Disclaimer: Bleach milik Tite Kubo
Warning: biplots, OOC (tentu saja), AU (bukan canon#plak), genre fantasi (kemungkinan cerita berdasar imajinasi abal tanpa mikirin logis apa gak)
*Persembahan spesial untuk Kujo Kasuza (semoga kau senang, Dek)
.
.
.
Leo and Raven
.
(Toushiro Hitsugaya & Rukia Kuchiki)
Bagian I: AWAL
SYAHDAN telah seratus tahun Kerajaan Eis berdiri. Kemakmuran menemani; minyak buminya melimpah ruah di balik daratan salju yang membentang. Kedamaian mengiringi; sang raja memimpin dengan penuh kearifan tanpa cela.
Namun sayang, kejayaan tidaklah niscaya. Prajurit yang gagah berani pulang dengan panji kekalahan. Benteng barat daya tidak kuasa dipertahankan dari gempuran Bangsa Quins.
Pemberontak bergegap gempita. Rakyat berkabung.
Bersama 223 prajurit yang tewas, sang raja turut meregang nyawa dengan tusukan tombak tepat di jantung. Tangis sedih mengguyur bagai hujan es yang turun kala itu.
Namun, parlemen tidak mau larut dalam kepiluan terlalu lama. Baru empat hari setelah pemakaman akbar, mereka menyelenggarakan rapat pemilihan penerus berikutnya.
Tanpa disangka di tengah rapat, Permaisuri Uno berkunjung dan ikut ambil bagian. Pro kontra mengalir tanpa kendat kala sang permaisuri mencalonkan putra ketiga sebagai raja. Gagasan itu jelas meledek undang-undang kerajaan. Bahwasanya bila raja wafat, kedudukan wajib diserahalihkan pada putra pertama, bukan si bungsu.
Sayangnya, tidak cukup meluluhkan perangai permaisuri yang sekeras baja. Tepat hari itu juga, panah nasib berubah arah. Nasib Kerajaan Eis dan seisinya, pun dua anak manusia yang tidak sepatutnya bertemu.
Leo dan Raven.
Tiga pemuda tanggung melintasi jalanan Desa Root yang lumayan ramai. Pedagang berjejer di tepi kiri, menjajakan barang jualan, baik di meja atau di tanah berlapis terpal. Pun warga wira-wiri membeli bahan masakan untuk makan malam nanti. Tanah salju yang dilalui memetakan tapak sepatu berbagai bentuk. Sebelum akhirnya tersaput buntalan salju yang jatuh dari pohon baobab yang merapat di pinggir kanan jalan.
"Kau yakin?" tanya Red (lagi).
"Kau perlu bertanya berapa kali?" Leo sampai letih dibuatnya. "Iya, aku sangat yakin."
Red nyengir saja. Mau bagaimana lagi. Pemuda bertato dan berambut semerah api itu merasa butuh bertanya berkali-kali setelah Leo minta ikut bersamanya ke desa. Memang ini bukan pertama kali si jabrik putih keluar istana, tapi jadi pertama kali keluar tanpa pakaian formal. Tidak mau menarik perhatian, katanya tadi.
Red sangat mengerti kalau Leo butuh udara bebas. Gagasan permaisuri, membuat bangunan megah itu berubah jadi tempat sempit dan pengap. Mata penghuni istana melirik Leo ke mana pun ia bergerak.
"Kita akan pulang sebelum permaisuri sadar kau pergi terlalu lama," tambah Io, menegaskan. Pemuda berambut kepang hitam yang berjalan di sisi satunya itu tidak mau ambil risiko bila Permaisuri Uno tahu si bungsu belum pulang saat matahari terbenam.
Perjalanan mereka terbilang damai seiring Leo tidak melayangkan balasan apa-apa. Ia patuh saja saran sahabatnya sebelum diberi nasehat ini-itu. Terkadang dua orang ini lebih cerewet dari ibunya sendiri.
Waktu berjalan tidak lama saat mengantar tiga pasang kaki tersebut berhenti. Mereka akhirnya tiba di tujuan: kediaman bertingkat dua berplang kayu bertulis "Pandai Besi Zo". Dilepasnya sepatu boot di beranda kecil dengan papan berderit, Red dan Io bergegas masuk sebelum menoleh bingung pada Leo yang bergeming.
"Aku tunggu di sini saja," katanya, lebih memilih menanti di luar daripada menonton sepasang kawannya mengepak pakaian. Ini semua karena karantina latihan prajurit perang yang akan dilangsungkan besok. Red dan Io bermaksud bergabung untuk mengubah nasib. Bagaimanapun prajurit perang kastanya lebih tinggi ketimbang pengawal biasa. Selain pamornya yang lebih 'wah', gajinya juga tentu lebih besar.
