Disclaimer
Bungou Stray Dogs punya Asagiri Kafka.
Ringkasan
Kuliah telah berlalu, wisuda telah terlewat, dan kini saatnya Yukichi masuk kantor sebagai detektif sungguhan! Sementara itu, perjalanan Rintarou untuk menjadi dokter belum selesai. Masih ada rangkaian kegiatan koas menunggu, capeknya terasa seratus kali lipat ditambah Yukichi yang bersikap dingin kepadanya tiba-tiba. Ini bukan fic tentang perjuangan dua hom –maksud saya, dua sahabat yang berjuang demi cita-cita mereka, tetapi tentang perjalanan mereka berdua dalam menanggapi kata hati mereka, dari yang logis sampai yang retoris.
Omong-omong, genre utamanya romance, ya, kegaringan di bawah ini hanya sisa-sisa kegaringan fic sebelumnya. Awas ada FukuMori.
Mungkin.
ADA APA DENGAN YUKICHI
Kafe Itu dan Rumah Kita
"Itu pacarnya Yukichi?"
"Lebih mirip papa gula-nya, ah."
"Hah? Nggak kebalik, tuh?"
"Pembantunya, 'kali."
"Mungkin dia anak mantan istrinya Yukichi yang ternyata bukan anaknya karena anak aslinya tertukar di rumah sakit dan jadi pembantunya."
"...apaan sih lu Bambang..."
Seribu pertanyaan muncul ketika pemuda berambut hitam sebahu datang menjemput detektif baru itu. Hari sudah sore, langit mendung memuntahkan sisa-sisa air hujannya. Fukuzawa Yukichi menghela napas tanpa menghiraukan tatapan-tatapan penuh tanya di balik punggungnya.
Mungkin kalau Mori Rintarou datang dengan satu payung lagi untuknya, mereka tidak akan terlalu menarik perhatian. Lah ini, satu payung berdua. Belum lagi rekahan senyum Rintarou yang tampak terlalu berseri-seri untuk seseorang yang, seharusnya, tidak lebih dari teman kontrakan.
"Hari pertama bekerja asyik, 'kan?" suara Rintarou terdengar gembira, "Aku tahu kau tidak bawa payung! Jadi aku menjemputmu. Kebetulan, hari ini aku belum mulai prakoas di rumah sakit."
Menjalani program profesi atau menjadi koas berarti melaksanakan pengaplikasian ilmu-ilmu dari kampus di rumah sakit sungguhan dengan pengawasan dari pembimbing. Prosesnya bisa setahun setengah atau dua tahun, seingatnya. Masa prakoas hanyalah awal dari segala penderitaan Rintarou dalam melayani pasien sungguhan. Yukichi tahu ini karena Rintarou pernah menceritakannya kepadanya.
"Aku tidak pernah memberitahumu di mana kantorku," kata Yukichi curiga, "berhubung aku jadinya kerja di agensi detektif swasta dan bukan jadi penyidik di kantor polisi... tahu dari mana kau?"
"Aku tahu segalanya tentang Yukichi."
"Terserah kau."
Dokter muda itu setengah berbisik jahil, "Aku juga tahu berapa panjang dan diameter-nya Yukichi."
Tangan-tangan keras Yukichi hampir mencampakkan wajah Rintarou ke cobek tukang ketoprak yang mangkal di pinggir jalan.
"Yukichi, kok buru-buru sih?" panggil Rintarou ketika pemuda itu lebih memilih menembus hujan daripada jalan bersisian dengannya, "Yukichi, hei! Aku sudah pesan Fyo-Jek dari tadi! Yukichi!"
"TAHUN 1994 BELUM ADA FYO-JEK!"
"SUDAH ADA KOK TAPI AKU PESANNYA LEWAT WARTEL!"
