©Anggara Dobby
(BOY)FRIEND
Oh Sehun — Lu Han
.
Length : 1/3
[Warning!]boyslove or bromance? Idk. Bahasa non-baku, ngga sesuai EBI. DLDR. Lokal!AU
.
.
.
"Aku kenal kamu pertama kalinya sepuluh tahun yang lalu. Kamu pakai baju Ironman, di taman, kesusahan ambil bola yang —entah gimana bisa— nyasar di atas pohon. Aku nggak ada niatan buat bantu kamu, aku nyamperin kamu cuma mau bilang kalau kamu itu cantik.
Tapi, aku langsung kena tonjok.
Sejak saat itu, aku tau kalau kamu suka nonjok orang yang bilang kamu cantik.
Kamu tumbuh dari anak kecil yang suka nangis karena jatuh dari sepeda, manja sama Bunda dan Ayah, cari keributan dengan anak-anak komplek sebelah, menjadi sosok yang ceria, mandiri, hangat, dan… menawan, seperti sekarang.
Selamat ulang tahun yang ke-22, Luhan!
Sepuluh tahun yang lalu, hingga sekarang, kamu masih menawan dan tetap jadi sosok yang aku sayangi. Tidak ada yang berubah secuil pun.
Salam, Sehun-mu."
Lelaki bersurai karamel halus itu tertawa kecil membaca pesan yang dikirim oleh seseorang bernama Sehun, yang tidak lain tidak bukan, adalah orang yang sangat dikenalnya; yang satu dasawarsa ini bersamanya seperti perangko. Kemana-mana selalu bersama, dari pagi hingga petang, lalu keesokannya seperti itu lagi.
Luhan, nama lelaki bersurai karamel ini. Hari ini dia sedang berulang-tahun, tidak ada yang spesial, ucapan dan hadiah dari teman-teman serta Bunda dan Ayah masih sama seperti tahun-tahun lalu. Hanya pesan yang ditulis dengan kertas hasil robekan jelek dari Sehun saja yang membuat hari ini lebih manis.
Apa? Menurut kalian itu biasa saja dan norak?
Tapi, tidak bagi Luhan.
Ini manis, tau!
Karena yang membuatnya adalah orang bermuka super datar yang kalau bicara tidak mau membuka sedikit lebar belah bibirnya. Surat lusuh ini sudah cukup membuktikan bahwa keajaiban memang nyata adanya. Sehun bisa bersikap manis! Iya, Si Patung Pancoran itu! tapi, bagi Luhan, dia sudah terbiasa dengan sikap Sehun yang tidak diketahui orang ini. Karena setiap hari, dia sudah cukup kenyang dengan berbagai perlakuan manis Sehun.
"Selamat ulang tahun, Manis."
Luhan sedikit terlonjak ketika lehernya dipeluk dari belakang, disusul dengan bisikan rendah di telinganya yang mampu membuatnya merinding seketika. Tetapi, ekspresi kagetnya spontan berubah ketika melihat wajah Si Pemeluk. Sekeras mungkin Luhan menahan senyum yang akan terkembang di bibirnya, dibalik ekspresi kesal yang dibuat-buatnya sekarang.
"Dateng tiba-tiba kayak Jelangkung. Ngagetin aja." gerutu Luhan.
Si Pemeluk yang tidak lain adalah Sehun terkekeh kecil seraya mengusak rambut Luhan dengan satu tangannya, karena tangan yang lain masih memeluk leher Luhan. Pemandangan itu tidak luput dari puluhan pasang mata yang ada di kafetaria FIB. Sebagian besar memandang iri pada Luhan, karena yang memeluk Si Manis itu adalah lelaki yang paling di-incar seantero kampus oleh mahasiswi dari berbagai Fakultas.
Di saat gadis lain bersusah payah mempercantik diri dan membuat penampilan semakin menarik, Luhan malah dengan mudahnya dekat —bahkan dipeluk sebebas itu— oleh Sehun. Da hell. Siapa yang tidak iri, coba?
"Halah, gitu doang kaget!" tukas Sehun.
"Jangan remehin orang yang kaget, ya! Kalau mendadak aku jantungan, gimana?"
"Ya, pake jantung aku aja, nih," ujar Sehun dengan cengiran kecilnya yang menampilkan gigi taringnya yang menawan. "Kita bagi dua. Kita 'kan satu hati, ya 'kan?"
Luhan memutar bola matanya, malas.
"Guys, please..,"
Sebuah suara dengan intonasi malas menginterupsi kegiatan manis-manis bikin mual antara Sehun dan Luhan. Mata rusa Luhan menatap sosok itu, dia nyaris melupakan eksistensi temannya yang sejak tadi menemaninya itu; Baekhyun.
