Chapter 01
Si Kembar
.
.
"Bundaa ... kenapa harus ada adik baru, sih?"
"Iyaa ... Bunda udah bosen ya, sama Air, sama Api?"
"Kok 'bosen', sih? Ya enggak dong, Sayang. Air, Api, dan juga Kak Taufan ... Semuanya anak-anak kesayangan Bunda dan Ayah."
"Terus kenapaa?"
"Hmm ... Kenapa, yaa? Mungkin ... karena Bunda ingin punya anak perempuan?"
"Jadi ... Adik nanti lahirnya perempuan?"
"Nggak tahu juga, Sayang. Bunda sengaja nggak nanya sama Pak Dokter. Biar jadi kejutan. Tapi ... kalau lahir perempuan, Bunda akan beri dia nama ... Cahaya."
.
Animasi "BoBoiBoy" beserta seluruh karakter di dalamnya adalah milik Animonsta Studios/Monsta©
Fanfiction BoBoiBoy "My Family!" ditulis oleh kurohimeNoir. Penulis tidak mengambil keuntungan material apa pun.
Drama keluarga. Daily life. Kids!ApiAir. AU. No powers.
Ada bahasa sehari-hari/tidak baku, dan bahasa gaul. Diusahakan tetap in character, tapi kalau nanti ada yang OOC, maafkan yaa~ :")
.
.
BRAK!
"Kak Upaaan! Huweee ..."
Taufan nyaris terlonjak ketika dua anak itu mendadak menerobos masuk ke kamarnya. Buka pintunya keras banget pula. Kasihan si pintu, jadi kejedot tembok. Untung nggak benjol—eh, rusak.
Dua anak kecil usia enam tahunan langsung naik ke ranjang. Masing-masing mendekati Taufan dari sisi kiri dan kanan. Pemuda lima belas tahun—yang tadinya sedang berbaring santai sambil mendengarkan musik—itu, cepat-cepat menegakkan tubuh. Dilepaskannya headset sambil mematikan pemutar musik di ponsel pintarnya.
"Kak Upan! Kak Upan!"
Salah satu anak berpiyama merah, langsung memeluk lengan kanan Taufan. Dengan berurai air mata, sepasang iris jingga berhias merah terang seperti nyala api, terus menatap Taufan. Sorotnya sangat memelas. Pasti akan menerbitkan iba di hati siapa pun yang melihatnya.
Anak yang satu lagi, sungguh bagai pinang dibelah dua dengan si pemilik iris api. Bedanya, ia tampak lebih kalem, dalam balutan piyama biru pucat. Warna yang sama dengan iris matanya. Anak itu terisak pelan. Ia memilih menyandarkan tubuh ke dada Taufan. Bergelung sedih seperti anak kucing kehilangan induknya. Sementara sebelah tangannya menggenggam tangan kiri Taufan.
"Hei ... Kalian kenapa?" Taufan—nyaris tak bisa bergerak—bertanya heran. "Api? Air?"
"Kakaak ... huk huk ... adik baru ... huk huk ... masih lama, 'kan, datangnya?" Air balas bertanya sambil sesenggukan. Dan masih sambil berbaring nyaman di tubuh kakaknya.
"Wah ... Kakak juga nggak tahu." Taufan mengulum senyum sambil memeluk tubuh mungil Air yang gemetar oleh tangis. "Coba kita ikut Ayah sama Bunda. Kan bisa lebih cepat tahu kabarnya. Kalian sih, nggak mau diajak ke rumah sakit bersalin—"
"Nggak mau!" tiba-tiba Api menyela. "Api nggak mau adik baru! Kalau ada adik baru ... Api sama Air nanti dibuang, 'kan?"
Api mengeratkan dekapannya pada lengan kanan Taufan, lalu menangis keras-keras.
"Ha?"
Taufan masih berusaha mencerna ucapan salah satu dari si kembar itu. 'Adik baru' ... 'dibuang' ... Sampai lama, remaja berpakaian nyaris serba biru itu, sama sekali tak bisa menemukan kaitan di antara keduanya.
"Tunggu, tunggu ... Api, kamu ngomong apa, sih? Siapa yang mau buang kamu dan Air? Itu nggak mungkin banget!"
"Kak Upan bo'ong!" Api menatap Taufan dengan sorot mata menuntut. Masih sambil bersimbah air mata. "Kalau ada adik baru, anak yang lama pasti sedih."
