Naruto © Masashi Kishimoto

Fanfiksi © Dardanella

[Standart warning applied; AU, OOC, typo(s), crack-pair.]

—Little Bad Girl—


Bagian 1: Risalah Hati


Ah—pria itu. Masih dengan mata tajamnya seperti biasa, alis tertekuknya seperti biasa dan, eh, sepertinya kali ini dengan senyum tipis yang tidak biasa. Di dekat pintu, berdiri jemawa dengan tangan terlipat di depan dadanya. Menatap dengan mata crimson miliknya, seolah berbagi warna itu pada pipi seorang gadis.

Seorang gadis yang kini tak fokus menjawab soal yang pria itu berikan.

Manik mutiara itu ia alihkan. Semua orang tampak tekun mengerjakan. Bahkan Naruto.

Hei, apa hanya aku saja yang tak fokus di sini?

Oke, fokus! Kembali ke soal.

Setelah menghela napas Hinata segera membaca ulang soalnya. Menolak untuk melirikkan sedikit ke arah fokusnya yang lain, yang ternyata masih bergeming menatapnya.

Soal pertama... penerapan hukum II Termodinamika.

Mesin sebuah mobil mempunyai efisiensi 30%. Jika mesin tersebut menghasilkan usaha 10.000 Joule tiap siklus, berapa kalor yang dibuang oleh mesin setiap siklus?

Ah... ingat hukumnya.

"Adalah Tidak Mungkin Dapat Suatu Mesin Yang Tidak Bekerja Dalam Lingkaran Yang Tidak Menimbulkan Efek Lain Selain Daripada Mengambil Panas Dari Suatu Sumber Dan Merubah Panas Ini Seluruhnya Menjadi Usaha"

Hinata mengingat hukum itu sekali lagi. Bukan—bukan karena ia tak paham. Hanya saja...

Tidak mungkin suatu mesin yang tidak bekerja menimbulkan efek. Mesin itu dirinya, sepertinya.

Selain mengambil panas dari suatu sumber. Sumber itu... perasaannya atau pesona pria itu?

Dan merubah panas seluruhnya menjadi usaha. Ah usaha! Maksudnya apakah kenekatannya tempo hari lalu?

Hinata mendongak pelan menatap objek yang sedari tadi menjadi fokus lain di kepalanya. Pria itu mengangkat dagunya sedikit namun cukup memberikan efek yang ampuh untuk sang gadis. Hinata segera menunduk dan mengumpat dalam hati karena selalu kalah melawan pesonanya. Dan ia menguatkan hati untuk tak melihat lagi ke arahnya, melirikpun jangan.

Hinata kembali mengerjakan soalnya dengan wajah merona. Memulai pembahasannya, diketahui, efisiensi (e) = 30% = 30/100 = 0,3. Usaha yang dihasilkan mesin (W) = 3000 Joule. Ditanyakan, kalor yang dibuang mesin setiap siklus (QL). Ini mudah.

Hinata menyelesaikannya dengan cepat. Serta soal-soal selanjutnya.

Hinata salah satu murid yang menguasai pelajaran yang bahkan sebagian besar orang menghindari. Selain Shikamaru, Sasuke dan Sakura. Tapi pekan lalu ia membuat heboh seisi kelas karena dengan sangat mengejutkan menjadi satu-satunya murid yang harus mengulang ujian Fisika di hari Senin sebelumnya.

Karena suatu alasan ia bahkan mengabaikan ayahnya yang dihubungi pihak sekolah perihal dia yang menjadi satu-satunya yang mengikuti remidi. Berakhir dengan diceramahi berjam-jam setibanya di rumah. Dan mengikuti bimbingan belajar seminggu penuh yang dengan sepenuh hati ayahnya berikan.

Tapi apakah setimpal?

Hinata bahkan sedang galau-galaunya setelah hari itu. Ia hanya gadis SMA 16 tahun yang sedang jatuh cinta. Klise memang. Tapi itulah adanya, memiliki perasaan di usianya kini suatu yang wajar. Menaruh perhatian lebih pada seseorang juga suatu yang wajar. Menyatakan perasaannya juga suatu yang sah-sah saja ia lakukan. Tapi...

Jangan salahkan pada hatinya yang menjatuhkan pilihannya pada pria itu. Salahkan saja pria itu yang dengan seenaknya membuatnya jatuh hati. Membuatnya berpikir apakah ia mengidap sindrom Sugar Daddy atau tidak. Dan dengan konyolnya menjawab asal soal ujian pekan lalu hanya agar mendapatkan waktu berdua dengan Dia. Dan 'tadaa' berhasil.

