Vocaloid © Crypton, Yamaha, dll (yang jelas mukan milik saya).
Warning: Typo, OOC, incest, bahasa amburadul, monoton, dll.
Pair: Miku x Mikuo
M-preg.
Sebenci-bencinya pada fanfict yang saya buat, tolong jangan bashing chara yang ada di dalamnya.
Don't like, don't read.
Happy reading~
Aku tidak tau harus berkata apa lagi. Saliva itu saling bertukar satu sama lain, dengan lidah sebagai perantara. Aku bisa merasakan rasa dari saliva tersebut, membuatku meneguk dalam-dalam ke kerongkongan.
Di sisi lain, dapat kurasakan hal aneh di dalam perutku, bagaikan ada sekumpulan kupu-kupu berterbangan—yang membuat wajahku memanas.
Jadi, seperti inikah rasanya? Saling mengklaim untuk memuaskan nafsu yang menggebu-gebu.
Kutulis kalimat-kalimat kenyataan itu ke lembar kertas yang memuat cerita. Sebagai penulis cerita, cukup sulit untuk menghadapi tantangannya. Harus tau bagaimana perasaan-perasaan yang dialami sang tokoh.
Itulah yang kini kuhadapi. Harus kurelakan mataku ini melihat pemandangan kotor di depan, dan juga telingaku untuk mendengar suara-suara yang membuat badan memanas.
—Lebih tepatnya, kini aku sedang mengintip.
Hey, bukannya aku nakal atau apa. Tapi ini demi ceritaku, demi para pembaca yang menginginkannya. Kalau saja, kisah cintaku lebih berpengalaman, aku tak sudi melakukan hal seperti ini.
Dua pasangan berbeda gender itu mulai bertindak lebih jauh. Ah, ini cukup berbahaya. Kusiapkan kamera video yang kini kugenggam, bersiap untuk merekamnya sebelum—
"Jangan merekamnya, Miku."
—lelaki itu menyadarinya.
Rona merah yang berawal dari pipiku menyebar ke seluruh wajah. Dengan hati yang masih berdebar cepat, aku berusaha untuk keluar dari tempat persembunyianku, lalu lari sekencangnya.
Namun sayang, gagal total. Aku tersandung oleh kakiku sendiri, menyebabkan bunyi gedebug keras.
Pintu berdecit membuka, menampilkan sesosok lelaki tinggi dengan rambut yang berantakan dan baju yang hampir terbuka.
Mati aku.
"O.. Onii-chan..."
"Sudah kubilang keberapa kali, Miku? Jangan mengintip ketika orang sedang kasmaran!"
"Ta-tapi, ini demi ceritaku..." Bola mataku membesar sempurna dengan aura yang meminta pengampunan dan bantuan.
"Tapi bukan seperti itu caranya. Main Otome Game, salah satunya."
"Hey! Aku sudah melakukannya, dan masih belum cukup merasakan—" belum selesai aku menyelesaikan perkataan, pintu terbanting keras dengan sengaja, "—nya. Geezzz, Onii-chan hidoi!"
Aku benar-benar kesal dengannya, bagaimana bisa ia mengabaikan adiknya yang sedang butuh bantuannya saat ini? Dan apalagi, ceritanya baru menggantung sampai sini.
Salahkan para reader yang meminta ratingnya dinaikkan. Padahal aku masih newbie dalam hal percintaan. Ahh, benar juga. Salahkan aku juga yang berawal iseng mempublish cerita cinta ini dan berakhir dengan review yang cukup banyak.
Di dalam kamar, aku mulai mencoret-coret kertas yang setengah penuh akibat isi-isi karangan. Menggunakan imajinasiku, aku mulai melanjutkan cerita yang sempat terhenti.
"Ia mulai beralih ke leherku lalu dadaku. Menciptakan suara-suara aneh dengan lidahnya." Aku berhenti bergumam, mencoba mengingat-ingat kejadian barusan. "Apa yang selanjutnya Onii-chan lakukan ya?"