"Sebenernya, gue males ngulang pertanyaan ini terus dari zaman prasejarah, tapi..," Baekhyun menggantungkan ucapannya seraya memerhatikan Sehun dan Luhan secara teliti. Tepatnya, memperhatikan tangan Sehun yang masih bertengger manis di leher Luhan dengan mesranya. "Kalian berdua pacaran 'kan? NGAKU!"
Dan Baekhyun sangat amat sangat sekali sangat amat sangat, berharap bahwa jawabannya adalah iya.
—tapi, nyatanya…
"Pacaran? Pft, gak mungkin! Kita ini temen, iya 'kan, Bro?"
…Bro.
Bukan Bae.
Kenyataannya, Sehun dan Luhan memang benar-benar murni berteman. Tidak lebih.
Jangan harap mereka berpacaran, kalau kalian tidak mau salty seperti Baekhyun saat ini.
"Iya emang kalian doang yang temenan, tapi peluk-cium jalan terus."
.
.
.
.
.
"Hun, kamu punya pacar baru?"
Pertanyaan itu lolos dari bibir mungil Luhan saat mata doe-nya yang cantik melihat satu pesan masuk yang mencurigakan di ponsel Sehun. Tertera nama Irene di sana, Si Pengirim chat via Line yang berbunyi 'Sayang, nanti malam keluar, yuk?'. Jangan heran melihat Luhan bebas mengotak-atik isi ponsel Sehun, karena benda canggih itu lebih banyak menghabiskan waktu di genggaman tangan Luhan daripada di tangan Sehun.
"Pacar?" Sehun membeo. Lelaki yang baru saja keluar dari kamar mandinya itu berjalan menuju Luhan yang sedang mengkolonialisasi ranjang tidurnya. Dia mendekat, merebahkan diri di sebelah Luhan dengan kepala bersandar pada headboard ranjang. Tangannya yang bebas meraih pundak sempit Luhan, dan Si Manis itu langsung menempatkan kepalanya di dadanya.
"Iya, ini ada yang nge-chat kamu. Dari Irene."
Sehun mengingat-ingat seseorang bernama Irene di kepalanya. Cukup lama, karena di otaknya sekarang penuh dengan harum rambut Luhan yang begitu memabukan. Tidak konsen berpikir jadinya.
"Oh, Irene?" Sehun akhirnya ingat. Irene, gadis cantik dari Fakultas Ekonomi yang kemarin mencium pipinya dan menyatakan perasaan padanya. "Kenapa dia?"
Satu cubitan mampir di lengannya yang bebas, membuat Sehun meringis. Dia mendapati Luhan memelototinya dengan sebal.
Apa-apaan…, melotot saja selucu itu..
"Dia pacar baru kamu?" Luhan kembali bertanya, kali ini dengan nada geregetan.
"Iya kali," Sehun menjawab ambigu. Tidak tertarik dengan pertanyaan Luhan, dia memilih mengusak-ngusakan hidungnya di rambut halus anak itu yang sangat adiktif harumnya.
"Kok jawabnya gitu, sih?"
"Ya, aku enggak tau juga. Kemarin dia bilang, dia suka sama aku. Terus minta aku buat jadi pacarnya dia. Ya udah aku terima."
Luhan sedikit menjauhkan diri. Mata rusanya makin gencar memberi serangan pelototan pada Sehun. Kesal sekali rasanya dia mendengar jawaban santai dan tolol dari Sehun. Ini, nih, yang membuat Luhan ingin sekali melempar Sehun ke Antartika. Cowok itu selalu menanggapi gadis-gadis yang mendekatinya dengan sikap terlalu santai. Tidak tegas, apabila ada yang memintanya untuk menjadi pacar, dia selalu mengiyakan, padahal Sehun sendiri tidak menyukai para gadis itu. Bahkan, Sehun tidak mengenalnya.
Ini seriusan, lho! Sehun pernah mengiyakan ajakan pacaran dari seorang cewek beberapa bulan yang lalu, padahal dia tidak mengenalnya. Hubungan mereka hanya bertahan dua hari saja, karena cewek itu marah Sehun tidak tahu namanya.
Ya jelas 'lah…
Memang, ya, Tuhan itu adil. Sehun diberi paras yang sangat rupawan, tetapi di sisi lain, dia diberi otak yang agak bodoh.
Luhan bukannya cemburu. Serius, dia tidak pernah sekalipun merasa cemburu dengan hubungan Sehun dan cewek-cewek di luaran sana (Lagian, mana sudi dia baper dengan kardus mie instan macam Sehun!). Karena selama sepuluh tahun bersama Sehun, Luhan sudah sangat hafal watak lelaki itu. Sejauh-jauhnya Sehun pergi dengan cewek lain, tetap saja baliknya ke Luhan, tetap saja Luhan yang dicari.