Sepasang iris biru Taufan dipenuhi tanya, sementara dirinya tergelitik mendengar kata-kata 'anak yang lama'. Jadi, di pikiran Api, kalau ada adik baru di rumah, anak sebelumnya akan jadi 'anak lama'? Memangnya barang? Taufan tertawa dalam hati. Lucu juga sih, walaupun kasihan.
"Terus, semua orang jahatin dia," Api masih melanjutkan ucapannya. "Terus, dia dipanggil anak haram. Terus, diusir."
Eh ... Apa?
"Kata Bunda, makanan haram itu nggak boleh dimakan. Harus dibuang," Air menyambung. "Jadi ... anak haram itu juga harus dibuang, 'kan?"
Taufan melongo dua-tiga detik.
"Sebentar," katanya kemudian. "Serius, Kakak nggak ngerti kalian ngomong apaan."
"Api lihat di TV," sahut Api. "Bareng Air juga."
Air hanya mengangguk.
"TV?" ulang Taufan.
Perlahan, sebuah pengertian terbentuk di benak remaja itu. Astaga ... sinetron, ya? Entah cerita sinetron macam apa itu, tapi sudah jelas ada kesalahpahaman besar di sini.
"Api, Air, dengerin Kakak," Taufan berkata lembut dan perlahan, supaya kedua adik kecilnya mengerti. "Apa yang kalian lihat itu, cuma cerita di TV. Cuma bohongan."
Api dan Air saling pandang sejenak. Tangis mereka mereda.
"Jadi ... Api sama Air nanti nggak dibuang ... kayak anak yang di TV itu?" tanya Api.
"Nggak bakalan!" Taufan berkata mantap. "Kakak janji."
Air mengangkat badannya sedikit, lantas menatap mata kakak sulungnya. "Kakak nggak bo'ong, 'kan?"
Taufan menggeleng sambil tersenyum. "Dulu, waktu Api dan Air lahir, Kakak juga tetap di sini. Lalu, kita bertiga terus sama-sama sampai sekarang. Ya, 'kan?"
Sekali lagi, si Kembar saling pandang. Kemudian mereka menatap Taufan dan mengangguk kompak.
"Nah, sekarang juga sama," kata Taufan lagi. "Kalau nanti adik baru datang, kalian akan tetap di sini. Menemaninya, dan menjadi kakaknya."
Taufan nyaris tertawa melihat mata kedua adiknya yang membulat sempurna begitu mendengar kata-kata 'menjadi kakak'. Dia hampir yakin masalah sudah selesai, ketika Api mendadak ngambek lagi.
"Tapi Api tetep nggak mau punya adik baru!" anak itu merajuk.
Taufan sungguh ingin garuk-garuk kepala sekarang. Andai saja kedua tangannya tidak sedang sibuk. "Lho, kenapa?"
"Nanti Bunda sama Ayah sayangnya sama adik baru ... Terus, Api sama Air nggak disayang lagi ..."
Api kembali menangis. Lalu menular kepada Air.
"Aduuh ... jangan nangis, dong ..." Taufan mulai kebingungan. "Nggak, kok. Bunda sama Ayah sayang kita semua."
Tangis si kembar malah semakin keras.
"Kakak bo'ong!" jerit Air.
Disambung oleh Api, "Kak Upan jahat!"
Nah, lho! Sekarang malah jadi Taufan yang jahat.
"Api, Air ... jangan nangis, please ... Ini udah malem." Taufan memutar otak. "Ya udah. Kalian pergi tidur, gih. Nanti Kakak bacain cerita—"
"Nggak mau!" Api dan Air menjerit kompak. Tetap menangis.
"Mm ... Kakak bikinin susu, mau ya?" Taufan coba membujuk. "Nanti Kakak kasih biskuit cokelat kesukaan kalian. Itu, lho ... yang diputer, dijilat, terus dicelup—"
"NGGAK MAU!" Tangis si Kembar makin menjadi.
Oke, Taufan benar-benar bingung sekarang. Kalau sampai Api dan Air menolak biskuit kesukaan mereka, berarti level baper-nya sudah kebangetan. Di saat genting itulah, di kepala Taufan melintas ide yang berbahaya. Dia mempertimbangkannya sejenak, lalu memutuskan sudah tak ada pilihan lain lagi.
