Cerita ini untuk Rise Star dan para reviewer.
Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.
Pairing: Hermione Granger & Terence Higgs.
Warning: Nama Terence Higgs pertama kali dicantumkan di buku Harry Potter dan Batu Bertuah, halaman 234. Hestia Carrow merupakan salah satu gadis kembar anggota Klub Slug yang muncul sekilas di film Harry Potter dan Pangeran Berdarah Campuran.
Rating: T
Bagi Hermione Jean Granger, Terence Higgs tak ubahnya oksigen yang berhembus masuk ke dalam paru-paru, pelan tapi pasti mengisi detak nadi kehidupan. Ya, seperti itulah sosok Higgs di mata Hermione, perlahan-lahan menyelubungi hati dan membungkus sukma dengan luapan perasaan cinta yang makin nyata seiring berlalunya masa.
Dibandingkan penghuni rumah asrama Slytherin lain, Higgs memang seperti bayangan. Tak terlalu mencolok dan sederhana. Namun, kendati tidak seglamor teman sekamarnya, Adrian Pucey maupun tak sebeken Kapten tim Quidditch Slytherin, Marcus Flint, Higgs tetap tak sepi peminat. Terbukti dengan banyaknya murid-murid perempuan Sekolah Sihir Hogwarts yang tergila-gila dan berbaris mengantre untuk menjadi pacarnya.
Hermione sendiri sudah menyadari pesona Higgs sejak tahun pertama bersekolah. Atau lebih tepatnya di pertandingan Quidditch Gryffindor versus Slytherin.
Ketika itu, Higgs memang kalah cepat dalam merebut Golden Snitch dari tangan teman baik Hermione, Harry James Potter. Kegagalan yang pada akhirnya berujung pada kekalahan telak skuat Slytherin. Tapi, meski tak berhasil menang, permainan Higgs yang menawan mampu menyita perhatian Hermione yang awalnya tak begitu menyukai turnamen olahraga terbang tersebut.
Ketertarikan Hermione makin meninggi di musim berikutnya. Di tahun kedua itu, Draco Malfoy, musuh abadi Harry mengejek Hermione dengan sebutan rasis paling sadis, Darah Lumpur kotor.
Tak seperti punggawa Quidditch Slytherin lain yang mentertawakan kesedihan Hermione dan nasib sial sobat kental Hermione, Ronald Bilius Weasley yang ketiban kutukan muntah siput hidup, Higgs memasang wajah sehambar mungkin.
Hanya kilatan emosi di bola mata hijau pekatnya-lah yang memberi sinyal pada Hermione kalau Seeker cadangan Slytherin itu berniat menyumpal mulut kurang ajar Malfoy dengan puluhan keong jumbo berlendir yang berlomba-lomba melompat dari tenggorokan Ron.
Beberapa jam usai insiden ejekan Darah Lumpur, Higgs menemui Hermione di perpustakaan sekolah. Hermione yang tengah membaca Kitab Mantra Standar Tingkat Dua terperangah tatkala Higgs menyatakan keprihatinan terkait hinaan Malfoy yang keterlaluan.
Kala itu, perasaan Hermione jumpalitan tak menentu. Hermione merasa sangat terharu mengetahui ada siswa Slytherin berdarah murni yang tak memandangnya sebagai sampah tak berharga. Hermione juga sangat tersanjung mengetahui pemuda yang mulai mengisi batinnya mau menganggapnya sebagai sesama manusia yang sederajat dan sejiwa.
Sayangnya, sesudah peristiwa yang membuat bunga-bunga cinta pertama bersemi, Hermione tak lagi memiliki kesempatan mendekati remaja kalem berambut cokelat kehitaman itu. Kemanapun melangkah, Higgs tak pernah sendirian. Jika tak bersama rekan-rekannya di Quidditch Slytherin, pemuda atletis itu pasti dikelilingi deretan gadis pemuja yang berisik dan narsis.
Begitulah, tiga tahun pun berlalu sia-sia tanpa manuver berarti. Hermione nyaris saja melupakan cinta monyetnya sampai sebuah kenyataan mengejutkan terjadi di pelajaran Telaah Muggle Tingkat Lanjut.
Bidang studi yang langsung mengubah perjalanan cinta mereka untuk selama-lamanya...
"Selamat pagi, Granger," Higgs menyapa ramah, tanpa sungkan-sungkan meletakkan tas sekolah di atas meja. Selama beberapa saat, Hermione terdiam membisu, tak bisa mengucapkan sepatah kata pun. Seribu satu pertanyaan beredar di benak Hermione, mempertanyakan keberadaan Higgs di kelas yang identik dengan benda-benda berbau Muggle. Bidang studi yang sejak lama dimusuhi dan dijauhi komunitas penyihir berdarah murni.
