Ini ujian terakhirnya. Begitu kata mereka.
Ia melompat ke samping, menghindari pentungan kayu yang untuk seorang manusia termasuk ke dalam golongan sangat besar. Ditambah, diujung pentungan kayu itu terdapat kawat besi yang melilit, yang sudah berkarat dan meneteskan darah.
Ini seleksi tahap akhir. Begitu kata mereka.
Ia melihat celah. Untung saja larinya cepat dan refleksnya lumayan. Ia mengangkat pedangnya sambil berlari ke bawah sang raksasa, kedua kakinya terpisah dalam jarak yang cukup lebar. Ia berlari ke bagian bawah, dan menebas kedua kaki Sang Raksasa. Sang raksasa mengaum, menghentak-hentakkan kakinya. Ia berdiri menempel pada dinding pembatas.
Hari ini, siapapun pemenangnya, ialah ksatrianya. Begitu kata mereka.
Keiji Akaashi tidak melihat ke kerumunan manusia diatasnya yang menggila. Ia tidak melihat ratusan tubuh yang tumbang di sekeliling arena. Ia hanya melihat musuhnya, yang masih belum pulih dari rasa sakit akibat goresan pedangnya di kakinya. Sang Raksasa akhirnya berdri kembali—biarpun goyah—menyeret pentungannya dan meraung-raung marah. Matanya yang merah menatap Akaashi.
Akaashi memperkokoh kuda-kudanya. Hanya ada satu cara untuk mengalahkan Raksasa, yaitu dengan memengal kepalanya hingga terpisah dari lehernya. Hal yang sebetulnya cukup sulit dilakukan, mengingat ukuran raksasa yang… seperti raksasa.
Pemuda berambut hitam itu menggenggam erat pedangnya. Ia melompat.
.
.
Souls in Sword belong to Arleinne Karale
Haikyuu! belong to Haruchi Furudate
The Author does not take any financial benefits from this story. This story only exists purely for entertainment
An Alternate Universe, possibly out of character, lot of typos story with no actual pairing
Read at your own risk
.
.
Tubuhnya lengket oleh darah.
Pada detik ini ia menganggap seluruh manusia di Kerajaan Fukurodani diam-diam adalah psikopat karena mereka berteriak histeris dan mengelu-elukan namanya, padahal dirinya bermandikan substansi sewarna delima dengan bau anyir yang memuakkan hidungnya.
"Akaashi! Akaashi! Akaashi!" atau mungkin Kerajaan Fukurodani hanya merasa senang karena akhirnya mereka memiliki seorang Kesatria lagi semenjak yang terakhir meninggal tepat sebulan yang lalu.
Ratu mereka, yang menurut Akaashi selalu tampak mengantuk—mungkin karena tugas menjadi seorang Ratu cukup berat—berjalan dengan anggunnya ke tempat Akaashi berdiri, di tengah arena. Mahkota perak tampak kontras dengan warna rambutnya yang cokelat-kemerahan. Senyum kecil terkembang di bibirnya.
Biarpun tampaknya masih berduka karena kehilangan Sang Raja—sekaligus Kesatria terakhir mereka—Ratu Shirofuku tetap cantik seperti biasanya. Akaashi bersimpuh. Tangan kanannya menyilang ke bagian tengah dadanya.
"Hari ini," untuk seorang wanita, suara Sang Ratu terbilang lantang. Manusia-manusia yang menyaksikan pertandingan Akaashi barusan mendadak terdiam, "Kita menyaksikan kebangkitan Kesatria baru kita," kerumunan kembali menggila.
"Bangun, Keiji Akaashi," Yang Mulia meletakkan tangannya di puncak kepala Akaashi, membuat Akaashi keheranan mengapa wanita yang satu itu tidak jijik dengan darah yang menempel di sekujur tubuhnya, "Kesatria baru Kerajaan Fukurodani."
Akaashi menggeliat tidak nyaman di balik bajunya yang berlapis-lapis.
Ia paham iklim Kerajaannya memang cenderung dingin, ia hanya sedikit tidak paham mengapa ia harus memakai pakaian berlapis begini. Di balik jubah emas-hitam sebagai luaran, ia menganakan kaos hitam tanpa lengan dan celana hitam yang hanya menutupi hingga dibawah lututnya. Di pinggangnya tersampir kain putih-cokelat muda-emas yang melingkari tubuhnya. Tidak hanya itu, ia juga memakai beberapa perhiasan, yang fungsinya (sepertinya) semacam ikat pinggang dari emas dan permata berwarna biru. Ia juga memakai fingerless gloves berwarna hitam dengan aksen emas.
Tampaknya menjadi kesatria berarti juga berpakaian mewah dengan nuansa emas.
Ah ya, Akaashi juga mendapat hewan peliharaan baru.
Seekor burung hantu berwarna hitam, yang kata mentornya bisa berfungsi sebagai apa saja. Perlu mengirimkan surat? Peliharaan Akaashi yang baru bisa melakukannya. Perlu seseorang untuk mengawasi keadaan dan memberitahu kalau ada seseorang yang mendekat? Burung hantu itu bisa diandalkan. Kelaparan? Perlu santapan ala-ala burung hantu, misalnya tikus setengah matang atau sate ular? Tenang saja! Hewan Akaashi ahli melakukannya.
Akaashi belum memberinya nama. Dan hewan itu mengeluskan kepalanya dengan manja ke pipi Akaashi.