Wartel, akronim dari warung telekomunikasi, adalah cikal bakal warnet, merupakan tempat berkomunikasi dengan telepon beserta sambungannya sebagai pengganti komputer, internet, dan wallpaper lumba-lumba birunya, beserta bocah berisik main Poinblenk. Zaman dulu mah belum ada Mobelejen, Pabji apalagi.
"Kita bisa pulang naik angkot, tahu," ujar Yukichi sambil facepalm.
"Kita tidak pulang dulu," balas Rintarou agak memaksa, "ini hari pertamamu di kantor. Harus dirayakan. Aku mau mengajakmu pergi."
Rintik-rintik air hujan masih bernyanyi di atas payung mereka. Benar juga, ini hari pertamanya bekerja, sementara Rintarou baru mulai masa prakoas minggu depan. Dengar-dengar, jam kerja koas itu padat sekali, saking padatnya, Rintarou tak akan punya waktu untuk mengupil.
Tanpa banyak berpikir lagi, surai-surai kelabu bergerak pelan seiring pemiliknya mengangguk sekali.
Bajaj dengan stiker TUKANG BAJAJ JUGA INGIN NAIK HAJI melaju menembus hujan. Di bangku penumpangnya, dua orang pemuda menarik napas dan bersandar, berusaha rileks. Sepasang netra crimson melirik pelipis dan kemeja basah pemuda di sisinya, lalu menahan napas sejenak.
Tukang bajaj-nya mau komentar, tetapi takut dengan lirikan Yukichi yang setajam silet. Bajaj melaju menerpa hujan yang jadi deras lagi.
Sesampainya di destinasi, pemuda berhelai gelap membanting pintu bajaj sampai bajajnya terbalik. Rintarou terlalu bahagiabisa mendatangi tempat itu dengan membawa gandengan. Bukan Elise sih, tapi tetap saja ia senang. Biasanya, dia datang sendirian, pura-pura tegar menghadapi pasangan-pasangan yang beli iced vanilla latte satu tapi sedotannya dua.
'Itu mau pamer momen romantis? Atau irit karena dompet kritis?' nyinyirnya dalam hati waktu itu, sambil merasa teriris-iris.
"Ini adalah Steinbucks Coffee," katanya kepada Yukichi, "di sini selalu ada live music dan Stein-up Comedy Show."
"Maksudmu komedi tunggal?"
"Stein-up Comedy, Yukichi."
"Iya kalau di KBBI itu standup comedy artinya komedi tunggal," Yukichi menjawab penuh kesabaran, "omong-omong, dia ini satu rekanan sama I Am Gepreck Steinbeck?"
"Yukichi, itu di fanfic yang lain –maksudku, ya, si John Steinbeck dan ayamnya terlalu mapan sampai mampu mengakuisisi saham Portbucks."
Bibir tanpa lengkungan senyum itu tetap terlihat tegas. Matanya menyapu seluruh kafe yang cahayanya remang-remang. Meja-meja bundar kebanyakan diisi pasangan yang sibuk berpegangan. Ada yang pegang tangan, ada yang pegang pundak, lutut, kaki, lutut kaki –eh, ada yang pegang tangan pasangan orang lain.
Ada panggung kecil di salah satu sisi kafe itu, tetapi alat-alat musiknya ditutup kain hitam.
"Berarti malam ini bakal diisi oleh komika," jelas Rintarou gembira sambil memilihkan meja untuk mereka berdua.
"Silakan dipilih menunya, Om."
Panggilan itu membuat Yukichi mendelik sangar sampai pelayannya pun membaca doa pengusir setan. Wajah remaja yang menjadi pelayan mereka itu jadi seputih rambut dan kemeja seragamnya. Masalahnya, Yukichi sudah terlalu curiga dengan semua aspek tempat ini, apalagi orang-orang pasti akan berpikir kalau mereka adalah sepasang...
...homo.
Ia baru saja mau beranjak pulang ke kontrakan ketika Rintarou merangkul pelayan itu dengan sukacita di depan matanya. Sungguh terlalu, kenal aja enggak, tapi berani pegang-pegang. Yukichi yang diajak jalan malah dicuekin.
