ABOUT US
A WANNA ONE FANFICTION
NIELWINK
DANIEL X JIHOON
YAOI/BL
T semi M (for language)

Happy Reading~~~~~

.

Jihoon berusaha melepaskan tarikan Woojin, sepupunya. Pemuda bergingsul itu tidak menyerah dan tetap menyeret tubuh bongsor Jihoon.

"Aku tidak mau kesana. Eomma bisa mengamuk saat dia tahu aku kesini." Jihoon berbalik saat Woojin melonggarkan pegangannya.

"Imo tidak akan tahu! Ayolah, aku sudah menjebol tabunganku agar kita bisa masuk kesini." Woojin berusaha membujuk Jihoon

"Bagaimana jika sekolah tahu? Kita ini ditahun akhir, tidak lucu jika kita harus dikeluarkan gara-gara masuk kesana." Jihoon menggelengkan kepalanya.

"Ayolah Jihoon-a, sekali ini saja! Tidak akan ketahuan kok, kita hanya sebentar." Jihoon menghela napas dan mengangguk ragu. Mereka berdua memasuki sebuah tempat dengan lampu yang berkerlap-kerlip di sepanjang pintu masuk. Tempat dengan nama 'Burn it Up Club' tersebut telah lumayan ramai ketika Jihoon masuk ke dalamnya.

"Berisik sekali!" Jihoon menutup sebelah telinganya.

"Jangan lakukan itu!" Woojin menarik lengan Jihoon. "Kau akan terlihat kampungan. Seperti baru pertama kali masuk club saja."

"Aku memang baru pertama kali!" Jihoon melotot dan sedikit terdesak oleh orang-orang di sekelilingnya.

"Kita cari tempat duduk, aku sudah tak sabar ingin mencicipi minuman disini." Lagi-lagi Woojin menyeret Jihoon dengan agak kasar.

"Hai!" Seorang bartender tampan dengan botol di kedua tangan menyapa mereka.

"Hai." Woojin membalas sapaan dengan gaya se-cool mungkin sedangkan Jihoon hanya tersenyum.

"Berapa umurmu? Kau terlihat seperti bayi." Bartender itu menunjuk Jihoon.

"Dia 21 tentu saja." Woojin menjawab yakin. "Memang wajahnya seperti itu. Bawaan lahir." Ucapnya lagi. Jihoon hanya meringis.

"Kau juga terlihat masih bocah." Bartender dengan name tag Kwon Hyunbin itu meletakan botol di tangannya. "Sebaiknya kalian pergi sebelum popok yang kalian pakai penuh."

"Sialan." Woojin mengumpat. Jihoon berdehem dan membenarkan posisi duduknya. Kursi yang ia duduki sedikit terlalu tinggi.

"Kami sudah membayar dan sebaiknya kau melayani pelangganmu, tuan bartender." Ucap Jihoon. Bartender tersebut tersenyum dan menjentikan jarinya.

"Aku suka padamu! Cantik tapi bermulut pedas. Apa yang kalian mau?"

"Eu.. apa saja yang tingkat alkoholnya tinggi." Woojin menjawab dengan yakin.

"Baik! Segera hubungi orang terdekat kalian, aku tidak mau menggendong dua bocah yang mabuk karena tidak kuat minum."

"Arogan sekali dia." Woojin berdecih. Jihoon mengabaikan ucapan sepupunya dan memilih memandang lautan manusia di lantai dansa.

Jihoon dan Woojin sontak berpandangan saat sebuah lagu familiar terdengar di telinga mereka.

"Lagu kebangsaan kita! Tunggu apa lagi?" Keduanya agak meloncat dan segera berbaur dengan lautan manusia yang tengah bergoyang.

Sementara itu Hyunbin hanya menggelengkan kepala melihat tingkah kedua bocah dihadapannya.

"Bro, yang biasa." Sebuah suara membuat Hyunbin mendongak, dan pemuda bertubuh tinggi itu tersenyum sambil ber high five.

"Apa yang membawamu kemari, Daniel? Rasanya sudah berabad-abad kau tak kemari." Tanya Hyunbin dengan tangan yang cekatan meracik minuman.

"Eomma ingin menimang cucu." Daniel menjawab dengan muka masam.

"Berikan saja. Kau subur kan?"

"Sialan! Tentu saja aku subur." Daniel menerima gelas dan segera meminum isinya. "Masalahnya aku belum ingin menikah." Lanjutnya lagi.

Hyunbin terkekeh. Ia mengelap gelas beraneka bentuk yang baru diantarkan oleh office boy.

"Cepat atau lambat kau pasti akan menikah. Bukankah sama saja?" Hyunbin terkekeh. Beberapa pelanggan memanggilnya dan ia berlalu dari hadapan Daniel.