Pintu ganda di hadapan Akaashi terbuka. Ia melangkah ke dalam lingkaran cahaya.
Akaashi belum pernah berkunjung ke istana sebelum ini, ia tidak tahu kalau istana Kerajaan Fukurodani ternyata semegah kisah-kisah yang diceritakan ibunya. Lantainya bercahaya, memantulkan sinar kemerahan matahari yang perlahan tenggelam di ufuk barat. Angin berhembus sepoi-sepoi dari jendela-jendela yang telanjang. Chandelier kristal diatas Akaashi mengeluarkan cahaya kuning lemah, seolah menyesuaikan cahaya yang dikeluarkan dengan intensitas sinar yang didapat dari luar.
Ia melangkah diatas karpet hitam, yang pinggirannya seolah disepuh emas. Sang Ratu duduk di singgasana tinggi di ujung ruangan. Tampak berkuasa dengan gaun putih-emas yang ia kenakan.
Di hadapan Akaashi, Putri Kerajaan Fukurodani membungkuk singkat. Ia mengangkat sebuah kotak dan menyodorkannya ke arah Akaashi. Pedang Akaashi yang baru, pedang yang selalu dipegang oleh semua pendahulu sebelum Akaashi.
Pedang yang gagangnya bersepuh emas. Pedang yang bilahnya konon terbuat dari berlian, yang ditempat di bawah gunung berapi dekat perbatasan dengan Republik Nekoma. Pedang itu adalah sebuah legenda. Namanya adalah Night Owl's Heavenly Punishment.
Akaashi mengangguk singkat pada Putri Mahkota dan mengambil pedangnya. Terasa pas ditangannya, seolah pedang itu memang diciptakan khusus untuknya. Bilah pedangnya yang mematikan memantulkan cahaya lembayung dari langit diluar sana. Akaashi sudah tidak sabar untuk mencobanya, tapi ia rasa disini dan saat ini bukanlah waktu dan tempat untuk bermain dengan pedang barunya.
Dengan pedang ditangannya, Akaashi melangkah mantap menuju singgasan sang Ratu. Ia bersimpuh di bawahnya.
Dalam jarak yang sedemikian dekat, Akaashi menyadari kalau wajah Sang Ratu pucat. Tapi dari jauh Akaashi tidak terlalu menyadari karena make-up yang dikenakan Sang Ratu.
"Hari ini kita menyambut Kesatria kita yang baru," Ratu Shirofuku berdiri dari kursinya dan mendekati Akaashi yang bersimpuh. Ia memegang sebuah mahkota kecil yang terbuat dari emas. Permata biru yang sama seperti 'ikat pinggang' Akaashi menghiasi bagian depannya, "Semoga dengan keberaniannya, kecerdasannya, ketangkasannya, dan kebaikan hatinya, ia melindungi kita semua dari marabahaya," Akaashi hanya berharap semoga ia tidak diharapkan memakai mahkota itu terus-terusan.
Akaashi berdiri di samping Sang Ratu. Orang-orang yang hadir bertepuk tangan dengan sopan. Tidak lama, Putri Suzumeda bergabung dengan mereka. Akaashi tersenyum samar, anehnya ia tidak bisa mengenyahkan perasaan yang mengganjal di hatinya. Rasanya seolah ada yang mengamatinya.
"Pergi!" Akaashi berbisik pada burung hantu barunya, "Amati situasi," perintahnya.
Peliharaan Akaashi membentangkan sayapnya yang hitam dan melayang rendah sebelum keluar jendela dan pergi dengan kecepatan normal. Akaashi mengamati sampai ia hilang dari pandangan dan tersenyum sopan pada orang-orang yang memberinya selamat.
Ratu Shirofuku sudah kembali duduk di singgasananya. Putri Suzumeda duduk di sampingnya. Akaashi tidak tahu harus kemana, maka ia mengambil pedangnya dan berniat mencari makanan.
"Oho!"
"Oho ho!"
Akaashi nyaris melempar pedang barunya keluar jendela.
.
.
To be Continued
.
.
Curhatan Arleinne:
Halo fandom Haikyuu! Salam kenal! Aru disini. Mohon bantuannya dan bimbingannya, semuaaaaa *wink*
Aru baru menjelajahi fandom ini setelah gak tahan pengen nulis Akaashi—yang indah tapi nista. Cerita ini terinspirasi dari salah satu promt yang ada di Pinterest, julunya Heroes Never Dies, dimana setiap knight yang memegang pedang itu ketika mati kesadarannya masih tertinggal di pedangnya dan protagonisnya mendengar segala kata-kata yang diucapkan sama pendahulunya (kurang lebih begitu).
Ketebak lah ya siapa pendahulunya Akaashi melihat kelakukan pedangnya(?)
Gambar cover merupakan gambar pedang milik Jaime Lannister dari Game of Thrones yang di dapat dari google image.
Yak sejauh ini Aru masih berdoa dan berharap semoga apa yang Aru garap ini bakalan sesuai sama rencananya. Karena sejauh yang Aru perhatikan dari diri ini, Aru lumayan jago merencanakan tapi payah menjalankannya.
Ada saran, kritikan, masukan? Ada keluhan, curhatan, kisah yang ingin diungkapkan? Silakan isi kotak review-nya, Teman-Teman Sekalian. Sampai jumpa dichapterberikutnya!
