas.
Terkadang Haechan senang orangtuanya memperkerjakan bodyguard yang lumayan peka. Dengan senang hati Haechan menyudahi perbincangan membosankannya dengan Lucas.
"Ah maafkan aku, Prince Lucas. Mungkin kita berbincang lain kali lagi?" Tak lupa Haechan sunggingkan senyum manisnya. Sejenak Lucas terpaku pada bibirnya. "Ah- oh tentu saja," ucapnya. Haechan belum melepas senyumnya, "Sampai bertemu lagi, nikmati pesta anda malam ini!"
Ada segelintir rasa kecewa pada manik Lucas ketika Haechan menjauh darinya. Namun Haechan terlalu tidak peduli sampai ia tidak memiliki rasa bersalah sedikit pun pada Lucas. Sejak pertama mereka bertemu, Haechan tahu Lucas tertarik padanya.
Ia kembali berjalan memasuki gedung lebih dalam dan melihat-lihat sekitarnya melalui celah-celah tubuh para bodyguard. Haechan meringis, andai ia lebih tinggi atau mungkin lebih besar dan kuat. Ia pasti sudah menyeruak keluar dari lingkaran yang dibentuk oleh para bodyguard ini.
Untuk mengusir rasa bosannya, ia berhenti di sebuah tiang emas mengkilap seperti kaca. Kemudian ia mundur satu langkah. Tentu saja para bodyguardnya mengikutinya mundur satu langkah. Kemudian Haechan mundur satu langkah lagi dan dengan cepat mengambil satu langkah.
Para tamu melihat mereka aneh. Haechan merasa seperti pasukan baris berbaris. Ia membiarkan tawa kecil lepas dari bibirnya, dan saat ia melihat wajah salah satu bodyguardnya berkedut kesal, tawanya lepas.
"Having little fun there, sunshine?"
Haechan menoleh dan mendapati Johnny Seo mengintip di sela-sela tubuh bodyguardnya. Haechan mengendikkan bahu kemudian menyeruak keluar. Para bodyguardnya membiarkan Haechan dan tidak mencengahnya.
"Oh Johnny!" pekik Haechan dengan wajah dramatis. Johnny terkekeh geli melihat tingkah Haechan, namun membiarkan laki-laki manis itu memeluk pinggangnya. Johnny balas merengkuh tubuh Haechan. "Apa Mark datang?" tanya Haechan. Ia mendongak untuk bisa bertemu tatap dengan Johnny. Johnny menggeleng dan mencubit gemas pipi Haechan. "Sayang sekali bocah itu terkena flu, jadi tidak bisa datang."
"Oh aku akan menderita!"
"Berhentilah bersikap dramatis, sunshine. Sekarang lepas pelukanmu, aku harus menyapa para tamu."
"Lebih seperti 'menggoda' para tamu."
Johnny menatap tajam Haechan sedangkan Haechan menyunggingkan senyum lebar yang manis. Johnny tidak bisa berlama-lama menatap Haechan seperti itu. Pada akhirnya ia selalu kalah dengan keimutan Haechan.
"Aku menyiapkan kamar untukmu. Kalau kau bosan, kau bisa mendekam di kamar."
"Tidak bisakah akujalan-jalan keluar?"
Johnny menggeleng. Ia melangkah mendekati salah satu bodyguard. "Awasi anak ini, jangan sampai lepas." Bodyguard itu memandang lurus ke depan dan mengangguk, "Siap tuan muda Seo," seperti robot.
Haechan memutar bola matanya jengah. "Cukup sudah kalian berperilaku protektif padaku!"
"Oh sunshine, lebih baik kau turuti semua. Ini demi kebaikanmu, oke?" Johnny membelai pipi Haechan dengan ibu jarinya sebelum akhirnya pria itu menjauh dari tempat Haechan untuk menyambut tamu yang mulai berdatangan. Haechan mendengus sebal. Ia melangkah cepat menuju kamar yang Johnny sebutkan tadi.
"Tuan muda Lee! aku harap anda melangkah dengan hati-hati!"
"Oh diamlah! Aku tahu caranya melangkah sejak umur 2 tahun!"
.
.
