DISCLAIMER: I do not own Detective Conan. All characters mentioned in this fiction belong to Gosho Aoyama.
.
.
Title : Trapped
Chapter 1 : Beika and My Sister's Ex
Words : 1908
Characters : Shiho M., Shuuichi A.
Genre : Romance
Rating : T for teenager
Summary :
"Kau tahu, dulu aku sangat membencimu saat kau bilang bahwa kau berpacaran dengan kakak hanya karena ingin mendapatkan informasi tentang organisasi."
Dia terdiam.
"Tapi, setelah kupikir-pikir, tidak ada gunanya aku membencimu. Toh, kau memang pria yang brengsek sejak lama," ucapku ditutup dengan tawa kecil.
.
.
.
Trapped
.
Chapter 1. Beika and My Sister's Ex
by pijar religia
.
.
"Mereka berpacaran ya?"
"Tidak, sepertinya tidak."
"Hei, tapi aku sering melihat mereka berduaan."
"Mungkin saja mereka bersaudara?"
.
"Demi Tuhan, kenapa orang-orang senang kali bergosip?" Aku mengerang sambil menyibakkan poniku ke belakang. Aku harus memotongnya karena sudah mulai panjang.
"Namanya juga manusia." Komentar pria di depanku ini tidak menolong sama sekali.
"Aku tidak pernah bisa merasa tenang karena orang-orang selalu membicarakan hal yang sama. Jika mereka memang penasaran, kenapa tidak tanya langsung saja?" Mataku mulai lelah memandang laptop. Aku berhenti untuk mengambil obat tetes mata dari dalam dompet kecilku.
"Mungkin sebaiknya kita menikah saja?"
Aku memelototinya dengan mataku yang masih merah. "Dalam mimpimu."
Ia tertawa kecil sambil menutup buku yang dibacanya. Ia lalu memperhatikanku yang tengah meneteskan obat penghilang perih ke mataku. Aku mengerjapkan mataku berkali-kali untuk memastikan tetesan obatnya benar-benar masuk ke dalam mata. Beberapa tetes air mata keluar dari sudut mataku yang langsung dihapusnya dengan ibu jarinya. Sontak saja, wanita-wanita di belakang kembali meributkan hal yang aku yakin baru saja mereka lihat.
"Lihat! Baru saja pria itu mengusap wajahnya."
"Ah, aku juga mau diusap wajahnya."
"Bodoh, jangan keras-keras! Nanti mereka mendengarmu!"
Aku menghela napas dan menurunkan tangannya dari wajahku.
"Kau tidak membantu."
Ia tersenyum tipis sambil menopang wajah dengan telapak tangannya.
"Ayo, pulang ..." ucapnya santai.
.
.
Tidak pernah terbersit sedikit pun dalam kepalaku untuk berpacaran dengan mantan kekasih kakakku. Tidak, kami tidak pernah berpacaran. Orang-orang yang bergosip itu hanya memuaskan imajinasi mereka sendiri. Memang, aku dan Shuuichi sering terlihat bersama, tetapi tidak lantas orang-orang bisa sembarangan mengambil kesimpulan. Lagipula, kami hanya terlihat bersama saat Shuuichi sedang di Beika. Jika tidak, aku hanya berkeliaran di kampus bersama teman-teman satu lab ku. Memang mereka saja yang senang membuat gosip.
"Aku kan sudah berkali-kali bilang," ucapku saat kami menuju tempat parkir mobil Shuuichi. Seperti biasanya, Shuuichi membawakan satu goody bag ku yang penuh dengan buku pinjaman dari perpustakaan. "Kau tidak perlu datang ke kampus untuk mencariku. Tunggu saja aku di rumah. Kan sudah kuberi kunci duplikat."
"Kuncinya hilang," jawabnya santai. Terlalu santai.
"Alasan. Kalau memang hilang, kan kau bisa minta tolong Kudo-kun untuk membukakan pintu rumah," sahutku sambil membuang muka.
"Aku malas. Lagipula tidak ada yang bisa kukerjakan di rumahmu."
Aku menghela napas. "Terserah kau saja."
Kami masuk ke dalam mobil. Shuuichi meletakkan goody bag ku di bangku tengah sebelum menyalakan mesin. Aku memasang sabuk pengaman dan menyalakan radio mobil setelah mobil mulai berjalan. Kutopang daguku pada tangan yang bersandar pada pintu mobil sambil melihat pemandangan sekitar kampus di sore hari.
"Jangan bersandar seperti itu. Kalau pintunya tiba-tiba terbuka bagaimana?" Suaranya menyadarkanku yang mulai mengantuk.