Red dan Io berpandangan sepintas, sebelum akhirnya bilang kalau mereka akan sebentar saja. Dibawanya kaki masuk ke dalam, dan meninggalkan sahabatnya seorang diri. Untuk membunuh waktu, Leo melangkah ke bengkel pandai besi yang terletak tepat di samping rumah. Bengkel itu lengang, Paman Zo sedang tidak ada. Pasti tengah sibuk mengantar pesanan pedang pada pelanggan.
Istilah meraup berkah di balik musibah mungkin sangat cocok ditujukan pada kaum pandai besi, terutama pedang. Kegagalan di perang membuat kepopuleran tombak merosot dan digantikan pedang yang tampaknya lebih menjanjikan. Peminat program kepelatihan teknik berpedang di istana pun sedang tinggi-tingginya. Banyak yang turut ambil bagian, baik itu pemuda bangsawan atau prajurit. Leo, tidak terkecuali. Namun bukannya ada di lapangan latihan bersama kedua saudaranya, ia justru memilih menghabiskan waktu di desa.
Leo menarik udara panjang-panjang dengan hidung dan mulutnya. Aroma debu salju yang segar dan dingin mengisi selongsong paru-parunya yang lama tidak menghirup udara bebas.
Kakinya kemudian melangkah lagi, tangan berpautan di belakang tubuh. Dipisah oleh gubuk tanpa penghuni, kedai buah bertengger di sampingnya. Semangka yang melengkapi rak buah berisi kelapa, pepaya, mangga, dan markisa sungguh menarik minat Leo. Diam-diam, ia menelan ludah. Beginilah jadinya bila ia dihadapkan dengan buah kesukaannya.
Jadi sebelum ngiler kepingin, ia agak menjauh dan berjalan lebih ke depan. Namun untung susah diraih, sial tidak bisa ditolak. Air kotor mengguyurnya tepat ketika ia berlalu di rumah tepat di sebelah kedai buah. Seketika itu juga, Leo jadi pusat perhatian warga lalu-lalang dengan sekujur badan basah kuyup dan bau yang menyengat.
"Oh, maaf!" seru sang pengguyur dari lantai dua. Ia kemudian menghilang cepat, berderap tergesa-gesa ke bawah; suara derak papan mau rubuh terdengar jelas. Ia tentu mau buru-buru tiba pada pemuda yang kena sial atas kecerobohannya.
Begitu sampai di depannya, si gadis pengguyur membekap mulut. "O-oh, tidak…." Nasib korbannya lebih buruk dari yang dibayangkan; sampah sayuran dan tulang ikan nangkring di rambut putih jabriknya (yang awalnya membangkang gravitasi, kini menuruti gravitasi; jatuh gemulai). Kerutan kening dan urat pelipis yang mencuat makin mendukung penampilan si pemuda yang awut-awutan.
"Ma-maaf. Ayo, masuk. Aku akan membersihkanmu."
Daripada jadi tontonan dan cekikikan gratis, Leo menuruti si pengguyur dengan mengikutinya masuk rumah yang lebih mirip gubuk bersusun dua dengan pondasi reyot. Duduk di bangku yang menunggu waktu untuk ambruk, Leo memerhatikan lantai satu rumah yang bak gudang istana. Bahkan, gudang istana jauh lebih baik. Paling tidak, pakaian tidak berbaur dengan piring kotor atau karung gabah.
Sementara matanya sibuk mengamati, si gadis desa mengubek-ngubek keranjang rotan setinggi pinggang. Mencari kain bersih di antara tumpukan pakaian kotor yang memenuhi. Decakan riangnya terdengar begitu tangan si gadis berhasil meraih yang diperlukan; lekas-lekas berjalan ke depannya. Tanpa kata permisi, ia menyapukan kain ke wajah dekilnya. Leo memberengut kesal, pun lantas merenggut kain itu di tangan si pelaku. Gadis ini tidak pernah diajari sopan santun, ya?
Sadar itu, si gadis jelata menundukkan wajah suramnya. Korbannya masih marah. "Maaf, aku sungguh tidak melihatmu…."
Mendengarnya, kejengkelan Leo sedikit menghilang. Ia membuang napas. "Sudahlah. Boleh minta air bersih?"
Sang gadis pengguyur mengangkat wajah dengan cepat. Mukanya berseri-seri; syukurlah, ia dimaafkan. Mengangguk semangat dan senyuman lebar, ia berlari ke belakang rumah sambil tidak lupa menabrak tiang. Mengelus hidung kesakitan, ia lanjut bergegas. Perempuan ceroboh, pikir Leo. Tidak berselang lama, sang gadis desa tiba di depannya bersama sebaskom kecil air bersih. Si jabrik mencelupkan kain di sana dan menyapukan ke wajahnya. Tampaknya ia perlu mandi. Bisa gawat ia pulang dalam keadaan bau begini.
"Maaf lagi, ya…." kata si pelaku, menelengkan kepalanya ke bawah, ingin melihat raut Leo yang dipalingkan.
Laki-laki tersebut kembali membuang napas. "Sudahlah. Kata maafmu kebanyakan."