"Lho?! Kamu ini 'kan Nakajima Atsushi yang pebasket ASIANGEMS?!"
"Eh, iya nih, Om," pelayan muda itu tersipu malu menanggapi Rintarou, "jangan keras-keras ah Om, saya malu, ih."
"Ah kamu, gak usah malu-malu gitu sama Om."
Fukuzawa Yukichi benar-benar berharap tidak berada di tempat ini sekarang. Kedua tangannya ada di saku celana, berharap ia bisa menarik keluar Pintu ke Mana Saja, lalu mengasingkan diri ke Wakanda.
"Kamu kok nggak main basket lagi, Dek 'Sushi?" dokter muda itu mengacak-acak rambut asimetris si pelayan manis yang semakin memerah wajahnya, "Padahal, Om suka deh kalau kamu turun ke lapangan. Apalagi bareng Dek 'Ryuu. Apalagi pas kamu menang, terus kamu lepas jersey telanjang dada, aduh, keren deh. Ovarium Om rasanya mengalami erupsi, disusul tuba falopii yang memancarkan radiasi..."
Pelayan bernama Nakajima Atsushi itu menjaga jarak dan pantatnya agar jauh-jauh dari tamunya ini.
"Eh, gini Om... inget ngga yang pas aku salah nendang bola basket di perempat final kemarin?" jawabnya salah tingkah sambil menjauhkan diri dari kedipan-kedipan Rintarou, "itu gara-gara aku lupa kalau ini bukan sepak takraw, Jepang kalah Om... jadinya yaudah deh saya pensiun aja daripada nanti kalah lagi."
"Iya mendingan kamu pensiun aja, 'kan bisa ketemu sama Om di sini."
Sebelum satu di antara mereka ada yang merespon, kafe itu riuh-rendah oleh suara tepuk tangan para pengunjungnya. Beberapa lampu dimatikan dan sebagai gantinya, satu lampu besar menyorot ke arah panggung.
"POP QUIZ!" seru pemuda berkepang panjang dengan senyum selebar cakrawala, "MENGAPA DIBUTUHKAN LEBIH DARI SATU CHUUYA UNTUK MENGGANTI BOLA LAMPU? KARENA MEREKA SA-NGAT-PEN-DEK! AKWOKAOWKOAKWOAK!11!1!1!"
Komedi tunggalnya telah dimulai, rupanya. Baik Rintarou maupun Atsushi bertepuk tangan. Khusus untuk Atsushi, dia juga menepuk tangan Rintarou yang hampir merangkulnya lagi tanpa izin.
"Nanti kamu kupanggil lagi, ya, kalau aku dan Yukichi sudah tahu mau pesan apa," tangan Rintarou mencubit pipi Atsushi setelah mengambil menu darinya.
Sepasang mata heterokromia itu menatap Rintarou penuh rasa heran.
"...Yukichi siapa Om?"
Rintarou membuka mulutnya untuk menjawab, tetapi dia baru sadar sesuatu. Meja bundar itu kini hanya terisi olehnya dan Atsushi.
Teman kontrakannya itu sudah capcus, dengan kata lain, cabut!
"Aku mau cari Yukichi dulu," ujar Rintarou buru-buru, "nanti aku kembali. Maaf ya, Dek 'Sushi."
Pelayan baru itu hanya mengerjap bingung. Baru agak lama setelahnya dia jadi berpikir kalau om yang barusan itu hanya datang untuk menggodanya. Aduh, tahu begini aku akan tetap main basket dengan Ryuunosuke dan Kuroko, batinnya sedih sambil memegangi pipinya yang sudah tidak perawan.
