Pantai yang Sekarat
.
Dunkirk (2017) ditulis, diproduseri, dan disutradarai oleh Christopher Nolan
.
Jika ini adalah pantai terakhir yang kulihat, aku ingin dia menjadi biru. Biru yang jernih, membentang dari sepanjang mata memandang. Dengan pasir yang putih. Angin yang menderu mendayu. Dan kamu, Liz, kamu akan berbaring di sampingku, di bawah matahari bulan Juni.
Kini, di sisiku terbaring yang lain. Maaf, Liz. Dia mengaku dari pinggiran London. Dia menyebutkan kota yang ada pada daftar impian kita itu, lalu dia membisu, tatapannya membeku pada langit yang menyebar kelabu. Semua di sini abu-abu. Bahkan rerumputan tinggi yang menyembunyikan aku. Warna pada tubuh mereka luntur. Hancur. Seperti kota di belakangku yang lumat karena mortir dan peluru.
Jika ini adalah pantai terakhir yang kulihat, aku ingin membaui aroma laut. Asin garam. Bau pasir yang basah. Wangi rambutmu yang baru dicuci dengan sampo. Manis lenganmu yang dilapis losion. Semua itu kini semakin samar, Liz. Kecut jeruk diganti pekat mesiu. Mawar yang menggairahkan disubtitusi dengan busuk luka. Pekat teh yang menyegarkan terhapus oleh anyir darah. Kucium semua dari yang berbaring di sampingku, Liz. Dia mengaku berasal dari Somerset.
Satu per satu menghilang. Satu demi satu tumbang. Nelangsanya pantai ini jika harus berakhir jadi kuburan, Liz. Yang abu-abu semaking murung. Yang mendung, hujannya akan segera turun. Namun, apa yang dapat menghalangi kematian? Tidak ada, Liz. Mereka semakin dekat. Mereka siap menyergap. Di sini, aku tersendat, melambat, kehilangan harap.
Jika ini adalah pantai terakhir yang kulihat, aku ingin mendengar suaramu sambil menatap matamu yang selezat karamel. Akan kubacakan Emma untukmu. Dan jika kamu tidak keberatan, dua cangkir earl grey. Untukku biarkan polos, untukmu akan kutuangkan susu yang nikmat. Aku mengecap rasa yang tertinggal di antara lidahku, Liz. Akan tetapi, yang kutemukan hanya asin dari mulut yang tersayat. Hanya tawar dari liur yang kian mengental.
Aku haus, Liz. Haus akan kehangatanmu. Aku menyimpan potretmu di saku kanan. Aku melipatnya hingga lusuh. Hingga warna-warnanya terkelupas dan tersisa abu-abu. Aku ingin pulang, Liz. Di antara kita ada ombak dan lautan.
Yang sempat sejenak berbaring di sampingku hari sebelumnya, mengaku datang dari Kent. Dia bilang jika kami tak bisa pulang ke rumah, mereka yang akan datang menjemput. Dia banyak bicara dan tertawa. Aku terhibur. Tapi dia juga yang menyerah. Lelah menunggu, dia menyambut lautan: 'Aku akan pulang dengan berenang.'
Aku tidak pernah mendengarnya lagi. Tidak pula lautan menceritakan aku tentang keberaniannya melintasi selat yang membatasi tanah ini dan rumah. Juni di Dunkirk segalanya kelabu, Liz. Orang-orang duduk berdekatan. Membalut badan dengan selimut yang usang. Ada yang bilang kami akan diselamatkan. Lucu ya, berangkat dengan gagah, tapi pulang harus dijemput dengan kekalahan. Semua saling menguatkan. Berbaris seperti ular yang lunglai. Yang paling depan bilang, sudah tampak cerobong kapal yang akan mengangkut.
Orang-orang berbicara lagi meski lirih. Kemudian, secepat itu saja, angin memberangus suara-suara. Stuka-stuka membidik. Menghujankan amunisi-amunisi dari langit. Laras-laras senjata teracung. Lempar granat. Lempar pelor dan bayonet. Suaramu hangus. Tawamu tinggal abu. Telingaku cuma menangkap desing peluru.
Pasir di bawah kaki bergejolak. Bumi bergerak. Kota yang nyaris mati berubah menjadi hantu. Liz, Liz, ini mungkin pantai terakhir yang akan aku lihat. Tidak biru. Tidak berpasir putih. TIdak ada punggungmu yang semanis mawar.
Debam. Debum. Dentam. Dentum.
Alex, ayo cepat, kapal sudah mendekat.
Dentam. Dentum.
Dentum.
.
.
Catatan penulis: sebelumnya cerita ini aku terbitkan di storial dot co untuk #NulisKilat tema fiksi historis.
