Disclaimer: Bleach is Tite Kubo's work, I only write this fanfiction and I won't gain any profit with this fanfiction.
Warning: OOC, typos, incoherent plot, many plot-holes, etc... please click back if you don't like it
Note: Modern Cinderella AU
Chapter 1 - glass sneakers
.
.
.
Rukia Kuchiki adalah seorang murid pendiam. Berkacamata tebal, tidak terkenal, kutu buku, tidak menarik, tidak pernah berbaur, hal-hal itu yang biasa murid-murid lainnya pikirkan jika melihat Rukia. Sehari-hari ia habiskan waktunya membaca buku di perpustakaan, tak heran jika namanya selalu berada di peringkat tiga besar sekolah.
"Sebal, deh! Dia itu… Rukia, kau dengar aku tidak?" dengus Momo Hinamori, sahabat Rukia—sekaligus satu-satunya teman dekat Rukia.
"Ssst. Momo, pelankan suaramu," sambung Rukia, bersamaan dengan penjaga perpustakaan yang menatap tajam ke arah mereka sembari meletakkan satu telunjuk di depan bibir.
Momo dengan reflek menutup mulutnya, kemudian bersandar ke kursi. "Ngomong-ngomong, Rukia, besok aku dan klub memasak akan mengadakan kelas memasak untuk umum, jadi murid selain anggota klub bisa ikut mencoba. Apa kau mau datang?" tanya Momo.
"Aku akan sangat senang, tapi maafkan aku, Momo, aku tidak bisa ikut. Besok aku mau belajar," ucap Rukia sambil membalik halaman bukunya.
Momo mengerucutkan bibir. "Apakah kau tidak bosan belajar setiap hari? Sekali-sekali ikutlah kegiatan-kegiatan lain, barangkali kau juga bisa berkenalan dengan teman baru," tutur Momo sambil menghela napas. "Aku mau kehidupan SMA sahabatku ini lebih berwarna, tahu."
"Nah, aku tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu. Nilai yang memenuhi sudah cukup bagiku," balas Rukia pendek, membuat Momo melantunkan 'buuu' pelan.
"Ngomong-ngomong, nanti aku mau makan di toko es krim yang baru buka beberapa minggu yang lalu itu, apakah kau mau ikut? Aku yang traktir, deh!" ajak Momo dengan tatapan mata memohon.
Rukia pun akhirnya menghela napas dan menganggukkan kepalanya. "Baiklah, aku juga ingin mencoba es krim yang dijual di toko itu," ucap Rukia sambil tersenyum kecil, membuat senyum Momo juga merekah.
"Yes! Kalau begitu, setelah pulang sekolah pukul…" Sebelum Momo sempat menyelesaikan kata-katanya, sang penjaga perpustakaan kembali mendelik tajam ke arahnya sambil meletakkan telunjuk di depan bibir sambil menggumamkan 'ssst' dengan cukup keras.
Rukia berlari dengan cepat menuju stasiun. Ia buru-buru menempelkan kartu keretanya ke gate stasiun, lalu dengan tergesa-gesa berlari menuju tangga underpass untuk menuju ke jalur kereta seberang.
Gara-gara aku keasyikan mengobrol bersama Momo, aku jadi lupa waktu. Rukia, kau bodoh, rutuknya dalam hati.
Karena tergesa-gesa dan tidak memperhatikan jalan, Rukia terpeleset di salah satu anak tangga. "Aaa—" Tubuh mungilnya sudah pasti jatuh jika sebuah tangan tidak menggenggam tangannya dari belakang, menahannya. Rukia yang terkejut menoleh ke belakang, mencoba melihat penyelamatnya.
Seorang pemuda berbadan tinggi menggenggam tangannya, mencegah Rukia jatuh dari tangga. Rambutnya yang mencolok menjadi hal pertama yang Rukia lihat—rambutnya berwarna oranye. "Kau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu.
Rukia dengan canggung melepaskan tangannya dari genggaman pemuda itu, berdiri tegak dan membetulkan posisi kacamatanya, kemudian mengangguk pelan. "Aku tidak apa-apa. Terima kasih telah menolongku," ucap Rukia singkat.
Pemuda itu menarik kedua sudut bibirnya menjadi sebuah senyuman tipis—namun terasa hangat dan menenangkan. Rukia belum pernah bertemu orang yang tersenyum seperti itu padanya. "Lain kali perhatikan jalanmu baik-baik, oke?" tutur pemuda berambut oranye yang kemudian berlalu itu.