Suara pintu tertutup membuatku teralihkan. Sepertinya perempuan itu sudah pergi. Aku mengintip dari anak tangga, dan benar, perempuan itu pergi.
"Sepertinya, kebiasaan mengintipmu harus dihilangkan. Ya, Miku?"
Aku mengerucutkan bibirku. "Kebiasaan Onii-chan berganti-ganti pasangan juga harus dihilangkan!" Aku sedikit bergumam untuk mengatakan hal selanjutnya. "Mentang-mentang Ayah dan Ibu pergi honeymoon tiga bulan, Onii-chan bebas bawa masuk perempuan."
"Hey, itu masih mending karena aku masih tahap pubertas sempurna. Daripada kamu, pe-ngin-tip."
Julukan buatannya membuat semua wajahku memerah karena amarah. "Tapi itu tetap saja tidak baik! Kau-kau-kau.. uh." Aku bingung harus mengatakan apa lagi. Akibat api amarah ini, membuatku tidak bisa berpikir secara rasional.
Ah, bodoh amat. Dengan cepat kubalikkan badanku, menaiki tangga dengan terhentak. Bisa kulihat dari balik ujung mataku kalau ia tersenyum senang. Dasar, Onii-chan no baka.
Kuambil kertas berisikan imajinasiku itu yang tergeletak di atas kasur. "Mmm... Apalagi ya? Begini? Atau begitu?" Di dalam diriku, antara pikiran dan hati saling beradu. Apa ini yang sering orang katakan dengan konflik batin ya?
"Hahhh." Helaan nafasku sama sekali tidak mengubah atmosfir di sekeliling. Entah protesan apa lagi jika aku tidak mempubliskasikan cerita. Apa harus kuganti dengan cerita lain? Tidak, itu mencerminkan bahwa aku tidak bertanggung jawab. Atau kuturunkan ratingnya? Itu malah membuat reader kecewa. Oh ayolah, siapapun bantu aku.
Sekian lama berkonflik batin, tiba-tiba bola lampu imajiner muncul dari atas kepalaku. Resikonya berat memang, karena aku harus menanggung rasa malu. Tapi, hey, bukankah kakakku punya banyak pengalaman dalam hal cinta? Kenapa tidak terpikirkan olehku untuk bertanya padanya?
Dengan segenap keberanian yang terkumpul, kuberanikan diri untuk memutar kenop pintu yang bertandakan 'Mikuo' ini. Ada setetes atau dua tetes keringat yang mengalir dari pelipisku. Lengkap dengan alat-alat tulis berserta kumpulan kertas.
"Onii-chan... aku masuk ya."
Bola mataku melebar dengan pupil yang mengecil. Demi apa tubuh kakakku sudah berubah seperti itu?! Dada bidang dengan otot-otot perut yang tidak terlalu menonjol. Inikah yang mereka sebut dengan sixpack?! Hal yang hanya dapat kulihat di balik layar komputer atau gadget.
Seingatku dulu waktu kecil, tubuh Onii-chan hanya bertampilkan kurus dan flat sekali. Dan sekarang.. wow.
"Kenapa kau melamun terus? Suka dengan apa yang kau lihat?"
Tersadar, aku reflek beralasan. "Tidak!" Aku tau, apa yang kukatakan tadi tidak sesuai dengan ekspresi wajahku.
"Kalau begitu, untuk apa kau ke sini?"
"Ini." Aku menunjukkan lembaran-lembaran kertas yang sedari tadi kubawa. "Bantu aku."
"Cih, untuk apa membantumu?"
"Ayolaahh, Onii-chaann. Pleasseee..." Entah dia jijik atau tidak melihatku dengan pandangan puppy eyes. Yang penting ia harus membantuku.
Ia terlihat menimang permintaanku. "Baiklah."