"Higgs, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hermione pelan, akhirnya bisa memaksa pita suara untuk kembali beroperasi. Memandangi wajah Hermione dengan sorot hangat, sudut bibir Higgs menukik ke atas, menyiratkan seulas senyum memikat.
"Mau mengikuti pelajaran Telaah Muggle tentunya," jawab Higgs santai, menepuk-nepuk kursi kayu di samping kanan. Mendesak secara halus agar Hermione yang masih terpaku membatu segera mengambil posisi tepat di sebelahnya.
Menelan ludah yang menyumbat kerongkongan, Hermione menurunkan tubuh di bangku kayu. Saat tatapan panas Higgs mengiringi setiap pergerakan, Hermione merasa jantungnya berdentam-dentam seperti kuda pacu gila. Saking kencangnya, Hermione yakin bunyi debar jantungnya bisa didengar oleh penyihir paling congek sekalipun.
"Ikut pelajaran ini? Tapi kau kan senior berdarah murni?" cecar Hermione, merasa agak sedikit tolol setelah pertanyaan tak etis tersebut keluar dari mulut.
Bodoh, bodoh, bodoh, Hermione merutuk dalam hati. Memangnya kenapa kalau penyihir ras unggul seperti Higgs ingin belajar Telaah Muggle? Bukankah Hogwarts sekolah yang menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan kemerdekaan berpendapat sehingga kehadiran Higgs di Telaah Muggle sepatutnya tak perlu dipertanyakan lagi?
Tersenyum sabar, Higgs meremas tangan Hermione yang terlipat rapi di pangkuan. Sentuhan hangat tak terduga tersebut membuat gadis bergigi berang-berang itu nyaris terlonjak menembus langit-langit kelas.
"Setiap siswa tahun terakhir diizinkan memilih satu mata pelajaran tambahan. Dan aku memutuskan ikut pelajaran Telaah Muggle."
Mulut Hermione menguak dan menutup seperti baru belajar cara berbicara. Hermione sama sekali tak menduga pemuda sepintar dan seterhormat Higgs berniat mempelajari Telaah Muggle. Subjek yang selama ini distempel sebagai mata pelajaran paling menjijikkan bagi kalangan priyayi darah murni.
Lebih dari itu, Hermione sama sekali tak menduga Higgs mau repot-repot duduk di sampingnya, di sebelah penyihir keturunan Muggle seperti dirinya. Padahal, masih banyak bangku kosong yang tersedia. Termasuk di dekat kerumunan siswi Hufflepuff berdarah campuran yang sedari tadi getol mengerdip-ngerdipkan bulu mata mereka.
Meski sedikit kebingungan, di dalam hati Hermione mensyukuri keputusan meneruskan mata pelajaran Telaah Muggle. Keputusan mubazir yang sempat ditertawakan habis-habisan oleh Ron dan Harry.
"Buat apa kau mempelajari Telaah Muggle sampai ke tingkat lanjut? Itu namanya kurang kerjaan, Hermione. Ingat dong kalau kau itu penyihir kelahiran Muggle yang sudah pasti tahu manfaat bebek karet," begitulah cemoohan lantang Ron sewaktu Hermione mengutarakan tekad untuk mengikuti kelas Telaah Muggle.
Tersenyum tipis, Hermione membuka ritsleting tas punggung, mengeluarkan segebung perkamen serta selusin pena bulu gagak edisi terbaru. Jika bisa dua jam belajar bersama Higgs, tak ada yang namanya istilah mubazir atau kurang kerjaan. Kesempatan langka seperti ini sudah tentu tak akan terulang lagi sebab sebagai seorang junior, Hermione tak memiliki peluang untuk mengikuti pelajaran yang sama dengan Higgs.
Ya, tak bisa. Kecuali di mata pelajaran ajaib yang satu ini tentunya...
Lima menit kemudian, ruang praktik Telaah Muggle sudah dipadati siswa berbagai asrama, minus Slytherin yang secara terang-terangan mengharamkan penghuninya menjalani pelajaran yang digawangi Profesor Charity Burbage.
Jika murid perempuan menguik genit dan ramai bergosip tentang keberuntungan mereka karena bisa sekelas dengan senior setampan Higgs, anak-anak cowok mendelik curiga. Prefek Ravenclaw, Anthony Goldstein bahkan berbisik-bisik tak suka dengan rekan sesama Prefek, Ernie Macmillan dari Hufflepuff.
