Tik tok tik tok—waktu sudah menunjukan pukul 12 siang.
Seorang Ibu berumur 30 tahunan berambut teal terlihat sedang bersandar pada setiran mobil avanza peraknya. Dilihat dari tempat dimana ia parkir, pastinya ia sedang menunggu anaknya pulang dari sekolah. Anak perempuannya lebih tepatnya.
Diliriknya jam tangan bermotif daun bawangnya tersebut—ah, seharusnya sang anak sudah kembali sejak 30 menit yang lalu, tetapi dia kerap tak muncul-muncul juga. Kira-kira kemana ya? Pikir sang Ibu khawatir, tentu saja.
"Mama!" gema sang anak sayup-sayup mulai terdengar. Si Ibu menoleh kearah spion dan mendapati anak perempuannya melambai kearahnya—dengan sepucuk surat merah mudah diapitannya. Biar si Ibu tebak, seseorang baru saja menembak anaknya!
Sebagai seorang mamah yang baik, tentu Miku Hatsune merasa senang dan khawatir—pada saat yang bersamaan.
"Mamah!" si anak segera masuk kedalam mobil dan menutup pintunya dengan keras, membuat Miku merasa sedikit sebal karena mobil kesayangannya dibanting. "Mamah tidak akan percaya ini!" sambungnya.
"Apa? Biar mama tebak. Dari surat yang kau pegang—dan mawar merah ditangan kirimu itu, seseorang baru saja menembakmu kan? Anak mamah sudah besar~! Bagaimana? Diterima tidak?" Miku mulai menunjukan rasa antusiasnya seperti anak-anak SMA seumuran anaknya.
"Mamah!" si anak—Kaai Yuki Hatsune membantah, "Aku tidak—aku belum menerimanya. Sekarang aku bingung harus apa!" Yuki mulai terihat kelimpungan. Oh masa muda! Pikir sang ibu.
Miku membuang napas yang sedari tadi tercekat, mengambil botol minum, dan memberikannya kepada Yuki agar ia bisa meminumnya dan menenangkan hatinya yang sedang gundah. "Jadi, siapakah lelaki yang berhasil memuat anakku galau dan gundah ini?"
"Piko," si anak selesai menenggak minumnya. "Utatane Piko. Cowok yang waktu itu main kerumah. Masih ingat?"
Ah—ingatan Miku mulai terbuka. Tentu dirinya ingat. Anak lelaki pertama yang pernah dibawa anaknya kerumah. Sejauh yang ia lihat, mereka memang menunjukkan suatu kedekatan intim yang nyata, bahkan cukup untuk membuat suaminya—Mikuo Hatsune berteriak kesal—cemburu—karenanya. Sungguh ini adalah suatu berkah(?) karena anaknya bisa diberikan(?) pada lelaki terpercaya!(?).
"Dia itu anak yang baik, mama saja tahu. Apa yang membuatmu ragu?" Miku mulai men-starter mobilnya dan menyetirnya keluar sekolah.
"… Piko memang baik, selalu membantuku, tapi aku tak tahu. Aku takut mah, dia itu anak populer disekolahnya, sering dikerubunin cewek. Aku takut dia selingkuh nanti…" Kaai Yuki mendesah. Disandarkannya dirinya ke kaca jendela mobil.
Miku—yang baru selesai membayar tagihan parkir disekolah anaknya—hanya memandang raut wajah si anak dengan muka sedikit keheranan. "Kupikir kau menyukainya, Yuki."
"Aku suka padanya—tapi aku hanya takut. Bukankah wajar?" Yuki meminta dukungan. Tapi reaksi sang ibunda hanyalah tersenyum tipis.
Yuki, tak sadarkah engkau kalau kau telah menguak memori sang ibu yang sudah lama dipendamnya?
"..Mah?"
"Ah—iya maaf, aku terlalu konsentrasi menyetir. Ahahaha," Miku tertawa getir. "Aku tak apa, sungguh Yuki. Jangan pasang wajah khawatir begitu."
"Tapi mamah—"
"Daripada itu, mungkin lebih baik aku menceritakanmu sebuah kisah. Sebuah kisah nyata yang pernah kualami. Kupikir ini bisa memberimu jawaban atas kegundahan hatimu itu."
"Sungguh? Yeiy terima kasih mamah!" Yuki kegirangan, hingga memeluk pundak sang bunda.
"Ya, Yuki. Nah, sekarang dengarkan ceritanya…"
"Dear You"
A Vocaloid Fanfiction by Mochiyo-sama
Semua yang disini milik pemiliknya masing-masing, termasuk jalan cerita yang dialami oleh si pemilik. Saya hanya mempunyai kata-kata yang mendeskripsikannya.