Menyadari bahwa pemuda itu pergi tanpa membawa payungnya, Rintarou jadi risau. Dia yakin detektif itu pasti bergegas pulang ke kontrakan mereka, membiarkan air hujan membasahi dia dan dokumen dalam tas kerjanya sampai kuyup. Buru-buru ia pulang ke kontrakan untuk menyiapkan wedang jahe hangat dan vitamin agar Yukichi tidak terkena flu besok pagi.
Akan tetapi, sampai pukul sepuluh malam Yukichi belum kembali.
Perlu diingat pada bahwa ponsel pintar pertama diproduksi oleh IBM tahun 1993, disusul dengan ponsel clamshell Motorola tahun 1996. Hanya saja, Yukichi tidak punya keduanya. Rintarou sendiri baru sanggup membeli pager (semacam alat komunikasi tapi cuma bisa kirim SMS pendek) yang hanya digunakan untuk minta uang bulanan ke orang tuanya via wesel pos. Jadinya, mau kirim kabar atau bertanya juga susah.
Ya kali mau update status pakai mesin telegraf dan kode morse. Krik. Rasain lu ngga ngerti, terlalu kekinian sih lu.
Pukul setengah dua belas malam, Rintarou hendak mengambil payung yang dikeringkan di luar. Pintu itu terbuka sebelum tangannya menyentuh kenop. Semua gerak tubuhnya terhenti ketika manik merahnya bertemu biru metalik yang dingin.
Dia adalah Fukuzawa Yukichi yang pakaiannya nyaris kering di badan. Rambut kelabunya menjuntai basah berantakan. Rintarou hendak komentar –
"Tolong lihat aku, dan jawab pertanyaanku.
Mau dibawa ke mana hubungan kita– "
–tetapi didahului oleh alunan pop melayu yang lagi ngetren di seantero Tokyokerto ini. Kok bukan dangdut koplo? Tadinya Yukichi juga mau bertanya itu, tetapi dia punya hal lain yang lebih penting.
"Kau memindahkan radio di kamar kita ke ruang makan, Rintarou?"
"Ya, eh –"
"–jika kau terus menunda-nunda,
dan tak pernah nyatakan cinta.
Mau dibawa– "
"Anu, mumpung kosong tadi aku mau coba break dance sambil bikin telor ceplok– "
"...matikan," suara itu terdengar judes dan seram, sampai-sampai radionya ketakutan dan mengecilkan volume sendiri.
"Iya, Yukichi," dokter muda itu memandanginya dari ujung sepatu sampai kepala, "kau ini dari mana saja? Kenapa tadi tiba-tiba pergi sih? Payungku– "
Iris biru itu tidak mau membalas tatapannya. Kata-kata Rintarou tak ada dijawabnya. Pemuda itu pergi melewati Rintarou sambil agak membuang muka.
"Aku salah naik metromini."
"Yukichi– "
Pintu kamar tidur berdebam keras menutup.
Entah kenapa, kejadian ini membuat Rintarou bahkan tidak terpikir untuk memutar dangdut koplo kesukaannya sekalipun. Satu jarinya menekan tombol untuk mematikan radio.
KLIK.
MAU JADI STANDUP COMEDIAN TAPI TAKUT JADI AYAM KREMES SAKING GARINGNYA?
MULAI AJA DULU! DI GOGOLPEDIA–
"Anjir salah pencet."
KLIK.
Mie Burung Dazai, enaknya nyambung teruUUus–
KLIK KLIK GUBRAK. KRSEKKRESK.
Mungkin hari pertamanya di kantor memang seburuk itu, ditambah aku dan kelakuanku yang bikin rusuh, batin Rintarou sambil menghela napas penuh rasa bersalah. Ia membawa masuk payungnya yang telah kering dan mulai memanaskan wedang jahe untuk Yukichi. Sayup-sayup terdengar suara air membanjur dari gayung di kamar mandi. Rumah itu jadi sepi karena Yukichi tidak seperti Rintarou yang hobi konser VIP sambil keramas ataupun cebok sekalipun –dia membersihkan tubuhnya dalam diam sambil melamunkan kemungkinan adanya koloni kucing antariksa di Mars.