Sapaan selamat pagi yang meluncur seiring kedatangan Profesor Charity Burbage memutus semua kasak-kusuk dan celetukan centil yang bertebaran. Memandangi wajah anak didiknya dengan penuh kasih sayang, Profesor Burbage tersenyum riang tatkala beradu pandang dengan iris hijau hutan Higgs yang bersinar cemerlang.
"Anak-anak, tahun ini kita sangat mujur karena murid tahun ketujuh Slytherin, Terence Higgs mau belajar dan mengenal lebih dalam kehebatan dunia Muggle bersama kita," ucap Profesor Burbage gembira, menatap hangat wajah Higgs dengan sepasang mata bulat rapi yang sebiru hamparan samudra.
Mengulas senyum singkat, Higgs merespon perkataan guru wanita yang bagi sebagian penghuni Slytherin dipandang sebagai hama yang wajib dibinasakan tanpa sisa dengan satu anggukan khidmat penuh rasa hormat.
Menepukkan kedua tangan di keliman jubah, Profesor Burbage berdeham singkat, meminta anak didiknya untuk menyimpan tongkat sihir mereka di dalam tas. Sesuai dengan aturan kurikulum, jentikan tongkat sihir memang tak diperlukan di mata pelajaran kali ini.
"Jika di tahun sebelumnya kita hanya belajar tentang asal-usul benang wol, tahun ini kita akan mulai merajut aneka barang dari benang wol," ucap Profesor Burbage antusias. Sepasang tangan kuatnya dengan sigap menarik keluar beberapa kardus besar berisi gumpalan benang wol warna-warni dari atas kabinet kayu antik berpelitur.
"Mulai sekarang, rekan kerja kalian dalam setiap praktik adalah teman sebangku kalian. Nah, tanyakan padanya jenis barang apa yang bisa kalian rajutkan untuknya. Begitu juga sebaliknya."
Mata Hermione melebar sebesar piring tatakan sewaktu mendengar pemaparan pembagian pasangan kerja tersebut. Berkolaborasi dengan Higgs sampai akhir tahun pelajaran? Wow, wow, wow. Berhubung durian runtuh seperti ini terbilang langka, Hermione bertekad untuk mendayagunakan rezeki nomplok ini sebaik-baiknya.
Berkeliling membagikan benang wol dan perkakas merajut ke setiap pelajar yang mendiami ruangan, Profesor Burbage dengan lihai mendemonstrasikan teknik merajut yang baik dan benar.
Keterampilan tangan penyihir berdarah campuran itu sungguh menakjubkan. Tak butuh durasi lama, Profesor Burbage berhasil membuat dua pasang kaus kaki bayi warna pelangi. Benda manis yang membuat seluruh anak-anak perempuan mendesah dramatis.
"Nah Granger," ujar Higgs tenang, mengalihkan perhatian Hermione yang terkesima memandangi kemahiran tangan Profesor Burbage.
"Kau mau aku membuatkanmu benda apa?"
Mengerjapkan mata, Hermione berupaya merancang jawaban sebaik mungkin. Sebenarnya, ia ingin Higgs merajutkan sweter atau baju hangat untuknya. Tapi, bagaimana jika bangsawan kharismatik itu juga menuntut hal serupa? Ia pasti tak akan sanggup membuatnya.
Untuk keperluan membuat topi wol bagi para peri rumah saja, Hermione sudah kenyang diolok-olok Ron. Menurut Ron, talenta merajut Hermione sangat memprihatinkan jika tak mau dibilang berantakan. Kemampuan mengenaskan yang membuat topi buatannya sering dianggap mirip alas ceret.
"Err... anu... itu," balas Hermione linglung, mengutuki diri sendiri karena mendadak gagap di momen penting seperti ini. Menaikkan alis cokelatnya, Higgs menepuk lembut pipi Hermione. Usapan Higgs yang sehalus beledu menimbulkan gelenyar hangat yang merambati setiap sel terkecil tubuh Hermione.
"Begini saja. Bagaimana kalau kita sama-sama merajut sarung tangan?"
Hermione cuma bisa mengangguk-angguk patuh seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Otak jernihnya langsung tak bisa berpikir sempurna saat jemari Higgs terus menari di tulang pipinya.
"Kira-kira ukuran sarung tanganmu berapa ya?" gumam Higgs pelan. Jemari kuatnya memegang dan membalikkan tangan Hermione, berusaha menganalisa jumlah benang wol yang dibutuhkan untuk membuat sarung tangan yang sesuai.