Dan ketika waktu itu tiba ia dengan segala persiapan sebelumnya serta nekat yang datangnya entah dari mana, ia melakukannya. Ia masih ingat sepekat apa wajahnya kala itu.

.

.

.

Rabu, pekan sebelumnya...

Hinata memantapkan mentalnya menghadapi apa yang akan terjadi setelah pembagian hasil ujian Fisika yang Senin sebelumnya dilaksanakan. Berdoa agar ia menjadi satu-satunya yang menjalani remidi. Doa yang tidak akan teman-temannya panjatkan bahkan terlintaspun tak pernah. Tapi ini Hinata. Hinata yang mempunyai maksud lain dibalik aksinya itu.

Dan setelah semua hampir mendapatkan jerih otak mereka di hari sebelumnya. Hanya tinggal Hinata saja yang belum atau bahkan sengaja menjadi terakhir hanya untuk mendengar pria itu berkata,

"Hyuuga Hinata, kamu remidi!"

Hinata tak tahu apa ia harus melompat bahagia atau menangis karena malu. Tapi memang ini tujuannya, bukan? Setelah ini maksudnya.

Dan seperti dugaan awal yang ia perkirakan. Semua penghuni di dalam sana ber'koor' ria dengan nada 'hah' dan menancapkan sepasang mata mereka padanya yang sekarang hanya mengangguk dan menunduk.

Jantungnya memompa darah cepat. Tapi bukan karena situasi ini, tapi apa yang akan ia lakukan setelahnya. Apalagi setelah pria itu bersuara lagi.

"Ikut ke ruangan saya sekarang!"

Dengan itu Hinata segera beranjak dan segera mengikuti guru itu setelah sebelumnya mengambil alat tulis serta 'sesuatu' yang sudah ia persiapkan di malam-malam sebelumnya.

Di sepanjang perjalanan, Hinata hanya menunduk memandang sepatu pantofel hitam mengkilat milik pria itu. Tapi sedikit mencuri-curi pandang ke depan di mana bagian belakang si pria terpampang di hadapan Hinata. Punggung itu... bahunya... rangkaian biceps dan triceps lengannya yang menonjol saling mengait itu... sempurna.

Hah! Hinata bisa gila.

Sampai lamunannya terhempas ketika pria itu berhenti untuk membuka pintu yang bertuliskan 'Vice Principal' dan mempersilahkannya masuk. Semakin mengeratkan pelukannya pada kotak peralatan tulis di dadanya. Setelahnya hanya ada bunyi 'cklek' pintu yang ditutup.

Aargh! Hinata gugup. Sepertinya ia lupa apa saja rencananya.

"Silahkan duduk" pria itu membuka suara.

Hinata rasanya seperti berada di ruang sidang yang akan disuruh mengakui kesalahannya. Tidak—mengakui perasaannya lebih tepatnya. Memandang lekat-lekat nametag bercetak tebal di atas meja yang memuat nama pria di hadapannya ini.

Senju Tobirama

"Saya terkejut melihat hasil ujian kamu, Hyuuga Hinata." Ah dia sudah mulai.

"Kamu termasuk pemegang posisi empat besar di kelas, bukan?" pertanyaan retoris. Hinata hanya mengangguk dan mulai menengadah menatap lawan bicaranya. Norma kesopanan.

"Apa yang sedang kamu pikirkan? Sampai-sampai nilai ujianmu anjlok begitu." KAMU, teriak Hinata dalam hati. Tapi ia malah menggeleng.

"Baiklah kita mulai saja..."

Hinata memulai remidinya dengan rasa yang lebih gugup dari biasanya. Berdua dengannya membuat ia kehilangan konsentrasi. Tapi ia harus menyelesaikannya cepat dan... ah sudahlah.

Setengah jam ia sudah selesai mengerjakan dan mulai menunggu sang guru mengoreksi. Tobirama mengerutkan kening. Semua jawabannya benar. Tapi kenapa Senin lalu Hinata...

"Sebenarnya ada apa?" Hinata terlonjak mendongak.

"Apa kamu ada masalah?" Ya, masalah hati! Sahut Hinata dalam hati.

"A-ano..."

"Hm?" Tobirama menyipitkan matanya."I-itu... sebenaranya..." baiklah Hinata tak sanggup.

"Ti-tidak ada apa-apa, Sir." suaranya mencicit.

Menghela napas "Kamu bisa berbaginya dengan saya jika kamu mau? Saya juga guru kesiswaan di sekolah ini." Hinata menggeleng.

