Sebuah bayangan melintas didepanku.

Ah? Siapa?

Langkahku sempoyongan.

Pusing sekali..

Kembali, bayangannya kembali lewat.

Besar!

Kupaksa untuk berlari.

Ah bagaimana aku bisa keluar? Dimana jalan keluarnya?

Ayah ibu, tempat apa ini?

Lorong..

Aku ingin keluar!

.

.

.

"Jinyoung bangun!"

Ah mimpi

"Kenapa sudah tidur? Masih jam 7." Dia menghela nafas. Aku mencoba mengumpulkan nyawaku. Nafasku tersengal, kepalaku masih pusing.

"Ibu dan ayah mau bicara padamu, cepat turun!" Ditarik lenganku dengan kuat, ia mendudukkanku. Tamparannya menghantam pipiku perlahan. Lalu ia meraih sebuah gelas berisi air putih yang bertengger dimeja sebelah ranjang.

Tus tus tus.

Sedikit kurang ajar, dia berani membasahi wajahku. Tetesan air itu berhasil membuatku muntab. Aku berdiri dan mendorongnya. Alhasil air dalam gelas yang ia genggam, tumpah membasahi piyama sutranya.

"Yah!! Begitukah cara kau memperlakukan hyungmu??" Dia berdiri meletakkan gelas ditempatnya semula. Wajahnya merah, tanda ia naik darah. Tangannya mengibas-ngibaskan piyamanya yang basah sambil mengumpat menyumpahiku.

Aku diam mengacuhkannya dan kembali tidur. Acara kelulusan sudah berakhir beberapa jam yang lalu, tapi ragaku masih lelah.

Sebuah tendangan mendarat di bokongku. Tidak terlalu keras, tapi rasa sakitnya berasa hingga ke area depan.

"Kau tak mendengarkanku??" Aku membalikkan badanku dan memandangnya dengan tajam. "Ibu dan ayah mau bicara padamu!" Kuangkat tanganku dan kuacungkan jari tengah.

"Bajingan!" Tenaga Wooyoung hyung kuat sekali. Aku diangkat dan dibopongnya keluar kamar. Aku meronta sekuat tenaga. Kupukuli punggungnya secara brutal. Kutendang-tendangkan kakiku, tak peduli jika itu akan menyakiti tubuhnya. Aku hanya ingin istirahat.

"Jinyoung kau!!!" Tubuhku terbanting kebawah. Ku kumpulkan energiku lalu berlari sekuat tenaga. Tapi aku terlambat. Tangannya meraih kerah piyamaku sedetik lebih cepat.

"Kau ini!!" Arms Lock. Aku tidak bisa berkutik. Diseretnya tubuh lelahku ini ke ruang biasanya kami berkumpul. Kulihat Ibu dan ayah memandangi tv sambil mengunyah kudapan ringan dari dalam toples. Mereka melihatku. Matanya mengisyaratkanku untuk duduk.

"Lama sekali..." Wanita yang pernah mengandungku selama 9 bulan, menyusuiku selama 2 tahun, dan merawatku sampai berumur hampir 2 dekade ini buka suara.

"Ada apa sih? Aku capek bu, aku mau tidur!" Kupegang lenganku dan ku gosok perlahan. Ini sakit.

"Ada berita buruk Jie." Ia meletakkan toples kue kering di atas meja. Wajahnya terlihat begitu serius. Matanya melihat mataku, sangat tajam.

"Ayah akan bangkrut." Wajahnya terlipat, membuat kerutan kerutan halusnya makin terlihat. Pria yang ia maksud hanya diam. Pandangannya tidak lepas dari sebuat tv flat besar menyiarkan orang orang yang saling berebut benda bulat menggelinding. Mulutnya tetap mengunyah.

Aku terkejut.

Akan bangkrut? Apa karena aku terlalu boros?

"Ayah sudah melakukan yang terbaik, namun tetap saja.." Ibuku menyatukan tangannya. Menempelkannya di dagunya yang lancip. "Tidak ada perubahan."

"Kita akan pindah rumah?" Kulirik Wooyoung hyung yang dari tadi hanya diam. Kulihat matanya berkaca-kaca, kepalanya menunduk, seolah mencoba menyembunyikannya.

Ibu tidak menjawab pertanyaanku. Ia menatapku. Kali ini berbeda. Tatapannya seperti memohon. Ah, atau kasihan? Aku tidak tahu.

"Ayah dan ibu butuh bantuanmu Jinyoung..." Suaranya lirih, seperti berat sekali untuk mengucapkannya.

"Katakan saja."

.

.

.

.

.

.