Muka Hermione yang sudah ditumbuhi semburat merah kian terasa panas membara. Hermione tak mengira sentuhan ringan Higgs di telapak tangannya bisa berdampak sedahsyat ini. Bagaimana jika lengan kokoh Higgs memeluknya? Bisa-bisa ia melebur dan mencair seperti gumpalan gunung salju di musim panas.
Kuatnya virus cinta yang menguar dari sentuhan Higgs membuat Hermione terbengong-bengong seperti kambing ompong. Gadis berambut gelombang itu juga hanya bisa manggut-manggut setuju ketika Higgs menyebutkan ukuran tangannya yang sebenarnya.
Wajar-wajar saja kiranya Hermione tak memperhatikan apapun selain pemandangan tangan Higgs yang terjalin di antara jemarinya. Dalam naungan tangan kekar Higgs, jemarinya terlihat rapuh dan sekecil kepik mungil.
Hermione menggigit sudut bibir bawahnya, membayangkan seperti apa rasanya dibelai oleh jari-jari tangan yang jantan dan mengundang itu. Seperti apa rasanya memasrahkan diri dalam cumbuan erotis jemari yang menggiurkan itu.
"Kok melamun, Granger? Ayo, kita segera mulai merajut," tukas Higgs enteng, tersenyum jenaka sewaktu pipi Hermione memanas dirambati rona merah sempurna.
Merunduk, Higgs membisikkan ukuran tangannya di lubang telinga Hermione. Hembusan napasnya menerbangkan ikal rambut Hermione, membuat gadis berhidung penuh bintik tersebut berdeham salah tingkah.
Mengangkat wajah, Higgs mengedip singkat sebelum mulai merajut sepasang sarung tangan untuk partner kerjanya. Selang beberapa menit kemudian, Hermione pun mengikuti jejak Higgs, merajut sepasang sarung tangan dengan konsentrasi tinggi.
Sarung tangan pria yang setiap jalinan serat dan benangnya dianyam dengan penuh rasa cinta...
"Tumben tak ada alas teko malam ini, Hermione?" tanya Ron iseng, memindahkan bidak catur sihir dengan gaya seorang ahli. Di seberang Ron, Harry mengernyit bingung, kelimpungan menghadapi pergerakan bidak caturnya yang terkunci sistematis.
Memelototi Ron yang asyik meletupkan Permen Karet Tiup Drooble; permen karet yang gelembung besarnya bisa menutupi seluruh permukaan Tembok Besar China, Hermione kembali melanjutkan aktivitas merajut sarung tangan untuk Higgs.
Keahlian merajut yang minim membuat Hermione harus bekerja keras selama beberapa minggu terakhir ini. Saking sibuknya, ia sampai tak memiliki waktu untuk membuat topi wol bagi para peri rumah. Topi wol yang selama ini menjadi senjata kampanye S.P.E.W, organisasi pembebasan peri rumah yang dipeloporinya.
Menggeliat mengganti posisi duduk, Hermione merenungkan kembali masa-masa indah yang dilewatinya bersama pemuda cinta pertamanya. Tak terasa, sudah sebulan mereka belajar bersama di kelas Telaah Muggle. Dalam waktu empat minggu, hubungannya dengan Higgs semakin menguat. Higgs bahkan tak sungkan menyapa dengan nama panggilan kesayangan yang diciptakannya, My Precious.
Dan, dalam waktu sebulan itulah sinar Higgs yang semula tak begitu terang kini semakin benderang. Gadis-gadis Hogwarts yang sedari dulu mengagumi Higgs kian terobsesi sewaktu mengetahui keahlian Higgs dalam menguasai praktikum Telaah Muggle.
Bayangkan saja, kurang dari seminggu, Higgs sudah menyelesaikan sarung tangan wol untuk Hermione. Sarung tangan merah marun dengan hiasan bordir bunga-bunga emas.
Usai merajut sarung tangan indah untuk Hermione, Higgs menjajal kemampuan membuat syal dan topi merah jingga. Seluruh murid termasuk Profesor Burbage kian tercengang-cengang ketika di akhir bulan Higgs memamerkan hasil karya yang terakhir, baju hangat perak dengan pola rumit di bagian depan dan belakang.
Membuang napas, Hermione menatap sarung tangan hijau toska yang baru setengah jadi. Ya ampun, sebagai penyihir keturunan Muggle, ia benar-benar merasa malu luar biasa. Seharusnya ia lebih andal dari Higgs, si darah murni yang baru empat minggu lalu mengetahui cara memegang dan mengoperasikan jarum jahit secara manual.