Bagaimana bisa pria ini menyuruhnya berbagi jika itu ada sangkut paut dengannya. Hinata hanya memainkan kedua jari di pangkuannya. Udara di ruangan ini terasa sesak untuk sebuah ruangan yang luas dengan ventilasi besar berjajar di sisi yang menghadapke arah halaman sekolah.

"Saya tak tahu hal apa yang mengalihkan konsentrasi belajar kamu tapi saya harap Senin depan kamu tidak mengulangi lagi, Hinata." Hinata mengangguk.

"Baiklah kamu boleh kembali!"

Hinata beranjak sedikit ragu dan berbalik namun tak jua melangkah. Karena rencana awal sudah gagal berarti...

"Ada apa?" tanya Tobirama yang heran melihat Hinata hanya mematung.

Berbalik, "Se-sebenarnya, Sir... i-ini..." menyerahakan sepucuk surat berwarna Lavender. Setelah memberikannya Hinata secepat kilat meninggalkan ruangan itu tergesa. Tak mau melihat reaksi pria itu setelahnya.

Ini kenekatan pertama dalam hidupnya. Mendebarkan sekaligus melegakan. Hanya tinggal menunggu seperti apa balasan pria itu saja.

.

.

.

Tobirama tahu dan sadar sepenuhnya bahwa gadis Hyuuga itu sudah sejak... entahlah sejak kapan menaruh atensi padanya. Menatapnya dengan wajah merona dan tak sanggup berlama-lama memandang matanya. Selalu fokus bila pelajaran Fisika dimulai, pelajaran yang diajarkannya. Fokus dalam arti pada banyak hal. Menyimak semua penjelasannya namun sedikit tak yakin informasinya akan terserap sempurna oleh otaknya atau tidak. Mengingat dalam dua minggu terakhir Hinata lebih sering gugup dan kehilangan perhatiannya di dalam kelas.

Bukannya ia tak peka, berlaga seperti tak tahu sekitarnya dengan menampilkan wajah dingin khasnya. Hanya saja ia selalu dan berusaha menyangkal perasaan itu. Hei ia seorang pria berumur 28 tahun yang masih single. Belum pernah berpengalaman di bidang itu, memberi tempat kecil untuk memikirkan makhluk bernama hawa saja tak pernah terbesit sedikitpun.

Ditambah posisinya saat ini sebagai guru, bagian kesiswaan dan yang terpenting ialah jabatan Wakil Kepala Sekolah yang ia emban, membuatnya berpikir ulang untuk tak mempersilahkan seorang wanita mengambil alih hatinya. Dan ah, ia bahkan salah satu siswinya. Tak mungkin. Tak boleh.

Ia tak mungkin mempertaruhkan prinsip yang ia pegang teguh hanya karena perasaannya pada seorang gadis, bukan? Dan ini akan mempertanyakan kredibilitasnya sebagai seorang pemimpin yang memiliki kualitas dan dipercayai orang-orang akan keprofesionalitasannya.

Seorang pengajar haruslah memiliki kompetensi yaitu seperangkat ilmu dan keterampilan mengajar sehingga tujuan dari pendidikan bisa dicapai dengan baik.

Tapi gadis Hyuuga itu mengacaukannya, membuatnya mempertanyakan dirinya sendiri. Membuat usahanya mengendalikan perasaan ini menjadi sia-sia. Hinata merobohkannya seketika dengan mudahnya hanya dengan sepucuk surat dengan warna dan wangi lavender yang bahkan masih membekas di penciumannya. Ah sial!

Surat yang hanya berisikan dua bait kalimat yang ia pertanyakan dari mana gadis kecil itu dapatkan(?). Dua bait yang mampu membuatnya kehilangan kata untuk mengomentarinya. Dua bait yang seketika membuatnya berdesir aneh. Dua bait yang membuat wajahnya berekspresi tak karuan. Dan dua bait sialan yang sungguh manis di ingatannya.

Gadis itu...

Hyuuga Hinata.

"Oke waktu habis! Kumpulkan di meja saya sekarang."

Semua mengumpulkan dengan patuh. Dan dapat dilihatnya, gadis itu segera ikut berhimpitan menyempil di antara kerumunan lain. Bersembunyi di balik tubuh teman-temannya. Menghindari tatapannya, eh?

Tak bertanggungjawab dan tukang melarikan diri rupanya.

"Hyuuga Hinata" panggilnya.

Yang dipanggil terkesiap, merona yang sungguh hebat membuat jantungnya berdetak liar.