Perempuan mungil itu tersenyum berterima kasih. Sepi kemudian menengahi dengan Leo lebih asyik mencuci wajah dan rambut jabriknya yang kini berubah warna jadi kuning pucat. Ia sungguh harus mandi. Sementara gadis di hadapannya mencuri pandang, menelaah lebih jelas perawakan si pemuda. Rambut putih jabrik lebat bukanlah warna dan gaya rambut yang familiar di desa ini. Mata sehijau rumput pun bukan warna mata yang umum di masyarakat sini.
Di depannya, Leo merengut. Ia rikuh juga kalau kelewat diperhatikan. Jadi, ia membuka suara, "Boleh tahu, siapa namamu?" Pertanyaan basa-basi saja.
"Oh." Gadis itu tersentak, posturnya linglung. "Raven. Kau … sendiri?"
"Leo."
Kening Raven berkerut, berpikir. "Namamu sama dengan pangeran."
"Karena aku memang pangeran."
Baskon itu langsung jatuh bertemu lantai tanah.
.
.
.
DI SALAH satu meja kosong, Rukia Kuchiki senyum-senyum sendiri bak orang yang kejiwaannya sedang dipertanyakan. Untung saja perpustakaan sedang sepi, meski masih jam istirahat. Cuma enam murid yang mengisi, bila pustakawati Nanao Ise tidak dihitung.
Jarinya membalikkan lembaran buku tua, melanjut kisah yang termaktub di dalamnya. Hingga dua-tiga buku yang menimpa kepalanya sungguh membumihanguskan suasana.
"Auch!" Rukia spontan menjauh, mengelus batok kepala yang tampaknya sudah benjol. Ia berdiri membelakangi meja, merapat di tepinya sambil melempar muka marah.
"Oh, maaf. Kau tidak apa-apa?" tanya si pelaku cemas.
"Apanya yang tidak apa-apa? Sakit, tahu." Sayang, tidak urung membuat kemarahan Rukia redup.
Pelaku itu, ToushiroHitsugaya , memang tadi agak asal-asalan saat menarik buku yang diminatinya. Sampai buku di sampingnya terjatuh dan terjun menerpa kepala siswi yang sedang mengaduh sakit. Toushiro memungut buku yang berserakan di lantai, menaruhnya di atas meja. "Kepalamu tidak apa-apa, kan?" Tangannya bermaksud memeriksa, namun ditepis keras oleh sang korban.
Gadis itu sungguhan marah. Lihat saja muka seramnya.
Rukia lalu beringsut menjauh dari meja. Menarik tangan dari kepala dan sebercak cairan merah menempel di jarinya. "Darah." Tampaknya buku bersampul tebal dan keras telah menghantam kepalanya dengan telak.
Maka, UKS jadi pemberhentian mereka berikutnya walau bel berakhirnya jam istirahat telah berbunyi tiga menit tadi. Isane Kotetsu membersihkan luka dengan telaten. Rukia yang duduk di ranjang menerima perawatan dengan kalem; tidak ada rintihan sakit. Baginya, memar terjatuh gara-gara dikejar anjing saat kecil masih jauh lebih perih dari ini. Toushiro mendampinginya dengan duduk di kursi tanpa sandaran dan lengan tepat di depannya.
"Selesai," kata sang perawat sembari membuang kapas kotor ke tempat sampah di samping meja.
"Apa, Sensei, yakin ini tidak perlu dijahit?" tanya Rukia, sangsi. Kini luka di kepala hanya disaput oleh kain kasa yang dilipat kecil, lalu diikat dengan satu-dua helai rambut hitamnya.
"Tidak perlu. Hanya saja, kau harus rutin ganti tiga kali sehari."
Rukia menghela napas lega, sebelum mengarahkan mata tajam pada pemuda yang membuat hari pertamanya di sekolah jadi sial.
"Maaf, aku tidak sengaja."
"Lain kali, hati-hati." Suara si gadis mungil sudah tidak terdengar kesal. Ia lalu turun dari ranjang dan mengucap terima kasih sekaligus permisi pada Isane; berjalan keluar. Toushiro menyusul setelah ikut berpamitan. Menutup pintu UKS, mereka berjalan berdampingan menyusuri lorong sepi.
"Aku tidak pernah melihatmu di sini. Kau murid baru?" tanya Toushiro. Meski kelas sudah masuk, ia tidak terkesan mau buru-buru.
Rukia mengangguk, sesekali menyentuh pucuk kepalanya. Rasanya risi juga mendapati benda asing di kepalamu. "Aku baru masuk hari ini, dan kau langsung mengacaukan hari pertamaku."
"Berapa kali aku harus bilang maaf agar kau puas?" Toushiro dongkol setelah hampir lima kali ia berucap maaf. Itu sudah berlebihan.
"Sebanyak yang kau mau." Rukia ingin bermain-main. Ia suka dengan orang yang cepat marah dan tersinggung seperti laki-laki di sampingnya. Enak digoda dan diajak bercanda.
