disclaimer: All characters here were owned by their rightful owner. I owned nothing but the stupidness in my head.

(short) pre-story introductory: here, may have so many differences to the original story—okay, actually I only took the characters from Dream High 2 but not the setting and circumstances. They were not in a musical high school here, I'm telling you. Try listening to Illa Illa by Juniel as you reading this messed up story. Enjoy :D


Four Seasons
kangyeongsuk © 2012

neomuna manhi saranghaesseo, katjil motthanikka
You can't have it—since you love it too much

yoojin x rian


spring.


"Kau tidak akan ke kantin?"

Pemuda itu mendongakkan wajahnya menghadap orang yang baru saja mengajukan pertanyaan itu padanya. Begitu melihat si empunya suara, pemuda itu memasang tampang malas dan kembali mengembalikan kepalanya ke posisinya semula.

"Aku berbicara denganmu, Jin Yoojin," kata suara itu lagi, tidak puas dengan reaksi yang diberikan oleh pemuda itu padanya.

Yoojin mendongakkan kepalanya lagi, kali ini lengkap dengan tatapan 'kau-tidak-lihat-aku-sedang-menyalin-tugas' yang disertai dengan gerakan tangan mengusir cepat. Gadis di hadapannya mengerucutkan bibirnya, memasang tampang masam. Tapi bukannya beranjak meninggalkan Yoojin, gadis itu malah menghempaskan tubuhnya di kursi depan meja pemuda itu.

"Kalau begitu, aku juga tidak ke kantin."

"Jangan sok. Nanti kau kelaparan," sahut Yoojin menanggapi perkataan gadis itu tanpa sedikitpun mengalihkan pandangannya dari pekerjaan rumah yang tengah disalinnya.

"Kata siapa aku akan kelaparan? Lagipula, aku sedang dalam program diet," timpal gadis itu tak mau kalah.

"Diet apaan? Aku tidak akan mengurusimu kalau nanti saat pelajaran olah raga kau kelaparan."

Gadis itu sudah membuka mulutnya, hendak menjawab perkataan pemuda itu yang—agak—terdengar seperti celaan seolah dirinya tidak akan pernah bisa berada dalam program diet. Tapi kemudian ia mengatupkan mulutnya lagi, karena ia tak menemukan kata apapun yang akan terdengar cerdas untuk membantah pernyataan pemuda itu.

"Kalau kau lapar, pergilah ke kantin. Tubuhmu tak akan kuat menahan kekurangan glukosa lebih lama lagi," gumam Yoojin pelan.

"Tapi aku tidak mau pergi sendirian."

Yoojin menghentikan gerakan tangannya sebelum akhirnya ia mendongakkan kepalanya dan mendapatkan wajah gadis di hadapannya dihiasi dengan ekspresi canggung. Ia tersenyum kecil—yang mungkin lebih terlihat seperti meringis—kemudian merogoh bagian dasar tasnya dan mengeluarkan sesuatu dari dalamnya.

Roti susu.

"Makan ini, penakut."

Semburat merah muda muncul di pipi pucat gadis itu. Perlahan, tangannya meraih roti yang dikeluarkan Yoojin yang sudah kembali sibuk dengan pekerjaan rumahnya lagi. Tanpa sadar, sebentuk senyum tercetak di bibirnya.

"Gomawo," gumam gadis itu pelan.

"Hah? Kau bilang apa barusan?"

Gomawo, pabo. Kau benar-benar tak mendengarkah?

"Anni, eobseo. Kau salah dengar—kurasa," bantah gadis itu. Dirasanya pipinya kembali memanas, ia memalingkan wajahnya ke arah lain yang agak sulit untuk diamati.

"Pabo. Lain kali, kau harus membalas rotiku dengan bekal makan siang, Jikyung-ah. Call?" ujar Yoojin yang disertai dengan kekehan kecil begitu melihat ekspresi yang muncul di wajah gadis itu.

"Mwo? Kalau begitu ini tak jadi kumakan!"

"Barang yang sudah diambil tidak dapat dikembalikan loh. Kau berhutang satu bekal makan siang padaku, oke, hehehe."

"Yah!"

"Diam, aku sedang menyalin. Sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, sana kau kembali ke tempat dudukmu."