"Iy-ya Sir?" Aargh! Seperti dicabut saja nyawa ini, pikirnya begitu.

"Bantu saya membawa ini!" memberi setumpuk kertas ujian ketangan mungil Hinata. Sebenarnya ia tak yakin setelah melihat tangan itu bergetar hebat tapi ini hukuman. Hukuman awal...

Hinata merasa ini seperti deja vu. Berjalan yang dikomandoi pria Senju itu. Masih dengan sepatu pantofel hitam mengkilatnya. Punggung, bahu dan lengan-lengan kokoh yang tersembunyi apik di balik kemeja biru miliknya. Masih sempurna.

Sepertinya hari ini ia akan mendapatkan jawabannya. Apakah ia akan sanggup? Bagaimana setelah ini keadaannya bila tak sesuai harapannya? Apa ia harus pindah sekolah karena malu? Ah tapi ia tak mau berpisah dengannya.

Berbagai pemikiran muncul satu persatu memenuhi isi kepalanya. Membuatnya tanpa sadar telah masuk ke ruangan pria itu. Dan baru tersadar saat bunyi pintu yang dikunci terdengar. Menoleh cepat dan melihat Tobirama yang berjalan santai menghampirinya.

Ah—jantungnya. Tak bisakah berdetak lebih normal?

Hinata memejamkan matanya saat dirasa Tobirama semakin mendekat ke arahnya. Tapi selanjutnya yang ia rasakan adalah tumpukkan kertas ujian yang diambil alih untuk kemudian diletakkan di atas meja miliknya. Dan Tobirama segera menuju laci meja mengambil sesuatu. Kemudian kembali menghadap Hinata yang berdiri kaku di depan mejanya.

Surat dengan amplop berwarna dan beraroma lavender.

"Bisa kau jelaskan?" langsung pada intinya.

"I-itu..." sekarang sendi-sendi lututnya tak mau diajak kerja sama.

"S-surat ci-cinta" Tobirama tersenyum tipis saat mendengarnya.

"Untuk?"

"A-anda Sir..."

"Terima kasih" Sama-sama, sahut Hinata dalam hati.

"Bisa tolong bacakan di depanku sekarang? Aku kurang paham." Bohong! Pasti paham.

"U-umh..." setelah menerima dengan tangan bergetar, Hinata membuka itu pelan-pelan. Sedangkan pihak meminta mulai siap di posisi favoritnya. Berdiri angkuh dengan tangan terlipat. Wajah kerasnya yang sekarang dihiasi senyum geli.

Sebenarnya Hinata tidak membuat kata-kata itu sendiri. Ia menemukan itu dari lirik sebuah lagu yang berasal dari belahan dunia lain. Dari sebuah negara Asia yang berada di tenggara sana. Ia suka dengan liriknya yang sepertinya sangat cocok untuk menggambarkan perasaannya.

.

Hidupku tanpa cintamu

Bagai malam tanpa bintang

Cintaku tanpa sambutmu

Bagai panas tanpa hujan

Jiwaku berbisik lirih

Kuharus memilikimu

Aku bisa membuatmu

Jatuh cinta kepadaku

Meski kau tak cinta... kepadaku

Beri sedikit waktu

Biar cinta datang karena telah terbiasa

.

Begitu isinya ia bacakan dengan terbata. Dengan wajah memerah hebat. Tak berani menatap Tobirama yang kini sepenuhnya tersenyum hangat. Manis sekali tingkah gadis ini, pikirnya.

Astaga, gadis ini benar-benar merusak komitmennya.

Kalau sudah begini...

"Kau tahu apa yang telah kau lakukan?" suaranya memang mengintimidasi. Wajahnya memang dingin dan garang. Tapi hatinya sejuk seperti berada di tengah-tengah musim semi. Di bawah guguran bunga Sakura.

Hinata menggeleng. Sepertinya ia memang harus pindah sekolah.

Masih dengan tangan terlipat, "Kau membuatku seperti pecundang..." Begitukah? Hinata ingin menangis kencang rasanya.

"...yang tak bisa memegang komitmen yang telah kubuat sendiri." Hinata mendongak menatap Tobirama dengan pandangan mata membayang. Merefleksikan sosok pria tegas yang masih sama di posisinya.

"Kau membuatku melanggar peraturanku, peraturan sekolah dan peraturan yang dibuat oleh negara ini tentang hubungan guru dan murid sebagaimana mestinya."