"Pintunya sudah tertutup rapat kok. Aku juga pakai sabuk pengaman." Tapi, tanpa sadar aku menurunkan tanganku dan berhenti bersandar pada pintu. Aku menatap jalanan di hadapanku. Kini tanganku menekan-nekan tombol mencari channel radio yang menarik untuk didengar.
"Putar cd kesukaanmu saja. Ada di dashboard," ucapnya sambil membuka jendela otomatis. Pasti dia mau merokok.
Aku mulai mencari cd yang dimaksudnya di dalam dashboard dan memasukkannya pada pemutar cd. Tak lama, lagu kesukaanku saat aku masih di Jepang mulai berputar. Aku mengangguk-anggukkan kepalaku sambil bergumam mengikuti nada lagu tersebut. Sedikit-sedikit aku juga melafalkan liriknya, mengikuti sang penyanyi.
Saat aku tengah mengikuti nyanyian itu, lagu itu berhenti. Shuuichi mematikan cd player dengan ringannya. Aku melotot.
"Kenapa dimatikan?"
"Suaramu lebih bagus. Kau saja yang menyanyi. Dua suara yang bernyanyi bersamaan tidak terlalu menarik untukku."
"Aku kan tidak menyanyi untukmu," seruku kesal lalu kembali memutar cd player itu. Ia kembali terkekeh pelan. Kenapa dia selalu membuatku kesal kalau baru datang seperti ini. Belum lima jam setelah dia meneleponku dan berkata sedang dalam perjalanan menuju kampusku, dan dia sudah membuatku melotot kepadanya berkali-kali. Aku curiga kalau dia malas langsung ke rumahku karena memang hanya ingin menjahiliku saja.
"Tapi, aku serius. Suaramu memang bagus," ucapnya setelah menghembuskan asap rokok dari mulutnya. Ia lalu mematikan rokoknya pada wadah koin yang dijadikannya asbak.
"Lho, kenapa sudah dimatikan?" Tidak biasanya dia tidak menghabiskan rokoknya.
"Cuma sedikit pening. Kita isi bahan bakar dulu, ya." Shuuichi lalu memutar kemudinya menuju pom bensin terdekat.
"Pening kok merokok," gerutuku.
"Yang belum pernah merokok, jangan komentar," seringainya.
Kami berhenti di pom bensin terdekat. Shuuichi mematikan mesin dan keluar untuk mengisi bahan bakar. Melihat 'asbak' Shuuichi yang penuh, aku pun ikut keluar untuk membuang tumpukan puntung rokok itu. Kami berdua masuk kembali ke mobil setelah Shuuichi selesai mengisi bahan bakar.
"Makan di luar atau langsung pulang?" tanyanya saat mobil memasuki jalan utama.
Aku terdiam sebentar sebelum menjawab, "Pulang saja. Aku akan memasak hari ini." Aku membuang mukaku agar tidak dilihatnya. Pipiku pasti mulai bersemburat merah. Walaupun aku tidak melihatnya, aku yakin pasti Shuuichi tengah tersenyum lebar.
"Bukan karena aku datang kan?"
"Biasanya juga aku memasak walau kau tidak ada."
Ia terkekeh lagi dan sekarang ia mulai memainkan kepalaku dengan sebelah tangannya. Dia benar-benar menganggapku seperti anak kecil.
"Wanita yang lucu."
.
.
Usia kami yang terpaut lebih dari sepuluh tahun, jujur saja, kadang membuatku tidak paham apa yang sebenarnya dia pikirkan. Walaupun aku terbiasa berpikir dewasa, namun kehidupanku yang terlalu damai belakangan ini berhasil mengembalikan tingkat pemikiranku menjadi sama dengan usiaku yang sebenarnya. Ya, mungkin karena beda usia kami lumayan jauh. Oh, atau dia saja yang sudah tua.
"Tahun ini usiamu tigapuluh tujuh tahun kan?" tanyaku sambil meletakkan segelas susu di hadapannya yang tengah membaca koran dua hari yang lalu. Ia bergumam tanda menjawab iya.
"Memangnya kenapa?" tanyanya tanpa melihatku. Ia melipat koran itu dan mengambil gelas yang baru saja kutaruh saat ia baru menyadari kalau isinya susu. "Kenapa susu?" protesnya.
"Kalau terus-terusan minum kopi dan tidak tidur, kau bisa mati. Jangan cerewet."
Shuuichi meminum susu itu dengan menurut, namun matanya terlihat tidak suka. Aku menyengir bangga.
