Hujan yang turun saat Fang sedang bermain basket di lapangan terbuka sama sekali tidak ia perkirakan.
Dan, memutuskan bahwa lebih baik pulang daripada berbasah-basahan ria, Fang segera menyudahi permainan solonya. Ia menyambar tas berisi botol minuman dan beberapa barang remeh lain sebelum meninggalkan lapangan basket yang hanya diisi oleh dirinya.
Oh sial, padahal dia sudah merencanakan semuanya dengan sempurna. Ia ingin menghabiskan hari Minggunya sendiri, dengan bermain basket di lapangan kosong yang agak jauh dari rumahnya dan sesudahnya mengenyangkan diri dengan membeli donat lobak merah di toko langganannya.
Tapi Dewi Fortuna jelas sedang benci padanya hari ini.
Gerutuan yang hanya terucap dalam hati semakin menjadi-jadi saat hujan malah tambah deras ketika ia sedang memacu langkah untuk pulang. Dia hanya mengenakan seragam olahraga basketnya! Atasannya tidak berlengan dan celananya hanya sampai lutut, semakin mudah bagi rasa dingin menelusup ke tubuhnya.
Benar saja. Tak perlu waktu lama bagi Fang untuk merasa menggigil. Giginya bergemeletuk dan dia benar-benar perlu tempat berteduh. Semakin bagus kalau tempat itu—entah bagaimana caranya, hangat.
Namun, ketika dia melewati sebuah rumah yang ia kenali sebagai kediaman seorang rivalnya—dia mulai merasa, mungkin itu bukan tidak mungkin.
Walau begitu, Fang merasa ia harus mau dipermalukan nantinya. Ah, peduli amat, sih. Yang penting ia bisa lepas dari guyuran hujan yang tidak tahu waktu yang tepat untuk turun ini.
Rain
A BoboiBoy fanfiction by Chikara Az
BoboiBoy © Animonsta Studios
This fanfiction © Me
Rating : T
Warning : BL/sho-ai, OOC, semi-Canon, fluff
Don't Like Don't Read!
Enjoy~
Hujan yang memilih waktu yang salah untuk turun membuat Fang terpaksa mencari tempat berteduh. Rumah Boboiboy yang tidak sengaja dilewatinya pun menjadi pilihannya.
"Fang? Kukira ada kucing kehujanan yang mengetuk pintu."
"D-diam."
Tuh kan, suaranya saja gemetar begitu. Apalagi tubuhnya. Fang tidak tahu sekacau apa ia kelihatannya sekarang, namun mata Boboiboy yang membulat begitu sosoknya tercermin di iris hazel itu memberitahunya kalau ia terlihat buruk.
Tahu-tahu, pandangannya tiba-tiba mengabur, dan ia baru sadar kalau kacamatanya diambil oleh seseorang. Fang tadinya mau langsung menghardik orang yang pasti adalah Boboiboy itu, namun kemudian kacamata itu kembali dipasangkan di wajahnya dan penglihatannya lebih jelas. Rupanya Boboiboy baru saja mengelap air yang membasahi permukaan kacanya.
"E-eh, m-makasih—"
"Sama-sama. Sekarang, masuklah." Kata Boboiboy. "Dingin ya? Akan kuambilkan handuk."
Nggak, nggak dingin. Gerah banget malah!
Menelan gerutuan itu, Fang pun memasuki rumah sederhana yang nyaman itu, membiarkan Boboiboy naik ke lantai atas lagi. Udara yang tidak terlalu menggigit menyapa tubuhnya, menimbulkan sensasi menyenangkan. Namun bajunya yang kuyup tidak mengizinkannya merasakan kehangatan yang dibutuhkan. Fang tahu ia tidak bisa duduk di sofa ruang tamu begitu saja, karena itu sama saja dengan membasahinya, jadi ia hanya berdiri.
"Boboiboy, ada siapa?"
"Fang, Tok Aba! Dia kehujanan, entah baru dari mana." Balas Boboiboy, menanggapi pertanyaan kakeknya.
Pintu suatu ruangan di sebelah ruang tamu pun terbuka dan sosok Tok Aba keluar dari sana. Ia terlihat kaget melihat Fang, yang memberinya sebuah senyuman kaku.
"Se-selamat siang, T-tok Aba." Sapanya, masih dengan suara bergetar.
"Aduh, kasian sekali kau, Nak. Mau kakek buatkan coklat panas?" tawar sang pria paruh baya dengan baik hati.
"Ti-tidak, tidak p-perlu! A-aku tidak mau merepotkan—"
"Biar aku saja yang buat, Tok."