Wedang jahe itu selesai tepat ketika Yukichi selesai mandi dan mengeringkan rambutnya di depan cermin.
"Yukichi– "
"Aku mau tidur."
Lagi-lagi, pemuda itu tidak mau membuang satu lirikan pun kepadanya. Auranya sangat tidak menyenangkan. Akan tetapi, Rintarou tidak mau menyerah buru-buru.
"Soal yang tadi, aku– "
"Terserah."
Tubuh berkaus hitam polos itu terbaring di atas kasur memunggungi Rintarou dan gelas berisi wedang jahenya. Tidak ada suara lagi, kecuali rintik-rintik hujan dari luar jendela. Jangkrik mulai berisik seakan tidak sabar menunggu salah satu di antara mereka bicara.
Rintarou memang sudah biasa dengan kata terserah dari mulut Yukichi, tetapi kali ini, cara pemuda itu menyampaikannya benar-benar menembus jauh ke dalam ulu hatinya.
Rasanya sakit sampai ia sulit tidur karena terus teringat itu.
Pagi esoknya, Rintarou tidak ada di tempat tidurnya. Decak kesal terdengar dari sudut lidah Yukichi, berhubung dia berpikir kalau teman kontrakannya itu pasti sedang berbuat onar. Kemarin apa katanya? Mau bikin seblak ceker sambil tari perut? Eh, apa sih?
Barulah ketika ia siap berangkat ke warteg untuk sarapan sebelum ke kantor, Rintarou menyapa riang dari ruang makan. Ada sendok sop di tangan kanannya. Rambut sebahunya diikat, tetapi sisanya dibiarkan terurai di sisi lesung pipitnya. Di atas celana jeans dan kaus rumahannya ia memakai apron.
"Mumpung masih senggang sebelum prakoas," ujarnya sambil membuka tudung saji, "aku membuatkan sarapan, nih. Makan dulu, yuk. Kita sudah lama tidak sarapan berdua di sini, iya 'kan?"
Terakhir kali Rintarou memasak di dapur, kontrakan mereka jadi bau kolor gosong selama tiga hari. Yukichi curiga kali ini ada adegan boneka hellokitty direbus.
"Rintarou– "
"Ini nasinya baru matang," pemuda itu mengambilkan nasi untuk Yukichi dan memberikannya kepadanya, "telur dadarnya juga. Karena Yukichi harus ke kantor pagi-pagi, sopnya kubuat hangat dan tidak terlalu panas untuk dimakan. Oh iya, aku beli kerupuk."
Adegan domestik yang klise ini sangat tidak asing untuk Yukichi yang dulu hobi melirik doujinshi berjenis fluff, tetapi tidak menyangka akan benar-benar terjadi padanya.
Terheran-heran, Yukichi mengisi piringnya dengan lauk dan sayur. Telur dadar dan sopnya terasa persis seperti buatan warteg langganannya. Eh, itu tidak penting –masalahnya, ini Rintarou kenapa sih? Kemarin mengajak jalan dan Yukichi-nya dikacangin, sekarang tiba-tiba jadi rajin.
"Kemarin ada kucing tetangga melahirkan, lho."
"Hah? Si Shibu?"
"Iya, si putih itu... lucu banget anaknya, kau pasti suka warnanya."
"...si Shibu, 'kan? Bukannya dia itu kucing jantan?"
"Yukichi, nanti tahun 2018 semua bisa ganti gender."
"...terserah deh aku percaya saja ya."
Sarapan pagi dengan topik ringan terasa sangat asing dan menyenangkan. Dulu, boro-boro sarapan proper dan mengobrol. Sehari bisa kali ya cuma makan mie instan dan Fyomaag, mengobrol pun pasti seputar darah-darah pada setiap lembar skripsi dan pembimbing yang minta diajak gantung diri.
