Nas back with a new story!

Saya tidak menerima bash atau apapun itu jenisnya. Jadi buat yg tidak suka silahkan klik CLOSE segera.

Cerita ini milik saya. Nas cuma minjem cast doang.

ENJOY!


"Tempat yang sama. Di waktu yang sama. Semuanya masih sama. Masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah."

.

.

.

.

Seorang wanita cantik dengan rambut berwarna keemasaan melangkah keluar dari kendaraan roda empat yang ia tumpangi saat sebuah tangan halus milik seseorang yang sepertinya ia kenal menjabat tangannya lembut. Menuntun wanita cantik itu untuk keluar dari kendaraan modern itu dan menemaninya masuk kedalam sebuah tempat tinggal yang sudah lama ia huni sejak beberapa tahun yang lalu.

Wanita cantik itu tersenyum dan perlahan mulai melepas genggaman tangan orang itu dan mulai melangkah sendiri. Dan orang itu mengerti. Wanita itu memilih untuk diam saja saat dia tahu orang itu masih mengikuti dirinya di belakang. Orang itu mengawasi si wanita cantik ini. Mengawasi semua pergerakannya. Takut – takut, wanita cantik itu terjatuh atau tersandung dan merusak wajah sempurnanya. Padahal mereka ada di lingkungan rumah.

Wanita cantik itu masuk kedalam rumah tanpa mengucap salam. Mungkin memang terbiasa seperti itu. Wanita itu melepas sepatunya dan mendengar seseorang melangkah mendekati dirinya. Yang ia tahu itu pasti Bibi Jang. Pengurus dirinya sejak masih kecil. Wanita itu melepas tas yang berada dipundaknya dan memberikan tas itu kepada Bibi Jang. Wanita itu diam saja saat tangan – tangan halus milik Bibi Jang meraba dirinya – membantunya untuk melepas blazzer. Bibi Jang merangkul wanita cantik itu dan membantu wanita itu untuk duduk di sofa depan TV.

"Nona, mau teh?" Tanya Bibi Jang. Selalu begitu.

Wanita itu menggeleng sambil tersenyum. "Tidak Bibi Jang. Aku tidak ingin meminum apapun. Apa Eonnie sudah pulang?"

"Belum, Nona." Jawab Bibi Jang dan wanita itu hanya mengangguk tanda mengerti.

Dan setelah itu Bibi Jang mulai melangkah menjauh. Langkah kakinya terdengar jelas ditelinganya. Wanita cantik itu pun kembali sendiri.

.

.

.

.

Kamu ada disana. Kamu disana.

.

.

.

.

Seorang wanita sedang berada di taman belakang rumahnya sekarang. Ia berjalan sambil merentangkan kedua tangannya. Membiarkan angin mulai menerpa wajah dan rambutnya. Ia menghirup dalam – dalam aroma bunga – bunga yang ada disini. Dan indera pendengarnya mendengar irama dentingan piano dari dalam ruangan yang berada di ujung taman.

"Siapa yang bermain piano?" Tanya dirinya sendiri kepada angin. Berharap suara rumput – rumput yang bergoyang dan bersentuhan satu sama lain dapat menjawabnya.

Wanita itu melangkah mendekat ke arah sumber suara piano itu. Benar. Indra pendengarnya belum rusak. Bahkan sangat tajam. Ada seseorang yang sedang bermain piano disana. Tapi siapa? Kakak perempuannya belum pulang – begitu kata Bibi Jang. Kakak iparnya? Sepengetahuan dirinya, Kakak iparnya itu tidak bisa bermain piano. Lalu siapa?

Pintu ruangan terbuka dan langkah kaki mulai terdengar ditelinganya. Dia keluar. Si pemain piano itu keluar. Wanita itu memilih untuk diam saja ditempatnya. Wanita itu tidak tahu harus berbuat apa. Benar – benar tidak tahu.

"Apa kau adik dari Chen Hyung?" Dia laki – laki. Suaranya sangat berat namun halus.

Wanita itu mengangguk canggung. Siapa dia?

"Namaku Sehun."

Saat wanita itu sedang bingung dengan pikirannya sendiri tentang laki – laki yang menyapa dan memperkenalkan diri kepadanya ini, wanita itu mendengar sebuah desahan nafas disebelah dirinya. Iya. Ada orang lain selain wanita cantik dan laki – laki asing itu disini.

"Luhan, dia ingin berjabat tangan denganmu. Berikan tanganmu." Suara berat ini milik Kakak ipar wanita itu, Luhan. Ah... Kakak iparnya yang ada disini bersama Luhan dan laki – laki yang tidak Luhan kenal ini. Chen ; nama Kakak ipar Luhan, mengambil tangan bebas Luhan dan membiarkan tangan Luhan berjabatan dengan tangan laki –laki yang bicara tadi.

Tangan laki – laki itu halus. Sehalus suaranya. Luhan merasakan ada sebuah cincin di jemarinya. Aku yakin dia pasti memiliki keluarga dari golongan atas. – Pikir Luhan.