Luhan hanya tidak habis pikir…, kenapa Sehun selalu mengiyakan ajakan kencan dari cewek-cewek yang tidak dia sukai? 'Kan kasihan para cewek itu. Bukannya bahagia ketika pacaran dengan Sehun, malah makan hati.
"Segampang itu? Kenapa kamu terima, Sehunnnnn?" Luhan menggigit bahu Sehun saking gemasnya.
"Abisnya dia nangis, Lu. Aku mana tega liat cewek nangis di depan aku." jawab Sehun seraya mengusap-usap bahunya yang cenat-cenut karena gigitan siluman rusa bernama Luhan.
"Terus kalau misalnya dia nangis-nangis minta kamu nikahin, kamu bakal nikahin dia, gitu?!" tanya Luhan, sengit.
Sehun langsung menggeleng kencang. "Ya, enggaklah! Aku 'kan maunya nikah sama kamu,"
Bibir Luhan langsung terkatup. Daun telinganya perlahan-lahan memerah sebagai representasi dari perkataan Sehun barusan. Menepis rasa asing yang mendadak melingkupi dirinya, Luhan menyalak tajam, "Enggak mau aku tuh nikah sama kamu. Nanti kalau ada cewek yang nyatain perasaan ke kamu, terus kamu terima, aku jadi dipoligami."
Sehun tertawa. Dia kembali meraih kepala Luhan, menaruhnya di dadanya. "Ya udah, nanti kalau ada yang nyatain perasaan ke aku lagi, aku bakal minta pendapat kamu dulu."
"Kamu 'kan bisa mutusin sendiri. Apabila kamu suka, ya kamu terima. Kalau enggak, ya kamu tolak, lah! Kok malah minta pendapat aku?" tanya Luhan, tidak habis pikir. Lama-lama darah tinggi juga dia menghadapi temannya yang satu ini.
"Karena kamu yang paling penting di hidup aku setelah keluargaku. Apapun keputusan kamu, aku bakal turutin." jawab Sehun.
Luhan mengembuskan napasnya. Makin hari, Sehun semakin tidak bagus untuk kesehatan jantungnya. Dari mulai wajahnya yang kian tampan, kata-katanya juga kian hari kian manis. Sebenarnya, ada apa dengan sahabatnya sejak mereka masih ingusan itu? Sehun selalu saja memperlakukannya dengan manis, istimewa, dan berbeda.
"Hun," Luhan melingkarkan tangannya di perut Sehun yang di mana saat dia melakukan itu, dia dapat merasakan dengan jelas kalau perut itu cukup keras dan terasa sekali bentuk kotak-kotaknya. "Kalau sama temen-temen kamu yang lain, kamu kayak gini juga, nggak?"
"Kayak gini gimana?" tanya Sehun.
Luhan mendongakkan kepalanya, melihat wajah Sehun yang sedang keheranan. "Yaa, kayak kita ini…," tukasnya, kesulitan menjelaskan.
"Maksud kamu…, tiduran di atas ranjang sambil pelukan, gitu?"
Luhan mengangguk. Padahal maksudnya itu bukan hanya skinship seperti ini, tetapi juga perlakuan manis lainnya yang dilakukan Sehun setiap hari padanya. Tetapi, Sehun hanya menangkap maksud 'tiduran di atas ranjang sambil pelukan' saja. Ya sudah, lah. Sehun 'kan memang tidak peka dan bebal.
"Aku sama temen-temen yang lain? Semacem Chanyeol, Jongin? Kayak gini?" Sehun berujar dengan nada tidak percaya. "Luhan, aku bayanginnya aja udah jijik." sambungnya, kejam.
Luhan tertawa kecil. "Kok gitu?"
"Ya, iyalah. Ngapain amat peluk-peluk tiang gapura kayak mereka. Kayak enggak ada kerjaan aja," Sehun berujar sengit. Membayangkan dirinya menghabiskan waktu di atas ranjang sambil memeluk Chanyeol atau Jongin saja sudah membuat perutnya mulas. Lebih baik memeluk Luhan, sudah jelas tubuhnya mungil, sangat pas kalau dipeluk, wajahnya manis, aroma tubuhnya juga sangat candu. Tidak seperti teman-temannya yang lain, yang memiliki perawakan kasar serta aroma tubuhnya benar-benar aroma khas lelaki yang suka ke gym. Hih.
"Kalau sama mantan-mantan atau pacar kamu, gimana?" Luhan masih berusaha mengorek informasi.
Sehun menghela napasnya. "Luhan, aku 'kan selalu ngabisin waktu sama kamu. Nama mereka aja kebanyakan aku gak inget, gimana mau ngelakuin yang kayak gini?"