Toushiro memutar mata kalah.
Setiba di pertigaan koridor, dua orang itu berpandangan, sadar kalau kelas mereka berlawanan arah.
Jadi sebelum berpisah, Rukia mengulurkan tangan. "Aku, Rukia Kuchiki. Kelas 2-A."
"Kuchiki?" Toushiro tertegun sejenak, sebelum membalas uluran tangan si anak baru. "Toushiro Hitsugaya."
Mendadak saja ide ini melintas di kepala kecil Rukia. "Aku tidak tahu kalau ini pantas diminta oleh orang yang baru berkenalan. Tapi karena kau berutang padaku, mau tidak membantuku?"
Toushiro memutar mata lelah, maaf memang tidak cukup agar cewek ini melupakan yang lalu-lalu. "Apa?" Ia tidak sadar kalau suaranya agak ketus.
Rukia tersenyum geli. Emosi laki-laki mudah sekali disulut. "Aku mau, kau membantuku meminjam buku di perpustakaan." Sebagai anak baru, ia belum punya kartu perpustakaan, padahal buku yang tadi dibacanya sedang seru-serunya. "Paling tidak sebagai wujud penyesalanmu."
Toushiro mengumbar napas. "Baiklah. Besok atau lusa bisa. Kalau tidak, minggu depan. Memangnya buku apa yang mau kau pinjam?"
"Buku yang sedang asyik aku baca sebelum kau mengacaukannya."
"Iya, iya. Apa judulnya?"
"Leo dan Raven."
. . . . .
"LEO dan Raven?" Dari nada suara, Nanao kaget sekaligus heran. "Wah, sudah lama sekali tidak ada yang meminjam buku ini." Berdasar kartu keanggotaan Toushiro di tangannya, ia menulis data identitas di kartu peminjaman, sebelum lanjut di buku arsip. "Tumben kau membaca buku begini, Hitsugaya-san." Kemudian mengulurkan kartu keanggotaan beserta buku pada pemuda yang dimaksud.
"Bukan aku, tapi…." Toushiro menyodorkan pada Rukia yang menerima dengan antusias bagai bocah yang diberi boneka panda.
Mulut Nanao cuma membulat O, sebelum melempar senyum jahil. Toushiro yang paham arti senyum itu, langsung menarik Rukia keluar perpustakaan; mendengar tawa geli sang pustakawati di belakang sana.
Sejak insiden ketimpa buku satu setengah minggu lalu, mereka berubah akrab walau beda kelas. Diawali dengan Toushiro yang menjelma jadi guide, mengenalkan seluk-beluk sekolah pada Rukia. Karenanya Hitsugaya harus membiasakan diri mengakhiri latihan sepakbola di waktu istirahat untuk sekadar menemani si nona Kuchiki berjalan-jalan menyusuri sudut gedung Seireitei High School. Maklum, gadis itu belum berani meminta tolong pada teman sekelas. Hitsugaya lah kenalan pertamanya di Kota Seireitei sejak keluarganya pindah dari Karakura ke kota ini.
Tidak tunggu waktu, Rukia sudah tenggelam pada bacaan di tangannya. Lebih dari sekali, ia cekikikan tanpa mau repot memerhatikan jalannya di koridor. Toushiro jadi melirik. "Bisa kau membacanya di kelas saja?"
"Ummm?"
"Nanti kau—"
"—Ouch!" Peringatan Hitsugaya terlambat. Rukia kadung menabrak seseorang yang berpapasan dengannya.
"Kau tidak apa-apa?"
Sambil mengelus hidung, nona Kuchiki mengangkat wajah. Selangkah di depannya adalah Ashido Kano, senior yang populer dan bintang atlet rugby, menundukkan kepala dan berparas cemas padanya.
Canggung, Rukia mundur setengah langkah. "Err, tidak apa-apa, Senpai."
Kening Ashido berkerut. "Eh, kau Kuchiki si anak baru itu, kan?"
Wah, belum sampai sebulan ia sudah dikenal banyak orang, oleh senior paling keren lagi. "…Iya. Bagaimana Senpai tahu?"
Sementara Kano tengah menjawab, Toushiro sedang menautkan kening kesal. Ia tidak suka dicuekin, apalagi gara-gara senior yang suka tebar pesona. Jadi sebelum Rukia jadi korban layaknya kebanyakan cewek dan menjerit 'Kyaaaa!', Hitsugaya menariknya paksa dari sana sambil memberi kata perpisahan bernada enggan, "Kami buru-buru, Senpai. Permisi."
Cuma lambaian tangan yang bisa Rukia berikan pada Ashido di belakang sana, mengekori si jabrik putih untuk tiba di kelas 2-A, kelas Rukia. Mereka berpisah setelah Toushiro mengumandangkan pesan, "Hari ini kita mungkin tidak bisa pulang bersama. Aku ada latihan."