Haechan duduk di sebuah kursi dan berhadapan dengan laptop. Tangannya sibuk mengklik mouse dan bola matanya bergerak-gerak mengikuti karakter game di layar laptopnya.
"Tuan muda, apa yang anda lakukan sampai rambut anda berantakan begini?"
Seorang hair stylist masuk, ia langsung mengambil sisir dan hair spray. Dengan cekatan merapikan rambut Haechan.
"Hmmm.." gumam Haechan.
"Tuan muda Seo memintaku untuk membantu anda bersiap-siap. Dansanya akan dimulai sebentar lagi." Haechan tidak mengindahkan perkataan hair stylistnya. Ia hanya menggumam sebagai jawaban.
Saat dirinya hampir menyelesaikan stage dalam game, dan senyum bangga hampir tercetak sempurna di bibirnya, pintu kamarnya terbuka lebar dengan suara keras. Haechan terlonjak kaget hingga menjatuhkan wireless mouse nya dan mendapati tulisan You Lose di layar laptop.
"Aku sudah bilang pada Johnny untuk berhenti memanjakanmu. Lihat sekarang kau menjadi susah diatur!"
Haechan menoleh menuju sumber keributan di kamarnya dan mendapati Seo Herin tengah berkacak pinggang. Ia terlihat begitu anggun dengan gaun berwarna biru gemerlap yang serasi dengan tuxedo Haechan malam ini.
Herin melangkah mendekati Haechan kemudian membenahi kerah milik lelaki manis itu. "Aku tahu kau benci acara semacam ini, Haechan. Tapi setidaknya perlihatkan sikap yang sopan." Haechan menyingkirkan tangan Herin dari lehernya. "Aku tunggu kau di lantai dansa."
Haechan mengangguk kemudian Herin keluar dari kamarnya. Sang hair stylist yang berdiri tak jauh darinya pun berdeham, "Uhm, saya permisi dulu." Haechan sekali lagi mengangguk. Kini tinggal dia sendiri yang berada di dalam kamar.
Ia berjalan ke arah cermin dan mematut diri, kemudian menghela nafas.
"Apa yang orang-orang lihat dariku?" tanya Haechan pada bayangannya di cermin.
"Apa aku terlihat seperti umpan untuk memancing ayahku menghamburkan uangnya?"
"Atau sebagai aset berharga keluarga Lee?"
"Seorang anak miliarder?"
"Andai orang-orang melihatku seperti Haechan Lee si tengil yang masih berusia 17 tahun."
Haechan menghela nafas berat. Ia memejamkan matanya sejenak kemudian membukanya perlahan. Untuk terakhir kalinya ia mematut diri di cermin sebelum membuka pintu kamarnya dan keluar.
Anehnya, bodyguardnya tidak bergerak seinci pun dari tempat mereka berdiri bahkan ketika Haechan sudah lima langkah berada di depan mereka.
Haechan termangu. Kemudian ia berjalan perlahan menghampiri salah satu diantaranya, mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah sang bodyguard. Namun tak ada reaksi.
Kini alis Haechan terangkat sebelah dan ia menyeringai lebar. Betapa senangnya Haechan karena tak ada satupun yang dapat melihatnya. Tak ada!
Haechan berlari-lari, bolak-balik menuju lobi sampai ke pintu ruang dansa. Kemudian ia masuk ke ruang dansa dan mengambil cupcakes. Memakannya dengan lahap tanpa memperdulikan tata cara makan yang baik dan benar.
Dan coba lihat. Tak ada yang bisa melihatnya! Tidak ada yang melihatnya makan dengan mulut penuh dan bibir celemotan. Tidak ada yang melihatnya mencium ketiak di atas panggung tempat orkestra, dan tak ada yang melihatnya menggoyangkan pantat di depan wajah sang konduktor!
Haechan berlari-lari di sepanjang lorong. Dengan lincah menghindari para pelayan yang sibuk mondar-mandir membawa nampan. Ia tak sengaja menyenggol seorang pelayan sehingga nampan berisi wine yang ia bawa jatuh ke lantai.
"Apa yang kau lakukan! Perhatikan langkahmu, nak!"