Apa boleh buat? Demi kedua adiknya, Taufan rela berkorban jiwa-raga sekalipun!
"Air, Api, kita nonton kartun, yuk!"
Tangis si kembar langsung berhenti. Keduanya menatap Taufan penuh rasa ingin tahu. Masih diselingi isak-isak kecil.
"Kakak punya DVD film bagus, deh," lanjut Taufan. "Judulnya BoBoiBoy The Movie."
"Itu film apa?" tanya Api.
"Serem, nggak?" sambung Air.
"Nggak serem, kok. Seru, malahan!"
Kedua iris safir Taufan berbinar antusias. Namun, kemudian ia terdiam ragu. Apa aman mengajak anak berusia enam tahun menonton film aksi superhero? Bagaimanapun, ada adegan kekerasan di situ.
"Kak Upan?"
"Kakak?"
Api dan Air memanggil bersamaan, sambil menatap Taufan dengan sorot mata bertanya-tanya. Heran karena sang kakak mendadak diam.
"Mm ... Yah ... Pokoknya, ini cerita tentang pahlawan super melawan alien jahat," Taufan berusaha menjelaskan se-simple mungkin.
"Berarti ... ada berantemnya?" tanya Api dengan mata berbinar. Anak ini memang selalu tertarik dengan genre laga.
"Tapi, kata Bunda ... anak kecil nggak boleh nonton yang ada berantem-berantemnya," ujar Air tiba-tiba.
Api tersentak kecewa. Namun, setelah itu, jelas terlihat bahwa ia setuju dengan kembarannya. "Kak Upan bandel, ih! Ngajakin nonton film berantem."
"Nanti dimarahin Bunda, lho!" tambah Air.
Taufan tertawa garing. Demi apa, dia baru saja dinasehati bocah-bocah umur enam tahun. Yah, tapi setidaknya Api dan Air sudah tidak menangis lagi. Dan sebenarnya malah bagus kalau mereka menolak ajakannya.
"Ya udah," kata Taufan kemudian. "Kalau gitu, sekarang kalian bobo'. Beneran, ini udah lewat jam tidur kalian."
Api dan Air terdiam, lalu saling pandang.
"Kenapa lagi?" Taufan bertanya waswas. Apa pun itu, jangan sampai mereka menangis lagi.
"Belum ngantuk," kata Air.
Haduh ... anak ini! Padahal biasanya selalu mengantuk. Bisa tidur kapan saja dan di mana saja. Tapi giliran waktunya tidur, malah betah melek.
"Kita nonton filmnya aja deh, Kak Upan," usul Api.
"Lah? Kirain kalian nggak mau nonton."
"Tapi Api mau nonton alien!"
"Air juga mau. Tapi jangan bilang-bilang Bunda."
Taufan menghela napas lelah. Tadi ngomong apa, sekarang minta apa. Dasar bocah!
"Iya deh, iyaa ..."
"Asyiiik ..."
Demikianlah, Taufan telah menggali kuburnya sendiri.
.
.
Bersambung ...
.
* Author's Note *
.
Halo~apa kabar, semuanya? Semoga sehat-sehat, yah~ ^_^
Kali ini lagi pengin coba bikin fanfic ringan. No powers, no action, no angst, no sedih-sedih ... ahahah ... Inilah dia, daily life elemental siblings. :"D
Awalnya, cuma iseng-iseng aja kepikiran ... di antara para pecahan BoBoiBoy, nama siapa aja yang bisa dipakai di kehidupan nyata?
Yang pertama terlintas, Taufan. Kayaknya lumayan sering tahu orang yang bernama Taufan (atau Topan). Berikutnya, Air. Pernah tahu seseorang dengan nama itu. Kalau Api, ada tetanggaku yang bernama itu, lho~! Dan terakhir, Cahaya. Kurasa nama ini lumayan populer di Indonesia, hehe ...
Nah! Jadilah, kubikin drama keluarga dengan keempat nama itu. Semoga menghibur.
Silakan krisarnya, berhubung saya baru pertama nulis cerita ringan begini. Ini maunya ada humor juga. Tapi entah jadinya lucu apa enggak (nggak bakat ngelawak~ T_T). Penasaran juga sih, kisah simple kayak gini apakah cukup menarik?
Gimana menurut kalian? :"D
.
Regards,
kurohimeNoir
30.09.2017