Robot bulat kuning, Ochobot, pun memasuki ruang tamu bersama Boboiboy yang sudah membawa sebuah handuk di tangan. Sementara Ochobot memasuki dapur, Boboiboy menghampirinya dengan agak terburu-buru, tanpa diminta langsung mengusap kepala Fang dengan handuk.
"A-apa yang kau l-lakukan! Aku bisa m-melakukannya sendiri—"
"Ssh, sudahlah, kau ini keras kepala sekali. Biar aku yang mengurusmu sekarang."
Fang tidak sempat membalas dengan perkataan yang lebih tajam, karena Boboiboy langsung memegang kedua bahunya, kemudian mendorongnya berjalan ke lantai atas. Ia sempat memberontak, namun Boboiboy menekan bahunya dengan kuat. Padahal tubuh Boboiboy lebih kecil darinya, namun anak itu memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan. Maklum, sudah berapa kali ia melawan alien yang nyasar ke bumi ini? Fang yang hanya melawan dengan serangan jarak jauh tidak memiliki kekuatan fisik yang sama—sekalipun ia tak akan mengakuinya.
"Tok Aba, Ochobot, akan kubawa Fang ke kamarku, yah!"
Sambil berteriak, Boboiboy terus mengusap kulitnya yang dibasahi air dengan handuk lembut itu. Gerakannya hati-hati dan perlahan, tapi Fang merasa jantungnya siap keluar kapan saja tiap detiknya. Tubuhnya memang masih menggigil, tapi wajahnya terasa panas.
Boboiboy menuntunnya memasuki kamar bernuansa biru gelap, kamar Boboiboy sendiri. Fang tidak pernah ke sini sebelumnya, namun dirinya merasakan kenyamanan begitu memasuki tempat itu. Boboiboy langsung mendorongnya agar duduk di kasur dan Fang menyadari satu stel pakaian sudah tersedia di sana.
Puas dengan kulit Fang yang sekarang tidak begitu basah, Boboiboy pun menyampirkan handuk itu kembali di kepala sang bocah bersurai ungu. "Aku sudah menyiapkan baju yang agak besar untukmu. Dan, tas itu, kemarikan."
"Heh? K-kenapa?" seru Fang, memeluk tasnya dengan protektif. Dia tidak senang barang miliknya disentuh orang lain, asal tahu saja.
Boboiboy memutar mata. "Mau kukeringkan, lah! Begini-begini aku masih modal buat beli tas sendiri, nggak akan dicuri, kok!"
Fang memicingkan mata, namun pada akhirnya menyerahkan tasnya pada anak yang sebulan lebih tua. Boboiboy tersenyum puas, kemudian beranjak menuju pintu.
"Aku akan ke bawah dulu. Kau ganti baju sana."
Dan Boboiboy pun berlalu, setelah menutup pintu dengan rapat.
Fang mendesah pelan. Kemudian ia buru-buru berdiri demi mengganti bajunya, seperti perkataan Boboiboy. Dia mendesis saat udara di kamar yang agak dingin menyapa kulitnya ketika ia membuka baju bagian atas. Awalnya ia bingung baju basahnya mau dikemanakan, namun ia menemukan sebuah kantong plastik di meja kecil yang ada di samping kasur, dan tanpa ragu menaruh bajunya di dalam sana.
Boboiboy sudah menyiapkan kaos oranye lengan pendek dan celana panjang coklat untuknya. Ukurannya pas sekalipun warnanya tidak sesuai seleranya, namun Fang tidak memiliki pilihan lain. Sudah syukur dapat tempat berteduh.
Begitu selesai, Fang masih merasa dingin. Apalagi, tadi ia sempat bersin tiga kali. Aduh, jangan bilang ia kena flu, merepotkan.
Selimut yang ada di kasur terlihat begitu menggoda untuk dililitkan di tubuh, dan itulah yang ia lakukan selanjutnya. Ia malah terbaring begitu saja di kasur, baru sadar kalau ia lelah dan mengantuk. Hampir saja ia diseret ke alam mimpi saat pintu terbuka lagi.
"Fang, ini ada coklat panas—eh?"
Dengan gerakan kilat, Fang bangun, walaupun dia masih tidak melepas selimutnya. Ia menoleh dengan cepat ke arah Boboiboy, yang membawa dua gelas coklat di tangan. Wajah melongo Boboiboy itu membuat pipinya terasa hangat.
"Eh—kalau mau tidur, er, silahkan saja." Boboiboy menemukan suaranya.