Luhan membulatkan bibirnya dan mengangguk-angguk paham. Iya juga, ya. Setiap hari, setiap jam, setiap saat, Sehun selalu ada di sampingnya —kecuali kalau mereka ada jam kuliah dan sedang ke toilet saja— . Sudah seperti dua lintah kembar mereka. Selalu menempel kemana-mana, sampai orang-orang sering salah paham mengenai hubungan mereka. Mungkin karena faktor rumah mereka yang berhadapan dan juga kedua orangtua mereka yang sudah dekat, jadi keduanya benar-benar tak terpisahkan.
Tetapi, dibalik itu semua, Sehun dan Luhan memang berteman baik. Mereka memiliki hubungan simbiosis mutualisme, saling membantu, saling melengkapi dan saling memerhatikan satu sama lain. Friendship goals, kalau kata anak millennial. Padahal kepribadian mereka berdua saling bertolak belakang. Sehun tipe orang yang dingin bermulut kejam, tetapi memiliki circle pertemanan yang luas, social butterfly sekali pokoknya, dia aktif di berbagai organisasi kampus, terutama di BEM. Berbeda dengan Luhan yang agak introvert, dia adalah mahasiswa kupu-kupu alias kuliah-pulang kuliah-pulang, tidak pernah mau ikut organisasi atau UKM di kampus, malas—katanya.
Sangat berbeda 'kan? Apalagi kalau melihat sifat keduanya yang juga sangat berlawanan. Namun, perbedaan itulah yang membuat Sehun dan Luhan semakin melengkapi satu sama lain.
"Hun, pacar kamu nge-VC, nih," Luhan yang masih memegang ponsel milik Sehun itu memberitahu. "Angkat, enggak?"
"Terserah kamu aja," jawab Sehun.
Karena keputusan di tangan Luhan, akhirnya dia menerima panggilan video dari Irene itu. Wajah seorang gadis cantik langsung memenuhi layar. Tidak main-main cantiknya, Luhan akui. Kenapa cewek berparas primadona ini harus mengemis-ngemis cinta pada Sehun, ya? Dia 'kan punya peluang besar untuk ditembak oleh lelaki lain.
"Sehun?"
"Haaaai!" Luhan menyapa dengan senyum manisnya. Ingat, posisinya masih bersandar di dada Sehun dengan tangan lelaki itu yang melingkari bahunya. Sangat intim. Jadi, tidak heran kalau mengundang tatapan bertanya dan curiga dari Irene.
"Sehun, dia siapa?" Irene bertanya.
"Luhan. Temen aku." Sehun menjawab singkat.
"Temen?" di seberang sana, Irene memasang wajah heran sekaligus tidak suka-nya. Dih? mana ada temen peluk-pelukan gitu? Di atas ranjang lagi! —kira-kira begitulah isi hatinya.
"Nanti malem keluar, yuk? Temenin aku beli peralatan buat praktikum besok." pinta Irene.
Luhan mendongak, melihat wajah Sehun. "Bukannya malem ini kita ada acara makan malam sama keluarga sekalian ngerayain ulang tahun aku?"
"Iya, aku inget." Sehun mengusak rambut Luhan dengan gemas, lalu kembali beralih pada Irene. "Aku gak bisa. Malem ini mau ada makan malem sama keluarga."
"Kamu 'kan bisa ajak aku!"
Sehun mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Irene. "Ngajak kamu? Ngapain?"
"Aku 'kan juga mau kenal sama keluarga kamu, Hun. Kamu gak ada niatan ngajak aku buat makan malem bareng keluarga kamu?"
"Keluarganya Sehun itu aneh-aneh!" Luhan yang menjawab. "Mama-nya itu admin di akun Lambe Turah! Nyinyir banget mulutnya, nanti kalau kamu salah dikit, langsung dipedesin, deh, pasti. Papanya juga aneh, kalo ngerokok suka sambil ngopi kayak Pak Eko, belum lagi suka bawa pistol kemana-mana, kaget dikit langsung narik pelatuk pistolnya. Adeknya lebih parah! Cewek, tapi preman komplek. Kalo makan suka ngecap, naikin kakinya ke atas meja sambil nyabutin bulu ketiaknya. Dia ini suka banget mainan boneka santet! Kalo kamu buat kesalahan dikit, kamu bakal kena ilmu hitamnya."
Sehun menahan tawanya saat melihat raut wajah Irene berubah. Gadis itu sepertinya termakan omongan Luhan barusan.
"Masa sih?"
Luhan mengangguk-angguk kencang. "Beneeerr! Apalagi kamu ini pacarnya Sehun, pasti bakal di tes dulu sama mereka. Tapi, sebenernya mereka baik, kok! Nanti malem juga sekalian ngerayain ulang tahun aku. Ada keluarga aku juga. Kamu jadi dateng?"
Irene spontan menggeleng-gelengkan kepalanya. "G-gak jadi. Aku lupa nanti malem mau ngerjain tugas. Ya udah, nanti aku telepon lagi, ya, Hun! Daahh!"
Irene langsung mematikan sambungan video call. Detik itu juga, tawa Sehun dan Luhan meledak bersamaan.