Fanfic ini mengandungMiku x Kaitodan beberapa momenMiku x Mikuo dan Kaai Yuki x Piko. Jika keberatan, silahkan pencet tombol "Back"
Enjoy
-14 tahun yang lalu, Vocaloid Gakuen-
"Priiiiiiiiit! Pertandingan dimenangkan oleh tim basket putri asal Vocaloid Gakuen!"
Suara teriakan kemenangan menggema memenuhi gedung olahraga Vocaloid Gakuen. Terang saja, tim basket putri lagi-lagi berhasil mengukir prestasi dengan mengalahkan tim basket asal sekolah rivalnya. Tak ayal, nama-nama pemain yang berjasa pada permainan kali ini dikumandangkan oleh seluruh penonton pertandingan tersebut. Popularitas mereka akan semakin bertambah dengan kemenangan telak ini.
Salah satu dari pemain-pemain luar biasa tersebut adalah Miku Hatsune. Siapa murid Vocaloid Gakuen yang tak mengenalnya? Remaja 16 tahun ini memang terkenal dengan kemampuan olahraga—khususnya dibidang basket yang tiada duanya. Belum lagi kecantikan dan keramahan yang selalu ia tunjukan kepada orang-orang menambah popularitasnya. Miku Hatsune, seorang kaptern tim basket putri, memang sesosok perempuan ideal! Tak heran jika ia diidolakan banyak orang.
Dan sekarang, si tuan putri yang dari tadi kita bicarakan sedang bersiap-siap untuk pulang menuju rumahnya.
"Miku, capai?"
Miku menoleh kesumber suara. Suara khas ini, pastinya adalah—
"Hai Kaito. Menungguku lagi?"
—Kaito Shion. Teman sekelasnya sekaligus sahabat terdekatnya.
Kaito Shion adalah seorang laki-laki normal. Umurnya satu tahun diatas Miku—ya meski mereka satu angkatan. Ia memakai kacamata frame biru, rambut biru, mata biru—dan pokoknya serba biru! Nilainya pun serba biru—maksudnya ga ada yang merah gitu. Kaito adalah salah satu anak terpintar satu sekolah, dan sama populernya dengan Miku. Tapi bedanya, Kaito tidak begitu bagus dalam olahraga, sementara Miku cukup kesulitan dalam menerima pelajaran yang sifatnya hanya menghafal dan latihan saja.
"Ya, rumah kita kan searah. Lagipula aku juga habis menonton pertandinganmu. Kau harus tahu kalau three point yang kau tembakkan tadi itu keren banget! Kau harus lihat muka lawan yang amat-sangat-cangak itu!" Kaito berkomat-kamit dengan semangat membara. Miku hanya bisa tersenyum menanggapi celotehan Kaito. Sahabatnya yang satu ini memang saat antusias jika mengenai dirinya.
—Jangan kaget pemirsa. Memangnya Miku Hatsune, diva satu sekolah ini, tidak tahu bahwa teman SMA-nya ini sangat sangat menyukai dirinya.
Ya, meski si BaKaito itu sendri tidak pernah menyatakannya, namun hampir semua teman sekelas Miku mengetahuinya, bahkan tak jarang dari mereka yang sudah mulai menjodohkan mereka. Namun memang dasarnya anak muda, yang selalu gengsi, akhirnya keduanya enggan mengakui perasaan mereka. Toh mereka sama-sama nyaman merasa seperti ini.
"Ayo kita pulang! Sudah hampir malam loh." Ajak Miku sambil merangkul tangan Kaito. Sekilas wajah manusia bermarga Shion itu memerah.
"Ah—iya pelan-pelan saja Miku. Sini biar kubawakan tasnya! Kau pasti kecapaian habis melawan SMA lawan kan?" tawar Kaito. Hal itu tentu disambut baik oleh Miku. Dengan segera ia lemparkan tas jinjingnya dan menyeringai lebar, "Ya, kau benar Kaito! Terima kasih ya!"
Jalan-jalan mulai terlihat sepi, wajar saja, waktu sudah menunjukan pukul 7 malam. Jam biasanya dimana orang-orang sudah pada berpulang ke rumah masing-masing. Gelapnya sang malam semakin didukung oleh lampu-lampu jalan yang terlihat remang-remang. Seketika, suasana latar tersebut menjadi cocok untuk cerita horor.
"Hei Miku, tahu tidak? Katanya setiap malam Jum'at kayak sekarang biasanya banyak hantu muncul loh!" ujar Kaito menakut-nakuti. Sontak, muka Miku berubah pias.