Daniel tertegun, dalam hati mengiyakan ucapan Hyunbin. Menikah itu hanya masalah waktu, toh cepat atau lambat dia akan mengalaminya. Ia mengarahkan pandangan ke arah lantai dansa yang ramai. Dengan malas ia melangkah menuju ruang VIP yang berada di lantai dua. Sepertinya tak ada salahnya menghabiskan waktu disana dengan para wanita.

"Wow tadi itu seru sekali!" Jihoon mengipasi wajahnya yang berkeringat. Mereka kembali ke tempat Hyunbin dan meneguk minumannya cepat.

"Aish, tenggorokanku terbakar." Woojin menjulurkan lidahnya, begitupun dengan Jihoon reaksinya tak jauh berbeda.

Hyunbin yang melihat tingkah mereka tertawa keras. "Sudah kukatakan bocah. Sebaiknya kalian pulang saja."

"Berikan aku lebih banyak lagi." Jihoon menyodorkan gelasnya yang telah kosong.

"Kau serius? Besok kita ada ujian." Woojin memegang lengan Jihoon.

"Aku serius. Minuman ini lama-lama enak juga." Hyunbin mengangkat bahu dan kembali membuat minuman untuk mereka.

Dua gelas, tiga gelas, empat gelas, hingga tak terhitung jumlah gelas yang telah mereka minum. Hyunbin memandang Woojin yang telah terkapar dengan kepala diatas meja.

"Lagi." Jihoon menyodorkan gelasnya. Penampilannya acak-acakan dengan rambut yang mencuat kesana-kemari.

"Tidak. Sebaiknya kau hubungi ayahmu atau apalah, temanmu sudah mau mati." Hyunbin menunjuk Woojin yang telah mendengkur.

"Dia hanya tidur. Ayolah hyuuung berikan Jihoonie satuuu lagi." Jihoon mengangkat satu jarinya.

"Ck, wajahmu itu sangat cocok untuk menggoda para ahjussi diluar sana. Kau harus hati-hati pretty boy." Hyunbin kembali memberikan satu gelas yang disambut gembira oleh Jihoon.

"Itu yang terakhir, dan jangan salahkan aku jika kau ikut mati seperti dia." Hyunbin menyentil kepala Woojin.

Jihoon terkekeh sambil memainkan rambut Woojin. Ia cemberut saat dirasa kantung kemihnya terasa penuh. Dengan perlahan ia berjalan menuju toilet yang tak jauh dari tempatnya duduk.

Setelah menuntaskan hasratnya yang entah kenapa menghabiskan waktu bermenit-menit lamanya, ia berniat kembali pada Woojin. Ia tertegun saat dirasa dirinya tersesat.

"Apa aku harus kesana?-" Jihoon menunjuk lorong yang menuju arah kanan. "-atau kesana?" Kali ini ia menunjuk yang ke arah kiri.

Jihoon masih berdiri dengan tumpuan dinding, tak sadar matanya terpaku pada sosok pemuda berbadan besar. Pemuda itu berjalan sempoyongan dan terlihat masuk ke sebuah ruangan.

"Aku akan bertanya pada hyung itu saja!" Jihoon bertepuk tangan dan melangkah mengikuti pemuda asing tersebut.

.
.

Daniel menyipitkan mata saat seorang pemuda berbadan pendek mengikutinya masuk ke kamar yang memang disediakan oleh club tersebut. Ia berniat akan menginap disini dan tidak tahu jika club ini juga memberikan pelayanan khusus.

"Hyuuung Jihoonie ingin bertanya." Daniel masih menyipitkan matanya, pandangannya sedikit kabur dan kepalanya pusing. Yang ia inginkan hanya tidur dengan pulas di kamar ini.

"Apa yang kau mau? Aku sedang tidak berminat." Daniel mengibaskan tangannya.

"Hyung!" Pemuda pendek itu memegang kedua lengannya erat. Daniel berusaha melepaskan tangan yang menempel erat di tubuhnya.

"Hyuuuung- urghh..." crap! Daniel berdesah kencang. Pemuda ini muntah tepat di pelukannya.

.

Woojin membuka matanya pelan dan seketika rasa pusing segera menyergap kepalanya. Ia menoleh dan tak mendapati Jihoon dimanapun. Dengan panik Woojin mencari-cari ke lantai dansa dan sepupunya itu tak terlihat juga.

"Hei! Kau lihat temanku?" Tanyanya pada Hyunbin.

"O, dia sudah pergi?" Hyunbin malah balik bertanya.

"Pergi kemana?" Woojin bertanya bingung.

"Mungkin menghubungi kenalannya atau apalah, aku tidak tahu dari tadi sibuk dengan pelanggan." Hyunbin mengangkat bahu.