"Tidak, maaf." Ujar Fang seadanya, padahal dia tengsin banget. Dilepasnya selimut yang ternyata cukup nyaman buat disarungkan ke tubuh itu, sekalipun tidak rela.
Tidak membalas lagi, Boboiboy pun menghampirinya. Ia duduk di tepi kasur, membiarkan Fang menguasai bagian tengahnya. Fang menerima segelas coklat panas yang disodorkan padanya.
"Jadi, apa yang kau lakukan siang ini sampai kehujanan begitu?" Boboiboy memulai pembicaraan lagi setelah menyesap coklatnya sendiri.
"Main basket." Jawab Fang pendek. Ia memeluk gelas itu dengan jari-jarinya, membiarkan kehangatan teradiasi ke kulit telapak tangannya.
"Sendiri?"
"Emang mau sama siapa lagi."
Boboiboy manggut-manggut. "Terus hujan, gitu?"
Fang mengangguk, lidahnya mendecak sebal. "Hujan, turun begitu aja. Aku buru-buru pulang, kebetulan ngelewatin rumahmu. Jadi, yah, mampir."
Boboiboy memandangnya lamat-lamat, bibirnya menyeringai. "Hoo..."
"Kenapa kau keliatan bangga gitu?" desis Fang.
"Nggak, nggak apa-apa."
Mendengus kesal, kali ini Fang yang tidak membalas. Ia memutuskan untuk fokus menghabiskan coklatnya, pura-pura tidak menyadari pandangan Boboiboy yang terarah padanya.
"Boboiboy, Fang, ini kubawakan kue kering."
Suara Ochobot menggetarkan gendang telinganya, dan sosok robot kuning yang memasuki kamar itu pun tertangkap iris violetnya. Ochobot mendekat ke arah mereka dan meletakkan piring berisikan kue di meja.
"Bukan... bukan biskuit Yaya, kan?" tanya Boboiboy, gak penting.
"Bukan, lah. Kau ini, ada-ada saja." Balas Ochobot. Kemudian, ia menghadap Fang. "Kau tidak apa-apa? Masih dingin, kah?"
"Nggak, makasih—uuhh, sudah agak baikan— uhuk!" perkataan Fang terpotong oleh batuk yang tiba-tiba lolos dari mulutnya. Sialnya, ia tidak bisa berhenti batuk selama beberapa detik, dan ia tidak suka akan ekspresi Boboiboy yang langsung berubah khawatir, juga Ochobot yang mengeluarkan suara panik.
"Eh, eh! Fang, kau tidak apa-apa?" seru Ochobot, tanpa sadar mengulang pertanyaannya. Robot pemberi kuasa itu segera menyambar selimut dan menyampirkannya ke bahu Fang.
"Nggak, beneran. Uhuk! Euh, maaf—"
Boboiboy mengernyitkan dahi dan ia pun meletakkan gelasnya di samping piring berisikan kue. Ia mendekat ke arah Fang yang menggigil lagi, dan menyentuh dahi Fang dengan telapak tangan kanannya.
"Panas." Desisnya pelan.
"A-aku tidak apa-apa, sungguh!" seru Fang, ia menepis tangan Boboiboy dari dahinya.
"Bohong."
"Berisik kau." Balas Fang, kemudian ia menyesali perkataannya. Niat Boboiboy baik, hanya saja ia terlalu berlebihan. Seharusnya Fang tidak berkata begitu. "...m-maaf."
"'Maaf'-mu nggak penting. Sekarang yang penting kondisi badanmu, tahu." Baru kali ini ia mendengar Boboiboy menggunakan nada mencela di suaranya. Sepasang mata kecoklatan itu memandangnya lekat. "Wajahmu merah."
Fang langsung meraba pipinya. "Eh—"
"Tuh kan, kau pasti sakit. Ochobot, bisa ambilkan termometer? Kita harus mengecek suhunya." Pinta Boboiboy, dan robot kuning itu langsung melesat keluar kamar.
Fang mengerang, ia tidak berencana untuk merepotkan mereka sejauh ini.
"Dengar, Boboiboy. Aku hargai niatmu untuk membantuku, tapi, sungguh, ini tidak perlu. Aku akan langsung pulang begitu hujan berhenti. Yang begini saja remeh bagiku." Ia berusaha terdengar menyombong, namun suara seraknya membuatnya terdengar menyedihkan.
Boboiboy mendesah tidak suka. "Kau tahu kan kalau aku tahu betul itu tidak benar."