Tak mau terbenam dalam rasa minder, Hermione menata kembali rasa percaya diri yang terkoyak. Sarung tangan buatannya mungkin tak secantik sarung tangan bikinan Higgs, tapi Hermione yakin kehangatan yang ditimbulkan sarung tangan ciptaannya tak bisa digantikan oleh sarung tangan paling sempurna sekalipun.
Kehangatan yang sudah pasti terlahir dari curahan perasaan cinta dan kasih sayang yang semakin mendalam seiring dengan pergantian zaman...
Tepat seperti dugaan Hermione, Higgs sangat senang menerima sarung tangan hijau toska yang untaian benang-benang wolnya sedikit mencuat ke sembarang tempat. Tak sedikit pun Higgs menghina sarung tangan yang terlihat seperti sudah dicuci sampai ribuan kali. Tak setitik pun Higgs mencela gambar ular perak yang dirajut Hermione. Ular perak Slytherin yang di tangan Hermione jadi tampak seperti cacing perak kurang gizi.
Kesukaan Higgs pada sarung tangan kreasi Hermione kian terlihat ketika putra tunggal Wakil Menteri Sihir Kementerian Sihir Inggris, Bertie Higgs itu memakai sarung tangan tersebut sepanjang musim gugur dan musim dingin.
Walau sering diledek teman-teman Slytherin-nya karena mengenakan sarung tangan buluk, Higgs tetap setia memakai sarung tangan yang dari hari ke hari makin terlihat menyedihkan.
Hermione yang girang karena kerja kerasnya dihargai makin melambung setelah dirinya tanpa sengaja memergoki Higgs tengah mencium sarung tangan buatannya. Saat melihat adegan menawan tersebut, Hermione sangat berharap kecupan mesra itu dialamatkan padanya. Bukan untuk sarung tangan butut yang beruntung itu.
Hermione sendiri tak mau kalah membalas budi baik Higgs yang sudah merajutkannya sarung tangan merah marun berbordir bunga emas. Setiap hari di musim gugur dan musim dingin, Hermione selalu memakai sarung tangan indah yang tak kehilangan kesempurnaannya meski sudah dibersihkan berulang kali.
Adik bungsu Ron, Ginny Weasley yang piawai mengenali barang bagus saja memuji kualitas sarung tangan buatan Higgs. Kata Ginny, sarung tangan Higgs lebih halus dan bermutu ketimbang sarung tangan buatan ibunya, Molly Weasley yang selama ini terkenal lihai merajut dengan sihir.
Selain tampak memukau saat dipakai, ada lagi faktor pendukung yang membuat Hermione suka sekali mengenakan sarung tangan tersebut. Kendati berulang kali dicuci, aroma khas Higgs yang sewangi musim semi selalu merebak dari benang-benang merah marun yang terjalin rapi. Keharuman memesona yang membuat Hermione seakan-akan diselimuti rasa cinta tak terbatas.
Setelah praktik merajut berjalan cukup baik, Profesor Burbage makin bersemangat untuk meningkatkan level praktik Telaah Muggle ke tingkat yang lebih sulit. Kehadiran penyihir ningrat sekaliber Higgs yang dalam waktu singkat bisa menyerap semua manual juga menjadi alasan di balik melesatnya vitalitas Profesor Burbage dalam menciptakan materi baru.
Di sesi kedua praktik yang digelar usai liburan Natal, Profesor Burbage masuk ke kelas dengan membawa perlengkapan yang biasa dipakai pandai besi dan pembuat logam. Rupanya, penyihir berambut pirang kecokelatan itu hendak mengajarkan anak didiknya cara membuat cincin logam sederhana. Cincin yang ditujukan untuk melengkapi aura hari kasih sayang, empat belas Februari mendatang.
"Seperti biasa, kalian bekerja sama dengan pasangan yang sudah ditetapkan di awal tahun ajaran. Karena butuh alat khusus, tugas kali ini tak boleh dikerjakan di luar kelas. Sebisa mungkin diselesaikan di sini," tandas Profesor Burbage, menetakkan jari dengan perlahan di papan tulis yang berisi pemaparan proses mencetak dan menciptakan cincin logam.
Berdeham malu-malu, Hermione melirik Higgs yang masih tekun memandangi alat yang dibutuhkan untuk membuat cincin logam. Tak seperti biasanya, kali ini sorot mata Higgs tampak serius dan penuh strategi. Pandangan memperhitungkan yang membuat Hermione bertanya-tanya problema apa yang tengah dipikirkan kakak kelasnya tersebut.