Rukia masih menatapnya dari kejauhan—ia masih terbayang manik hazel yang menatap lurus padanya itu. Perlahan ia bisa merasakan pipinya yang memanas, kemudian ia menggeleng cepat. "Apa yang kau pikirkan, Rukia?" katanya, menepuk-nepuk wajahnya, kemudian berjalan ke pinggir peron dan menunggu kereta.
Jauh di dalam hatinya, Rukia ingin bertemu pemuda berambut oranye itu lagi.
Rukia seperti biasa menyiapkan alat tulis dan membaca catatan pelajaran minggu kemarin, seperti biasanya. Ia tidak memedulikan suasana kelasnya yang cukup ramai dipenuhi obrolan-obrolan teman sekelasnya.
Tak lama kemudian, bapak guru pun masuk ke dalam kelas—dan ia tidak sendirian. Seorang pemuda mengekor di belakangnya. Rukia membelalakkan matanya terkejut—ia kenal pemuda itu. Pemuda tinggi berambut oranye yang kemarin menolongnya di stasiun.
"Baiklah, semuanya, hari ini kalian kedatangan murid baru. Nah, silakan perkenalkan dirimu," ucap bapak guru.
Pemuda itu setengah membungkuk dan berkata, "Namaku Ichigo Kurosaki. Mohon bantuannya dan senang bertemu dengan kalian." Ia kemudian berdiri tegak kembali dan memasang senyum kecil di wajah.
Deg!
Pipi Rukia memanas. Ia tidak tahu kenapa, tapi detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat. Ada apa ini? batinnya, tak mengerti. Selama hidupnya, ia tidak pernah merasa seperti ini. Ini semua terjadi sejak ia pertama kali bertemu dengan si pemuda oranye itu—Ichigo Kurosaki. Tolonglah, masalah pelajaran sudah membuatnya cukup pusing, dan ia tidak ingin pusingnya ditambah oleh masalah ini.
"Kurosaki-kun, silakan duduk di bangku kosong di sebelah sana," ucap pak guru, menunjukkan bangku kosong kepada Ichigo—yang terletak tepat di belakang bangku Rukia.
"Baik. Terima kasih, Sensei," balas Ichigo yang kemudian berjalan mendekati bangku yang ditunjukkan, menarik kursi dan duduk di sana.
Rukia menelan ludahnya. Dalam hati, ia merutuki sang guru. Kenapa ia harus duduk di belakangku? Jantungnya kembali berdegup tak karuan. Peluh mengalir dari dahinya, ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya—atau apa yang harus ia lakukan.
Rukia tak sengaja melirik ke belakangnya, dan alangkah terkejutnya ia—Ichigo sedang memerhatikan dirinya. Rukia buru-buru memfokuskan pandangannya pada buku catatan, berusaha melupakan tatapan Ichigo yang mengarah kepadanya. Manik hazel itu, yang selalu membuatnya kaku, seakan tersengat listrik.
Tapi, biarpun begitu, Rukia ingin melihat kedua mata itu lagi.
Pelajaran pun akhirnya selesai. Rukia memasukkan buku catatannya ke dalam tas dan mengambil bekal makan siangnya, sebelum sebuah tangan menepuk pundaknya. Rukia tersentak kaget dan menoleh kepada sang pemilik tangan, yang tak lain adalah Ichigo.
"Hei, kau yang kemarin di stasiun itu, 'kan?" tanya Ichigo, "yang terpeleset di tangga?"
Wajah Rukia memerah mengingat kejadian itu—ia rasanya ingin mengubur wajahnya dalam-dalam di tanah. "I-iya," balas Rukia canggung, sesekali membetulkan posisi kacamatanya.
Ichigo tertawa pelan, kemudian menyunggingkan senyum. "Tak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Salam kenal, kalau begitu. Ngomong-ngomong, siapa namamu?"
Deg!
Rukia kembali menelan ludah, berusaha agar dirinya tetap tenang. "Namaku Rukia Kuchiki."
"Hoo, begitu. Salam kenal, Rukia."
Dan sejak perkenalan itu, Rukia merasa hari-harinya akan menjadi lebih cerah.
Hari demi hari telah berlalu. Walaupun duduk berdekatan, Rukia dan Ichigo jarang mengobrol. Ichigo selalu diajak teman-temannya makan siang atau jalan-jalan bersama, sehingga tidak memiliki waktu untuk mengobrol lebih lanjut dengan Rukia, dan Rukia sepertinya tidak memedulikan hal itu.