Gadis itu berdecak kesal, tidak dapat membalas perkataan Yoojin. Sesaat kemudian ia beranjak dari kursi yang didudukinya. Sebelum ia kembali ke tempat duduknya ia menghadap Yoojin sekali lagi dan melemparkan pandangan 'awas-kau-lihat-saja-nanti' yang dibalas dengan 'aku-tidak-mau-tahu-cepat-sana-pergi'oleh Yoojin.

"Kka."

Dengat terpaksa, gadis itu menurut juga dan berjalan pelan dengan langkah di seret ke bangkunya sendiri. Meskipun kesal, ada sebersit rasa senang dirasakannya. Pipinya kembali terasa panas.

Gomawo. Keurigo chohahae.

firstseason

...Jikyung-ah.

...Yah, Lee Jikyung.

"Jikyung-ssi, gwaenchanha?"

Dipanggil oleh laki-laki di hadapannya, gadis berambut panjang kecoklatan itu tersadar dari lamunannya. Pipinya memerah, malu karena orang di hadapannya itu menangkapnya basah saat sedang melamun.

"O-oh. Choesonghamnida, Seonnim. A-ada yang bisa saya bantu?"

"Mm. Bisa tolong buatkan buket bunga berwarna ungu itu untuk saya? Tidak usah yang terlalu besar, yang penting terlihat manis."

"A-tentu saja. Silahkan menunggu sebentar, Seonnim."

Dengan cekatan, gadis itu mengambil beberapa tangkai bunga ungu yang dimaksud laki-laki itu dan merangkainya menjadi sebuah buket bunga berukuran sedang yang dihias dengan pita putih besar. Setelah selesai, ia tersenyum kecil, puas dengan pekerjaan yang baru saja dilakukannya.

"Silahkan, Seonnim. Ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Tidak, terimakasih. Ah, Jikyung-ssi, apakah kau kidal?"

"E-eh, tidak. Mengapa anda bertanya seperti itu, Seonnim?"

"A-anni, saya hanya penasaran. Tadi kau melakukan hampir semua hal dengan tangan kiri, termasuk menggunting pita-pita itu. Apakah tidak sulit melakukannya—mengingat kau bukan seorang kidal?" tanya pria itu yang segera membuat gadis itu tercenung.

.

.

'Melakukan semua hal dengan tangan kiri—bukankah itu sulit?'

'Memangnya tidak boleh? Kau ini kenapa sih, sering sekali mengeluh tentang kebiasaanku?'

'Bukannya mengeluh, itu pujian. Kau terlihat unik, kau tahu?'

.

.

"Aah, itu—maksud saya, itu pujian. Kau terlihat unik, Jikyung-ssi."

Kedua mata gadis itu membulat, wajahnya menengadah menghadap pria berambut hitam yang berada di hadapannya. Untuk sesaat ia terpaku, tapi kemudian kepalanya kembali tertunduk, kecewa dengan penglihatannya.

Pabo, ia bukan Yoojin. Apa yang kau harapkan, Lee Jikyung?

"Jikyung-ssi, kau melamun lagi. Apa kau benar baik-baik saja?" tanya pria itu—lagi menyadarkan gadis itu dari lamunannya. Jikyung mengangguk, yang segera disambut dengan senyum kecil dari pria itu.

"Keurom, saya pulang dulu. Saya akan kembali saat saya membutuhkan bunga lagi. Terimakasih untuk buketnya, Jikyung-ssi," ujar pria itu setelah membayar buketnya. Jikyung hanya mengangguk—tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Pria itu berjalan menjauh dan membuka pintu kaca di depannya. Sebelum keluar, ia kembali berbalik menghadap Jikyung.

"Ohya, sama saya Woojae. Jang Woojae"

Gadis itu tetap tak menoleh, lagi, ia hanya mengangguk kecil—seolah tak lagi tertarik dengan apapun yang dikatakan pria itu. Matanya menatap kosong pot bunga kecil di ujung mejanya.