"Masuklah kedalam, Lu. Hari sudah gelap." Ucap Chen. Dan tak lama setelah itu Luhan merasakan ada seseorang disamping dirinya dan mulai menuntunnya untuk melangkah menjauh dari mereka.

Luhan diam saja saat ia dibawa untuk menjauh dari Sehun dan Chen. Setelah berada didalam rumah, Luhan melepaskan tangan milik seseorang yang berada di kedua pundaknya.

"Aku akan ke kamar." Ucap Luhan sambil tersenyum dan melanjutkan langkahnya.

Dan saat Luhan ingin melangkah masuk kedalam kamarnya, Luhan mendengar suara pelan milik Chen yang Luhan sendiri tidak tahu keberadaannya dimana.

"Maafkan Luhan karena tidak langsung menjabat tanganmu tadi. Ya. Dia buta."

Dan Luhan benar – benar sangat membenci dirinya sendiri karena mempunyai pendengaran yang tajam dan penglihatan yang rusak.

.

.

.

.

Luhan sedang duduk di bangku taman dengan Bibi Jang disampingnya. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kiri Bibi Jang. Dan tangan kiri Bibi Jang memegangi sebuah payung transparan yang menutupi tubuh mereka berdua. Ya, hari ini hujan dan Luhan memaksakan diri untuk duduk di bangku taman meskipun hujan.

Luhan ingin mendengar irama piano yang dimainkan dari ruangan ujung itu.

"Apa yang kau lakukan, Lu?" Suara manis milik Kakak perempuan Luhan masuk kedalam indera pendengarannya.

"Eonnie!" Ucap Luhan semangat. Luhan menepuk – nepuk celah kosong di sebelahnya – menyuruh Kakak perempuannya itu untuk duduk disebelahnya. Dan tak lama Luhan tahu Kakak perempuannya sudah duduk disana. Luhan tersenyum.

"Apa yang kau lakukan?" Ulangnya. Sekarang tangan kiri Luhan juga digenggam oleh seseorang. Dan Luhan yakin, tangan yang menggenggam tangan kirinya ini adalah tangan Kakak perempuannya. Memangnya siapa lagi?

"Mendengarkan seseorang bermain piano." Jawab Luhan ringan.

"Tapi sore ini sedang hujan. Kau bisa sakit."

"Tidak. Aku gadis yang kuat."

Luhan memainkan kedua kakiku di rumput – rumput yang basah akibat air hujan ini dengan senang. Dan menghentikannya saat ia mendengar pintu ruangan itu terbuka.

"Bibi! Eonnie! Ayo masuk!" Ucap Luhan tak sabar. Dia panik. Luhan berdiri dan menarik – narik tangan Bibi Jang dan Kakak perempuannya agar mereka juga berdiri dan menemani Luhan masuk kedalam.

"Kau suka bermain hujan ya?"

Namun telat. Luhan mendengar sebuah suara berat dan halus itu lagi tepat di depan wajahnya. Dan hal itu membuat wajah cantik Luhan merona parah.

"Luhan senang mendengarkan kau bermain piano, Hun." Ucap Kakak perempuan Luhan.

"Ah benarkah?" Tanya Sehun. Nada suaranya sangat ceria dan ramah. "Tapi hari ini hujan. Harusnya kau mendengarkan dari dalam saja. Aku takut kau sakit." Lanjut Sehun.

"Dari dalam tidak terdengar suara irama permainan pianomu." Ucap Luhan malu – malu. Luhan memainkan ujung rok-nya. Terlihat jelas wanita cantik itu gugup.

"Ayo masuk." Suara dingin milik Chen seperti sebuah bom yang merusak ladang bunga pada musim semi – menurut Luhan. Jujur, Luhan sebenarnya benar – benar tidak suka dan sangat takut jika Chen sudah berbicara dengan nada dingin seperti itu.

Luhan hanya bisa mengangguk dan membiarkan dirinya melangkah dengan Bibi Jang yang menuntunnya didepan. Di perjalanan masuk, Luhan tersenyum saat otaknya mengulang perkataan Sehun kepada dirinya tadi.

Tapi hari ini hujan. Harusnya kau mendengarkan dari dalam saja. Aku takut kau sakit.

Luhan punya satu orang lagi yang mengkhawatirkannya. Dan ia tidak tahu harus senang atau membenci kenyataan itu.

.

.

.

.

Luhan sedang duduk di sofa saat kaki – kakinya di bersihkan oleh Bibi Jang dengan air hangat. Kaki – kakinya memang sedikit kotor sehabis dari taman tadi. Sambil menikmati pijatan di kakinya, Luhan memainkan jemari lentiknya di paha mulusnya. Berandai – andai bahwa ia sedang bermain piano. Tubuhnya pun sengaja ia goyang – goyangkan seolah – olah ia benar – benar menikmati permainan pianonya.