Malah ia sedikit lega karena tak harus berbicara dengan Ichigo—mengingat saat ia berbicara pada pemuda oranye itu ia selalu merasa aneh dan tak karuan. Lagipula, siapa juga yang mau mengobrol dengan gadis membosankan seperti dirinya?
Namun, walaupun begitu, jauh di dalam hatinya Rukia ingin berbicara sekali lagi—ah, bukan, mungkin lebih sering lagi dengan Ichigo.
"Rukiaaa!"
Di jalan pulang, suara Momo memanggil Rukia dari kejauhan. Rukia menoleh ke arah Momo dan menatapnya heran. "Ada apa, Momo?"
Bersamaan dengan selesainya pertanyaan Rukia, Momo mencengkeram kedua pundak Rukia erat-erat dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca. "Tolong aku, Rukiaaa..." ucapnya memelas, membuat Rukia kaget.
"E-eh?"
"Aku telah membeli tiket konser dan salah satu band yang tampil adalah Frost-X, tapi aku tidak bisa datang karena harus mengerjakan tugas di rumah—karena itu, gantikanlah aku untuk pergi ke sana!" ucap Momo.
Rukia melebarkan kedua matanya. "Tapi, aku tidak pernah ke acara seperti itu—dan aku tidak tahu jika Nii-san mengizinkanku atau tidak. Dan, kenapa harus aku? Kenapa tak kau minta orang lain saja?"
"Katakan saja pada kakakmu kalau kau akan menginap di rumahku untuk belajar bersama! Dan soal itu, aku sudah menawarkannya kepada teman-temanku yang lain, dan mereka semua tidak bisa pergi..." Mata Momo tambah berkaca-kaca, dan Rukia tidak tega melihatnya—walaupun saat ini wajah Momo terlihat sangat lucu. "Dan aku sangat ingin tanda tangan Toushiro, vokalis band Frost-X! Karena itu, tolong aku, Rukia..."
Rukia menghela napas—bagaimanapun juga, Momo adalah sahabatnya. "Baiklah, aku akan pergi ke sana dan meminta tanda tangan si Toushiro itu."
Malam pun tiba. Hanya tinggal beberapa jam lagi sampai konser itu dimulai. "Nah, selesai!" Momo menyodorkan sebuah cermin pada Rukia, membuat sang gadis terkejut dengan apa yang ia lihat di cermin. Wajahnya terias cantik oleh Momo, dengan rambutnya digelung sedikit berantakan, namun masih terkesan manis. Ia mengenakan kaus hitam dan jaket serta celana jeans, yang dipinjamkan Momo untuknya.
Dirinya kini bukanlah Rukia si kutu buku berkacamata, melainkan seorang gadis cantik yang berbanding terbalik dari dirinya yang biasa. Ia hampir tidak bisa mengenali dirinya yang terpantul di cermin. "Wah, Momo, ini..."
"Bagaimana menurutmu?" ucap Momo yang menyilangkan kedua lengan di depan dada, bangga pada kemampuan meriasnya. "Dan juga, bajumu tidak ada yang cocok untuk dipakai menonton konser! Untung saja sneakers yang kau bawa itu bagus, jadi aku tidak perlu meminjamkanmu sepatu lagi..."
Momo melirik sneakers Rukia yang berwarna unik—biru pucat di bagian depan, transparan di bagian pinggirnya. Jarum jam telah menunjukkan pukul sepuluh malam. "Aku akan mengantarmu, lalu menjemputmu jam 12! Pokoknya, jam 12 kau sudah harus ada di luar gedung konser, oke?
Rukia mengangguk mengerti, kemudian mengikuti Momo dan pergi ke tempat konser.
Suasana di dalam gedung sangat meriah. Musik yang bersemangat membuat para penonton melompat-lompat. Rukia yang tidak biasa hanya bisa berdiri diam dan menonton band yang sedang tampil di atas panggung—beruntung Momo tadi membelikan lensa kontak untuknya, karena malam ini ia tidak mengenakan kacamata dan tanpa alat bantu penglihatan ia tidak akan bisa melihat apa-apa.
Rukia memandang sang vokalis band dari jauh—pemuda pendek berambut putih dengan suara yang merdu. Oh, jadi itu si Toushiro yang dimaksud Momo. Bersamaan dengan saat itu, seseorang tak sengaja menyenggol Rukia.
"Maaf, aku tak sengaja..." Rukia terkejut melihat sosok yang tak sengaja menyenggolnya itu—rambut oranye. Ichigo. Ichigo menatap Rukia sesaat tanpa bicara, seakan terpana oleh kehadiran sang gadis di hadapannya. Rukia sebenarnya sedikit was-was kalau Ichigo mengenalinya, walaupun ia rasa dengan riasan Momo dirinya tidak akan dikenali sebagai Rukia si kutu buku.