"Enak aja bilang Mama aku admin Lambe Turah!" Sehun menyentil dahi Luhan di sela-sela tawanya.
"Bunda-Mama 'kan emang suka gosip," ujar Luhan. Iya, dia memanggil Mamanya Sehun dengan sebutan Bunda-Mama. Tadinya, disuruh panggil Mama saja sama beliau, tetapi Luhan tidak terbiasa.
"Tapi bukan admin akun itu juga, kali."
"Hehehehe," Luhan melebarkan cengiran menggemaskannya.
"Lagian, yang kalau kaget suka narik pelatuk senapan itu 'kan Ayah kamu, bukan Papa aku." tambah Sehun. Ayahnya Luhan itu anggota TNI-AD, setiap libur pasti senang sekali mengelap-elap senapannya di teras depan rumah sambil ngopi-ngopi santai dan mendengarkan lagu-lagu lawas milik mendiang Chrisye. Dan kalau beliau kaget sedikit, pasti latah langsung menarik pelatuk senapannya. Apalagi, kalau tidak sengaja melihat Luhan sedang di kisseu-kisseu manja oleh Sehun.
Kaget sekali dia.
Sampai kepala Sehun nyaris jadi sasaran senapannya.
Luhan, masih dengan cengiran manisnya melanjutkan, "Aku 'kan cuma mau nge-tes pacar baru kamu. Apa dia bakal nerima anggota keluarga kamu walaupun sifatnya aneh-aneh atau enggak? Nyatanya, baru tes awal aja dia udah nyerah."
Sehun tersenyum tulus, mengerti maksud Luhan. Dia mengusap rambut cokelat karamel Luhan dengan lembut. "Kenapa kamu tes dia?"
"Ya, karena kalau dia enggak bisa nerima dan beradaptasi sama keluarga kamu, itu berarti dia enggak bisa jadi pasangan yang baik buat kamu. Kamu 'kan udah dewasa, Hun. Jadi, kamu harus bener-bener cari pasangan yang bukan cuma sayang sama kamu, tapi sama keluarga kamu juga."
Sehun mencubit hidung Luhan dengan gemas. "Aduh, bijaknya rusa baru gede ini!"
"Hih, apaan sih!" Luhan menepis tangan Sehun dengan wajah cemberut. Dia 'kan lagi serius. Luhan tidak mau kalau Sehun sampai salah cari pasangan. Bagaimanapun juga, Luhan sudah bersama lelaki itu bertahun-tahun, dan dia juga sangat menyayanginya. Kalau sampai Sehun memiliki pasangan yang tidak ideal nanti, Luhan juga yang ikutan sedih.
"Ya udah, deh, kalau gitu…,"
Luhan menelan ludahnya gugup saat Sehun mengubah posisinya menjadi duduk di hadapannya. Lelaki itu memandangnya dengan serius dengan kata-kata menggantung. Mata tajam Sehun seperti mengulitinya, membuat Luhan merasa terintimidasi. Tetapi, detik berikutnya, Sehun malah tersenyum sangat manis dan melanjutkan kata-katanya;
"…Kamu aja yang jadi pasangan aku, gimana?"
Satu bantal langsung mendarat di wajah Sehun, disusul bantal-bantal yang lain. Pelakunya adalah siluman rusa ganas bernama Luhan, yang sekarang tengah salah tingkah dan berusaha menutupinya sebisa mungkin.
Yang kayak gini disebut teman?
Bloody hell.
.
.
.
.
Sebagai teman, Sehun itu sangat protektif.
Juga posesif.
Bukan tipe posesif yang selalu menanyakan 'Kamu di mana? Dengan siapa? Semalam berbuat apa?' —seperti lirik lagu salah satu Band lawas— lewat chat setiap jam. Bukan, Sehun bukan tipe orang yang annoying seperti itu. Ketimbang mengirimi Luhan pesan seperti itu, dia lebih memilih aksi yang nyata. Sehun akan menelepon, menanyakan Luhan ada di mana, lalu setelah itu tau-tau dia sudah ada di samping Luhan. Bukan hanya ada di samping Si Manis itu, tetapi tugasnya juga mengirim sinyal-sinyal permusuhan pada setiap orang yang memandangi Luhan lewat mata elang kelaparannya.
Kadar ke-posesifannya benar-benar sudah kronis.
Pernah ada kejadian waktu Luhan sedang dihampiri oleh anak fakultas sebelah, Jackson namanya, di halaman kampus. Entah apa yang mereka perbincangkan, tetapi saat lelaki bernama Jackson itu mulai berani menyentuh tangan Luhan, Sehun langsung datang dan menonjok rahangnya dengan keras.
Sinting.
Padahal Jackson hanya menyingkirkan serangga yang kebetulan mendarat di tangan Luhan (ya.., dengan modus sedikit, sih).