Ketika Yukichi pamit ke kantor, Rintarou memberikan sekotak bekal yang telah disiapkan olehnya entah sejak kapan. Masih hangat juga ini bekalnya, batin Yukichi kagum.
"Kalau tupperware-nya ini hilang," katanya setengah merajuk, "aku marah, lho."
Menghadapi baris bulu mata lentik Rintarou yang menambah kesan manja pada rajukannya, syukurlah, Yukichi tahan untuk tidak muntah pelangi apalagi muntah bunga bangkai seperti kena penyakit hanahaki. Kalau yang kena hanahaki itu klien kantornya yang kaya raya, Pak Sultan Fitzgerald, mungkin dia akan memuntahkan bunga bank.
"...iya, iya."
"Aku serius, Yukichi."
Kali ini, Rintarou menyeringai penuh teror bersama kilatan cahaya matahari pada scalpel di tangan kanannya. Di belakang Yukichi, tukang sayur yang kebetulan lewat buru-buru ngibrit tak ada bedanya dengan para pembantu yang bergosip sambil memilih ikan.
Setelah mengangguk sekali penuh pengertian, pemuda itu beranjak pergi meninggalkan Rintarou yang melambai-lambai (dengan scalpel-nya masih di tangan).
Pagi yang aneh, bukan.
Pada jam makan siang di kantor, Yukichi lebih terkejut lagi melihat bekal itu. Nasi, telur dadar tebal, dan nori-nya dibentuk jadi muka kucing. Sendok dan garpu keperakan yang menyertainya dibungkus tisu bersih, lalu dimasukkan ke dalam plastik. Di bagian dalam tisu itu Rintarou menempelkan kertas post it kecil dengan tulisan tangan yang sangat dikenalnya.
Maafkan aku, Yukichi.
Semangat kerjanya.
Rekan kantornya pun hanya bisa terheran-heran memergokinya terdiam agak lama memandangi bekal itu dengan wajah seriusnya yang bersemu seperti bunga sakura.
Seperti biasa, aku menunggu di kamar, ya.
...tunggu dulu. Kalimat terakhirnya kok begini dah. Yukichi jadi berdebar-debar sendiri. Tidak salah, sih, mereka berdua 'kan memang paling sering mengobrol berdua di kamar, bukan di ruang tamu apalagi di dapur.
Dia jadi membayangkan bagaimana Rintarou memasak untuknya sambil bersenandung lagu senam poco-poco yang iya-iyalah.
...eh. Kenapa dia jadi teringat Rintarou? Yukichi berusaha mengalihkan perhatian dengan menatap berkas-berkas di mejanya, tetapi ketika matanya terarah pada bekalnya, bayang-bayang Rintarou dan apronnya pagi ini kembali.
Berhubung rambut hitam sebahu itu membuatnya agak gerah, pasti dia mengambil karet gelang dan mengikatnya seperti itu. Kalau dipikir-pikir, dia cocok juga dengan gaya rambut seperti itu, apalagi leher belakangnya yang seputih bulan itu terlihat. Karena postur tubuhnya termasuk ramping bila dibandingkan dengan Yukichi sendiri, dari belakang Rintarou terlihat sama eloknya dengan perempuan.
Ah, jadi ingat pada saat mereka tidur bersama di kasurnya untuk pertama kali. Itu lho, yang tangannya tidak sengaja ada di pinggang Rintarou yang tidur di dadanya. Berhubung di antara mereka tidak ada jarak lagi, jadinya dia bisa merasakan jelas harum shampoo pada rambut hitam halusnya. Sebenarnya sudah tercium samar-samar sih, dari sejak ia bercerita, dan seiring kantuknya menyerang, semua permintaan Rintarou diiyakannya, termasuk permintaannya untuk berbaring di sisinya. Jangan-jangan, itu di shampoo-nya Rintarou ada pelet semar mesem.