Haechan berkeringat dingin. Rupanya sang kepala pelayan mampu melihatnya. Ia memejamkan mata, namun sang kepala pelayan malah terus melewatinya hingga ia sampai di tempat pelayan itu berdiri. Haechan membulatkan mata. Jadi, benar kan dia tidak terlihat?
Langsung saja Haechan berlari keluar gedung. Sesampainya diluar ia melihat para reporter dan papparazi yang duduk di tanah. Mereka akan seperti itu sampai acara selesai dan para tamu keluar dari gedung untuk pulang. Haechan menatap mereka iba karena acara baru akan selesai mungkin dini hari.
Lantas laki-laki manis itu ikut duduk di sebelah salah satu reporter. Ia ikut memandang ke arah pandangan reporter tersebut. Haechan kini mengerti jika berada di posisi reporter itu. Ia akan menatap gedung yang dilapisi emas itu terus-terusan tanpa bosan. Sayangnya Haechan bukan si reporter dan ia bosan dengan gedung-gedung megah berlapis emas.
Kini setelah ia sudah berada di luar gedung, Haechan berpikir untuk berjalan-jalan sebentar. Jalan-jalan tidak akan membuatnya mati, kan?
.
.
Haechan memegang sebuah cheese burger dari burger king di tangan kanan dan gelas berisi cola berukuran besar di tangan kirinya. Di mansion tempat ia tinggal, makanan dan minuman seperti itu dilarang keras keberadannya. Haechan harus menjadi tak terlihat dulu supaya bisa merasakan junk food.
Setelah menyelesaikan burgernya, ia menatap telapak tangannya yang berminyak. Well, disekitar sini tak ada tempat cuci tangan ataupun serbet untuk mengelap tangannya. Ia menunduk dan melihat tuxedo birunya yang mengkilap. Senyum jahil tercetak di wajahnya. Haechan tertawa-tawa sambil mengelap tangan berminyaknya di tuxedo. Bisa dibayangkan wajah mengkerut Ten, desainernya, ketika mendapati tuxedo kebanggaannya berbau dan berminyak.
Hari semakin larut dan nampaknya orang-orang belum dapat melihatnya. Ia berkeliling, mencoba bertatapan dengan seorang pria yang menatap kosong ke arah sungai. Beberapa kali Haechan menjentikkan jarinya, namun pria itu tak berkedip.
Akhirnya pria itu menoleh ke arah Haechan, kemudian menatapnya dalam. Haechan mulai senang karena pria itu akhirnya dapat melihatnya. "Halo!" sapanya. Namun pria itu menolehkan kepalanya ke arah berlawanan, kemudian menoleh lagi ke arahnya, sebelum akhirnya ia menceburkan dirinya ke sungai.
Haechan melotot kaget. Tangan pria itu menggapai-gapai. Beberapa menit kemudian Haechan tak dapat melihatnya lagi karena ia terbawa arus. Tubuh Haechan gemetar. Pria itu menoleh bukan karena melihatnya, melainkan memastikan jika tak ada seseorang yang melihat dan mencegahnya untuk bunuh diri.
Pikiran akan dirinya yang tak akan pernah terlihat lagi membuatnya takut. Haechan berjalan di trotoar yang mulai sepi dengan tubuh yang gemetar. Antara dingin dan menahan isak tangis. Ia beberapa kali menabrak seseorang. Namun orang tersebut tampaknya tidak merasakan apa-apa. Padahal Haechan di sisi lain merasakan interaksi fisik tersebut. Haechan sangat ketakutan.
Ia sampai di sebuah taman dimana terdapat sekumpulan anak muda tengah bermain skateboard dan melakukan trik-trik. Haechan sedikit merasa terhibur. Ia duduk di salah satu bangku taman yang tak jauh dari mereka.
"Oh ayolah Jaemin, lakukan lagi!"
"Ayo semuanya bersorak untuk Jaemin!"
"Jaemin! Jaemin!"
Seorang anak laki-laki yang memakai beanie dan telinga yang di piercing itu mengendikkan bahu. Bahkan dari tempat Haechan duduk pun ia dapat melihat wajah sombongnya. Haechan mendecih tidak suka. Meski begitu Haechan mengakui bahwa laki-laki bernama Jaemin itu sangat keren ketika ia membawa skateboardnya kemudian meluncur dan melakukan beberapa trik.