Namanya Woojae. Dan ia bukan Jin Yoojin.

firstseason

Ia berjalan pelan dengan tas merah kecilnya sendirian. Terusan merah mudanya yang lembut berkibar ringan mengikuti hembusan angin yang menerpanya. Ia memejamkan matanya sejenak, menghirup dalam-dalam bau daun muda yang baru muncul dari pepohonan—wangi musim semi. Tangannya menyelipkan beberapa lembar rambutnya yang ikut terbang terbawa angin sehingga menghalangi pandangannya. Ia sangat suka musim semi, musim dimana semua tumbuhan mulai memunculkan kembali daunnya. Tentu saja, banyak bunga berwarna-warni yang bermekaran, menambah kecintaannya pada musim ini. Banyak hal yang menghiburnya pada musim semi. Pemandangan yang indah, bunga yang bermekaran, objek wisata yang mencengangkan dan makanan yang enak.

Langkah ringannya berhenti di pinggir jalan itu, di samping dua bunga putih kecil yang tumbuh di samping jalan setapak yang dilewatinya. Meskipun kecil, keberadaan bunga itu segera disadarinya, karena warnanya yang putih mencolok diantara rerumputan hijau di sekeliling bunga tersebut.

Ia membungkukkan badannya, memetik salah satu dari dua bunga yang sedang mekar itu, mengabadikannya dengan kamera ponsel yang dibawanya, lalu menyematkan bunga itu di sela telinganya. Ia selalu melakukannya tiap kali musim semi datang, dengan bunga berwarna sama. Dengan bunga yang tumbuh di tempat yang sama. Dan seperti tahun-tahun sebelumnya, ia hanya mengambil salah satu dari bunga itu—tidak keduanya.

.

.

'Jikyung-ah, lihat-lihat! Ada bunga yang tumbuh di situ!' ujar pemuda itu sambil berlari-lari kecil ke tepian jalan setapak yang tengah mereka lewati. Ia mengambil kamera sederhana yang selalu ada di tasnya dan mengabadikan dua bunga yang tumbuh di sana dalam sebuah foto.

'Kau tak perlu seribut ini, itu kan hanya bunga liar yang tumbuh di pinggir jalan,' kata gadis disampingnya malas. Gadis itu tak pernah mengerti mengapa pemuda di sampingnya sangat mudah menjadi bersemangat karena hal-hal kecil seperti bunga yang tumbuh di pinggir jalan.

'Lee Jikyung, kau tahu tidak, bunga ini selalu tumbuh di sini setiap musim semi. Di tempat yang sama, dengan warna yang persis sama—oke tahun ini bunga ini berwarna lebih pucat dari tahun kemarin—dan kau tahu, bunga ini selalu tumbuh sepasang. Hanya dua setiap tahunnya.'

'Lalu?' tanya Jikyung tak tertarik. Lantas kenapa kalau hanya tumbuh di sana, warna yang sama dan hanya sepasang—pikirnya.

'Tidakkah menurutmu hal ini hebat? Kurasa mereka hanya tumbuh sepasang karena mereka diciptakan seperti sepasang kekasih. Hanya berdua, selamanya. Jika salah satu kau petik, bunga itu tak akan tumbuh lagi sampai musim semi berakhir, dan bunga yang satunya lagi akan terus tumbuh seolah menunggu pasangannya kembali.'

Pemuda itu melirik gadis di sampingnya dan mendapatkan ekspresi 'aku-tak-peduli-apa-hebatnya-ceritamu' tergambar jelas di wajah gadis itu.

'Aish, kau ini wanita bukan sih?' ujar pemuda itu agak kesal sambil menjitak Jikyung pelan.

'Aaw! Tentu saja aku wanita! Tidak lihat rambutku panjang?'

'Hee, rambut panjang tak berarti kau wanita,' kata pemuda itu lagi, kemudian menjitak pelan lagi gadis di sampingnya, kali ini dengan sedikit cengiran di bibirnya. 'Mendengar cerita seperti itu masa kau tak merasa hal ini romantis?'

'Aku tak peduli dengan cerita seperti itu, lagipula tentang sepasang bunga yang saling menunggu itu kan hanya teorimu. Darimana kau tahu kalau bunga yang satu lagi akan terus menunggu pasangannya sampai musim semi berakhir? Bisa saja ia tidak peduli, buktinya ia terus tumbuh tanpa menunggu pasangannya ikut tumbuh. Kau ini ad...'