"Tidak apa-apa," jawabku sambil berjalan menuju kulkas dan mulai mengeluarkan bahan makan malam. Telur, tomat, daging ... aku buat omelet kesukaan orang itu saja malam ini. "Kau tidak berencana menikahi Jodie-san?"
"Kenapa aku harus menikahinya?"
"Bukankah kalian pernah berpacaran?" Aku mulai mencuci bahan-bahan yang akan kumasak. Suara air dari keran menemani kami yang berada di dapur sore itu. "Oh ya, kubuatkan salad sayur ya?"
"Boleh," jawabnya tidak tertarik. Dia terdiam sebentar lalu menjawab pertanyaanku yang lain. "Aku dan dia memang pernah berpacaran, tapi itu sudah lama sekali."
Aku memotong-motong daging asap yang kubeli kemarin menjadi potongan-potongan kecil. "Sekarang tidak?"
"Tidak."
"Hmmm. Tapi, kurasa kalian cocok." Aku melanjutkan dengan memotong-motong tomat menjadi dadu-dadu kecil. Mau tidak mau aku jadi teringat saat dia pertama kali menceritakan hubungannya dengan kakakku dan Jodie-san dulu.
"Kau tahu, dulu aku sangat membencimu saat kau bilang bahwa kau berpacaran dengan kakak hanya karena ingin mendapatkan informasi tentang organisasi."
Dia terdiam.
"Tapi, setelah kupikir-pikir, tidak ada gunanya aku membencimu. Toh, kau memang pria yang brengsek sejak lama," ucapku ditutup dengan tawa kecil.
Aku selesai memotong bahan-bahan untuk omelet dan mulai memecahkan telor. Aku membuka kulkas untuk mencari bumbu omelet yang selalu kuracik sendiri. Saat aku berbalik, aku menemukan Shuuichi di depan pantry sedang menatapku. Aku mengacuhkannya dan kembali berjalan ke pantry untuk mengocok telur.
"Kau ingin omeletnya sedikit pedas atau asin?" tanyaku tanpa melihatnya. Kutunggu jawabannya, tapi dia tak kunjung bicara. Aku bisa merasakan dia berdiri mematung tepat di sampingku. Merasa risih, aku berhenti mengocok telur, meletakkan pengocok di wadah pengaduk, dan menghela napas pelan. Aku memutar tubuhku untuk menghadapnya.
"Kenapa kau memandangku seperti itu?" Sebelah tanganku bersandar pada meja pantry.
"Apakah dalam pikiranmu sampai saat ini aku adalah pria brengsek?" tanyanya dengan suara yang dalam.
Aku tercekat. Kupandang balik matanya yang tengah menatapku dingin. Tak kusangka dia akan memberi respon semacam ini. Apakah aku sudah keterlaluan?
"Kenapa kau jadi sensitif seperti ini?" tanyaku berusaha tenang. Manusia seperti dia adalah orang terakhir yang ingin kubuat marah setelah Gin. Berhubung Gin sudah lenyap dari bumi ini, maka Akai Shuuichi naik menjadi peringkat satu pada daftar 'Orang yang paling tidak ingin kubuat marah'.
Dia tidak menjawabku. Mungkin dia kesal karena pertanyaannya kujawab dengan pertanyaan lain. Ia menghela napas dan berbalik, kembali duduk di hadapan meja makan.
"Cepatlah, aku sudah lapar," ucapnya lalu kembali meminum susunya yang belum habis. Tanpa berkomentar atau bertanya apa pun lagi, aku melanjutkan kegiatan memasak makan malamku.
Lagi. Lagi-lagi dia membuatku bingung dengan tingkah dan pikirannya yang tidak bisa ditebak. Hei, Kak, apakah kekasihmu ini selalu seperti ini?
.
.
Setelah menyelesaikan makan malam yang terlalu tenang karena tidak ada satu pun dari kami yang berbicara, Shuuichi berjalan menuju ruang tengah sementara aku membereskan meja makan dan mencuci piring. Saat suara TV mulai terdengar, aku yakin dia pasti tengah menonton berita.
Setelah meletakkan piring terakhir, aku melap tanganku dan menggantung celemekku. Suara TV masih terdengar. Mungkin sebaiknya kubawakan dia sesuatu?
"Kau ingin bir?" tanyaku dengan suara sedikit kencang agar dia mendengarnya. Namun, tidak ada jawaban. Jangan bilang kalau dia benar-benar merajuk.