Tanpa sadar Haechan bertepuk tangan ketika Jaemin selesai dan kembali ke tempat teman-temannya. Mereka bersorak untuk Jaemin. Jaemin mengangkat dagunya dan menyunggingkan senyum sombong.
Haechan mengernyit saat tanpa sengaja tatapannya dan Jaemin bertabrakan. Jaemin menyeringai ke arahnya sehingga Haechan menoleh ke belakang. Ia pikir ada seseorang di belakangnya, namun tidak ada. Hanya ada dia yang duduk disini. Apakah mungkin Jaemin tersenyum padanya?
.
.
Sekumpulan anak-anak muda itu nampaknya sudah selesai. Mereka memberikan salam perpisahan sebelum akhirnya berpencar dan meninggalkan anak laki-laki bernama Jaemin itu sendiri.
Jaemin kini mengambil jaket yang ia taruh di pagar pembatas dan menyampirkannya di pundak. Ia menenteng skateboardnya dan berjalan ke arah Haechan. Haechan tidak melihat Jaemin datang karena ia mengubur kepalanya di lipatan lengan yang bertumpu pada lututnya.
"Sepertinya aku memang tidak berhalusinasi melihat seseorang memakai tuksedo."
Haechan mengangkat kepalanya dan melihat Jaemin menarik sebelah bibirnya ke atas.
"Hey, aku Jaemin."
Jaemin mengulurkan tangannya. Haechan membulatkan matanya, kemudian mengambil tangan Jaemin dan menggenggamnya erat. "Kau… Kau bisa melihatku?!" tanya Haechan. Jaemin mengerutkan dahinya bingung.
"Jaemin, lihat, aku pakai baju apa?"
"Tuksedo biru dan… ugh haruskah dibuat mengkilap?"
Haechan tidak peduli dengan komentar Jaemin soal tuksedonya.
"Benar kan kau bisa melihatku?"
Jaemin berdecak, "Bagaimana bisa aku tidak melihat seseorang secantik dirimu?" Jaemin tersenyum. Ia melirik ke arah tangannya yang masih Haechan genggam di depan dadanya. Haechan tersenyum malu kemudian melepas tangan Jaemin. "Ugh, maaf."
Jaemin tersenyum lebar. Ia melangkah untuk lebih dekat dengan Haechan, namun Haechan mundur melihat Jaemin mendekat. Jaemin tidak tersinggung, ia justru maklum.
"Jadi, apakah malaikat memang selalu muncul di jam selarut ini?"
Haechan menundukkan kepalanya. Ia biasa dipuji oleh orang-orang, namun tidak pernah sampai membuat wajahnya hangat.
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini dengan tuksedo itu? Oh, apakah kau mahkota kerajaan yang kabur karena tidak terima dengan pertunangan yang diputuskan sepihak?"
Haechan mengangkat wajahnya dan lagi-lagi matanya membulat. "Hey, aku tidak– " "Aku hanya bercanda, tapi reaksimu selucu itu. Manis sekali." Lagi-lagi Jaemin membuat Haechan tersipu malu.
"Ah, kau belum menyebutkan namamu."
"Haechan, namaku Haechan."
Jaemin tersenyum lebar, "Nama yang manis."
"Well, ini sudah larut, princess. Apakah aku harus menjadi pangeran berkuda putihmu dan mengantarmu pulang?" Haechan tertawa. "Hentikanlah segala obsesimu tentang kerajaan, Jaemin. Aku bukan tuan putri!"
Mereka berdua tertawa, kini Jaemin melangkah untuk mendekati Haechan namun laki-laki manis bersurai madu itu tidak menjauh. Jaemin tersenyum tipis.
"Jaemin, berhubung kau satu-satunya orang yang bisa melihatku, aku butuh bantuanmu."
Jaemin mengangkat sebelah alisnya. "Hm, apa?" "Tapi kau janji, dengarkan dulu ceritaku." Jaemin menatap Haechan, kemudian dia mengangguk. Haechan kemudian menarik lengan Jaemin dan mendudukkannya di bangku. Ia menarik nafas, "Tapi kau harus percaya padaku."
Jaemin mengerutkan kening, kemudian mengangguk. Haechan menghela nafas sebelum mulai bercerita.