Woojin mengacak rambutnya kesal. Pemuda bermata sipit itu meninggalkan club dengan wajah kusut dan umpatan yang terus keluar dari mulutnya.

.

Drrttt drrrttt

Getar ponsel menyadarkan Daniel. Dengan mata tertutup, pemuda tampan itu mengambil ponsel di meja nakas dengan tangan kanannya. Tangan kirinya terasa berat dan sulit digerakan.

"Halo." Ia menjawab dengan malas..

"Hmm... ya, aku akan pulang.. ya." Kemudian kembali meletakan ponsel tersebut di meja. Dadanya terasa geli oleh sesuatu yang bergerak-gerak. Ia membuka matanya perlahan dan kembali menutupnya.

"Ini hanya mimpi, ya Daniel jika kau menutup matamu sejenak dan membukanya kembali kau akan sadar jika ini hanyalah mimpi." Daniel menutup dan membuka matanya kembali.

"Holy sh*t!" Daniel meloncat dari tempat tidur saat apa yang dilihatnya benar-benar nyata. Ini bukanlah mimpi Kang Daniel!

"Aw.. eomma kau menyakitiku." Jihoon mengusap kepalanya yang terantuk pinggiran ranjang. Ia membuka mata dan menatap langit-langit dengan mata menyipit.

"Kau siapa?" Tanyanya dengan mata membulat. Dihadapannya Daniel berdiri bertelanjang dada lengkap dengan boxer hitam.

"Seharusnya aku yang bertanya padamu! Kau siapa masuk ke kamar ini kemarin malam huh?" Tanya Daniel keras.

Jihoon agak terkejut mendengar nada suara Daniel. Pemuda manis itu menunduk dan baru menyadari jika ia pun bertelanjang dada.

"Apa yang kau lakukan padaku? Kau mesum!" Jihoon menutupi dadanya dengan selimut dan memelototi Daniel.

"Kau tidak ingat? Maksudku benar-benar tidak ingat?" Jihoon menggeleng dengan wajah polos membuat Daniel menepuk dahinya.

"Double sh*t!" Daniel kembali mengumpat. Terdengar suara kunci yang diputar dan tak lama kemudian pintu tersebut terbuka dengan keras.

"Kang Daniel! Jadi ini yang kau lakukan selama ini huh? Eomma benar-benar kecewa."

Daniel membuka mulutnya lebar. Di hadapannya berdiri sang eomma dengan raut muka marah. Disamping eommanya ada Ong Seongwoo, sahabatnya yang tengah berdiri sambil mengatupkan tangan memohon ampun.

"Triple Sh*t!" Daniel berucap pelan. Ia melirik Jihoon yang menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Pemuda itu bahkan menyembunyikan diri seperti ini. Sialan sekali!

"Siapa perempuan tak beruntung yang telah kau tiduri ini huh?" Eomma Daniel membuka selimut hingga wajah Jihoon terlihat.

Eomma Jihoon membuka mulutnya kaget. Ia menatap Daniel kesal, "Bukan hanya karena dia lelaki, tapi kau juga meniduri anak dibawah umur?"

"Apa? Eomma! Aku juga tidak tahu dia siapa! Dia tiba-tiba masuk ke kamar ini kemarin malam." Daniel membela diri.

Eomma Daniel menatap Jihoon dan mendapati pemuda manis itu menggelengkan kepalanya.

"Eomma tidak pernah mengajarimu berbohong Kang Daniel! Awh.. sayang, apakah dia menyakitimu?" Eomma Daniel mengelus rambut Jihoon pelan.

"Tidak." Jihoon menjawab pelan. Ia melirik Daniel yang melotot ke arahnya. "Eomoni aku ingin pulang."

Eomma Daniel mengangguk, wanita itu menatap tajam Daniel, "Cepat antarkan dia pulang. Kau harus bertanggung jawab." Daniel mengangguk dengan wajah pasrah. Pemuda tampan itu keluar kamar dengan wajah masam.

"Namamu siapa sayang?"

"Park Jihoon."

"Baiklah Jihoonie, apa Daniel memaksamu?"

Jihoon terdiam. Pemuda manis itu merasa tak enak karena ia telah mengingat semuanya, dan semua ini karena ia masuk ke kamar Daniel ketika mabuk.

"Ehm eomoni maafkan aku, tapi aku harus buru-buru pulang." Jihoon tersenyum canggung.

"Baiklah sayang, kali ini aku akan melepaskanmu tapi lain kali kau tidak bisa menghindar dariku, kau mengerti Jihoonie?"

"N-ne." Jihoon mengangguk ragu. Beberapa saat kemudian wanita tersebut keluar kamar diikuti Seongwoo.

"Yang barusan itu apa?" Jihoon bertanya pada dirinya sendiri. Daniel masuk ke kamar dengan dua stel kemeja putih dan celana hitam.