Dan kejadian itu berakhir dengan Sehun yang dimarahi Luhan sepanjang malam.
Karena hal itulah banyak yang enggan mendekati Luhan, apalagi jika ada Sehun di sebelahnya. Cari mati itu namanya, sih. Padahal tidak semua orang yang mendekati Luhan itu memiliki niat buruk atau modus-modus penuh rayuan. Namun, bagi Sehun, dia tidak pandang bulu, semua sama di matanya. Mau yang hanya menanyakan tugas, menawari tumpangan, mengajak makan, jika yang mendekati itu selain Baekhyun dan Minseok, akan menjadi sasarannya.
Tetapi, untungnya, akhir-akhir ini Sehun kapok melayangkan tonjokan pada orang yang mendekati Luhan, karena Luhan mengancam tidak mau lagi berteman dengan lelaki itu jika dia masih saja main kekerasan pada orang yang tidak bersalah. Sehun menurut dengan setengah hati. Walaupun tidak ada tonjokan, tetapi aura-nya yang gelap sama menyeramkannya dengan pukulannya. Luhan sudah malas mengomelinya, jadi dia membiarkan Sehun mendelik tajam pada setiap orang yang mendekatinya. Asalkan tidak ada pukulan, tidak apa-apa.
Selain posesif, Sehun juga sangat protektif. Dia memang tidak pernah memaksa Luhan untuk menuruti semua omongan dan wejangan-wejangannya. Tetapi, sekali lagi, Sehun itu manusia aksi. Talk less do more! —begitulah motto-nya, seperti kalimat yang ada di iklan rokok tiap tengah malam. Sehun selalu ada di barisan paling depan saat Luhan mengalami kesulitan. Prioritasnya adalah Luhan, jadi jangan heran jika melihat Sehun rela mengabaikan kepentingannya demi Luhan. Bahkan untuk hal yang sangat sepele, seperti memberikan jaket denim-nya untuk Luhan ketika hujan. Atau memberikan topinya pada Luhan saat cuaca sedang sangat terik.
Ya…, sesayang itu Sehun pada teman-nya, Luhan.
Dan Luhan juga tidak pernah merasa terbebani atau terganggu dengan sifat dan sikap Sehun yang seperti itu (kecuali sikap asal menonjoknya itu). Karena, dengan Sehun yang memperlakukannya seperti itu, tandanya lelaki itu masih peduli dan memperhatikannya. Pokoknya, Sehun itu Bro-nya yang paling dia sayangi.
.
Tetangga Sebelah (21:34 PM)
Selamat malam anaknya Yth Pak Yunho. Selamat! Hari ini anda mendapatkan kiriman satu box chicken nugget dan milo secara gratis. Silakan balas SMS ini yaitu dengan cara ketik 'Iya, Sayang. Aku terima.' sebagai konfirmasi penerimaan hadiah.
.
Luhan mendengus geli membaca pesan masuk yang dikirim oleh Sehun barusan. Pasti ini termasuk sogokan karena saat ini Luhan sedang marah dengan lelaki jangkung itu. Sehun itu memang bodohnya sudah sampai ubun-ubun —dikutip dari perkataan kejam Luhan— karena tadi siang mengiyakan permintaan salah satu mantannya untuk bertemu. Kalau mantan yang lain tidak apa-apa, karena mereka 'aman'dan tidak neko-neko. Tetapi, yang tadi siang ditemui oleh Sehun adalah mantan kekasihnya yang sangat dibenci Luhan. Cewek agresif bernama Chungha yang selalu berusaha menjauhkan Sehun dari dirinya.
Luhan benci setengah mampus dengan cewek itu.
Dan dia kesal sekali dengan Sehun yang masih saja mau menemui cewek itu. Kurang kerjaan sekali, sih, temannya itu! Sudah bodoh, tidak peka pula, lengkap sekali kekurangan Sehun di mata Luhan sekarang.
To : Tetangga Sebelah (21:36 PM)
ENGGA! KASIH AJA SANA KE MANTAN-MANTAN KAMU!
Tetangga Sebelah (21:36 PM)
Keyword yang anda masukan salah. Silakan coba lagi.
.
To : Tetangga Sebelah (21:36 PM)
Bodoamat.
.
Tetangga Sebelah (21:36 PM)
Yaudah, aku kasih mereka nih?
.
To : Tetangga Sebelah (21:36 PM)
SEHUN BANGSATTTTT!
.
Tetangga Sebelah (21:37 PM)
Kasar. Awas, ya! Ketemu aku gigit bibir kamu!
Tetangga Sebelah (21:37 PM)
Buka jendela kamu coba
.
To : Tetangga Sebelah (21:37 PM)
Jangan bilang kamu lewat jendela, Hun?! KAMU GILA YA?
.