"Kau tidak boleh terlalu dekat dengan Sehun, Lu." Suara manis merusak imajinasi Luhan sebagai seorang pianis terkenal. Dan bersamaan dengan itu, Bibi Jang sudah berehenti memijat kaki Luhan dan melangkah menjauh.

Luhan diam beberapa saat. Memikirkan apa yang baru saja ia dengar yang diucapkan oleh Kakak perempuannya ini.

"Memangnya kenapa?" Protes Luhan. "Sehun adalah satu – satunya laki – laki yang bersikap baik padaku saat ia tahu aku buta."

"Eonnie takut kau terluka, sayang."

"Demi Tuhan aku baik – baik saja, Minseok. Kau dan Chen sama menyebalkannya sekarang." Saat Luhan sudah tidak lagi memanggil kakak perempuanku dengan panggilan Eonnie dan memanggil suaminya dengan Oppa, percayalah bahwa Luhan sudah kesal. Luhan benci selalu saja di khawatirkan bahkan untuk hal – hal yang tidak perlu di khawatirkan.

Memangnya kenapa Sehun? Apa dia mafia? Pencandu narkoba? Kenapa Luhan harus menjaga jarak dengannya?

Minseok, Kakak perempuan Luhan, hanya mendesah panjang. Luhan tahu Minseok kecewa dengan jawabannya. Tapi Luhan berusaha tidak perduli.

Minseok mulai berdiri, Luhan tahu itu karena tempat disebelahnya mulai terasa kosong. Dan Minseok mulai melangkah meninggalkan Luhan sendirian disini. Luhan kembali memulai imajinasinya lagi sebagai seorang pianis sebelum pendengarannya lagi – lagi secara tak sengaja mendengar ucapan yang tidak seharusnya ia dengar.

"Jangan biarkan Luhan dekat dengan Sehun."

.

.

.

.

Aku menirukan senyumu dengan susah payah. Aku menirukan dirimu. Semua tentang dirimu.

.

.

.

.

Sudah terhitung satu bulan karena Luhan harus diam – diam bersembunyi dibalik pohon besar demi mendengar Sehun bermain piano. Sudah terhitung satu bulan karena Luhan harus memohon kepada Bibi Jang dan semua penjaganya agar mereka tidak melaporkan sikap Luhan kepada Minseok dan Chen. Luhan merasa nyaman – nyaman saja dengan semua ini. Karena yang Luhan akan melakukan apa saja asalkan ia bisa mendengar Sehun bermain piano.

Dan Luhan benar – benar mendesah lega karena hari ini Sehun tidak di awasi dengan Chen saat latihan bermain piano.

Jadi disinilah Luhan berada. Ada di dalam ruangan di ujung taman bersama Sehun dan duduk persis disebelahnya dengan jari – jari lentiknya berada diatas tuts –tuts piano.

"Aku kaget saat melihatmu dibalik pohon tadi. Kau seperti pencuri." Ucap Sehun. Luhan tidak tahu apa yang sedang Sehun lakukan sekarang.

"Aku takut ketahuan oleh kakak – kakakku." Ucap Luhan malu – malu.

"Kau sangat imut." Sehun mencubit pipi Luhan dengan tangan halusnya. Membuat Luhan harus mau tak mau menahan nafasnya sebentar.

"Kau bisa mati jika menahan nafasmu seperti itu. Bernafaslah." Ucap Sehun lembut.

Dan seperti sebuah robot yang diperintahkan, Luhan menghembuskan nafasnya dan mulai bernafas lagi meskipun agak sedikit susah. Luhan merasa oksigen diruangan ini sangat sedikit.

Secara tiba – tiba Sehun menggenggam tangan Luhan dan menyelipkan sesuatu di telinga kanan dan telinga kiri Luhan. Sebuah earphone. Luhan mengerutkan keningnya tanda tidak mengerti. Kenapa ia menaruh erphone di telingaku? – Pikir Luhan.

"Dengarkan baik – baik." Ucap Sehun dan sebuah lagu mulai terdengar di telinga Luhan.

Gieogi meomuldagan geu jalie

Son kkeut-e nam-aissneun ongiedo

Niga issda issda

Neoui hyang-gi neoui eolgul

Jebal nal bwa nal bwabwa nal bwabwa

Na ileohge neol neukkyeo neol neukkyeo neol neukkyeo

Aesseo jab-eun maltu aesseo jab-eun miso

Aesseo jab-eun neonde

Uri hamkke issdeon geu gong-gan-e

Naega neol dalm-agadeon geu sungan-e

Bis-sog-eul geunyang geol-eodo neomu joh-assdeon

Niga eobsda niga eobsda

Eotteohge na honjaseo neol jiugo sal-a

Hamkke geol-eogadeon geu sigan-e

Geuleohge mandeul-eogadeon

Chueogkkajido milyeonkkajido meomun jalie

Nan seo issda neomu geuliwo

Lagu itu berakhir dan air mata Luhan turun begitu saja. Luhan seperti merasakan sebagai pemeran utama dalam lagu itu. Luhan tersenyum. Menoleh ke arah Sehun dengan mata berairnya. Dan Sehun dengan senang hati menghapus lelehan air mata yang membasahi pipi Luhan.