Aku mengunci diriku dikamar. Sudah dua hari aku tidak berniat keluar. Wooyoung hyung, ibu, ayah, para pembantuku, supir, tukang kebun, tidak berhasil merubah pikiranku. Aku ingin disini.

Aku tidak makan. Aku hanya minum. Minum air dari kamar mandi. Aku tahu ini gila. Aku bisa mati karena kelaparan atau bakteri karena minum air mentah. Tapi lebih baik mati dari pada aku harus menuruti kemauan ibu.

Aku menatap langit dari balkon kamar. Kurasakan hembusan angin yang menyentuh kulitku lembut. Aku ingin melupakan kenyataan yang ada.

.

.

.

-Flashback-

"Apa kau bersedia Jinyoung?" Ibu menggaruk surai coklatnya. Sengaja di beri warna karena uban sudah mulai tumbuh.

"Katakan saja bu." Aku tidak mengerti. Aku baru saja lulus dari sekolah menengah atas. Tidak mungkin ibu memberiku mandat untuk membantu ayah memimpin perusahaan yang telah ia dirikan selama ini. Aku tahu aku cerdas. Aku jenius. Tapi bukankah aku harus melanjutkan pendidikanku. Lagi pula Wooyoung hyung lebih pantas.

"Ibu tidak yakin Jinyoung." Hati ku sesak melihat wajahnya yang terlihat begitu lemah dan putus asa.

"Anggap saja ini balasanmu untukku yang telah membesakanmu dan mendidikmu sampai sebesar ini, kumohon tolong ibu! Tolong ayah!" Air matanya menetes. Ayah memalingkan tontonannya dan berburu mengelus punggung ibu.

"Apa bu? Kau bisa meminta bantuanku! Katakan saja!" Kepalaku panas. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Aku tak rela melihat wanita yang paling aku cintai ini menjatuhkan air matanya.

"Menikah..." Katanya dibalik napasnya yang memburu.

"Menikahkanmu..." Air matanya jatuh semakin deras.

"Perusahaan ayah, terlilit hutang pada Saint Corp Jinyoung..." Ibu mengusap pipinya yang telah basah.

"Untuk menyelesaikannya, mereka ingin ayah bekerja sama."

"Sebuah kerjasama tentusaja harus saling menguntungkan, kau tahu kan?" Ia mencoba tegar. Melepaskan anak secepat ini bukanlah hal yang mudah baginya. Aku tahu.

"Menyerahkanmu pada anaknya, setelah itu, hutang lunas, perusahaan ayah akan membaik, atau bahkan lebih baik."

"Kerjasama Jinyoung..."

"Bantu ibu..."

-Flashback end-

.

.

.

Aku rela menjadi miskin, sungguh aku rela. Tak bergelimang harta dan hidup dirumah yang kecil pun aku rela. Kenapa harus begini? Kenapa harus aku?

Tok tok tok...

Suara ketukan pintu mengalihkan pikiranku. Lamunanku buyar.

"Jinyoung..." Suara itu, Wooyoung hyung.

"Jinyoung, kau harus makan... Sesuap saja jinyoung."

"Jinyoung... tolong jangan acuhkan hyung..."

Aku yang terduduk diteras balkon akhirnya berdiri. Aku mendekat ke pintu kamarku. Mendekati Wooyoung hyung yang berada dibaliknya.

"Jie... Hyung mohon..." Suaranya melemas. Nada itu, nada putus asa.

"Maafkan hyung jie.. Maafkan hyung karena tak bisa berbuat banyak..." Terdengar isakan dari sini. Hyungku menangis?

"Aku sudah bicara pada ibu Jie, aku sudah bilang biar aku jasa yang menggantikanmu..." Aku terkejut.

"Tapi perusahaan sialan itu memilihmu, bukan aku..."

"Jie.. Ini bukan salah ibu atau ayah..." Suaranya parau. Sesak. Itu yang aku rasakan sekarang. Lidahku kaku. Aku membisu. Hanya bisa bersandar di daun pintu, lalu terdiam.

"Jie... Hyung mohon..."

Ceklek!

Aku membuka pintu. Kudapati Wooyoung hyung terduduk lemas dilantai, dengan ditemani nampan yang berisi makanan kesukaanku dan segelas susu.

"Aku tidak keberatan hyung!" Nadaku kutinggikan. Dia harus tahu kalau aku ini marah, kecewa.

"Aku tidak begitu keberatan hyung kalau yang dijodohkan padaku itu seorang yoeja!" Air mata ini tak kuasa kubendung lagi. Mengalir sangat deras.

"Yeoja 10 tahun lebih tua pun aku tak keberatan hyung!!"

"Tapi kenapa namja????"

.

.

.

.

.

"Bersambung..."

Tenang aja, dilanjut secepatnya kok...