Tetangga Sebelah (21:37 PM)
Ada pintu, ngapain aku lewat sana? Males aku punya temen sebego kamu, Lu.
.
To : Tetangga Sebelah (21:38 PM)
Ya terus kenapa nyuruh aku buka jendela?
.
Tetangga Sebelah (21:38 PM)
Soalnya bintangnya lagi bagus. Kamu paling suka 'kan liat bintang-bintang?
Masa bintang suka ngeliatin bintang?
hehe geli anjir.
.
To : Tetangga Sebelah (21:38 PM)
Ga ngerti masa… Mabok gingseng oplosan ya kamu?
.
Tetangga Sebelah (21:38 PM)
Minta dihujat ya kamu?
Udah cepet turun ke bawah. Pegel nih bawa banyak makanan.
.
To : Tetangga Sebelah (21:39 PM)
AY AY CAPTAIN!
.
.
.
Luhan turun ke lantai bawah dan menuju pintu depannya setelah mengabaikan pertanyaan 'Mau kemana, Dek?' dari Kris —kakaknya— yang sedang sibuk teleponan dengan kekasihnya di ruang TV.
Saat pintunya sudah terbuka lebar, Luhan refleks memundurkan tubuhnya cepat-cepat ketika Sehun memajukan wajahnya dan siap menyerang bibirnya. Luhan segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya membuat bibir Sehun menabrak bagian sana cukup keras. Untung refleksnya hanya sebatas itu, coba kalau dia refleks menendang selangkangan Sehun. Bisa putus tali pertemanan mereka detik itu juga.
Luhan melotot, malu sekaligus kesal dengan perbuatan tidak senonoh Sehun yang mendadak ini. Sementara Si Pelaku penyerangan hanya mendengus setelah menjauhkan wajahnya, nampak kesal sekali tidak berhasil menjalankan niat busuknya.
"Apa-apaan, sih?!" Luhan menyalak tajam dengan kedua telinganya yang memerah. Kalau saja dia tidak cepat menutup bibirnya, pasti bagian sana sudah dilecehkan oleh Sehun. Tidak mengerti lagi dia dengan jalan pikiran Sehun.
"Suruh siapa tadi ngomong kasar ke aku?" balas Sehun.
Luhan langsung menutup mulutnya, teringat kalau tadi dia membalas pesan Sehun dengan kata kasar, dan lelaki itu mengancam akan menggigit bibirnya.
Hhh…, Sehun memang tidak pernah main-main.
"Kamu-nya aja yang ngeselin!" semprot Luhan.
Sehun menautkan kedua alis tebalnya, heran. "Kok jadi aku?"
"Ya, emang salah kamu!"
Sehun yang hanya mengenakan celana denim selutut dan kaus hitam lusuh itu nampak sangat putus asa. Belum lagi, di kedua tangannya ada plastik besar berisi makanan-makanan yang tadi dia beli penuh perjuangan. Ini malam minggu, dan jalanan sudah pasti macet parah, penuh muda-mudi yang ingin jalan-jalan. Apalagi bagi pengguna mobil seperti dirinya, jalanan macet adalah momok yang paling menakutkan di malam minggu. Sehun butuh waktu berjam-jam untuk mencari makanan kesukaaan Luhan di sepanjang jalan. Dan, ketika sudah sampai sini, dia malah disalah-salahkan.
Gusti…,
Dia 'kan berharapnya dapat ciuman.
"Kamu masih marah sama aku?" tanya Sehun.
"Menurut ngana?!"
Luhan sepertinya sedang datang bulan.
Tapi, Sehun ingat, jika temannya itu masih memiliki kelamin yang sama seperti dirinya.
"Marah sama temen lebih dari tiga hari itu enggak baik, Lu."
"Ihhh, tapi 'kan aku marah sama kamu baru lima jam!" Luhan mengentakkan kakinya di lantai sekali, kesal. "Masih ada waktu dua hari 19 jam buat marah sama kamu."
Sehun tertawa kecil mendengarnya. "Ya, gak gitu juga, manis." Diiringi tangannya yang mencubit pipi Luhan se-kencang mungkin.
"Terus gimana? Tadi 'kan kamu yang bilang gitu?"
Sehun menghela napasnya. "Iya, iya, salah aku. Emang semuanya itu salah aku. Kalau kamu suatu-waktu kepeleset kulit pisang di jalan, itu juga salah aku. Jadi, aku minta maaf, ya? Iya, Sehun, kamu aku maafin. Oke, makasih, karena udah maafin aku, Luhan sayang."
Luhan yang tadi terus-menerus menekuk wajahnya itu kini tertawa. Lucu melihat Sehun yang jarang bicara panjang lebar, sekarang terus mengoceh sendirian. Lelaki itu juga menyatukan kedua telapak tangannya dan menaruhnya di atas kepala —seperti sedang melakukan pemujaan— dengan mata terpejam. Apalagi, dia melakukan itu masih dengan memegang kedua plastik besar.