"Itu lagu kita." Ucap Sehun dengan nada rendah. Tangannya masih menangkup kedua pipi Luhan. "Aku membuatnya untukmu." Lanjutnya.

Luhan terkesiap. Mulutnya terbuka setengah tanda bahwa wanita cantik benar – benar terkejut dengan ucapan Sehun tadi. Ia membuatkan Luhan sebuah lagu? Apa Luhan tidak salah dengar?

"Jadi mulai sekarang, jika kau sendiri dan kesepian, kau bisa mendengarkan suaraku dari lagu itu. Lalu berjanji setelah mendengarnya kau tidak boleh menangis seperti ini. Kau harus tersenyum. Seperti aku yang selalu tersenyum kapanpun dan dimanapun seperti orang idiot. Kau mengerti?"

Dengan gerakan cepat Luhan memeluk Sehun dan membiarkan tetesan air matanya membasahi dada bidang milik Sehun. Luhan sedikit terisak dipelukan Sehun. Sungguh! Luhan tidak tahu perasaan macam apa yang melanda dirinya sekarang. Rasa senang, sedih, takut semuanya menjadi satu. Luhan tidak tahu bagaimana cara menggambarkan perasaannya untuk Sehun ini dengan kata – kata. Luhan benar – benar tidak tahu.

"Jangan menangis, Lu. Kau harus tersenyum." Ucap Sehun sambil mengelus kepala Luhan pelan.

Perlahan Luhan melepaskan pelukannya dan menghapus air mata yang mengalir di pipinya. Luhan sedikit mendongak dan mulai tersenyum.

"Aku akan selalu tersenyum kapanpun dan dimanapun seperti orang idiot." Ucap Luhan sambil tersenyum dan Sehun tertawa ringan sambil mengacak – acak rambut emasnya.

Dan mulai saat itu Luhan berjanji pada dirinya sendiri akan membuat Sehun selalu tertawa karena dirinya. Karena suara Sehun tertawa adalah sebuah narkoba bagi Luhan.

.

.

.

.

Hari ini Chen dan Miseok tidak ada dirumah. Mereka bilang, mereka akan pergi selama satu minggu kedepan. Luhan tidak tahu kemana kakak – kakaknya itu akan pergi, tapi Luhan senang akan hal itu. Itu artinya ia akan bebas dirumahnya.

Luhan sedikit berteriak memanggil Bibi Jang untuk datang ke kamarnya dengan sebuah ponsel yang sengaja Chen beli untuk jaga – jaga dirumah. "Bibi Jang cepatlah!" Ucapnya ceria. Ia benar – benar tidak sabar untuk menelfon seseorang.

"Nona ingin menelfon Tuan?" Tanya Bibi Jang saat ia sudah berada di dalam kamar Luhan dan duduk di sebelahnya sambil memegang ponsel itu.

Luhan menggeleng sambil tersenyum. Mata indahnya memancarkan semangat yang ada dalam dirinya itu.

"Telfonkan Sehun untukku, Bi." Luhan meraba – raba daerah sekitarnya mencari tangan Bibi Jang untuk ia genggam.

"Tapi Nona –"

Luhan hanya tersenyum saat Bibi Jang akhirnya menggenggam tangannya. Dan dengan terpaksa, Bibi Jang menelfon Sehun dan meminta laki – laki itu datang kerumah.

.

.

.

.

Luhan berteriak senang saat tangan besar milik Sehun merangkul pinggang langsingnya dan melindungi diri Luhan di belakang tubuhnya agar tidak terkena siraman air. Luhan juga mengikuti pergerakan Sehun ke kanan dan ke kiri agar tubuhnya tidak tambah basah karena terkena siraman air dari selang yang di pegang Chanyeol, teman Sehun yang dengan sengaja di arahkan ke mereka.

Iya, setelah mendapatkan telefon tadi, Sehun langsung meluncur kerumah Luhan dengan temannya Chanyeol. Dan sekarang mereka bertiga sedang melakukan perang air di taman belakang. Baju mereka bertiga sudah basah semua. Tapi sepertinya mereka belum ingin berhenti. Chanyeol yang terus saja menyemprotkan air ke arah Sehun dan Luhan adalah bukti bahwa mereka belum ingin mengakhiri permainan mereka.

Luhan tertawa keras saat ia jatuh karena genggaman tangannya di pinggang ramping Sehun terlepas. Dan itu membuat Chanyeol dengan puas menyirami Sehun dan Luhan karena tidak bisa menghindar. Luhan tidak merasakan sakit saat kaki – kaki telanjangnya harus menginjak batu – batu kecil yang biasanya membuat ia meringis. Kali ini Luhan malah memilih mengambil batu – batu kecil itu dan melempar asal ke arah Chanyeol. Walaupun tidak pernah kena sasarannya, tapi Chanyeol akan selalu berteriak dan meringis kesakitan. Seolah – olah dirinya memang terkena lemparan batu Luhan.