Duh, Rintarou. Seandainya dia tahu kalau sekarang ini, sosoknya mendadak terus berputar-putar di kepala Yukichi. Ia jadi teringat juga dengan kebiasaan Rintarou ketika hendak belajar, yaitu mengumpulkan rambut hitamnya dengan jemarinya yang putih sambil menggigit karet hitam yang akan mengikat helai-helai halus itu. Seiring leher belakang itu terekspos, kadang Rintarou meregangkan area kepalanya, membuka lebih banyak ruang pada lehernya yang normalnya terhalang rambut.
Oh, dia juga teringat dengan bagaimana sosok itu menemaninya sarapan pagi dengan senyum dan tawa ringannya hari ini. Apalagi ketika satu jari Rintarou mengambil nasi yang tersisa di sudut bibirnya, disusul kedipan-kedipan kode yang efeknya malah sebaliknya.
...lho, ini kenapa dari atas bibirku jadi ada darah menetes begini, batin Yukichi bingung–
"YUKICHI KENAPA ITU MIMISAN BEGITU?!"
"Eh– "
"PANGGIL DOKTER!"
"PEMBANTUNYA –EH, PACARNYA DOKTER!"
"JANGAN PACARNYA LAH!11!1!"
Satu kantor jadi ribut gara-gara satu Yukichi. Berhubung kemarin ia kehujanan, ia dikira sakit, jadinya manager-nya mengizinkannya pulang lebih cepat.
Awalnya, ia menolak karena tak enak hati, tetapi lama-lama ia menurut. Rezeki juga nih, bisa pulang cepat tanpa potong gaji.
Mungkin aku terbayang-bayang Rintarou terus karena sesuatu terjadi padanya, pikirnya selama duduk di angkot. Entah itu logika dari mana, dia juga tidak mengerti. Belum pernah ada sosok yang benar-benar menempel di kepalanya seperti ini kecuali dosen pembimbing skripsinya yang sulit ditemui tapi bikin deadline revisi dadakan dan dekat-dekat.
Sesampainya di kontrakan, Mori Rintarou menatapnya panik ketika mendapati tetesan darah kering pada kemejanya.
"Kau kenapa? Dibegal lagi? Dipukul sampai mimisan? Sini kulihat –"
Buru-buru ia menahan tangan Rintarou yang ingin mengecek kemejanya. Ia sama paniknya ketika pemuda itu menghambur menuju pintu rumah karena terkejut ia pulang cepat. Jari-jari kerasnya secara tidak sengaja mencengkeram kedua pergelangan Rintarou. Matanya menatap lurus pemuda yang lebih rendah darinya itu, tetapi ia tidak punya kata-kata untuk diucapkan.
Kalau dilihat dekat begini, Rintarou punya mata yang bagus, ya. Merahnya tidak seperti darah, irisnya berpendar seperti rubi. Rona tipis pada pipinya perlahan memerah lebih jelas. Kulit tangannya juga halus begini –
"...Yukichi?"
Caranya memanggil –
"Aku baik-baik saja."
Kedua pergelangan itu dilepasnya dengan agak tiba-tiba. Wajahnya jadi memanas. Ia tidak bisa terus-terusan berada di sisi Rintarou, sepertinya. Pikirannya jadi melayang entah ke mana, sampai debar aneh kembali muncul di dadanya.
Sore itu, akhirnya ia mencoba mengerjakan tugas kantor yang dibawa pulang, dan pura-pura tidur cepat agar tak perlu menghadapi Rintarou. Aslinya sih, dia bertanya-tanya dalam hati.
Rintarou juga tak bisa tidur karena bertanya-tanya membatin, perasaannya galau dan gelisah... karena tupperware -nya belum kembali. Mau membuka tas kantor Yukichi di meja belajarnya, dia tidak berani. Dia tahu sekali Yukichi sangat ketat kalau masalah privasi.
