Wishes
A Naruto FanFic by Arisa Hagiwara
For 30 Wishes Infantrum Challenge by Evey and Aricia Betelgeuse
Disclaimer: Naruto belongs to Masashi-sensei
WARNING: AU HIGHSCHOOL. Feel free to click the 'back' button , and feel free to continue reading :)
.
Part I Verse: A Brand New Feeling
.
#1 Know more about you
.
"Anak baru di kelasmu itu, Sasuke Uchiha. Dia anak dubes Prancis yang baru bertugas di Jepang."
"Benarkah? Namanya terdengar seperti orang Jepang."
"Ayahnya memang keturunan Jepang yang besar di Prancis. Dia pun bisa berbahasa Jepang dengan lancar karena di rumahnya terbiasa berbicara dengan bahasa Jepang."
Sakura menganggukan kepalanya. Tiba-tiba gadis berambut merah muda itu mengingat saat pertama kali Sasuke mengenalkan diri. Suaranya dingin, tatapannya angkuh. Dan ia merasa, mata onyx setajam elang yang dimiliki Sasuke sempat mampir pada mata emeraldnya. Entahlah. Heran dengan rambutnya, mungkin?
Sakura bahkan dapat merasakan rambut-rambut halus di tengkuknya merinding saat Sasuke dengan santai lewat di sebelahnya dan duduk di bangku belakangnya.
Sungguh, pria Uchiha itu langsung membuatnya penasaran pada pandangan pertama. Ia bertekad akan mencari tahu tentangnya.
.
#11 Paris
.
"Er.. Sasuke," ujar Sakura setelah membalikkan badan.
Yang dipanggil hanya berujar pelan, "Hn."
Mengumpulkan keberanian—karena sepertinya Sasuke dapat menerkam kapan saja—ia memaksakan nada ceria. "Kau dari Prancis bukan? Berarti kau pernah ke Paris, dong?"
Sekilas iris hitam Sasuke memantulkan bayangan Sakura, sebelum kembali berpaling pada buku Sejarahnya. "Hn."
Menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal, Sakura kemudian bertanya lagi, "Paris itu seperti apa? Apakah Menara Eiffel benar-benar tinggi? Dan… kau pernah masuk ke dalam piramida kaca di depan Museum Louvre? Bagaimana dalamnya? Wah, kau tahu tidak? Aku sangaaaat ingin ke sana!"
Kali ini Sasuke kembali mengangkat kepalanya, memandang Sakura dengan tatapan dingin—yang berarti menakutkan bagi Sakura. Cukup lama, membuat pemilik mata emerald itu memutuskan untuk nyengir kuda dan kembali membalik tubuhnya menghadap depan kelas—salah-salah ia bisa benar-benar diterkam.
.
#23 Little time
.
Hari itu ada praktik biologi. Dan—entah Sakura bisa menyebutnya kesialan atau keberuntungan—ia berada satu tim dengan Sasuke, karena nomor absen mereka berurutan, dan satu tim memang hanya terdiri dari dua orang.
Dan Sakura—entah mengapa—sangat mengharapkan bisa lebih dekat dengan Sasuke, dalam waktu dua jam pelajaran itu.
"Err… Sasuke?"
"Hn?"
Sakura menggigit bibir. "Kalau hanya kau yang melihat sorus-nya, bagaimana aku bisa menggambar?"
Pemuda berambut hitam itu mengangkat wajahnya dari mikroskop, lalu memandang Sakura dengan tatapan yang tidak bisa dijelaskan. Ia menelan saliva-nya sebelum menggeser mikroskop ke depan Sakura.
Tampaknya keinginan Sakura kali ini terkabul. Sisa jam pelajaran mereka habiskan dengan meneliti, mencatat, dan menggambar struktur tumbuhan paku dan lumut. Berdua.
.
#22 Roll over the memories
.
Bayangan itu lagi.
Sakura menenggelamkan kepalanya pada telapak tangan. Kepalanya tiba-tiba sakit. Dalam hati ia mengeluh atas keanehan dirinya beberapa hari terakhir. Ia selalu mendapat semacam 'penglihatan', dan ia sendiri tak yakin dengan apa yang dilihatnya.
Suara anak-anak yang tertawa kencang, berlarian, saling bergandengan, dan berbaring di atas rerumputan basah.
Sialnya lagi, kelebatan bayangan itu tidak kenal waktu. Bisa di dalam mimpi, bahkan di jam pelajaran seperti ini. Ah, dan satu lagi. Bayangan itu membuatnya merasa… déjà vu.