Miku Hatsune memang paling anti dengan cerita mistis. Jadi jangan heran kalau setiap liburan musim panas pasti ia tidak ikut summer vacation satu sekolah. Kenapa? Karena ada uji nyalinya duh.
"Kaito—mou jangan membuatku takut!"
"Siapa yang menakut-nakuti!" bantah Kaito—dengan akting yang meyakinkan. "Aku benar kok, lagian ada cerita kalau dulu, duluuuuuu sekali ada anak kecil bunuh diri di—di… didekat tiang lampu disampingmu!"
"Hiiiiii! Benarkah?" Miku mulai histeris. Andaikan lampu jalanan itu hidup, pastilah ia telah sweatdrop melihat tingkah Miku.
"Benar! Dan katanya…" Kaito mulai berjalan mendahului Miku. Dirogohnya tas sekolahnya dan dikeluarkannya sebuah tabung yang bersinar—dengan posisi membelakangi Miku. "Setiap malam Jum'at, ia akan keluar dan mengentayangi siapapun yang berjalan didekat tiang itu!" Dan hah! Kaito membalikan badan kearah Miku dengan senter dibawah dagunya sehingga sinar senter bisa membuat efek mengerikan pada wajah cangak Kaito.
BOOOO—cerita seram Kaito yang sebenarnya tidak begitu menakutkan itupun sukses membuat Miku Hatsune terpingkal-pingkal dan hampir pipis dicelana. Kaito tertawa puas, tentu saja. Senang bukan rasanya menjahili orang lain—apalagi jika itu menyangkut anak terpopuler satu sekolah. Miku cemberut, tidak suka dijahili seperti ini.
"Kau sangat menyebalkan." Miku berjalan meninggalkan Kaito, dan membuatnya panic kelimpungan.
"Ah—maaf Miku! Habis kau lucu jika sedang begitu." Kaito mulai menghibur Miku. "Lagipula, kau mau sampai kapan takut cerita begituan? Kau ini sebentar lagi kan lulus SMA dan kuliah!" seru Kaito. Miku masih enggan merespon, masih kesal rupanya.
Wowowow, mungkin saya lupa memberitahukan anda—tapi ya, Kaito dan Miku memang sudah kelas 3 di Vocaloid Gakuen.
Miku mendelik mendengar 'hinaan' sang sahabat. Berniat membalas, tentu Miku sudah menyiapkan kata-kata menusuk hati andalannya. "Ya, bicara saja pada orang yang masih suka mengempeng bantal bermotif es krim miliknya setiap malam!"
Berasa ditusuk beribu-ribu bambu runcing rasanya. Kaito langsung jatuh terjerembab dengan ekspresi dilebih-lebihkan.
"…. Kau terlalu berlebihan Kaito." Miku terdecak sendiri melihat tingkah konyol Kaito. Well, Kaito memang tidak pernah membuatnya bosan dalam situasi apapun. Kaito hanya meringis dan menggaruk kepalanya yang tak gatal, sesekali ia melontarkan lawakan garing yang sudah menjadi specialty-nya—masih dengan posisi awalnya, tentu. Tak lama, Miku mengulurkan tangannya dan membantu Kaito berdiri tegak kembali.
Mereka pun mulai berjalan menyusuri gang tadi. Hening lalu menyelimuti mereka. Canggung, ya mungkin. Hari ini sebenarnya adalah hari terakhir mereka bertemu. Kaito akan bersekolah jauh—di sekolah pelayaran terbaik Jepang yang bertempatkan di Kyushu. Sementara Miku akan masuk fakultas Hukum di Tokyo university. Jadi ya… mereka akan terpisah dalam jangka waktu yang cukup—salah, lumayan lama. Atau mungkin sangat sangat lama.
".. Hei, tadi permainan yang bagus," puji Kaito, berusaha membangkitkan topik pembicaraan.
"Tentu saja. Itu permainan basket terakhirku di tim basket putri Vocaloid Gakuen."
Hening lagi.
"Kau… akan tetap bermain basket?" tanya Kaito, berusaha membangkitkan topik pembicaraan, lagi.
"… Ya, mungkin jika ada ekskul basket disana. Kau sendiri masih akan melanjutkan hobi merancang baju itu? Sungguh, tapi menurutku itu hobi yang aneh untuk ukuran seorang laki-laki."
"Terima kasih atas pujiannya—tapi ya mungkin tidak. Sekolah pelayaran membutuhkan konsentrasi luar biasa."
"Kau? Konsentrasi? Aku tak percaya itu!" puji Miku sarkastik. Kaito membalasnya dengan tatapan mengintimidasi.