Pemuda bermata biru terbangun pada pukul dua pagi setelah susah payah mencoba tidur. Telinganya menangkap suara-suara menggumam dari tempat tidur dokter muda di sebelahnya.
"...iya, untuk stase yang ini saya, ..."
Yukichi mencuri pandang kepada Rintarou yang jauh di balik punggungnya. Rambut-rambut hitamnya masih menempel pada bantalnya. Karena tubuh langsingnya tak tertutup selimut, ia bisa melihat kertas-kertas dan buku terbuka yang sepertinya dipelajari Rintarou sebelum tertidur pada tangannya.
Sebagai informasi, melaksanakan koas bukan berarti bebas dari tugas dan ujian. Dokter muda harus melalui masa prakoas terlebih dahulu berikut ujiannya, barulah melaksanakan tugas pada lima belas stase atau tahap koas sambil mengerjakan laporan-laporan dan tugas lainnya yang Yukichi tak hapal namanya.
"Rintarou?"
"...selanjutnya hapalan tentang neurologi..."
Rintarou jelas masih tertidur. Ia mengigau ternyata, batin Yukichi sambil menghela napas dan kembali ke posisi tidurnya membelakangi Rintarou. Rasa bersalahnya muncul ketika ia melihat cangkir tertutup berisi wedang jahe dingin di atas mejanya sendiri. Ah, ternyata Rintarou mengira kalau ia benar-benar sakit.
Padahal, Rintarou tidak berbuat jahat kepadanya sama sekali, tetapi ia malah ketus dan dingin seperti itu.
Wedang jahe dingin itu dihabiskan dengan cepat. Tidak lama kemudian, kertas-kertas hapalan dan buku Rintarou diambilnya dan disusun rapi di atas meja belajarnya. Tidak mau berlama-lama di dekat pemuda itu, Yukichi berusaha untuk tak melihat wajah Rintarou sepanjang ia memasangkan selimut.
"Yukichi...?"
Suara sengau penuh kantuk itu hampir membuat Yukichi melompat keluar jendela. Dia masih tidur dan cuma mengigau, batin Yukichi yang baru selesai menyelimutinya. Jari-jari yang tak tertutup selimut itu bergerak lamban seolah menyadari ada benda yang hilang dari sana.
Ia meraih jemari Yukichi yang kebetulan beristirahat di area yang terjangkau olehnya.
"Rin– "
"Yukichi."
DEG.
Tangan yang tak sadar itu terasa hangat, panas malahan, sampai-sampai dari dalam tubuh Yukichi terdengar suara asing seperti itu. Rasa kantuknya bahkan hilang semua. Deru darah dari jantungnya sangat berbeda dengan alunan napas Rintarou yang perlahan dan wajah damainya. Susah rasanya untuk berhenti memandanginya, padahal, rasa jumpalitan dalam perutnya membuat Yukichi merasa sangat tidak nyaman.
Dia jadi bertanya-tanya, apakah Rintarou selalu tidur dengan menyebut namanya seperti ini. Dia juga bertanya-tanya kepada dirinya sendiri, sebetulnya apa yang sedang terjadi kepada diriku.
Ketika ia terpikir untuk menyentuh Rintarou, buru-buru kepalanya menggeleng keras. Melihat jarinya masih dalam genggaman tangan kurus Rintarou membuat wajahnya semakin merah padam. Baru saja ia ingin menarik tangannya –
"Yukichi..."
Lembut sekali suara itu terdengar, sampai-sampai ia menelan ludah sebelum menjawab dengan suara serak gara-gara debar luar biasa yang terasa mencekik lehernya.
"Iya, Rintarou?"
"Sekarang, kulit manggis sudah ada ekstraknya..."
"TERSERAH!"
Dari Author
Halo! Terima kasih sudah membaca sekuel yang nista ini, hehehe. Silakan lanjut ke chapter berikutnya untuk melihat adegan R18 (apabila kamu sudah cukup umur). Semoga harimu menyenangkan :D