"Demi Tuhan," batin Sakura, memutar bola matanya. Berusaha fokus pada penjelasan guru Kesenian, Yuuhi Kurenai, "Aku sama sekali tidak mengerti. Ada apa sebenarnya?Berikan aku petunjuk, Tuhan!"
.
#16 Cross the boundary
.
Sakura membulatkan tekadnya. Ia sangat ingin mengenal Sasuke lebih jauh.
Aneh, biasanya gadis itu bukanlah perempuan yang mudah tertarik dengan lawan jenis—bukan berarti ia hanya tertarik dengan sesama jenis—tapi, percayalah, Sasuke Uchiha seperti membangkitkan sesuatu dalam dirinya. Sesuatu yang sudah lama tidur, dan pemilik rambut merah muda itu pun tidak mengetahui sesuatu itu apa.
"Kurasa rasa penasaranmu sudah kelewat batas, Sakura."
Suara sahabatnya, Ino, menghiasi indera pendengarannya selagi mereka berdua sedang menikmati makan siang di kantin sekolah.
Sakura menelan bekalnya sebelum menyahut ringan, "Kurasa tidak. Aku hanya penasaran dan ingin mencari tahu mengapa aku bisa penasaran."
"Bukan karena kau berharap ingin dekat dengannya?"
Nasi yang sudah melewati setengah kerongkongan Sakura seakan mendesak keluar, membuat gadis itu refleks meraih minumannya dan meneguk hingga habis.
.
#25 Sing the old song
.
Salah satu koridor di lantai dua itu sedang sepi, tentu saja, karena hanya terdapat ruang musik dan gudang peralatan. Sakura dengan bersenandung kecil melangkah di atas lantai parkit koridor itu, membawa beberapa lembar partitur yang dipinjamnya ke ruang musik.
Begitu meletakkan sebelah tangannya di atas handle—karena tangannya yang lain memeluk setumpuk partitur, Sakura mendengar dentingan satu-satunya piano yang terdapat di ruang musik. Ia merapatkan telinganya ke pintu, dan mendapati dentingan piano yang awalnya terdengar ragu-ragu itu semakin jelas, mengalunkan melodi yang sepertinya ia hapal.
Imagine there's no heaven
It's easy if you try
No hell below us
Above us only sky
Tubuh Sakura menegang mendengar suara yang keluar mengiringi melodi itu. Ia terus mendengarkan, sembari bertanya-tanya dalam hati siapa pemilik suara itu. Sepertinya ia kenal…
Setelah beberapa detik, Sakura tak tahan akan suara piano yang menyentuh. Perlahan ia membuka handle, lalu mengintip. Mulutnya langsung terbuka begitu menyadari siapa yang tengah duduk di depan piano.
Sasuke Uchiha.
Permainan piano tiba-tiba berhenti. Tanpa menoleh, Sasuke berkata dingin, "Sedang apa kau?"
Sakura tidak menyangka akan tertangkap basah. Ia pun menggigit bibir, berpikir, namun tidak menemukan alasan yang pas selain tumpukan partitur yang ia bawa.
"You may say I'm a dreamer, but I'm not the only one," ujarnya seraya menutup pintu di belakangnya, kemudian melangkah menuju piano dan menumpukan sikunya di atas benda itu.
"Imagine, John Lennon," katanya enteng, "tak kusangka kau suka lagu lama."
Sasuke membuang muka, namun Sakura sempat melihat ekspresi pemuda itu. Seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri kue. Tanpa sadar gadis itu tertawa kecil.
"Sudahlah, lanjutkan saja. Aku hanya ingin mengembalikan partitur ini, kok," ucapnya seraya meletakkan tumpukan partitur tersebut di meja dekat piano dan segera melenggang kembali menuju pintu sebelum Sasuke memanggilnya.
"Huh? Ada apa?" tanya gadis itu, membalik badan, dan menyadari bahwa Sasuke tengah memandangnya.
"Kau hapal lagunya?"
Mengerutkan kening, Sakura mengangguk. Hatinya masih diliputi rasa penasaran.
"Suaramu bagus?"
Tertawa, Sakura akhirnya menjawab, "Kau tahu, aku memegang sopran satu dalam choir sekolah ini. Kenapa? Kau mau memintaku menyanyikan lagu itu sedangkan kau mengiringiku?"
Sekilas Sakura dapat melihat kilatan gugup dalam mata hitam Sasuke. Pemuda itu hanya menggidikkan bahu sebagai jawaban. Mau tak mau, Sakura pun kembali melangkah dan berdiri di samping piano.
