Judul: et nocte perpetua
Pairing: Zack/Aerith
Genre: Romance/Angst
Tema: #7. Broken Promise (Black and White Challenge: Set Black)
A/N: Sebuah seri oneshot pendek tidak beraturan mengenai Zack dan Aerith dengan sedikit referensi dari 'Final Fantasy VII: Crisis Core'.
---
"Aku punya dua puluh tiga kehendak, dua puluh tiga kemewahan kecil," jawab Aerith sembari membalik badan untuk menatapnya. "Tapi, hal yang paling aku inginkan adalah menghabiskan waktu denganmu lebih banyak."
---
Ia ada disana, walau tidak selamanya tertangkap indra. Ia melebur, seperti bahan bakar yang keluar dari lubang kecil, dalam tiga detik membaur dengan molekul udara.
Kadang-kadang, aku bisa merasakan dirinya berlayar di antara sulur-sulur lifestream. Datang, tenggelam, mendekat, hilang. Di saat-saat seperti itu, aku mau tidak mau merasa sedikit senang, sekaligus ketir. Saat ini, dia tidak lebih dari salah satu bagian dari siklus purba lifestream, haknya untuk memiliki tubuh dan kesadaran individual telah berakhir, sampai suatu saat nanti 'ibu' memutuskan untuk mengumpulkan fragmen-fragmen jiwanya dan menjadikannya kembali dalam sebuah proses yang disebut reinkarnasi. Tapi, apapun yang terlahir baru itu tentu saja bukanlah lagi 'dia' yang kukenal.
Lima tahun aku menghabiskan waktuku di Midgar tanpa ada kabar darinya. Dalam tahun-tahun itu, ada hari-hari dimana aku tanpa sadar menekan deretan angka-angka yang akan menghubungkanku dengannya, tetapi diantara semua statik dan nada sambung yang terus terdengar, tidak ada suaranya yang menjawab.
Aku masih ingat dengan jelas, percakapan terakhirku dengannya.
Tuut-tuut-tuut.
"Ya?"
"Ah! Akhirnya tersambung juga."
"Wh-whoaa! Aerith?"
"Menurutmu siapa?"
"Ahaha, Aerith. Sudah lama aku tidak mendengar suaramu."
Dan suaranya tiba-tiba hilang sebentar. Aku dapat mendengar suara-suara tidak asing dilayangkan oleh pesawat telefon. Suara-suara yang tidak salah lagi merupakan medan perang.
"Halo, Zack?"
"A-ah, Aerith, maafkan aku, tapi sepertinya ini bukan saat yang tepat untuk berbicara. Aku akan menghubungimu kembali nanti."
"Kamu tidak perlu melakukan itu. Aku hanya ingin mendengar suaramu."
"Aku senang bisa berbicara denganmu Aerith, betapapun singkatnya."
"...Zack?"
"Ya?"
"Aku ingin bertemu denganmu."
"...aku pasti akan ke sana."
Selama lima tahun aku kehilangan kontak dengannya. Selama lima tahun aku berdoa kepada 'ibu' agar ia baik-baik saja dimanapun ia berada.
Oleh kabar pertama yang kuterima dari 'ibu', aku termangu dan menerawang ke atas. Aku berusaha menolak, memblokir impuls yang menuntut indraku untuk menyahut. Aku tidak ingin menangis. Aku tidak akan menangis.
Dia hanya kembali kepada 'ibu'. Dia sudah kembali kepadaku. Air mata itu tidak pantas jatuh. Air mata itu tidak seharusnya membasahi lantai kayu reot gereja kami. Zack melanggar janji pertamanya untuk menghabiskan waktu lebih banyak denganku dan setengah memenuhi janji keduanya untuk mengunjungiku. Aku tidak akan menyalahkannya. Aku tidak bisa menyalahkannya.
Aku hanya mengenal satu dalil: semua hidup berasal dari lifestream dan akan kembali kepada lifestream. Kami semua pada akhirnya akan kembali kepada 'ibu'. Hanya saja, tidakkah sedikit tidak adil. Kenapa harus dia? Kenapa harus aku? Pertanyaan itu terus menerus berulang di dalam benakku.
Maafkan aku. Maafkan aku, ibu. Saat itu, aku sangat membencimu, walau sekarang aku tahu kamu pun tidak bisa lolos dari jaring takdir. Sama seperti kami. Sepertiku.
Apa yang diberikan kepadaku dua hari sesudah 'kabar' dari 'ibu', mungkin merupakan sebuah ejekan terhadap kemuramanku. (Atau mungkin sebuah penghiburan, aku tidak pernah bisa memahami maksud pejalin takdir dan selera humor mereka yang abnormal).
Seorang pemuda dengan mata berwarna langit lagi-lagi jatuh dari langit-langit lapuk gereja ini. Rambutnya terlalu terang dan ekspresinya terlalu muram, tapi dalam sekejap aku mengenali pedang kebanggaannya.
---
A/N:
(Asumsi, fakta, dan kronologis)
1. 'Ibu' yang saya maksud dalam ficlet ini adalah gaia, dimana Aerith diasumsikan dapat berkomunikasi dengan gaia.
2. Zack (dan Cloud) menghilang tanpa kabar selama lima tahun setelah ia berangkat ke Nibelheim untuk menghentikan Genesis. Selama jangka waktu tersebut mereka berada di lab Hojo dan menjalani percobaan abnormal.
3. Dua hari setelah Zack meninggal tertembak sekompi pasukan Shinra di dekat Midgar, Cloud jatuh dari atap gereja Aerith, sama seperti Zack yang dulu pertama kali bertemu dengan Aerith melalui kejadian itu.
4. Cloud mengalami ketidak-stabilan mental setelah berbagai trauma yang dialaminya dalam lima tahun menjadi kelinci percobaan Hojo dan setelah kematian Zack demi melindunginya. Dia mengadopsi memori Zack dan melupakan ingatannya sendiri.