"Wah." Ekspresiku berubah menjadi gembira mendengarnya.
"Tapi ada satu syarat," ekspresiku berubah lagi menjadi gelap. "Kau yang akan memasak dan membeli bahan-bahan makanan sampai ibu dan ayah pulang."
"Iyaaa..." Aku menyetujui lemas karena tidak terima. Tetapi, karena ceritaku aku harus menyetujuinya!
"Oke, mana ceritamu? Biar kubaca terlebih dahulu." Aku menyerahkan berlembar kertas ke tangannya. Ia membacanya dengan sangat teliti dan mengahayati. Bahkan tak ada suara apapun yang keluar dari bibirnya, hanya ada suara gesekan kertas yang silih berganti.
"Miku." Suara panggilan membuatku tersentak dan menoleh ke arahnya. "Ceritamu sudah sangat bagus. Jadi, apa yang ingin kubantu?"
"Lanjutan ceritanya. Setelah itu, Onii-chan akan melakukan apa lagi?"
"Cukup malu untuk mengatakannya. Selanjutnya, aku pasti sudah menjilat dan memainkan area yang menonjol itu."
"Ohhh.. hmmm. Tapi, aku masih belum bisa mendapat feelnya"
"Banyangkan saja kau melakukannya dengan lelaki."
"Tetap tidak dapat." Aku masih mengerutkan dahi dan memejamkan mata untuk berimajinasi.
"Kalau begitu, harus dipraktekkan."
"Hah? Dengan siapa?"
Tanpa diduga, ia menerjangku—menjatuhkanku ke atas kasur. "Onii-chan, apa yang kau lakukan?"
"Kau masih mau melanjutkan ceritanya, bukan?" Tanyanya. Aku mengangguk menyetujui. "Jika seperti itu, bagaimana kalau kita mempraktekkannya agar kau dapat feelnya?"
"Tapi—" belum selesai aku melanjutkan protesan, bibir Mikuo sudah menempel ke bibirku.
"Ah, Mikuo—" lidahnya tanpa ijin masuk ke dalam, merasakan dan mengabsen satu-persatu baris gigiku—mengklaim bahwa itu adalah kawasan wilayahnya.
Ahh, jadi seperti inilah rasanya ketika ada lawan jenis berciuman denganmu. Hawa yang terasa panas seolah ingin melepas pakaianmu sekarang juga. Saliva yang menetes akibat tidak cukup untuk ditampung.
Mikuo mulai beranjak ke posisi lain. Ia mulai menjilat bagian leherku. "Ahn!" Ia mulai bermain-main dengan bagian leher dan cuping telingaku menggunakan lidahnya.
Aku yang merasa tak nyaman, tanpa sengaja menyentuh bagian perutnya hampir mendekati bagian terlarangnya.
"Wah~ kau sedikit nakal ya, Miku."
"Ughh... Hen-tikan!"
Sepertinya bentakanku sama sekali tidak mempan padanya, karena terlihat ia masih memainkan cuping telingaku. Bahkan, tangannya yang bebas mulai membuka baju bebas yang kukenakan.
Dalam satu tarikan saja, ia dapat mengangkat kain hingga sebatas atas dadaku—memperlihatkan bra putih yang hanya menutupi bagian dada.
"Hmmm... Dadamu masih dalam tahap pertumbuhan ya?" Ia mengelus-elus kulit perutku yang tidak tertutupi sehelai benangpun, membuatku terkikik geli. Kulit badannya yang menyentuh bagian daerah tak tertutupi kain, membuat sensasi aneh di dalam diri terdalamku.
"Kau tahu?" Aku tidak tau mengapa, suaranya kali ini terdengar seksi di alat indraku. "Dadamu bisa bertambah besar bila disentuh oleh lelaki."
"Ah!"