"Siap?" Sakura bertanya.
Jemari Sasuke telah siap di atas tuts, tapi tiba-tiba ia berkata, "Aku hanya ingin menjadi diplomat atau politikus, karenanya aku suka lagu ini. Jadi jangan menyangka aku mempunyai selera setara dengan ayahmu."
Melongo, akhirnya Sakura mengangguk. "Kau tahu, ini pertama kalinya kau berkata panjang-lebar seperti itu." Memerhatikan aura gelap di sekitar tubuh Sasuke, gadis itu pun menelan ludah dan cepat-cepat berkata, "Baiklah, ayo kita mulai."
Sasuke sudah akan menekan tuts ketika Sakura berkata, "Dan asal kau tahu saja, ayahku sudah meninggal saat umurku satu tahun."
Tampaknya kali ini pemuda berambut hitam itu yang terkaget-kaget. Toh, akhirnya ia tetap menekan tuts piano.
Tak lama kemudian, suara tinggi dan dentingan piano membuat harmoni yang sangat indah memenuhi ruangan luas itu.
.
#24 Peaceful rest
.
Entah mengapa, sejak 'kejadian' di ruang musik, sisa hari itu Sakura lewati dengan riang. Dan ia juga menyadari, anak baru bernama Sasuke Uchiha itu memang pintar bermain piano. Tanpa ragu, Sakura mengajaknya untuk bergabung ke klub musik. Mungkin hari itu Sakura sedang dinaungi Dewi Fortuna, sehingga Sasuke—setelah berpikir lama, tentu saja—menerima tawaran Sakura untuk bergabung ke klub tempat Sakura juga ikut bernaung.
Malamnya, Sakura tidak tahan untuk tidak curhat. Ia tipe gadis yang tertutup terhadap sang Ibu, sehingga ia hanya terbiasa curhat pada Tuhan dalam doa-doanya. Kali ini ia berdoa lebih lama dari biasanya. Dan di penghujung doa, ia tidak tahan tidak tersenyum.
"Tuhan, tolong berikan Sasuke istirahat cukup malam ini, agar dia bisa fit besok dan semoga saja mood-nya menjadi bagus. Rasanya menyenangkan sekali hanya sekadar mengobrol dengannya."
Malu-malu, Sakura menundukkan wajah. Selesai berdoa, ia bergelung dalam selimutnya yang hangat.
Selamat tidur, Sakura. Semoga mimpi indah.
.
#3 Soundless sleep
.
Sementara Sakura sibuk dengan doa-doanya, beberapa kilometer dari rumah sederhana gadis itu, seorang pemuda duduk bersandarkan kepala tempat tidurnya. Kamarnya tentu saja jauh lebih luas dibanding kamar Sakura, juga terletak lebih ke pinggir kota karena ayahnya tidak menyukai keramaian.
Sasuke melirik jam. Sudah jam sepuluh malam. Tumben sekali, pikir Sasuke. Ia melirik celah di bawah pintunya. Cahaya kekuningan masih jelas terlihat, namun tidak ada suara dua orang bertengkar—bahkan tak jarang benda-bendayang dibanting—yang biasanya menjadi ciri khas rumah itu di malam hari. Aneh sekali mendengar ayah dan ibunya tidak adu mulut.
Mengangkat bahu, Sasuke membaringkan bantalnya yang sedari tadi ia jadikan sandaran, lalu menyelimuti dirinya hingga dada. Baru saja ia akan memejamkan mata ketika seraut wajah melintas di kepalanya. Ia tersenyum kecil—catat; sangat kecil.
Tuhan, berikan mimpi indah kepadanya.
Setelahnya ia memejamkan mata, membiarkan suasana hening menjad lullaby terbaik untuk mengantarkannya ke alam yang sepenuhnya ia atur—mimpi.
.
#26 Hanami
.
Hanami, festival melihat bunga Sakura, sudah semakin dekat. Seluruh sekolah mulai membicarakannya. Sudah menjadi tradisi bahwa Hanami akan dijadikan wisata sekolah, sehingga pada hari yang sudah ditentukan sekolah akan diliburkan dan murid-murid akan mengikuti Hanami bersama-sama.
Sakura sendiri bukanlah gadis yang antusias terhadap segala kehebohan seperti itu—ralat, ia memang tidak peduli tentang banyak hal—ah, kecuali tentang seseorang yang selama ini membuat ia penasaran.