Permainan mereka terhenti saat Sehun merosot jatuh begitu saja di hadapan Luhan. Genggaman tangan mereka sangat erat sampai – sampai Luhan juga jadi ikut – ikutan untuk berjongkok. Luhan meraba sekitarnya untuk menemukan wajah Sehun.

"Hah.. Hah.. Aku tidak punya nafas lagi.. Hahahaha." Sehun berucap dengan susah payah dan diakhiri dengan tawa. Nafasnya sangat pendek. Ia mengambil tangan Luhan yang masih meraba – raba dirinya dan membawa tangan Luhan ke wajahnya.

"Sehun-ah! Kau baik – baik saja?!" Chanyeol berteriak kencang dan melepas selangnya lalu berlari ke arah Sehun dan Luhan dengan terburu – buru.

Suara Chanyeol sangat panik dan penuh dengan kekhawatiran. Persis dengan suara Chen saat tahu Luhan dalam keadaan sakit. Dan gara – gara mendengar suara Chanyeol itu, Luhan jadi ikut – ikutan panik.

"Sehun ada apa?! Ada apa?!" Tanya Luhan dengan nada paniknya. Disebelahnya sudah ada Chanyeol yang sedang membantu Sehun untuk duduk dan membiarkan Sehun bersandar pada dirinya.

"Aku tidak apa – apa. Aku baik – baik saja, Lu." Ucap Sehun sambil mengelus wajah Luhan dengan ibu jarinya.

Suara Sehun terdengar jauh lebih berat di telinga Luhan. Suara Sehun yang Luhan dengar kali ini bukan suara ceria atau suara ramah yang selalu Sehun lontarkan. Tapi suara seperti menahan sakit. Desah nafas Sehun juga sangat terdengar jelas. Nafas Sehun sangat pendek. Sehun bernafas seperti tidak ada oksigen di sekitarnya. Mirip seperti apa yang Luhan rasakan saat pertama sekali Luhan duduk di sebelah Sehun. Seperti tidak ada oksigen. Dan desah nafas Sehun juga tidak beraturan.

Sehun memberi aba – aba kepada penjaga Luhan agar membawa Luhan untuk menjauh darinya. Dengan sangat susah payah Sehun tersenyum dan melepas genggaman tangan Luhan. "Bersihkan dirimu, Lu. Aku dan Chanyeol juga akan membersihkan diri. Kita akan makan malam bersama. Oke?" Ucap Sehun dan mulai menyuruh para penjaga membawa Luhan masuk.

Luhan sedikit berontak saat tubuhnya dibawa paksa oleh pejaganya. Luhan berteriak meminta lepas bahkan sampai menangis karenanya. Luhan khawatir dengan keadaan Sehun. Tapi ia dipaksa masuk dan membiarkan Sehun diluar. Apa mereka gila? Namun saat ia mendengar Sehun berteriak kepadanya, Luhan akhirnya membiarkan dirinya dibawa masuk oleh para penjaganya.

"Luhan tersenyum! Aku baik – baik saja." Teriak Sehun susah payah dan setelahnya laki – laku itu pun tidak sadarkan diri di pangkuan Chanyeol.

.

.

.

.

"APA KAU GILA?!"

Luhan hanya bisa menangis dalam diam saat ia mendengar teriakan milik Chen dari dalam kamarnya. Padahal baru 3 hari Chen dan Minseok pergi, tapi mereka sudah harus buru – buru pulang demi memarahi Sehun.

Tidak bukan, bukan demi memarahi Sehun sebenarnya. Tapi karena Chen dan Minseok mendapatkan kabar bahwa adik cantiknya itu jatuh sakit karena bermain air seharian dengan Sehun. Karena itulah Chen dan Minseok harus pulang dengan buru – buru. Mereka terlalu khawatir dengan keadaan Luhan.

Ya. Sehun dengan terpaksa harus menelfon Chen semalam karena demam tinggi Luhan yang tak kunjung turun. Dan disinilah mereka. Tepat di depan kamar Luhan setelah Chen berhasil menarik paksa Sehun keluar dan mendengar penjelasan Sehun.

"Maafkan aku Hyung." Ucap Sehun dengan nada menyesalnya. Sehun memutar balikkan cerita kepada Chen. Ia tidak bilang bahwa Luhan-lah yang meminta dirinya datang kerumah. Tapi inisiatif dirinyalah yang membawa ia, Chanyeol dan Luhan dalam bahaya.

Sehun tidak ingin mendengar Luhan dimarahi oleh Chen ataupun Minseok. Tidak, sungguh ia tidak ingin. Jadi itulah yang membuat dirinya nekat berbohong kepada Chen. Biar saja dirinya yang dimaki dan dimarahi habis – habisan oleh Chen. Tak apa. Asalkan bukan Luhan. Luhan tidak boleh mendengar perkataan kasar dari mulut siapapun. Dan Sehun akan membunuh siapapun itu orang yang berkata kasar kepada Luhan.