Ide ini langsung melintas. "Boleh tidak aku menontonmu?"
Dan siang itu, Rukia duduk di tribune dengan buku "Leo dan Raven" di pangkuan. Menyaksikan Toushiro dan kawan-kawannya berlatih di tengah lapangan dengan seragam latihan. Sebelas orang mengenakan warna biru, sebelas lainnya warna kuning. Mereka melakoni sesi pemanasan, latihan taktik, shooting, dan passing. Lalu setelahnya membentuk pertandingan mini untuk menguji strategi yang akan diandalkan di pertandingan sesungguhnya minggu depan.
Pelatih, Kensei Muguruma, mengawasi sambil sesekali meniup peluit yang tergantung di lehernya atau berteriak.
Tribune tampak sepi. Hanya enam orang di sana, termasuk Rukia. Ya, tidak aneh. Sepakbola memang bukan olahraga paling digandrungi di Kota Seireitei. Pamornya masih kalah dengan rugby. Berbeda dengan kota Rukia sebelumnya, Karakura.
Sejam berselang, dua kesebelasan itu beristirahat dengan melepas letih di bench. Nona Kuchiki lekas-lekas menutup buku, menyandang tas, menuruni tangga, lalu menghampiri ke tepi lapangan. Toushiro ikut mendekat, napasnya lumayan memburu. Keringat membanjiri kulit coklatnya yang keseringan menghabiskan waktu di bawah panas matahari.
Mereka berdiri berhadapan dengan dipisahkan pagar pembatas yang setinggi pinggang. Rukia merogoh sebotol air di tas dan mengulurkan padanya.
"Terima kasih." Toushiro menerima meski jelas-jelas bagian staf pelatih menyediakan berbotol-botol air di sana.
Mau tidak mau, siulan menggoda membombardir mereka. "Suit, suit, suit." Sungguh pemandangan gres melihat sang kapten membawa seorang gadis ke lapangan latihan. Toushiro dikenal sebagai pesepakbola muda yang tegas, serius, punya visi jelas, dan terlihat siap mendedikasikan hidup demi sepakbola tanpa mau peduli hal lain, apalagi yang berhubungan dengan romansa.
Hitsugaya nyaris tersedak digoda begitu. Ia melayangkan tatapan tajam, yang sayangnya tidak ampuh. Siulan itu kian menjadi. Sementara Rukia di depannya tersenyum kecil, wajahnya tersipu malu. Alih-alih berkurang, malah jadi kian parah saat sisa air dibotol sengaja Toushiro guyur ke sekujur jengkal tubuhnya. Tetesan-tetesan air mengalir mengikuti setiap penjuru nadi dari leher yang kukuh, lengan tangguh, dan dada atletis.
Rukia langsung menunduk, wajahnya terbakar.
"Kau sudah mau pulang?"
Dengan perhatian yang setia ke sepatu flat-nya, Rukia menganggukkan kepala.
"Kalau begitu tunggu, akan kuantar." Toushiro kemudian bergegas menjauh, bergerak ke arah teman-temannya. Disambut oleh siulan menggoda, ia langsung melempar botol kosong ke arah pemilik siulan yang paling keras, Renji Abarai. Boro-boro reda, siulan justru diganti tawa keras Renji.
Jingga merajai langit. Sepasang anak manusia berjalan berdampingan berkawan semilir angin sore. "Besok kau senggang?" tanya Rukia. Satu-dua jumput rambutnya berkibar.
"Iya, kenapa?"
"Bisa datang melihatku latihan besok?"
Toushiro menarik satu alis. "Jangan-jangan alasan kau menontonku hari ini agar aku menontonmu juga besok?"
Rukia nyengir malu. "Ketahuan, deh."
Hitsugaya melepas tawa tanpa suara. "Kau licik, Kuchiki."
Harusnya itu mengundang tawa Rukia. Tapi, ia justru terdiam. Ada yang salah. Janggal. Tidak sesuai tempatnya. Ia tidak suka Toushiro memanggilnya dengan marganya.
Perjalanan di senja itu kemudian didominasi Toushiro. Rukia bergelut dengan sepi, mencari cara untuk membuat si pemuda menyebutnya dengan nama depan. Hingga malam menjemput dan berakhir di ranjang, si gadis mungil masih memikirkan itu. Sebelum ingat kalau latihan musik besok Toushiro akan datang menontonnya. Matanya lalu tertutup bersama senyum dan hati yang berdebar tidak sabaran.
Esok hari pun menjelang.
Kursi-kursi yang berderet rapi di depan panggung masih sepi. Ada yang terisi, namun bukan orang yang diharapkan nona Kuchiki sejak tadi. Matanya tidak mau lepas ke pintu sebelah kiri kursi penonton. Ia mau itu segera terbuka dan memampangkan orang yang ia nanti.
Tangan Rukia di batang selo beringsut gelisah. Alur jari di batang penggesek dawai tidak sejalan dengan iringan musik piano, biola, dan flute rekan-rekannya. Tapak tangannya berkeringat. Beginilah jadinya bila ia sedang resah.