"Bolehkah aku menemanimu?" tanya Ichigo. Rukia yang tak tahu harus menjawab apa hanya menganggukkan kepala. Mereka berdiri bersisian, dengan Ichigo yang sesekali ikut menyanyikan lagu dan melompat, sementara Rukia masih diam di tempat.
Ichigo yang heran dengan tingkah laku sang gadis memutuskan untuk bertanya. "Apa ada yang salah? Daritadi kau hanya berdiri diam," ucapnya.
"Hng, aku... aku tidak tahu apa yang harus kulakukan. Ini pertama kalinya aku pergi ke konser," balas Rukia canggung.
Mendengar jawabannya, Ichigo terkekeh. "Oh, begitu. Kau tak usah kebingungan. Lepaskanlah semuanya—ikuti saja alunan lagunya," balasnya. Rukia tidak begitu mengerti apa yang dimaksud Ichigo, namun ia memerhatikan sang pemuda yang mulai ikut bernyanyi dan melompat, lalu perlahan menirukan apa yang ia lakukan.
Ternyata benar—ia tak perlu berpikir. Ia hanya perlu melepasan semuanya—bebannya, pikirannya. Rukia tak pernah merasa sesenang ini. Ia masih terus melompat mengikuti irama lagu, tak menyadari sepasang manik hazel tak lepas memandanginya.
Berjam-jam telah berlalu, band yang sekarang membawakan lagu bukan lagi band Frost-X kesukaan Momo, melainkan band lain yang membawakan lagu yang lebih bertempo lambat. Rukia seakan lupa tujuan pertamanya ia ikut konser—karena terlalu tenggelam dalam lagu.
Ia menggerakkan kepalanya ke kanan dan kiri, mengikuti alunan lagu yang lembut. "Bagaimana? Apakah kau menikmatinya?" tanya Ichigo. Rukia menganggukkan kepalanya mantap. "Baguslah kalau begitu," sambung sang pemuda oranye.
Perlahan Rukia merasakan sesuatu menyentuh ujung jarinya, kemudian menggenggam tangannya erat. Rukia melirik ke arah tangannya, dan mendapati tangan Ichigo di sana. Rukia sedikit terkejut, namun ia tak lagi berdebar-debar seperti saat pertama kali ia bertemu Ichigo. Ia kini merasa lebih tenang. Hangat, batin Rukia.
Ichigo kemudian berbalik menghadap Rukia, mengambil satu tangan Rukia yang masih bebas dan membuat gadis itu berdiri berhadapan dengannya. "Um, aku tahu ini agak aneh, tapi... apakah kita pernah bertemu sebelumnya?" tanya Ichigo.
Rukia terperanjat—ia tidak ingin dirinya yang sebenarnya diketahui—dan ia pun dengan cepat menggeleng. "Kurasa tidak," tandas Rukia cepat.
Ichigo memiringkan kepalanya, terlihat sedikit heran. "Oh... begitu. Kau mengingatkanku kepada seseorang yang pernah kutemui," sambungnya. "Dan, ngomong-ngomong, kurasa..." Ichigo mengalihkan pandangannya ke sembarang arah, menghindari tatapan bingung Rukia.
Dan Rukia dapat melihat semu merah tipis yang muncul di wajah Ichigo. "Kurasa, aku suka pada..."
Kriiing!
Uh-oh. Alarm ponsel Rukia berbunyi. Itu menandakan waktu sudah mencapai pukul 12—dan ia seharusnya sudah berada di luar gedung. "M-maaf, aku harus pergi," ucap Rukia cepat, melepaskan tangannya dari genggaman Ichigo dan berlari melewati kerumunan orang.
"Hei, tunggu dulu!" Ichigo segera mengejarnya, tak peduli dengan gerombolan orang yang terhampar di hadapannya—walaupun kerumunan itu membuatnya sulit bergerak
Sementara itu, Rukia yang berada cukup jauh di depan Ichigo sebentar lagi akan mencapai pintu keluar. "Sedikit lagi—aduh!" Rukia tersandung dan tak sengaja melepaskan salah satu sneakersnya. Namun, saat ia ingin mengambilnya lagi, kerumunan orang menghalanginya dan akhirnya Rukia pun memilih untuk keluar dari gedung konser—dengan satu kakinya yang tidak mengenakan apa-apa.