"Sshhh, tenanglah." Bagaimana bisa aku tenang bila ia sedang meremas bagian atasku yang ternyata cukup ditangannya itu. Oh, tidak. Ini tidak boleh terjadi. Akan ada hubungan incest disini!
"Mikuo... Nghh.. cu-kup. Ber-henti."
"Katakan namaku lagi, Miku."
Tidak. Ini hubungan sedarah, ini tidak boleh terjadi. Tapi aku tidak bisa menghentikannya, tubuh ini menghianatiku. Tubuh ini ingin lebih dalam disentuh.
Tanpa aku ketahui, bra yang terpakai kini sudah terlepas. Mikuo tengah asik mengulum bagian merah muda yang kini sudah tegang itu, dan aku yang tidak bisa berhenti mengeluarkan suara aneh yang baru kali ini kukeluarkan.
Ia menggigit, menjilat, lalu mengemutnya. Terus berulang-ulang. Tangan satunya sudah menuju ke bagian yang selama ini kujaga. Menggesek-gesekkan dengan jari-jarinya yang panjang.
"Mmhhh..."
Bagian pikiranku menolak, namun bagian tubuhku menerima. Area bawahku terasa aneh. Belum pernah aku mengalaminya seperti ini.
"Kau sudah basah, Miku."
"Ah~" ia memasukkan satu jarinya kedalam. Memainkan klitorisku. Awalnya satu jari, lalu dua jari, dan yang terakhir tiga jari. Ia memaju-mundurkan ketika jarinya itu. "Haaa~ Ah!"
"Sebut namaku, Miku." Aku menggeleng keras. Ia semakin cepat melakukannya. "Sebut namaku, Miku." Ia semakin cepat dan cepat, hingga ada aliran listrik yang kurasakan—membuat suatu cairan yang keluar dari lubang kewanitaanku.
"Mikuoo~!"
"Slurp." Dapat kurasakan benda asing yang kenyal menjilat lubang vaginaku. "Ternyata rasa dirimu enak juga nē, Miku." Ia menelan hampir seluruh cairan yang keluar.
Tubuh ini ingin lebih dalam lagi. Aku mengumpat kesal dalam hati karena mengetahuinya. Nafsu birahiku terus menggebu-gebu. Ingin kuselesaikan ini, akan tetapi aku tidak bisa.
Mikuo membuka seluruh risleting celananya, memperlihatkan bagian dari dirinya yang sudah menegak.
Ia mulai menuntun benda dari dirinya itu masuk ke lubang kewanitaanku.
Sakit memang, bahkan aku sampai meronta karena kesakitan. Air mata mulai menetes dari pelupuk mataku. Tapi Mikuo punya cara lain untuk menenangkanku. Ia mencium dan menjilat air asin yang keluar dari mataku itu, seraya berkata, "tenanglah, Miku adikku tersayang. Rasa sakitnya hanya terasa sebentar."
"Sa-kit..."
Cup.
Ia mencium lembut jidatku, dan mengelus-elus rambut hijau toskaku yang sudah tergerai bebas. "Bukankah ini demi feel ceritamu itu?"
Ia tak membiarkanku menjawab. Dengan cepat, ia mencium bibirku. Melakukannya seperti apa yang ia lakukan pertama kali denganku.
"Enghhh..."
Pantas saja banyak perempuan yang mau menempel pada kakak. Ia dapat membuat nyaman dan ketagihan bila disentuh olehnya.
Dan aku salah satunya.
Beberapa detik kemudian, ia mulai menggerakan pinggulnya. Membuatku mendesah hebat ketika dilakukannya. Sama seperti apa yang ia lakukan dengan ketiga jarinya tadi, awalnya pelan lalu perlahan-lahan ia menaikkan tingkat kecepatannya. Membuatku tidak tahan untuk mengeluarkan cairan kental yang pernah kukeluarkan tadi.
Tepat setelah aku mengeluarkan cairan itu, ia menarik kejantanannya dan mengeluarkan cairan yang sama di luar tubuhku. Membuat sperma itu mengenai perut dan dadaku.