"Kau sudah ingat bocah? Pakailah itu dan kita pulang sekarang." Jihoon segera memakai pakaian tersebut dan mengumpulkan ponsel (yang kehabisan baterai) dan dompet miliknya yang tersimpan di meja nakas.

"Kau tidak perlu mengantarku. Aku cukup ingat dimana rumahku dan aku masih punya kedua kaki yang berfungsi. Terimakasih atas tumpangannya. Annyeong!" Jihoon berlari secepat kilat dengan sepatu yang ditentengnya.

"Bocah gila! Apa yang harus kulakukan dengan ini?" Daniel menatap kekacauan di lantai. Pakaian berserakan di lantai yang basah dan kotor.

"Damn! Ini jaket favoritku." Daniel memasukan pakaian miliknya ke dalam plastik berwarna hitam. Ia menatap pakaian milik Jihoon yang tergeletak di lantai. "Bocah itu harus membayar ini semua!" Rutuknya terus menerus.

.

Jihoon sedang menguap saat Woojin menghampirinya dengan tergesa.

"Darimana saja kau? Imo menghubungiku semalam menanyakan keberadaanmu!" Sepupunya tersebut terlihat khawatir.

"Harusnya aku yang bertanya begitu. Kenapa kau tidak mencariku, dasar bodoh." Jihoon memukul kepala Woojin membuat pemuda itu mengaduh kesakitan.

"Hei! Kupikir kau yang meninggalkanku karena aku mabuk." Woojin memelankan suaranya. "Jadi kau kemana?"

Jihoon mengibaskan tangan, "Ceritanya panjang. Nanti saja."

"Ah kenapa tidak sekarang saja?" Woojin merengut.

"Aku ingin belajar untuk ujian selanjutnya. Kau pergi saja sana. Jangan mengangguku." Jihoon mengibaskan tangan dan Woojin melangkah pergi dengan kesal.

Ponsel yang ia charge di kolong meja terus bergetar, dengan malas ia melepas kabel yang tersambung dengan power bank itu dan mengangkat teleponnya.

"Halo-"

"Daniel-ah! Kenapa kau tidak menjemputku!"

Jihoon menatap ponselnya horor dan menyadari jika itu bukanlah ponsel miliknya.

"Aku sudah menunggumu sejak pagi! Kau ini benar-benar keterlaluan!"

Pik! Wanita itu memutuskan panggilan. Tak berselang lama, sebuah panggilan terpampang di layar dan Jihoon menyadari jika itu adalah nomornya.

"Ha-"

"Bocah, bukan hanya kau membawa masalah tapi kau juga buta, hm."

"Aku tidak sengaja membawa ponselmu, maafkan aku! Aku ingin ponselku kembali."

"Kau bertindak seperti bos kecil,bocah. Berikan alamat SMP mu dan aku akan kesana."

Jihoon memutar matanya kesal, "Aku sudah SMA!"

"Tidak peduli, cepat sms-kan alamatnya sekarang kalau tidak foto-foto menjijikanmu ini akan tersebar di sns."

Pik! Daniel mematikan panggilannya. Jihoon menggigit kukunya cemas. Ia tidak ingin fotonya yang berharga sampai tersebar di sns. Sebenarnya bukan foto macam-macam. Hanya fotonya saat ia memakai produk kecantikan yang nunanya berikan dan Jihoon merasa foto itu sangat bagus, hingga ia hanya menyimpan untuknya sendiri.

Sedikit tergesa pemuda manis itu mengetikan alamat sekolahnya dan mengirimkan kepada ponselnya yang dipegang Daniel. Semoga pria itu mengembalikan ponselnya! Batin Jihoon.

.

"Kemarikan ponselmu." Daniel merebut ponsel Seongwoo.

"Untuk apa?"

"Mengirimkan foto paling jelek dari bocah itu. Sebagai ancaman." Daniel terkekeh.

Seongwoo mengintip layar ponselnya dan sedikit terkejut. "Awh! Dia sangat manis. Kau memilih foto yang salah." Seongwoo merebut ponsel Jihoon dan melihat-lihat isi galerinya.

"Sh*t! Semua fotonya sangat manis. Usahamu sia-sia sobat." Seongwoo menyerah. Pemuda tampan itu tertawa.

Daniel mengangkat bahu dan memilih foto Jihoon berpose dengan handuk bandana di lehernya. Pipinya sangat gemuk dan merah, tersenyum sangat manis pada kamera.

"Ini saja." Daniel mengirimkan foto tersebut ke ponsel Seongwoo. "Babi gendut." Kemudian terkekeh saat memandangi foto Jihoon.

.

TBC
FF pertama saya dengan bahasa baku, mohon reviewnya guys~
kamsahamnida~~~
-11 Agustus 2017-