Rangiku Matsumoto, sang konduktor, memberi isyarat berhenti. Menghampiri dan bertanya, "Kuchiki ada apa? Ada yang mengganggumu?"
Baru saja Rukia mau beralasan saat pintu itu terbuka dan memunculkan sesosok yang ia tunggu. Toushiro Hitsugaya. Tersenyum lebar dan lega, Kuchiki beralih pada Matsumoto dan menjawab mantap, "Tidak apa-apa, Matsumoto-san. Semuanya baik-baik saja."
Lalu Rangiku kembali memandu, mengayunkan tangan, mengulang nada sebelumnya. Si gadis mungil memainkan selo sembari mencuri pandang pada Toushiro yang setengah bersandar di dinding sambil tersenyum kagum. Tak pelak, nona Kuchiki jadi lebih bersemangat.
Di tempatnya, Hitsugaya menatap Rukia laksana malaikat yang melantunkan musik di panggung kayangan. Sungguh menyilaukan… Dan ditatap kelewat lekat, Rukia malu dengan merah menjalar di sekujur wajah. Pun nyaris hilang fokus sampai diberi dehaman keras oleh Rangiku. Namun, ia masih saja tersenyum-senyum.
Pukul sembilan malam kala latihan Kuchiki usai. Ia menghampiri Hitsugaya dengan berlari penuh semangat. Tas selo besar di punggung tampak tidak mengusik gerakannya.
"Hebat," sanjung Toushiro. Kini selo itu berpindah padanya. Ia tidak tega melihat si gadis mungil menenteng barang raksasa yang hampir menyamai badannya sendiri.
"Jangan bodoh. Itu baru dasar." Suara Rukia acuh tak acuh, namun wajahnya yang kelewat merah lebih memberi jawaban jujur. Terima kasih dengan gelapnya malam hingga tidak begitu kentara.
"Itu memang hebat."
Berhenti! jerit Rukia membatin. Laki-laki ini harus berhenti memujinya sebelum jantungnya meledak. Jadi untuk menjaga kesehatan jantung, ia mengeluarkan buku di tas jinjingnya, dan membacanya. Mengalihkan perhatian, meski tampak konyol. Maksudnya, ia membaca di bawah pencahayaan seadanya—pencahayaan dari lampu jalan yang berdiri tiap 15 yard.
Kening Toushiro jadi menyatu. "Kau bisa membacanya di rumahmu, kan?"
"Ini lagi seru-serunya," Rukia beralasan, meski ia pun tidak bisa melihat baik. "Leo dan Raven mulai akrab, dan saling mengerti satu sama lain."
Toushiro menghentak napas. "Buku itu sama sekali tidak seru."
Nona Kuchiki menoleh. "Kau pernah membacanya?"
"Tidak."
"Lalu kenapa bilang tidak seru?"
"Itu dongeng. Tentu saja tidak seru. Pasti ujung-ujungnya menikah, punya banyak anak, dan hidup bahagia selamanya."
Muka Rukia berkilau cerah. "Bagus, kalau begitu. Aku suka happy end."
Toushiro membuang napas panjang. "Ahhh, dasar perempuan." Kakinya melangkah lebih cepat, menjauh.
"Ahhh, dasar laki-laki." Dan sadar ia ditinggal di belakang—"Toushiro, tunggu." Ia mengejar laki-laki yang semakin berlari di depan sana—"Tunggu. Hei!"
.
.
.
DI ANTARA tiga putra Permaisuri Uno, si bungsu adalah yang paling kurang diharapkan menduduki posisi raja di masa depan. Selain karena ia yang termuda, kemampuan bertempur fisik di antara saudaranya adalah yang terendah.
Si sulung, Pangeran Panthera, andal bertarung dengan tangan kosong; badannya dijadikan senjata penghancur sekaligus benteng pertahanan terkokoh. Putra kedua, Pangeran Hero, piawai menunggang kuda dengan laju secepat halilintar. Gesit gerakannya amat mematikan dengan senjata tombak yang kerap menghunus bersama kecepatan tak kira-kira. Sedangkan si bungsu, Pangeran Leo, hanyalah adu taktik dan luasnya pengetahuan yang bisa ia sombongkan. Pengalaman pun masih minim. Ia satu-satunya yang belum pernah mengecap peperangan yang sebenarnya. Sementara Panthera dan Hero telah tiga kali mendampingi ayahanda ke medan tempur.
Biarpun begitu, sama sekali tidak menyurutkan hasrat permaisuri mencalonkan putra kesayangannya. Ingat, dua lainnya tidak lebih dari anak tiri. Maka, tidak pernah bosan ia mengingatkan, "Posisi itu milikmu, Leo."
Namun, Leo tahu diri. Posisi itu lebih pantas untuk sepasang kakaknya. Jadi, tidak pernah ada tutur balasan darinya kala sang ibunda berkata demikian.