Ucapan gadis itu terhenti karena pemuda di depannya memetik salah satu bunga itu dan menyematkannya di sela telinganya. Pemuda itu lalu tersenyum, puas dengan perkerjaan yang baru dilakukannya. Ia lalu mengambil kameranya dan memotret hasil perkerjaannya—dengan ekspresi yang tak jelas berdiam di wajah modelnya.

'Kau terlihat manis, dengan bunga itu di sana—dan dengan tidak banyak omong seperti ini, hehehe,' kekeh pemuda itu sembari membereskan kameranya. Setelah memasukkan kameranya kembali ke tas, ia memetik pasangan bunga yang satu lagi dan menyelipkannya di buku catatan merah yang selalu dibawanya.

'Yang itu untukmu, sedangkan yang ini untukku—kau tak boleh menghilangkannya, ingat itu. Mmh, tahun depan, kau harus menemaniku lagi melihat bunga ini mekar. Dan tahun depannya lagi, dan tahun depannya lagi, ok?'

Gadis itu tak menjawab, ia hanya menggangguk kecil tanda setuju. Ditundukkannya kepalanya, menyembunyikan pipi pucatnya yang sudah diselimuti rona merah muda. Pemuda itu tersenyum dengan responnya dan mengelus ringan puncak kepala gadis itu.

'Yuk, pulang,' ajak pemuda itu seraya berdiri. Sang gadis mengikuti gerakan pemuda itu tanpa mengatakan sepatah katapun. Ia terlalu sibuk menenangkan perasaannya agak tak meledak kegirangan saat itu.

.

.

Ia tersenyum kecut mengingat alasannya melakukan hal yang sama selama tiga tahun terakhir. Ia selalu melewati jalan setapak itu di hari kelima musim semi, memetik salah satu bunga yang sedang mekar di pinggir jalannya, mengabadikannya, menyematkannya di sela telinganya, kemudian membiarkan pasangan bunga itu tetap berada di sana. Dengan harapan pasangan bunga itu tak lagi berada di sana jika kemudian hari ia kembali ke sana. Tapi, pasangan bunga itu selalu tetap berada di sana, bahkan sampai musim semi berakhir.

Gadis itu menghela napas panjang, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun berlalu ia merasa lelah melakukan semuanya. Lelah dengan janji yang terus dijaganya—lelah dengan perasaan yang hanya dijaganya sendiri. Untuk pertama kalinya, ia merasa apa yang ia lakukan selama ini adalah sesuatu yang tidak berguna, hanyalah alasan untuk mempercayai kebohongan yang ia anggap sebagai realita.

Untuk pertama kalinya, ia ingin menghentikan semuanya.

Ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam tas merah kecilnya. Tangannya bergerak pelan menuju telinganya, meraih bunga yang baru disematkannya dan melepasnya dari sana. Ia lalu berjalan pergi meninggalkan tempat itu. Sepasang bunga putih kecil tergeletak di sana, dengan jarak yang agak berjauhan—yang mana salah satu dari bunga itu masih menancap tumbuh di tanah, sedangkan yang lain telah terlepas dari batangnya.

Ia pergi sendiri—tanpa membawa bunga putih kecil di tangannya seperti tahun-tahun sebelumnya.

Dan tanpa ia tahu, di belakangnya sebuah tangan memungut bunga yang baru dipetiknya dan meninggalkan tempat itu.

endoffirstseason


a (short) message from thisuseless author

halooo~!^-^

Saya kembali dengan fic yoojin x rian lagi ahahaha XD, nampaknya saya sudah terobsesi dengan pairing ini lah haha. Agak sulit di mengerti yah? Saya juga agak bingung sih sebenernya begitu baca ulang, tapi tunggu saja sampe fic ini beres mungkin akan (agak) lebih bisa dimengerti hehe. Typo ... saya sudah bener-bener mencoba memperbaikinya, tapi yang emang pada dasarnya ndablek, o'on, dan ceroboh, sepertinya masih banyak yang tersisa. Haduh maafkan D:

anyway, reviews, critics and comments are welcomed :D

smile, dream and love

k.