Sadar dirinya diamati, Higgs memalingkan muka. Tersenyum lembut, pemuda berahang menawan itu menggenggam tangan Hermione yang bercokol di meja. Memainkan jemari Hermione, Higgs menggelitik dan mengusap. Gerakan akrab yang secara impulsif memaksa Hermione merenggangkan jemari yang terkepal.
"Nah, begitu dong My Precious. Kau harus rileks supaya aku bisa menentukan ukuran cincin untuk jari manismu," tutur Higgs tenang, tetap memasang senyum fenomenal yang menggiurkan. Seringai menggoda yang mampu merontokkan iman insan paling alim sekalipun.
Hermione makin tersipu-sipu mengetahui alasan di balik permainan jemari Higgs. Rupanya, Higgs berniat melemaskan tangannya sehingga bisa mendiagnosis ukuran cincin di jari manis.
Cincin di jari manis...
Sekelebat pemahaman mengusik pikiran Hermione. Astaga, untuk apa Higgs berencana membuat cincin logam yang nantinya bakal diselipkan di jari manis? Apa pemuda bertampang malaikat ini tak sadar dengan arti sakral dan suci di balik cincin jari manis?
Seolah memahami pekikan pikiran Hermione, Higgs menundukkan kepala dan menyentuhkan hidung mancungnya ke pucuk hidung Hermione yang berkerut. Derai napasnya mengusap pori-pori, mengirimkan sensasi penuh hasrat yang memikat.
"Cincin ini dibuat untuk memeriahkan perayaan hari kasih sayang. Jadi, akan lebih baik kalau ukurannya disesuaikan dengan jari manis," ungkap Higgs lembut, terus memaku pandangan ke netra cokelat Hermione yang terbelalak.
"Tapi yang lain sepertinya tak membuat cincin untuk dipasang di jari manis," kelit Hermione, menunjuk Anthony Goldstein dan Ernie Macmillan yang sibuk mengukur jempol partner masing-masing.
Tergelak pelan, Higgs mengacak-acak rambut lebat Hermione. Menautkan seunting ikal yang menggantung ke balik telinga, Higgs merunduk dan berbisik di cuping kuping Hermione.
"Mereka dan murid lainnya tak membuat cincin untuk jari manis karena berpasangan dengan sesama jenis. Lain halnya dengan kita," urai Higgs, mengangkat muka dan mengedip nakal.
Ternganga, Hermione mencerna semua fakta yang diungkapkan teman kerjanya. Memang benar, dari dua puluh siswa peserta kelas Telaah Muggle, hanya ia yang memiliki kolega lawan jenis seperti Higgs. Sisanya; delapan belas murid lainnya berpasangan dengan sesama jenis.
Mencium pipi Hermione sekilas, Higgs meletakkan alat pencair dan pembentuk logam di hadapan mereka. Bersenandung pelan, Higgs mengajak Hermione untuk segera beraksi membuat cincin logam murni.
Mengusap pipinya yang masih membara akibat kecupan singkat Higgs, Hermione dengan hati-hati memilih material logam serta desain cincin yang akan diproduksinya. Menjatuhkan pilihan pada motif natural yang tak terlalu sukar dicetak, Hermione memikirkan kembali semua tindak-tanduk Higgs yang makin berani. Gelagat agresif yang sudah pasti disyukurinya setengah mati.
Bersiap-siap memulai langkah pertama membuat cincin, Hermione mengucap syukur karena memilih kelas Telaah Muggle sebagai mata pelajaran pilihannya. Bidang studi yang pelan tapi pasti mengubah perjalanan cintanya untuk selama-lamanya...
"Hermione, ayo cicipi keik cokelat ini dan ceritakan padaku bagaimana rasanya."
Melompat antusias, Ginny menyorongkan sepotong cokelat kacang ke lubang hidung Hermione. Sebelah tangannya yang lain memegang erat seloyang cokelat kacang yang baru dibuat di Dapur Hogwarts.
Mengambil sesuap, Hermione mengunyah lambat-lambat. Lidahnya langsung bergoyang saat bertemu dengan rasa cokelat pekat yang memikat. Berdecak terpukau, Hermione menghabiskan sisa kue dengan antusiasme meluap-luap.
"Enak sekali kue racikanmu, Gin. Kau memang pintar memasak seperti ibumu."
Bertepuk tangan girang, Ginny meletakkan loyang kue di atas meja. Kucing gemuk Hermione, Crookshanks yang tengah menggerigiti gabus botol Butterbeer mendongak tertarik. Manik kuning jingga cerahnya memandangi nampan kue dengan penuh minat.