Aku membuka kulkas, mengambil dua kaleng bir dan dua gelas lalu membawanya ke ruang tengah. Terlihat Shuuichi tengah menonton TV dengan kedua kakinya yang diselonjorkan di atas meja. Aku menghela napas, sudah menyerah menegurnya untuk menurunkan kakinya sejak lama.
Kuletakkan kedua kaleng bir itu sebelum aku duduk di sampingnya. Kuambil satu kaleng bir, membuka, dan menuangnya di gelasku serta gelasnya. Sambil melihat berita di TV, aku meminum bir dengan tegukan-tegukan kecil. Bir ini membuatku pening.
"Kalau pusing jangan dilanjutkan minumnya," ucapnya sambil mengambil gelas dari tanganku dan membenarkan posisi duduknya menjadi lebih nyaman. Kulihat ia menenggak habis bir dari dalam gelasku, meletakkan gelas di atas meja dan kembali menyamankan dirinya di sofa. Aku tersenyum dan ikut bersandar di sampingnya.
Aku tidak tahu, harus kusebut apa hubunganku dengan mantan kekasih kakakku satu ini. Sejak organisasi hancur hampir tujuh tahun yang lalu, aku menetap di sini, di kota Beika. Aku pun kembali menjadi Miyano Shiho dan Edogawa-kun kembali menjadi Kudo Shinichi. Menjalani kehidupanku sebagai siswa SMA hingga mahasiswa pascasarjana, ternyata berhasil membuatku kembali menjadi orang normal pada umumnya hingga saat ini. Semuanya sama, orang-orang di sekelilingku ... Kudo-kun, Profesor, Ayumi-chan, Kojima-kun, Tsuburaya-kun. Semuanya sama, kecuali pria yang sekarang mulai menyenderkan kepalanya di sisi kepalaku ini.
Setelah organisasi hancur, Akai Shuuichi akan menyempatkan dirinya datang ke Jepang, menginap di rumah profesor dan pulang beberapa hari setelahnya. Tidak ada yang dilakukannya. Dia hanya mengikutiku ke kampus atau mengajakku ke tempat-tempat yang menarik baginya. Profesor ataupun Kudo-kun tidak pernah keberatan. Bahkan setelah Profesor meninggal tiga bulan yang lalu dan aku tinggal sendirian di rumah sebesar ini, Shuuichi tidak pernah berhenti 'menjengukku'. Kurasa dia masih terikat dengan janjinya pada kakakku dulu. Mungkin itu yang membuatku mulai terbiasa dengan dirinya tujuh tahun belakangan ini.
Ya, terbiasa. Terlalu terbiasa hingga aku merasa nyaman.
"Kapan kau kembali ke Amerika?" tanyaku dengan malas. Kubiarkan dia menyenderkan kepalanya.
"Lusa."
Suara TV kembali mengisi keheningan di antara kami berdua. Berita perampokan di sekitar kota Haido menjadi pusat perhatian agen FBI ini sekarang. Aku meliriknya dari sudut mataku.
"Lalu kapan kau akan kesini lagi?"
"Secepatnya," jawabnya cepat.
Kenapa aku mengeluarkan pertanyaan bodoh macam ini. Sejak kapan aku terlalu peduli dengan kapan dia akan datang kesini?
Aku bisa gila dibuatnya.
"Kau tahu? Kalau seperti ini terus, aku lama-lama bisa ..." Aku tidak sanggup melanjutkan perkataanku. Tapi, sepertinya dia mendengar semuanya walaupun matanya fokus ke depan.
"Bisa apa?" tanyanya setelah memastikan aku tidak melanjutkan kalimatku.
Aku terdiam dan menutup mataku. "Lupakan. Mungkin setelah kau pulang nanti, aku harus menghubungi Jodie-san untuk mengajakmu menikah dengannya. Jadi kau tidak perlu kemari lagi."
Aku merasakan bahunya sedikit berjengit. Namun, kemudian dia kembali rileks.
"Apa aku mengganggumu?" tanyanya dengan nada yang terdengar hati-hati di telingaku.
Aku tidak menjawab pertanyaannya. Lebih tepatnya, aku tidak tahu harus menjawab apa.
Helaan napasnya yang berat terdengar. "Lakukan saja sesukamu."
.
.
To be continued
.
Author's note: Belakangan ini saya sering mimpi aneh. Somehow, mimpinya menginspirasi untuk membuat cerita seperti ini. MANA LANJUTAN BYANM SAMA IN YOUR LIFE? Maafkan sayaaaaaa. Serius, belum ada mood. In your life harus ditulis dalam mood yang bagus. Dan BYANM harus ditulis sambil mikir serius *banyak alasan.