Hening lagi.
"… Kaito," kali ini Miku yang buka mulut, "kapan kau akan berangkat?"
Kaito membuang muka dari Miku, tak berani membalas tatapannya. Takut. Ya Kaito takut mengecewakan wanita yang dicintainya ini.
".. Kaito.."
"Sehabis wisuda, aku akan segera berangkat. Atau mungkin aku tidak akan ikut wisuda ahaha.." Kaito tertawa garing, berusaha menghibur dirinya dan dia.
".. Jadi, kita akan terpisah, untuk waktu yang lama?"
Kali ini yang namanya hening betul–betul hening. Sampai suara rumput bergoyang pun terdengar. Sungguh sebetulnya Kaito tidak ingin meninggalkan Miku sendirian disini. Masih ada banyak hal yang harus disampaikan olehnya. Tapi.. ia harus pergi, demi cita-citanya. Demi agar bisa bersanding dengannya…
"Kumohon Miku, jangan menangis." Kaito menyeka airmata Miku yang sudah mengaliri pipi Miku. "Ayolah, aku tak akan pergi selamanya ini 'kan. Suatu saat aku juga akan kembali padamu."
Sadar dengan pernyataan terakhir Kaito, sontak pipi keduanya langsung mengeluarkan warna buah persik.
"… A—ah daripada itu," Kaito melepaskan syal rajutan warna biru langit kesayangannya dan mengalungkannya pada leher Miku, "ini, hadiah perpisahan dariku."
Mata Miku sedikit melotot. Ia merasa tak bisa menerima hadiah ini. Syal ini kan— "Tapi Kaito-kun! Ini rajutan almarhum adikmu Kaiko-chan kan! Apa tak apa-apa jika kau berikan padaku? Lagipula kau tahu kan aku ini orangnya slebor, jadi syal ini bisa saja ru—"
"Tak apa-apa kok. Aku yakin Miku bisa menjaganya dengan baik." Kaito mengacak-acak rambut teal temannya itu. "Lagipula, aku tidak akan mungkin memberikan syalku pada sembarang orang. Kau itu.. spesial, makanya ini lain…" Kaito membuang muka. Dari samping Miku dapat melihat kuping Kaito kembali memerah.
'Apa-apaan si Kaito tadi? Mungkinkah…'
"Kaito-kun! Ada yang mau kuta—"
"Kita sampai dirumahmu. Aku pulang ya sekarang—dan oh iya, ini tasmu. Sampai bertemu lagi, di masa depan! Hahaha.." Kaito seperti berusaha untuk mencairkan suasana, meski Miku tahu kalau pancaran mata serius menghiasi wajahnya. Kaito lalu segera berlari menuju gang rumahnya—dan menghilang dikegelapan malam.
Miku terdiam dalam sunyi. Dipandanginya syal pemberian sahabatnya, lalu didekapnya dengan erat. Diresapinya aroma tubuh sang lelaki yang tertinggal dengan dalam dan penuh penghayatan. Wangi blueberry, khas dia sekali.
"… Jadi kita memang akan terpisah dengan lama?"
Dibuka matanya, dan dikecup lipatan syal itu dengan pelan. Serentak aroma blueberry merebak menghantui indera penciuman Miku.
".. Kalau begitu, sampai jumpa lagi."
Dan dengan mata sedikit sendu, Miku melangkah menuju pintu rumahnya. Dengan harapan kalau kesempatan kedua untuk bertemu dengannya lagi memang benar-benar akan datang.
Tapi sayangnya, takdir berkata lain.
-To Be Continued
A/N : Hai! Balik lagi sama Mochiyo di FANFIC MULTICHAP PERDANA!
Tidak seperti multichap2 sebelumnya difandom sebelah, yang ini udah saya kerjain sampai (1/2) rampung. Jadi kemungkinan apdetnya bakal cepet! Dan lagi, mungkin ada yang sadar kalau gaya nulis saya berubah. Ya, itu karena saya terpengaruh oleh gaya tulisan para pemenang event "Fantasy Fiesta" tahun 2011 kemarin. Baca deh, tulisan mereka keren-keren! #plak #promosi
Btw, gimana fic ini? Fic ini sebenarnya adalah berdasarkan cerita Ibu saya, tapi ada beberapa bagian yang saya tambahkan dan ubah karena alasan tertentu. So.. puaskah anda dengan gaya seperti ini? Silahkan sampaikan lewat review!
Saya mohon undur diri, dan semoga sukses semuanya! Sampai jumpa di chapter ke-2!
~Sign,
Mochiyo-sama