"Cokelat ini aku buat khusus untuk Harry. Aku akan menyatakan cinta pada Harry tepat di perayaan Valentine nanti malam. Semoga saja Harry menyukai cokelatku dan mau menerima cintaku," bisik Ginny malu-malu, menyeringai lebar saat Hermione mengacungkan dua jempol ke arahnya.
"Aku salut dengan keberanianmu, Gin. Tenang saja, aku yakin Harry pasti juga menyimpan perasaan sama sepertimu," cetus Hermione bersemangat, menepuk pundak Ginny dengan sentuhan bersahabat.
Mendongakkan wajah, mata cokelat kekuningan Ginny menatap balik iris cokelat Hermione yang bergetar bimbang.
"Kau sendiri kapan bisa jujur dengan perasaanmu? Kenapa tak kau nyatakan cintamu pada Terence Higgs malam ini?"
Hermione terkesiap kaget, tak menyangka perasaan yang dikunci rapat-rapat bisa tercium juga oleh orang lain. Menangkupkan tangan erat-erat di pangkuan, Hermione mengalihkan perhatian ke Crookshanks yang sibuk menjilati remah cokelat yang terjatuh di lantai.
"Aku tak senekat itu, Gin. Belum tentu dia punya perasaan khusus padaku."
Mendengus panjang, Ginny menggeser kamus Rune Kuno dan satu rol perkamen panjang yang diletakkan Hermione di bangku samping kanan. Mendudukkan diri, Ginny memandangi kakak kelasnya dengan sorot menyemangati.
"Jangan berlagak pilon, Hermione. Manula buta pun bisa tahu kalau Higgs memiliki perasaan istimewa padamu. Lihat dong tatapan matanya saat ia memandangimu. Perhatikan juga perilakunya yang gemar menyentuh dan membelaimu dengan lembut. Simak juga tutur katanya yang manis termasuk panggilan My Precious yang khusus ditujukan untukmu itu."
Keterkejutan Hermione kian menjadi-jadi. Ia tak pernah mengira siswa tahun keempat seperti Ginny bisa mengobservasi sedalam itu.
"Bagaimana kau bisa tahu sejauh itu, Gin?"
Menggoyang-goyangkan jari telunjuk, Ginny menyeringai girang. Iris cokelat keemasannya berkilat penuh konspirasi.
"Bukan cuma aku yang curiga, Hermione. Mayoritas penduduk Hogwarts juga sudah tahu kalau Higgs diam-diam menyukaimu."
Menyibakkan segumpal rambut merah paprika ke belakang pundak, Ginny mengedip jahil. Seringai konspirasi terus terpatri di lekuk bibir sewaktu putri bungsu keluarga Weasley itu membocorkan kenakalan lain yang dilakukan dua abang kembarnya.
"Fred dan George bahkan membuka bandar judi yang memasang taruhan kapan Higgs bakal menyatakan cintanya padamu. Mereka sudah seminggu ini rajin berkeliling sekolah mengajak anak-anak asrama lain untuk memasang taruhan."
Lolongan syok Hermione menggetarkan dinding Ruang Rekreasi, menerbangkan Crookshanks ke ujung koridor berdebu. Memungut kucing kesayangannya yang mengeong marah, Hermione mengentak-entakkan kaki di permadani Ruang Rekreasi.
"Jamban Pecah! Bagaimana bisa Fred dan George menjadikanku barang taruhan? Kalau saja dua anak nakal itu ada di sini, aku pasti tak akan segan-segan mematahkan hidung mereka jadi dua!" gerung Hermione berang, mengacak-acak rambut mekar dengan sebelah tangan hingga tegak menjulang tak beraturan.
Menahan tawa melihat rambut Hermione yang tak kalah jingkrak dari bulu jingga Crookshanks, Ginny menepuk bantal empuk yang melekat di sandaran kursi.
"Jangan terlalu dipikirkan, Hermione. Kau bisa mati muda kalau menganggap serius semua aksi konyol mereka."
Mendecih manyun, Hermione meletakkan Crookshanks di pangkuan. Memasukkan tangan ke saku mantel, Hermione meraba cincin perak berukir sederhana yang teronggok di dasar saku.
Bagi Fred dan George, taruhan tentang pernyataan cinta itu mungkin sekadar guyonan semata. Tapi, bagaimana jika Higgs keberatan dan merasa terganggu dengan perjudian perasaan ini? Bagaimana jika Higgs menganggapnya berkomplot dengan Fred dan George untuk program pemaksaan kehendak?