Semua badanku terasa lemas. Dua kali aku mengeluarkan sperma itu. Nafasku tak beraturan, membuat dadaku naik turun tak karuan. "Mikuo-nii, hidoi." Disela-sela nafasku, kuberanikan diriku untuk berkata.
"Gomenne, Miku. Aishiteru." Itulah bisikan yang terakhir kudengar, sebelum aku menutup mata karena lelah.
Aku terbangun di tempat tidurku yang empuk dan lembut, dalam hati bertanya-tanya apakah itu sebuah mimpi. Tersadar, aku lantas memeriksa pakaian yang kukenakan. Semuanya masih ada pada tempatnya.
Bila itu mimpi, maka, itu adalah mimpi paling nyata yang pernah aku alami selama hidupku.
Bau makanan bercampur negi masuk ke indra penciumanku—membuatku dengan cepat-cepat beranjak dari tempat tidurku.
"Onii-chan buat apa?" Aku menyambar tempat duduk yang kosong.
"Makanan kesukaanmu." Ia menjawab. "Hey, bagaimana dengan ceritamu? Sudah bisa kau lanjutkan?"
Aku mengangguk riang. "Kali ini aku mendapat mimpi yang indah untuk menjadikannya sebagai inspirasi."
"Baguslah."
"Tapi, Onii-chan. Mimpi kali ini terasa nyata. Dan kau masuk ke dalamnya." Pernyataan tadi membuat blush samar di pipinya.
Hey, ini benar-benar langka. Jarang-jarang kakak merona seperti itu. Andaikan kamera berada dipeganganku, aku pasti sudah memotret dan mencetaknya, lalu kupajang di ruang tamu.
"Onii-chan kenapa?"
Pertanyaan yang kulontarkan membuatnya berdeham lalu berkata, "tidak ada apa-apa. Sudah, lanjutkan saja menulis ceritamu sebelum kau kehilangan bayanganmu itu."
Aku bertepuk jidat mendengarnya, "benar juga!" Aku segera melangkahkan kakiku memasuki kamar—mengambil peralatan yang kubutuhkan.
Setelah aku pergi, mata Mikuo menatap hampa ke arah aku berlari menghilang. Ia bergumam, "hubungan terlarang, ya?"
000 Onii-chan, Help Me! © HK 000
Pojok anu.
Aneh? Gaje? Abal? Kecepetan? Maklum aja. Saya author baru disini :3
Sumveh, ini pertama kalinya bikin rate M dan publish fict. Well, sebenarnya aku masih belum cukup umur, jadi mungkin ceritanya sama sekali tidak hot (saya: Hahaha #nggak lucu tong.) OOC banget ya? Jujur, aku nggak tau sifat mereka berdua. Aku baca fict tentang mereka, karakternya juga beda-beda (apa karena nggak ada karakternya? #sok tau).
Baiklah, karena saya baru disini. Senpaiii, saya minta kripik pasarannya (#kritik saran oy). Tolong jangan flame, mental saya belum kuat menerima. #sujud syukur sambil nangis bombay (#lah?).
Ah! Jangan di close dulu! Di bawah masih ada cerita lagi. #Kabur
Side Stories of: Onii-chan, Help Me!
Aku tau hubungan ini begitu terlarang. Aku tau fakta ini. Namun hatiku menolak mentah-mentah fakta itu.
Adikku yang berada di bawahku mendesah hebat karena kelakuanku. Bulir-bulir keringatnya menambah kesan seksi pada dirinya. Dadanya masih berukuran kecil bagiku, namun masih cukup bisa kugenggam.
"Ah!" Ia berteriak kaget saat aku mulai meremas dadanya. Ekspresinya begitu lucu di mataku.
"Sshhh, tenanglah." Aku berkata menenangkan. Sepertinya ia belum merasa nyaman oleh sentuhanku, terlihat karena ia masih memberontak.