"Nah, gitu. Ketawa." Sehun menghentikan aksi konyolnya dengan senyum tulus. "Kan enak diliat."
Sehun memang selalu bisa membuatnya tertawa.
"Ya udah, mana makanan buat aku?" tagih Luhan.
"Ambil sendiri, lah!"
Luhan merengut, lantas mendekati Sehun untuk merampas makanan yang ada di tangan lelaki itu. Tetapi, seperti biasanya, Sehun tidak akan memberikan sesuatu kepadanya dengan mudah dan secara cuma-cuma. Luhan harus berjinjit-jinjit dulu untuk meraih makanannya yang diangkat tinggi-tinggi oleh Sehun.
Sekarang Luhan jadi menyadari, kalau perbedaan tinggi badannya dan Sehun sudah cukup jauh. Padahal, sepuluh tahun yang lalu, tinggi mereka sama. Tidak adil!
"Sehun bangs—!" Luhan tidak meneruskan umpatannya saat melihat Sehun menaikan satu alisnya dengan seringaian kecil. Oke, sebaiknya di kemudian hari dia tidak boleh menggunakan kata-kata kasar di depan Sehun kalau tidak mau bibirnya digigit oleh lelaki itu.
"Masa' gini aja enggak bisa ngambil?" ejek Sehun.
Luhan meniup poninya, sebal. "Ya udah, lah! Kalau enggak niat ngasih mah,"
"Ngambek terus kayak anak cewek. Katanya manly?"
Sehun memang bisa membuatnya tertawa, tetapi di sisi lain, lelaki itu juga sangat bisa membuatnya emosi sampai ubun-ubun.
Saat Luhan semakin brutal melompat-lompat untuk meraih makanannya, Sehun malah memeluk pinggangnya. Kejadiannya sangat cepat, sampai Luhan tidak menyadari kalau dia sudah tertarik dan masuk ke dalam pelukan Sehun.
"Maaf, ya,"
Sehun dalam mode serius sekarang. Luhan sudah yakin kalau Sehun pasti akan mengatakan ini. Walau menjengkelkan, Sehun itu sangat mengerti perasaannya. Dia akan meminta maaf walau kesalahannya hanya secuil. Di luar, dia memang dingin dan arogan, tetapi sisi yang lain hanya Luhan yang tau.
"Aku udah bilang sama Chungha tadi siang, kalau aku enggak mau ketemu sama dia lagi. Seharusnya aku dengerin kata-kata kamu, dia bukan cewek yang baik. Maafin aku, ya?"
Luhan tersenyum kecil, lalu membalas pelukan Sehun. "Mulai sekarang kamu harus tegas, Hun. Enggak semua cewek harus kamu kasihanin. Kamu juga harus pentingin perasaan kamu lebih dulu daripada mereka. Kalau kamu enggak suka, kenapa harus dipaksain?"
"Iya, Sayang. Aku ngerti itu sekarang. Makasih, ya?"
Luhan menarik rambut Sehun seraya terkekeh kecil. "Sayang-sayang ndasmu!"
Sehun ikut terkekeh. Bukannya melepas pelukannya, dia justru semakin mengeratkannya. Sangat suka dengan tubuh mungil Luhan yang sangat pas di dalam dekapannya. Aroma tubuhnya, temperatur hangatnya—candu sekali rasanya.
Seperti dalam fiksi roman picisan; di bawah sinar bulan yang benderang disertai hamparan bintang yang cantik —dan jangan lupakan suara dentingan sendok yang beradu dengan piring dari tukang siomay yang lewat— mereka berpelukan. Tanpa alasan, tanpa status hubungan yang mengikat, yang penting perasaan tersalurkan. Kalau saja suara baritone milik Kakaknya Luhan menginterupsi dari depan pintu, pasti mereka akan terus berpelukan sampai ayam berkokok nyaring.
"Peluk aja terus anak orang, Hun! Bilangnya temen, tapi tiap hari zina mulu. Dasar anak zaman!"
.
.
Emang, ya, Si Naga Bonar ini kalau bicara suka enggak disaring dulu.
.
.
.
.
Bersambung—
.
.
.
a/n :
SELAMAT MINGGU SOREEEEEEEEEEEEE!
Gua gabut.
Yaudah publish ini aja.
FF yang udah hampir jadi fosil di laptop, terus gua kemas ulang, dan publish. Cerita yg pasaran banget, ya? Mau lanjut Mas Sehun, tapi lagi mager. huhu
—Yang gak tau Pak Eko, main kalian kurang jauh. Wkwk.
—Monmaap buat Mbak Irene dan Mbak Chungha. Gua jadiin peran yang rese di sini, buat kepentingan cerita doang kok.
Dah ah gitu aja.
See yaaaaaaa!