Ichigo yang sudah kehilangan jejak tidak mendapati Rukia di mana-mana—yang ia dapatkan hanya sebuah sneakers berwarna biru pucat dengan pinggiran transparan yang dikenakan Rukia. Ichigo mengambil sneakers itu dan menatapnya sesaat. "Gadis itu... mirip sekali dengan Rukia."
Hari itu Rukia tidak masuk kelas. Ichigo hanya menatapi bangku kosong di depannya, bertanya-tanya ke mana sang pemilik bangku pergi. Ia ingin menanyakan sesuatu pada gadis itu. Sebuah sneakers masih terbungkus rapi dengan plastik di dalam tasnya, menunggu sang empunya mencari.
Berhari-hari telah berlalu. Bangku di depan Ichigo masih juga kosong. Sneakers itu sudah lama dibiarkan saja memenuhi tas Ichigo—walaupun begitu, Ichigo tetap menunggu. Ia tetap menunggu sampai bangku di depannya ditempati oleh sang pemilik.
Sampai akhirnya harapannya itu terkabul. Rukia kembali masuk sekolah hari itu, menerangkan kepada guru dan teman sekelasnya yang lain bahwa ia sakit sehari dan kemudian harus menghadiri sebuah acara keluarga.
Ichigo menepuk pundak Rukia, membuat gadis itu tersentak sesaat kemudian menoleh ke arahnya. "Rukia, bisakah aku tanyakan sesuatu padamu setelah pulang sekolah?" tanya Ichigo.
Rukia terlihat bingung awalnya, kemudian ia mengangguk. "Tentu saja," jawabnya.
"Kalau begitu, apakah kau bisa ke atap setelah pulang sekolah nanti?"
Hening sejenak, sebelum akhirnya Rukia menganggukkan kepalanya. "Baiklah."
Waktu yang dijanjikan pun tiba. Ichigo telah lebih dulu pergi menuju atap sekolah, sementara Rukia masih tinggal di kelas untuk melakukan piket harian. "Sudah selesai. Kalau mau pulang duluan, silakan, Kuchiki," ucap salah satu teman sekelasnya yang juga piket hari itu.
"Terima kasih," balas Rukia, kemudian mengambil tas dan pergi ke atap sekolah. Sesampainya di sana, ia melihat Ichigo sedang berdiri di pinggiran atap, menatap langit yang mulai berwarna kemerahan.
Ichigo menoleh ke arah Rukia, kemudian berjalan mendekatinya. "Hng... apa yang ingin kau tanyakan padaku?" tanya Rukia canggung.
Ichigo merogoh sesuatu dari tasnya. Ia mengeluarkan sebuah bungkusan plastik dan membukanya, menunjukkan sebuah sneakers yang ia temukan saat konser—sneakers biru pucat dengan pinggiran transparan milik Rukia. Rukia terkejut, dan Ichigo berkata, "Apakah ini milikmu?"
"Bagaimana kau..." Sebelum Rukia sempat menyelesaikan kalimatnya, Ichigo tertawa.
"Sudah kuduga itu kau," ucap Ichigo, "kau terlihat berbeda malam itu, tapi aku masih bisa mengenalimu." Ia kemudian berlutut di depan Rukia, menyodorkan tangan kosongnya. "Bisakah kupakaikan sepatunya?"
"E-eh?" Wajah Rukia memerah, dan ia pun mengangguk pelan, mencengkeram ujung roknya sambil mengalihkan pandangannya dari Ichigo, kemudian duduk di atap. Ichigo perlahan melepaskan sepatu Rukia dan memakaikan sneakers itu.
"Aku belum sempat menyelesaikan kata-kataku waktu itu, 'kan?" ucap Ichigo sambil mengikat tali sneakers Rukia. "Aku suka padamu."
"Walaupun aku tak semenarik saat pergi ke konser?" tanya Rukia.
Ichigo kembali tertawa. "Aku tidak peduli akan hal itu." Ia pun selesai mengikat simpul tali sneakers Rukia, dan memasang sebuah senyum lebar—yang kembali membuat Rukia berbunga-bunga. "Jadi, mau pulang bersama?"
END
Halo, aku murasacchibara! Waaaaaaaaai akhirnya selesai juga fanfiction ini! Emang aneh banget ceritanya tapi aku pengen banget nulis fanfic IchiRuki :""" because IchiRuki will always gain a special place in my heart /asek/ dan aku juga udah lama ngeship mereka x"D
Terima kasih buat yang udah baca sampe paragraf ini, semoga bisa cepet update AU lainnya, ciaossu!