"T-tapi—"
"Sudah. Tidak ada tapi-tapian. Aku akan menghubungi orangtuamu kalau kau akan menginap di sini—"
"Orang tuaku sudah tak ada." Sembur Fang.
Boboiboy diam, ekspresi tegasnya melunak. "Oh, maaf."
Fang menghela napas. "Oke. Terserah. Kalau kau mau menahanku di sini, kau tidak perlu mengabari siapa pun. Aku hanya tinggal sendiri di rumah, kok."
Boboiboy terlihat akan bicara, namun perkataan itu tidak keluar. Fang menunduk, mengutuki matanya yang memanas.
"Kau jangan salah paham, ya." Ujar Boboiboy tiba-tiba, setelah sebuah keheningan yang canggung bagi keduanya.
"Hah? A-apa?"
Boboiboy belum melepaskan pandangannya dari Fang. "Aku melakukan ini untuk membalas budimu saat kau merawatku di UKS beberapa hari lalu. Nggak ada maksud yang lain. Jangan ge-er."
Kesedihan yang tadi sempat hinggap di hatinya segera digantikan rasa sebal dan Fang berseru kesal, "Siapa yang ge-er, hah?!"
Kemudian, ia kaget karena perkataannya malah dibalas oleh tawa. Tahu-tahu tangan Boboiboy langsung mengacak rambutnya, membuat surai yang sudah berantakan itu tambah berantakan lagi.
"Nah, itu baru Fang yang kukenal."
Lalu, Boboiboy pun memeluknya.
Tidak, tidak bohong. Boboiboy benar-benar menarik Fang ke arahnya dan memeluknya. Fang melongo saat wajahnya ditekan ke dada lelaki yang lebih tua, sementara Boboiboy mengistirahatkan dagunya di puncak kepala lelaki berkacamata.
"K-kau ngapain!?" wajah Fang yang katanya sudah panas malah tambah panas lagi.
"Meluk kamu. Supaya hangat."
Pemberontakan kecil yang dilakukan Fang tidak berefek dan pada akhirnya ia pasrah, membiarkan beban tubuhnya ditahan Boboiboy. Yah, pelukan ini rasanya juga tidak begitu buruk.
"Em, Fang..."
"Hnn?"
"Kau tidak keberatan kan, kalau... eh, nanti malam kita tidur bareng? Aku gak suka tidur di sofa."
Kemudian punggung Boboiboy menyentuh lantai dengan mesra setelah mendapat dorongan keras dari lelaki di pelukannya.
Omong-omong, Ochobot lama banget ngambil termometernya.
.
"Ochobot? Kok sudah ke bawah lagi? Kondisi Fang bagaimana?" tanya Tok Aba, begitu melihat sang robot berbentuk bola turun lagi dari lantai dua, termometer masih di tangan.
"Um, aku tidak mau mengganggu pasangan yang lagi berduaan lah, Tok. Canggung nanti." Jawab Ochobot tanpa pikir panjang. Ia meletakkan termometer di tempatnya semula sebelum mengeluarkan suara menghela napas.
"Hah? Siapa?"
"Tidak apa-apa lah, Tok." Ujar Ochobot akhirnya. Jika ia bisa tersenyum, mungkin ia akan tersenyum sekarang. "Fang pasti baik-baik saja. Kan ada Boboiboy di sampingnya."
.
.: :.
- FIN -
A/N :
Terkutuklah saya dan mood menulis saya yang jumpalitan ga jelas di tengah-tengah pekan penuh tugas ini / guling-guling /
Oh ya, informasi mengenai orangtua Fang yang sempat disebutkan di fanfik ini sama sekali unofficial. Itu cuma headcanon saya aja. Mohon dimengerti uwu
Awalnya fik ini saya buat untuk chapter baru Step by Step, tapi kok ya malah kepanjangan- akhirnya dibikin fanfik sendiri aja hehe. Omong-omong, buat yang bingung, kapan Boboiboy dirawat sama Fang di UKS? (gak bener-bener dirawat, sih, tapi kau tahu maksud saya lah) Kejadian itu merujuk ke salah satu ficlet yang ada di chapter 1 Step by Step. Silahkan dibaca bila berkenan /PROMOSI/
Selain itu, fik ini juga dibuat sebagai pelarian. Saya males banget ngerjain tugas-tugas sekolah haduh /merenung di pojok/
Terima kasih jika kalian sudah bersedia membaca sampai sini! Kritik, saran, atau komentar secara umumnya mengenai fanfik ini akan sangat diapresiasi! Tunggu fanfik saya yang berikutnya- jika saya sempat bikin /dibuang/
Azu
