Title : If Only

pairing : YunJae

Genre : romance, drama

Length : chaptered

Rated : M

Disclaimer : ff ini milik ShimXam, dengan pairing asli Homin, di remake oleh saya dengan judul dan jalan cerita yang sama. Dengan pengubahan seperlunya. Nama Jaejoong dan Yunho dan artis hallyu lainnya yang disebutkan hanya pinjaman dan tidak mempresentasikan artis sebenarnya di dunia nyata. Tidak berniat mencemarkan nama baik mereka, keluarganya, teman dan manajemen mereka. Tidak ada uang yang dihasilkan dari pengerjaan fanfiksi ini. Tidak berniat melanggar hak cipta. Murni fiksi belaka

Rain

Baru saja tiga puluh menit yang lalu aku pergi dari apartemenku. Niatnya sih ingin bersepeda sebentar di gunung dekat rumah. Tapi sepertinya alam berkata lain. Butiran besar air hujan tiba-tiba jatuh membasahi tubuhku yang tengah mengayuh sepedaku sekuat tenaga menuju tempat berteduh terdekat yang terlihat. Akhirnya smoking area di ujung jalan sana menjadi tempat pemberhentianku selanjutnya. Terpaksa. Yah, mau bagaimana?

Gawat juga kalau aku tetap keras kepala bergi ke sana dan berakhir dalam timbunan tanah longsor.

Setelah memarkir sepedaku asal, aku langsung lari terbirit-birit masuk. Mengusap lenganku yang dingin tertimpa butiran air hujan. Mengibas kausku seakan dapat membuatnya kering dalam sekejap. Aku menghela napas kecewa. Kenapa hujannya deras sekali?

Tak lama kemudian sepertinya seorang yang bernasib sama denganku tengah memarkirkan sepedanya pun kemudian buru-buru memasuki ruangan ini. Mengumpat kecil sambil menyibak rambut sebahunya yang basah kuyup, melekat di wajah dan lehernya. Tanpa sadar aku melirik pada lelaki itu yang kini tengah duduk tak jauh dariku. Kalau dilihat-lihat sepertinya dia masih cukup muda. Sangat malah. Kaus abu berbahan katun sederhana dengan celana jeans yang sedikit robek pada bagian lutut ala anak kuliahan. Sepertinya anggota pecinta alam atau sejenisnya. Jelas sekali ekspresi kesal diwajahnya. Begitu duduk dia langsung mendengus lalu menyelipkan sebatang rokok dibibirnya. Tidak lama sampai dia kembali mengumpat mendapati pemantiknya kehabisan gas.

"nih." tawarku sambil menyodorkan pemantikku kearahnya.

Dia hanya menatapku singkat sebelum tersenyum kaku, menerima tawaranku. Tak lama kemudian asap putih sudah mengepul-ngepul diatas kepalanya. Kepalanya yang menengadah membuat tetesan air dari rambut blonde sebahunya semakin membasahi bahu. Ia menghela napas lelah. Tanpa sadar aku tersenyum kearahnya. Melihat reaksiku dia balas tersenyum canggung sambil mengangguk sopan.

"kuliah dimana?" tanyaku membuka pembicaraan. Dia menoleh padaku sebelum menghembuskan asap putih dari mulutnya buru-buru.

"Kyung Hee." jawabnya singkat. Aku mengangguk-angguk seperti orang tua.

"jurusan apa?"

"Bioteknologi. Seni musik." aku bersiul pelan mendengar jawabannya. Dia hanya tersenyum kecil saja.

"dua? Banyak amat?"

"hm.. ibuku suruh ambil musik."

"Bioteknologinya ayah yang nyuruh?" basa-basi sekali aku ini..

"nggak. Menurutku aku berbakat disitu."

"oh.."

Kehabisan bahan pembicaraan, aku mulai mengikutinya mengisap batang rokok yang masih tersisa di kantungku. Sayangnya sudah basah semua terguyur air hujan. Sial. Mau apa sekarang?

Beli makanan tidak bisa.

"silahkan, om." ujarnya sambil menyodorkan bungkus rokok padaku. Lengkap dengan seulas senyum ala pebisnis muda di wajahnya.

Aku balas tersenyum sebelum mengambil sebatang rokok darinya.

"panggil Yunho aja. Jung Yunho. Aku masih 21 tahun, kok." kataku sambil menyulut batang rokok dimulutku. Dari sudut mata aku bisa melihat mulutnya membulat dengan ekspresi kaget, mata besarnya seperti hendak keluar. Aku hanya tertawa renyah saja.

"dimaafin." ucapku tiba-tiba. Dia tersenyum canggung.

"kamu?" tanyaku lagi.

"ya?"

"Jung Yunho. 21 tahun. Mahasiswa. Yah, kerja sambilan jugalah. Itung-itung buat penghasilan tambahan."

Dia memerhatikanku sebentar sebelum mulai membuka mulut.

"Kim Jaejoong. 18 tahun. Kerja sambilan juga."

"Oh ya? Kerja apa?" tanyaku ingin tahu.

"Rahasia."

Aku terkekeh-kekeh tidak penting. Kembali membiarkan suara tetesan air hujan menutupi keheningan diantara kami. Asap putih yang mengepul dari mulut kami pun hanya mengapung malas tanpa suara. Ah, aku tidak suka kalau terlalu sepi. Gemerlap dunia malam dan dentuman musik pesta yang sudah terlalu familiar di telingaku membuatku tidak bisa memberi toleransi pada sunyi.

"Jaejoong.." baru saja aku hendak membuka pembicaraan sebelum suaraku tercekat diujung tenggorokan.

Entah mengapa melihatnya yang tengah berusaha membuat lingkaran-lingkaran asap putih dari mulutnya yang imut itu membuatku ingin tertawa. Apalagi melihat alisnya yang mengerut tidak suka melihat hasil kerjanya. Atau berdecak kecil melihat asap yang dibentuknya hanya berupa gumpalan tak berbentuk jauh dari harapannya. Menyadari aku perhatikan, dia langsung menghentikan usahanya dengan wajah tidak bersalah. Aku tertawa renyah.

"kalau masih 18 tahun berarti masih tinggal sama orang tua ya?" tanyaku penasaran. Dia hanya mengangguk singkat sambil kembali menghisap batang rokoknya dalam-dalam, berusaha menyelamatkan keadaan.

"kamu tinggal didaerah mana?"

Bocah lelaki itu kelihatan tidak nyaman dengan pertanyaanku. Dia bergerak-gerak di tempat duduknya. Melihat keadaan ini aku berujar cepat.

"oh? udah reda, nih!" ujarku sumringah. "mau sepedaan juga, kan?"

Dia mengangguk singkat.

"mau bareng?" tawarku yang dibalas oleh anggukan kepala dan sebuah senyuman.

Entah kenapa rasanya senyumku melebar. Kubentuk sebuah lingkaran asap dari rokokku di depannya sebelum dipadamkan. Mata bulatnya membesar. Aku nyengir lebar.

"nggak usah tanya kok bisa. Nanti kuajarkan diatas." balasku sembari bersiap diatas sepedaku. Dia hanya tersenyum-senyum saja sambil mulai mengayuh sepedanya mengikutiku. Aku tidak ingat bicara apa saja sepanjang perjalanan. Yang kuingat hanya dia yang selalu tertawa renyah mendengar ceritaku atau membatu tanpa suara oleh lelucon kunoku yang sama sekali tidak lucu baginya. Tau-tau saja kami sudah harus berpisah jalan menuju pulang. Cepat sekali. Tidak terasa. Seperti tidak melakukan apa-apa. Ingin mengulang kembali rasanya.