Chen hanya bisa mendesah kecewa. Berkali – kali ia menetralkan emosinya yang mudah sekali tersulut jika menyangkut masalah Luhan. Chen mati – matian menahan amarahnya kepada sosok laki – laki yang Chen sangat tahu bahwa laki – laki ini menyukai adik iparnya. Dengan gerakan pelan, Chen berjalan menuju kamarnya.

"Ikut aku Sehun." Ucap Chen dengan sangat pelan. Berharap bahwa Luhan tidak mendengar ucapannya. Dan Chen merutuk dirinya setengah mati karena berteriak kepada Sehun tepat di depan kamar Luhan.

"Luhan jangan menangis. Aku baik – baik saja. Kau harus tersenyum." Ucap Sehun dengan suara sedikit keras berharap Luhan dapat mendengarnya dari dalam kamarnya. Lalu mulai mengikuti arah Chen pergi tepat di belakangnya.

.

.

.

.

Luhan masih menangis terisak saat Minseok masuk kedalam kamarnya tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Di tangannya, Minseok membawakan bubur dan obat – obatan untuk menurunkan demam Luhan. Minseok duduk disebelah Luhan dan mengelus rambut emas Luhan.

Namun tangan milik Luhan menepis kasar saat ia merasa sebuah tangan mengelus rambutnya.

"Sungguh aku tidak mengerti dengan kalian! Apa salahnya Sehun dan aku sampai kami tidak boleh bersama?!" Ucap Luhan sambil terisak. Matanya sudah merah dan sembab karena menangis.

"Kami tidak melarangmu untuk bersama, Lu. Hanya saja jangan terlalu dekat." Ucap Minseok pelan.

"Apa bedanya?!" Teriak Luhan. "Aku tidak mengerti dengan jalan pikiran kalian berdua! Bagaimana bisa kalian menjauhi aku dengan Sehun?! Sehun itu laki – laki yang baik!"

Luhan masih saja menangis dan meraung tidak jelas tentang Sehun dan ketidaksukaanya tentang keputusan Chen dan Minseok. Luhan benar – benar sedang marah. Ia benar – benar tidak mengerti kenapa. Apa salah dirinya atau salah kedua orang tuanya dimasa lalu sampai – sampai ia selalu saja mendapatkan hari – hari yang sulit untuk dijalani. Kurang puaskah Tuhan menghukumnya dengan mengambil penglihatannya? Dan sekarang Tuhan ingin mengambil kebahagiaannya dengan Sehun? Apa Tuhan itu begitu egois?

.

.

.

.

Sehun hanya bisa menunduk dihadapan Chen saat laki – laki yang lebih tua 3 tahun darinya itu mengambil nafas berat dan mendesah kecewa. Sehun hanya bisa diam. Tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Sehun takut ia salah lagi kalau bertindak. Jadilah, Sehun hanya diam saja sekarang.

"Kau baik – baik saja?" Suara bass milik Chen mengisi kekosongan diantara mereka berdua. "Aku dengar kau pingsan saat itu."

Sehun mengangguk. "Aku baik – baik saja, Hyung. Maaf membuatmu mengkhawatirkan kami."

Lagi – lagi hening. Chen memijat pelipisnya pelan. Ia tidak tahu harus bagaimana. Terlalu pusing memikirkan semua yang terjadi pada dirinya dan keluarganya.

"Kau sudah periksa ke rumah sakit?" Tanya Chen lagi. Pertanyaan Chen kali ini membuat Sehun mendongak menghadap Chen. Dan dari penglihatan Sehun, Chen sedang dalam kekhawatiran yang sangat besar.

Sehun mengangguk sebagai jawabannya dan kembali menunduk.

"Apa kata Dokter Wu?"

"Jawabannya selalu sama, Hyung. Aku sudah tidak punya banyak waktu."

"Dan kau masih mengabaikan obat – obatanmu? Mengabaikan terapi? Dan hanya menghabiskan waktu dengan bermain – main?"

"Aku belum pernah merasakan sehidup ini, Hyung. Tanpa obat – obatan. Tanpa terapi. Tapi aku merasa sangat hidup sekarang."

.

.

.

.

Bagaimana caranya aku hidup sendiri dan menghapus tentang dirimu? Sedangkan semua memori tentang kita masih berada disana. Aku merindukan itu semua.

.

.

.

.

Sudah tiga hari Luhan hanya diam tidak melakukan apapun. Tidak mau makan. Tidak ingin apapun. Ia bahkan tidak mengucapkan sepatah katapun. Luhan hanya sesekali keluar untuk mengunjungi ruangan yang selalu menjadi tempat Sehun bermain piano. Dan diam didalam ruangan itu seharian. Lalu menangis. Ia merindukan Sehun. Merindukan suara laki – laki itu. Merindukan dentingan irama piano yang dimainkan Sehun. Ia merindukan semua tentang Sehun.