"Tidak keluar?" tanya Sakura dengan nada bosan pada pemuda yang duduk di belakangnya. Kelas sangat sepi, hanya ada lima orang anak, sisanya sedang menikmati istirahat yang (sangat) panjang karena para guru memutuskan untuk mengadakan rapat mengenai tanggal terbaik untuk Hanami. Murid sengaja tidak dipulangkan, tentu saja.
Sasuke mengalihkan pandangan dari buku Kenegaraan yang ia baca. Kemudian ia hanya berkata singkat, "Malas."
Melihat buku yang Sasuke baca, Sakura tidak tahan untuk menyeletuk, "Kau benar-benar ingin menjadi diplomat ya seperti ayahmu?"
Lagi-lagi Sasuke mengangkat wajah. "Aku hanya ingin memberi manfaat untuk orang lain," jawabnya pendek.
Menghela napas, Sakura tampaknya sudah mulai terbiasa dengan sikap dingin Sasuke. Tapi tetap saja… "Oh ya," ujarnya mengalihkan pembicaraan, "omong-omong, permainan pianomu saat rapat POMG* kemarin hebat sekali."
Untuk entah keberapa kalinya, Sasuke hanya mengangkat bahu sebagai ganti jawaban 'ya'.
Sakura tidak mau menyerah. "Orang tuamu datang?"
Masih berkutat dengan bukunya, pemuda itu menggeleng.
"Oh... tidak heran, ayahmu pasti sibuk sekali. Kalau… er… ibumu?"
Dilihatnya Sasuke seperti menahan napas. Mata hitamnya tiba-tiba menatap mata emerald Sakura. "Kau terlalu banyak bicara, Haruno."
"O—oke, aku tak akan bertanya lagi," ucap Sakura.
"Nah," Sasuke menimpali. Buku Kenegaraannya ia tutup. "Sekarang aku yang akan bertanya padamu."
Alis Sakura terangkat heran.
"Maukah kau…" Sasuke berdeham, "maukah kau mengikuti Hanami bersamaku? Walaupun satu sekolah ikut, tapi… yah, kau pasti tau maksudku," lanjutnya tanpa menatap Sakura, berusaha menyembunyikan rona panas yang mulai menjalari tubuhnya.
Alis Sakura semakin terangkat. Tapi tanpa ragu, gadis itu menjawab, "Tentu saja."
.
#10 Against all odds
.
Sakura menyadari, Sasuke bukanlah tipe lelaki yang akan dengan mudah mengatakan segala isi hatinya. Oleh karena itu, ia sangat terkejut tatkala Sasuke mengatakan sesuatu yang tidak pernah sekalipun mampir di pikiran gadis itu.
Hari itu, tepat di bawah pohon Sakura yang sangat indah, Sakura dan Sasuke duduk di atas tikar yang telah disediakan. Saat murid-murid yang lain asik berfoto-foto, mereka lebih memilih duduk dan menikmati pemandangan yang hanya sekali dalam setahun itu.
"Ibuku sudah meninggal, juga saat usiaku satu tahun," kata Sasuke tiba-tiba, membuat Sakura yang tengah mengeluarkan bekal menatapnya heran. Untuk apa ia memberitahunya?
"Tapi ayahku menikah lagi, dan hubungan mereka belakangan ini tidak terlalu bagus."
Sakura tersenyum. Ia tahu Sasuke hanya butuh seorang pendengar. Makanya ia memutuskan untuk tidak menasihati panjang lebar.
"Segala masalah pasti bisa terlewati, kok. Tenang saja," ujarnya seraya mengulurkan tangannya yang memegang kotak bekal, menawarkan Sasuke.
Pemuda itu tersenyum, lalu mengambil sebuah sushi yang kelihatannya sangat nikmat.
.
To be Continued
.
*POMG: Pertemuan Orang tua Murid dan Guru (correct me if I'm wrong)
A/N: Maaf kalo latarnya AU Highschool. Abisnya ide yang lagi ada cuma ini dan tau sendiri lah kalo tema-temanya agak sulit untuk mendukung Canon dari Naruto. Dan maaf kalo drabble-nya terlalu panjang, nggak ada yang lebih dari lima ratus kata, kok ^^. Semoga evey dan rici-san bersedia menerima (?). Maaf jika ada data yang kurang tepat. Maaf juga kalo ada drabble yang kepanjangan. Nggak ada yang lebih dari lima ratus kata kok :p
Well, kalau masih berminat, silakan ke chapter 2. Ditunggu ^^
.
The last but not least, boleh minta review?