Seperti saat ini. Cuma dentingan sendok dan garpu perak yang terdengar sebelum sesaat kemudian piring Leo bersih mengkilap. Ia meraih segelas air, meminumnya, sebelum mengelap mulut dengan sapu tangan. Didorongnya kursi, membungkuk sopan, dan bergegas pergi andai saja permaisuri tidak bertanya:
"Mau ke mana, Putraku? Buru-buru sekali."
"…Ke tempat Guru Gen, Ibunda. Dia ingin saya tiba di rumahnya satu jam lebih cepat."
Ibunda mengangguk saja, meski tidak begitu antusias. Leo kelewat banyak menghabiskan waktu dengan guru filsafat itu. Kelewat banyak menghabiskan waktu dengan buku dan sastra. Padahal saat ini, putranya membutuhkan latihan teknik pedang untuk menandingi dua saudaranya. Mungkin nanti ia akan bertemu empat mata dengan Guru Gen, meminta memotong waktu belajar si bungsu.
Sementara Leo cepat-cepat angkat kaki setelah ibundanya mengizinkan tanpa curiga. Iya, tanpa curiga bahwa putra kesayangannya sedang punya hobi berbohong. Mulutnya berujar soal berkunjung ke Heaven Land, mendatangi guru filsafat, atau menonton pertunjukan gladiator di alun-alun kota; tapi, kakinya melaju ke arah sebaliknya—
"Hebat. Bagaimana Anda tahu semua itu?" tanya Raven, matanya berbinar-binar bagai kerlap-kerlip jutaan bintang di tengah langit malam. Terkagum-kagum.
—ya, sebaliknya. Desa Root dan Raven.
Leo tersenyum kikuk dan juga malu. "Kau hanya perlu baca buku. Itu bukan hal yang hebat."
"Tetap saja, itu sangat hebat." Raven membuang napas sendu. "Soalnya, saya tidak bisa membaca."
Leo tidak terkejut soal itu. Sejak pemberontakan merajalela 25 tahun silam, muncullah gerakan penghabisan buku-buku di pelosok desa. Kegiatan menulis dan membaca di masyarakat kecil pun dilarang keras. Dipercaya bahwa pemberontak berasal dari wilayah kumuh; mengkritik tanpa ampun lewat media cetak. Bagaimanapun kedamaian yang diagung-agungkan seratus tahun tidak lepas dari pengorbanan kalangan jelata.
"Bagaimana kalau aku mengajarimu?" Leo menganjurkan langsung.
Raven tertegun, tidak menyangka kalau pihak istana sendiri (bahkan sang pangeran) mau menolongnya. "…Benarkah? Tapi Anda—"
"Pangeran? Itu sama sekali tidak ada hubungannya."
Baginya, buku adalah alat universal. Tidak diperuntukkan untuk satu kalangan, tapi untuk semua kalangan.
Sejak itu, hampir setiap hari Raven menyumbangkan waktu luangnya belajar bersama Leo atau membaca buku. Apa saja. Keingintahuannya meluap-luap, apalagi setelah tahu adanya dunia yang berbeda di seberang sana. Bukan hanya dunia yang dipenuhi es dan salju (seperti Kerajaan Eis), namun ada yang diselimuti pasir, rumput, bebatuan terjal atau tanah gersang. Keren!
"…Artemisia berjuang dalam perang seperti laki-laki," baca Raven. "Dia adalah seorang legenda abadi dan teladan bagi wanita Persia. Namanya punya arti—"
"—penutur kebenaran."
"Kisah Para Putri Persia", judul buku kedelapan yang berhasil dibaca si gadis desa hingga tuntas, sekaligus jadi buku paling berkesan untuknya.
"Artemisia menakjubkan." Buku itu ditutupnya. Mata sang perempuan mungil menatap jauh di satu titik di langit sana. "Sayangnya Xerxes tidak menikahinya."
"Aa, dia menikahi Esther."
Duduk berdampingan di bawah pohon baobab, Leo dan Raven menerawang langit bersih tanpa awan. Sorot panas matahari berbaur dengan dinginnya buaian salju yang menghampar sejauh mata memandang. Tak jauh dari mereka, terbentang panjang sungai yang jadi lokasi favorit Shira, beruang kutub peliharaan si gadis jelata. Makhluk besar berbulu putih tebal itu tengah mencari peruntungan menangkap seekor ikan dengan cakarnya untuk mengisi perut yang tidak sempat diisi.
Hari ini jadi satu dari sekian hari mana Leo dan Raven menghabiskan waktu bersama. Bercakap-cakap akrab, mengumbar tawa geli, bercanda layaknya sahabat karib. Hingga suatu ketika di hari itu, Leo tidak sanggup lagi memandang Raven sekadar teman.