"Mikuo... Nghh.. cu-kup. Ber-henti." Ahh, suaranya yang memanggil namaku benar-benar bagaikan malaikat. Selama ini, bagaimana bisa aku tidak tau kalau ia memiliki suara yang menggoda seperti itu? Aku ingin kau mengucap namaku seperti itu lagi, Miku.
Sayangnya ia tidak mau menuruti perkataanku. Selagi ia terlihat menikmati dan berpikir, diam-diam aku melepas bra berwarna putih yang mengganggu ini. Selesai membuka, tumpukan merah muda mencuat dari tempatnya. Nafsuku naik ke atas permukaan melihatnya, membuatku ingin mengulumnya segera.
"Mmhhh..." ia menahan desahan agar tidak lolos dari bibirnya. Gezzz, Miku, aku ingin mendengarnya kembali.
Tanganku yang bebas dengan cepat mulai menyusuri bagian kewanitaannya. Yah, sepertinya ia sudah basah. Aku menyeringai menang mengetahuinya. "Kau sudah basah, Miku." Kataku menggodanya. Kumasukkan satu jariku ke dalam, ia berteriak karenanya. Lalu dua, dan terakhir tiga. Kumaju-mundurkan ketiga jari itu, dan terus meminta agar dia menyebut namaku.
Ia menggeleng keras menolaknya. Kesal, aku menaikkan tingkatan kecepatanku. Dan, voila, ia tidak kuat dan meneriakkan namaku. Cairan merembes sempurna dari liang vaginanya. Aku jadi penasaran, bagaimana rasa sperma adikku ini.
Kujulurkan lidahku dan menjilat-jilat ke hampir seluruh area yang terkena cairan putih itu.
Ini salah. Aku tau ini salah. Tapi hati ini terus bergejolak memintanya. Hubungan terlarang ini harus segera dihentikan. Ya, harus dihentikan.
Aku tidak tau harus berekspresi seperti apa saat melakukannya. Bersalahkah? Senangkah? Ia terus menggumamkan kata sakit saat aku memasukinya. Ini adikku, adik kandungku. Apakah ia akan marah saat ia tersadar karena aku telah melakukan hal ini padanya?
"Bukankah ini demi feel ceritamu itu?" Bukan, ini bukan untuk ceritamu. Ini untukku—hasratku. Aku mencintainya. Mencintainya dalam arti yang lain. Bukankah mencintai adik kandungmu dalam artian itu tidak diperbolehkan? Akan tetapi aku terjatuh ke dalam lubang hitam itu. Selama ini, aku memendam dalam-dalam perasaanku itu dan melampiaskannya ke hal lain.
Itulah alasanku sering bergonta-ganti pasangan.
Membayangkan bila mereka adalah Miku ketika bercinta. Dan kini, itu sudah menjadi kenyataan. Aku bercinta dengan adikku sendiri.
"Mikuo-nii, hidoi." Aku tau kalau aku ini jahat. Aku tau kalau aku ini kejam. Jadi, tolong maafkan aku Miku.
"—Aishiteru."
Kubuat susunan scenario agar ia menganggap bahwa itu hanyalah sekedar mimpi. Tak kusangka, ia dengan mudah terjebak kedalamnya.
Rona pipi ini muncul entah karena malu atau marah, semua berjalan begitu saja. Aku menatap kosong kepergiannya dan bergumam kecil.
Kini giliranku yang membuat cerita. Cerita yang sesungguhnya. Dimana akulah yang bebas menulis rangkaian kalimat. Dan aku hanya tinggal memilih. Antara melanjutkan cerita ini, atau, membuat kembali lembaran baru.
Review, please? :3
●●Review Anda sangat dibutuhkan untuk membuat semangat Author karena habis nge-down akibat mempublish fanfict nista ini. Terima kasih sudah membaca.