Hinata tahu resikonya tapi apalah dia yang sedang kasmaran dan jatuh cinta pada seseorang yang seharusnya ia hormati. Sekali lagi, jangan salahkan ia yang dengan nekatnya menyatakan cinta pada Tobirama. Ia malah akan menjadi semakin gusar bila tak ia ungkapkan.

"Kau bahkan yang membuatku seolah-olah menjadi alasan kenapa nilaimu turun akhir-akhir ini, hm?"

Hinata menangis dalam diam. Kata-katanya membuat ia bukan hanya jatuh tapi hancur berkeping-keping.

Tobirama melangkah maju memegang erat pinggang ramping Hinata, mengangkat dan mendudukkannya di atas meja. Hinata memekik kaget dan reflek memegang kedua lengan Tobirama yang kokoh. Lengan yang selalu ia impikan ia gamit dan menautkan jari-jemari miliknya dengan milik pria ini.

Sentuhan itu membuat keduanya merasakan getar aneh menyenangkan.

"Dan sekarang kau membuatku menjadi pria brengsek yang tega membuatmu menangis." berkata lirih di hadapan wajah Hinata.

"Kau memang gadis kecil nakal rupanya" menggerakkan tangan menghapus air mata Hinata.

Hinata masih sesenggukkan namun masih bisa menyadari perlakuan Tobirama yang membuatnya ingin berteriak senang. Dan kini hanya diam memandang Tobirama dengan mata bulatnya. Pandangan yang membuat Tobirama tak berkutik dibuatnya.

"Kau tahu, selama beberapa hari ini aku tak bisa tidur nyenyak?" Hinata yang dengan polosnya menjawab pertanyaan itu dengan gelengan. Membuat Tobirama tergelak pelan. Tawa yang baru pertama kali Hinata lihat. Mungkin ia satu-satunya yang pernah melihatnya tertawa. Tidak, Hashirama mungkin juga pernah, Kepala Sekolahnya.

Perasaan sedih Hinata hilang, menguap bersama aura baru yang hadir di antara mereka berdua.

"Memikirkan surat yang diberikan seseorang..." Hinata merona mendengarnya. "...seorang gadis manis yang selama ini selalu kuperhatikan diam-diam" kemudian ia merengkuh tubuh mungil itu di pelukannya.

Hinata bisa merasakan wangi khas Tobirama dan membalas pelukan pria itu. Apakah ini artinya 'iya'? Hinata memendongak bertanya,

"Ap-apakah...?"

"Ya. Kau dengar itu? Kau memiliku sekarang." Hinata tersenyum, "Tapi—"

"Ta-tapi?"

"Kau tak memberiku pilihan lain. Kita rahasiakan ini, sampai..." membawa wajah Hinata mendekat.

"Sampai?"

Tobirama tersenyum, "Sampai beberapa tahun lagi..."

Hinata membalas kata-kata itu dengan pelukan erat dan menenggelamkan wajahnya di dada yang juga selalu ia impikan untuk ia jadikan sandaran kepalanya, seperti saat ini. Hah, sepertinya semua yang ia inginkan terwujud sudah dalam kebahagiaan berjuta kali lebih besar dari sekedar mimpi-mimpinya.

.

.

.

Hashirama mengetuk pintu ruang itu sekali lagi. Pintu itu terkunci hingga ia harus mengetuknya dahulu agar adiknya membukanya segera. Tak lama kemudian pintu terbuka dan menampilkan gadis bersurai panjang yang membungkuk hormat sebelum melenggang pergi. Dan ia melihatnya.

Ia kembali pada Tobirama yang sedang duduk di kursinya tenang.

"Tobirama, kenapa kau terlalu keras bahkan pada murid perempuan?"

"Oniichan, tak bisakah kau lebih tenang?"

"Tidak, karena kau selalu bersikap kaku seperti itu. Memangnya apa yang kau katakan pada gadis Hyuuga itu, hah?"

" Hanya sedikit mengobrol" menautkan kedua tangan di atas meja.

"Tapi kau membuatnya menangis, aku melihatnya tadi."

Kakaknya ini selalu berisik dan mau tahu urusan orang saja, pikirnya. "Sebenarnya ada keperluan apa?" alihnya. Hashirama menghela napas sebal, "Kau itu..." memberi beberapa berkas di meja.

Dan Tobirama tak mendengarkan perkataan Hashi saat ia mulai menjelaskan. Pikirannya tersita untuk satu orang. Bahkan ia lancang mencuri kecupan di pipinya tadi sebelum keluar.

Hyuuga Hinata.

Truly, little bad girl.

.

.

.

—Little Bad Girl—

End of chapter 1