Berawal oleh tingkah Shira yang ingin berburu ikan di posisi yang lebih jauh. Sungai di hadapannya dangkal, ikan-ikan yang hilir mudik kecil-kecil, tidak cukup memuaskan perut besarnya. Karena tidak mau kehilangan teman kesayangannya, Raven pun beranjak berdiri. Tidak lupa menarik Leo yang tampak ogah-ogahan.
Menunggangi punggung Shira dengan Raven di depan dan Leo di belakang, mereka menyusuri pinggiran sungai. Menjumpai ikan santapan berukuran besar, si beruang kutub ke tengah sungai. Menghempaskan cakarnya ke air, berusaha menangkap ikan yang wira-wiri dengan lincah.
"Shira!"
Pun tidak mengindahkan suara Raven yang mengeluh oleh cipratan-cipratan air. Dan tanpa diduga, Shira menegapkan badan bersiap memangsa dengan dua cakarnya langsung. Tak pelak, sepasang tunggangan jatuh tercebur dengan Leo yang mendarat lebih dulu sebelum Raven menyusul menabrak dadanya.
"Kau tidak apa-apa?" Namun justru sang pangeran yang bertutur cemas.
"Saya yang harusnya bertanya begitu." Raven melepaskan diri, bangkit dengan pakaian basah-kuyup. "Anda tidak apa-apa?" Ia mengulurkan tangan.
"Lumayan." Leo meraih ulurannya, berdiri di tengah sungai yang setinggi paha. Sepasang matanya beralih pada Shira yang mengaum senang, tiga ekor berhasil disantapnya.
Raven menghela napas lelah, menyalahkan diri karena lupa memberi makan peliharaanya sebelum berangkat. Sementara Leo cuma tersenyum geli, sebelum melirik Raven, dan ide jahil terbersit di benaknya. Diam-diam, ia membungkuk, menenggelamkan tangan, dan langsung mencipratkan air ke wajah sang gadis desa.
"Pangeran!" jerit si perempuan mungil, melindungi muka dengan lengan dan mundur beberapa jengkal.
Leo malah tertawa-tawa, tidak ada niat berhenti.
"Hentikan!"
Sama sekali tidak mempan. Insting tidak mau kalah pun bangkit, dan Raven membalas. Maka, terjadilah perang air di tengah sungai dengan diselingi tawa lepas tanpa beban. Leo tidak pernah merasa sebahagia dan sebebas ini. Waktu berjalan, hingga akhirnya perang itu memunculkan pemenang: Leo. Raven sudah terduduk takluk di bawah sana.
"Anda ternyata kekanak-kanakan," gerutunya.
Senyum kemenangan Leo langsung hilang. "…Apa? Aku tidak kekanak-kanakan."
Raven tersenyum kecil, emosi sang pengeran mudah sekali dipancing. Si gadis desa lalu berupaya bangkit sebelum menerima sodoran tangan Leo yang terulur di depannya.
Seusai berdiri, ia menyapu air dingin di wajah dengan punggung tangan. Leo lantas menolong tanpa pikir panjang. Membingkai wajah mungil Raven dan membersihkan air dengan jari-jemari kekarnya. Si gadis mungil tersipu malu, mereka tidak pernah sedekat dan selekat ini. Dan tidak lama, Leo menyadari. Gerak tangannya jadi berubah pelan, dan mereka beradu tatap. Sepasang mata hijau bambunya tidak mau hengkang dari dekapan dua manik berlian ungu yang berkilau di depannya. Hati Leo berdebar, getaran tak biasa namun menyenangkan. Jantungnya pun menggila, menyentak-nyentak rusuknya.
Sayang, Shira menginterupsi dengan menumbangkan badan pada mereka. Dua orang itu jatuh tenggelam ke air, sebelum kemudian menyembulkan kepala dan meraup udara bebas. Sepasang insan tersebut bertegur tatap dalam diam dan akhirnya melepaskan derai tawa yang menggema.
Shira ikut-ikutan mengaum senang.
To Be Continued …
.
.
.
Pangeran Leo = Toushiro Hitsugaya
Raven = Rukia Kuchiki
Permaisuri Uno = Retsu Unohana
Pangeran Panthera = Grimmjow Jaegerjaquez
Pangeran Hero = Ichigo Kurosaki
Red = Renji Abarai
Io = Ggio Vega
Paman Zo = Seizo Harugasaki
Guru Gen = Genryuusei-Shigekuni Yamamoto
Shira = Sode no Shirayuki (dl wujud beruang kutub, wkwkwkw)
*Format fic (biplots) terinspirasi dari "The Red Horse" karya sherry-me.
.
.
.
.
.
A/N: Pulang ke Makassar buat saya amnesia ttg ffn. Lupa soal fic yg belum di-updet, dan PM. Sedang begitu bersenang2nya dgn dunia nyata, bersama hidup baru sbg anak kuliahan, hehehe.
Kujo, moga kamu suka ya. Kamu suka kan genre fantasi?
Betewe, ada temen-temin yg berminat review?
Ray Kousen7
24 Agustus 2014