Sejak Chen dan Minseok pulang, Sehun memang belum datang lagi kerumah. Padahal setahu dan seingat Luhan, Sehun akan selalu datang dan bermain piano dirumahnya. Selama Chen ada dirumah, Sehun pasti datang. Tapi tidak dengan tiga hari belakangan ini. Dan hal itu membuat Luhan mengkhawatirkan keadaan laki – laki itu sekaligus merindukannya.

Luhan sudah ribuan kali bertanya pada Chen ataupun Minseok bahkan kepada Bibi Jang dan seluruh penjaga rumahnya tetang keadaan dan keberadaan Sehun. Tapi semuanya seperti sedang tutup mulut. Tidak ada satu orang pun yang tahu tentang Sehun. Dan itu membuat Luhan sangat putus asa.

Luhan sedang memutar lagu yang dibuatkan Sehun untuknya didalam ruangan yang selalu Sehun gunakan untuk bermain piano sendirian. Air mata mengalir di pipinya. Tapi ia tersenyum. Luhan ingat janjinya pada Sehun. Ia akan tersenyum kapanpun dan dimanapun seperti orang idiot. Itulah alasan Luhan tersenyum sekarang meskipun ia sedang tidak ingin untuk tersenyum.

Bagaimana caranya ia tersenyum saat ia tidak tahu tentang keadaan dan keberadaan orang yang selalu membuatnya tersenyum?

Uri hamkke issdeon geu gong-gan-e

Naega neol dalm-agadeon geu sungan-e

Bis-sog-eul geunyang geol-eodo neomu joh-assdeon

Niga eobsda niga eobsda

Eotteohge na honjaseo neol jiugo sal-a

Hamkke geol-eogadeon geu sigan-e

Geuleohge mandeul-eogadeon

Chueogkkajido milyeonkkajido meomun jalie

Nan seo issda neomu geuliwo

Saat dipertengahan lagu diputar, Luhan mendengar samar – samar suara dari dalam rumahnya yang berteriak – teriak.

"Minseok! Sehun kritis sekarang! Jantungnya tidak berdenyut! Cepat!"

Entah sudah keberapa kali Luhan membenci keputusan Tuhan yang membuat indera pendengarnya sangat tajam.

"Mengapa sangat sulit untuk menirumu yang selalu tersenyum setiap hari, Sehun-ah? Apa ini yang selalu kau rasakan saat kau sakit dan tetap harus tersenyum? Sehun-ah. Aku tidak bisa tersenyum."

.

.

.

.

Detik berganti menit. Menit berganti jam. Siang berganti malam. Malam berganti siang. Dunia masih tanpa lelah berotasi sesuai porosnya untuk menghidupi para manusia. Matahari masih senang menyinari bumi. Bulan dan bintang pun masih setia untuk meriasi langit malam. Semuanya masih setia dengan kewajibannya masing – masing.

Sama seperti Luhan yang masih setia menunggu seorang laki – laki dengan suara berat nan halus datang dan memainkan piano untuknya.

Sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, sebulan, dua bulan, setahun, dua tahun atau berapa lamapun itu waktu yang dibutuhkan Luhan untuk menunggu akan Luhan lewati. Asalkan ia bisa mendengar suara berat milik laki – laki itu sekali lagi. Sehari saja. Sungguh sehari saja. Luhan hanya butuh satu hari saja untuk mengungkapkan semuanya kepada laki – laki itu.

Luhan hanya butuh sehari saja. Sungguh! Tidak bisakah ia bertemu dengan laki – laki itu untuk yang terakhir kalinya sehari saja. Tidak bisakah Tuhan memberikan mukjizatnya untuk bisa melihat dan bertemu dengan laki – laki itu sehari saja. Hanya sehari. Sungguh. Hanya sehari.

Luhan tidak perduli bahwa matanya harus bengkak dan sembab karena menangis seharian di depan piano hanya demi menunggu laki – laki itu. Luhan tidak perduli bahwa ia akan jatuh sakit karena selalu menolak makanannya hanya untuk menunggu laki – laki itu. Sungguh Luhan tidak perduli. Luhan tidak perduli dengan dirinya. Dia hanya butuh laki – laki itu. Hanya laki – laki itu.

Bagaimana caranya ia hidup saat pusat kehidupannya sudah hancur? Bagaimana caranya ia tersenyum saat seseorang yang selalu membuatnya tersenyum telah pergi dan tak mungkin kembali? Bagaimana caranya ia bisa melanjutkan hidupnya hanya dengan semua memori yang tercetak di dalam otakknya? Bagaimana caranya ia tersenyum saat ia merindukan semua hal tentang laki – laki itu?

Hari ini masih sama dengan hari – hari sebelumnya. Luhan masih saja menunggu laki – laki itu untuk datang. Sebuah lagu yang dibuat laki – laki itu untuknya terdengar jelas seisi ruangan. Air mata Luhan selalu saja lolos untuk membasahi pipinya. Tapi Luhan masih ingin menunggu.

Terkadang Luhan berteriak, meraung dan kembali diam lalu tersenyum entah karena apa. Luhan sudah seperti orang yang kehilangan jiwanya. Itu membuat Chen dan Minseok sama – sama khawatir. Tapi apa yang bisa mereka lakukan? Luhan bahkan tidak mau berbicara dengan mereka.

Luhan selalu menggenggam sebuah surat dengan tulisan braille di tangan kanannya. Menggenggam surat itu dengan sangat erat. Kadang ia akan melempar surat itu ke sembarang arah. Dan setelah melemparnya, ia akan kembali mencarinya. Bibi Jang yang selalu berada bersama akan secara diam – diam mendekatkan surat itu ke sekitar Luhan agar wanita cantik itu bisa mendapatkan surat itu kembali.

"Sehun-ah. Bagaimana caranya aku tersenyum? Aku mohon, Sehun-ah.. Aku mohon.. Hiks."

.

.

.

.

Untuk seorang malaikat tanpa sayapku,

Kim Luhan.

Hallo Luhan! Saat kau mendapatkan surat ini, itu artinya hanya ada satu dari sekian banyak kemungkinan. Aku telah tiada. Aku tidak pergi, Lu. Jadi jangan menangis. Meskipun ragaku tak bersamamu, tapi hatiku untukmu. Berjanjilah untuk tidak menangis. Kau paham?

Aku ingat betul saat pertama kali aku melihatmu. Kau bagaikan seorang malaikat yang jatuh dari jembatan pelangi siang itu. Sangat cantik. Dengan angin yang menerpa wajahmu kau terlihat sangat sempurna. Sangat sempurna, aku garis bawahi itu.

Kita belum berkenalan secara resmi bukan? Aku akan memperkenalkan diriku terlebih dahulu. Setelah itu kau yang harus memperkenalkan dirimu padaku, pada dunia. Oke?

Hallo! Namaku Sehun. Lee Sehun. Sepupu dari Kim Chen yang mengidap penyakit gagal jantung selama hidupnya. Aku disini karena aku mendengar bahwa Chen Hyung mempunyai seorang adik ipar yang sangat cantik dan aku penasaran karenanya. Jadi aku memohon kepada kedua orang tuaku agar aku diperbolehkan datang kerumah Chen Hyung setiap hari dengan alasan untuk belajar bermain piano.

Nah sekarang giliranmu!

Ah... jadi kau yang bernama Luhan itu? Seperti dugaanku. Kau sangat cantik!

Senang berkenalan denganmu, Luhannie~~

Luhan.. Maaf karena aku selalu membuatmu menangis dan mengkhawatirkanku. Maafkan aku. Mulai sekarang berhentilah menangis dan tersenyumlah. Kau berjanji padaku akan selalu tersenyum kapan pun dan dimanpun seperti orang idiot! Luhan, jangan takut. Jangan menangis. Karena aku bersamamu. Ingat itu.

Kau tahu? Aku sudah sangat muak saat Dokter pribadiku, Dokter Wu, selalu saja mengatakan bahwa aku sudah tidak mempunyai waktu yang lama. Aku benar – benar membenci perkataannya. Ia seolah – olah menyerah untuk membantuku sembuh. Hahahaha aku bercanda. Aku tidak dapat sembuh. Itu adalah kuasa Tuhan, Lu. Karena aku masih bisa bernafas saat aku mengenalmu.

Aku mulai mengabaikan obat – obatku. Aku mulai enggan untuk terapi. Untuk apa aku mengkonsumsi obat – obatan itu dan melakukan terapi jika pada akhirnya aku tahu aku akan mati juga?

Tapi saat aku bertemu denganmu, aku benar – benar berharap aku bisa hidup lebih lama.

Saat aku mengenalmu, aku merasakan untuk pertama sekalinya rasa ingin hidup yang menggebu. Kau membuatku hidup, Luhan. Senyummu, cara bicaramu, tawamu, semua tentang dirimu adalah penyemangat hidupku. Aku selalu berdoa setiap malam agar aku masih bisa membuka mataku dan dapat melihat wajah cantikmu keesokan hari.

Tapi ternyata disinilah batas akhir aku bisa melihat wajahmu, mendengar tawamu dan mengaggumi kesempurnaan dirimu.

Lu, ayo kita bertemu lagi di lain tempat dan lain waktu! Kita harus bertemu lagi, Lu! Kita harus bertemu lagi tanpa ada kesakitan dan kesusahan seperti sekarang. Kita harus bertemu lagi dalam keadaan bahagia. Kau mau berjanji padaku untuk menunggu waktu itu datang kan, Lu?

Lu, maaf karena aku tidak bisa mengucapkannya secara langsung. Aku takut kau terluka saat aku mengatakannya karena aku tahu, aku akan meninggalkan dunia ini.

Kim Luhan... Aku mencintaimu.

.

.

.

.

END


Nas's Note

HAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHAHA PUBLISHNYA ANGST GAGAL LAGI CUMA GANTI PAIRING DOANG HAHAHAHAHAHAHAHAH

maaf :(

Gamau banyak cuap cuap. Review yah. Buat yg nunggu sequel TRISTE lagi proses yaah :)

Bye! :)