Kekhawatiran Hermione akan reaksi Higgs terhenti ketika seekor burung hantu milik sekolah mengetuk-ngetuk jendela Ruang Rekreasi. Mengangkat sebelah kaki yang digelayuti secarik pesan perkamen, mata bulat hewan malam itu menyorot pasti ke arah Hermione.
Bangkit dari posisinya, Hermione membuka daun jendela, mempersilahkan burung hantu abu-abu itu masuk ke ruangan. Bertengger ringan di bahu Hermione, burung hantu itu berkukuk sok penting. Paruhnya membuka dan menutup, menuntut Hermione untuk segera memberikannya upeti.
Tersenyum kecil melihat aksi burung hantu tengil itu, Hermione merobek bungkus Kacang Segala Rasa Bertie Botts milik Ron yang tergeletak di atas meja.
Membuka sebungkus, Hermione menjejalkan kacang warna hijau ke mulut si burung hantu yang menguak lebar. Kurang dari sedetik, si burung hantu tumbang, jatuh menimpa Crookshanks yang tengah memandikan buntut tegaknya yang bergelimangan debu.
"Ewh, kacang rasa ingus basi rupanya," dengus Ginny, mengangkat dan meletakkan burung hantu malang itu di sofa nyaman. Mendengkur panjang, burung hantu itu bergelung merapat, mendekatkan diri ke jemari Ginny yang mengusap-usap bulu kelabunya.
Usai membaca pesan yang dibawa si burung hantu, Hermione bergegas pergi keluar ruangan. Saking terburu-burunya, Hermione menyenggol Ron dan Harry yang berjalan bersisian di lubang pintu Nyonya Gemuk.
"Hei, mau kemana Hermione? Bukannya kita sebentar lagi mau pergi ke pesta Valentine di Aula Besar?" tanya Harry keheranan, meletakkan sapu balap Firebolt di sofa empuk terdekat.
"Aku ada perlu sebentar, Harry. Tenang saja, aku pasti datang ke Aula Besar," jawab Hermione sepintas lalu. Melambaikan tangan untuk merespon pertanyaan ingin tahu Ron, Hermione berderap lari meninggalkan Ruang Rekreasi.
Selama perjalanan menuju Menara Astronomi, Hermione sibuk menebak-nebak alasan mengapa Higgs meminta untuk bertemu di menara tertinggi di Hogwarts. Jemari Hermione yang masih mendekam di dalam kantung jubah mengelus cincin peraknya yang tadi pagi saat dinilai Profesor Burbage mendapatkan nilai Exceeds Expectations atau Di Luar Dugaan.
Sejujurnya, seusai pemberian nilai cincin, Hermione menyangka Higgs yang menyabet nilai paling menyilaukan, Outstanding alias Istimewa akan menukarkan cincin perak berukiran inisial namanya, TH dengan cincin buatannya. Pertukaran cincin yang sempat dijanjikan Higgs di awal praktik.
Tapi, semua mimpi hanya tinggal mimpi. Sampai pelajaran selesai, Higgs sama sekali tak menyinggung tentang rencana barter cincin. Pemuda bertubuh tegap itu hanya mengangguk singkat sebelum melenggang keluar kelas, meninggalkan Hermione yang diganduli jutaan pertanyaan.
Tak butuh waktu lama, Hermione yang dipecut rasa ingin tahu mendarat dengan selamat di Menara Astronomi. Di menara yang menyajikan panorama gerumbul pohon Hutan Terlarang serta permukaan air Danau Hitam, punggung bidang Higgs yang membelakangi Hermione bersinar kemerahan tertimpa mentari senja.
Seakan menyadari kehadiran Hermione, Higgs membalikkan badan dan bergerak mendekat. Berdiri berhadap-hadapan, Higgs menundukkan muka, mengamati pipi Hermione yang kemerah-merahan sehabis berlari kencang.
"Kenapa kau memintaku datang kemari?" tanya Hermione penasaran, sedikit terlena saat aroma tubuh Higgs yang menggairahkan terhirup hidungnya.
Tersenyum manis, Higgs menarik lembut ikal gelombang Hermione. Tak melepas tatapan, Higgs menyapukan rambut cokelat tebal itu ke pipi Hermione yang menghangat.
"Tadi pagi kita belum sempat bertukar cincin. Sekarang sebelum pesta Valentine dimulai, aku rasa kita harus bertukar cincin secepatnya."
Menarik napas pelan-pelan, Hermione memandangi wajah Higgs yang terpahat sempurna. Rupanya, praduga buruknya tak beralasan. Higgs bukannya tak mau berbagi cincin dengan penyihir kelahiran Muggle seperti dirinya. Higgs hanya tak sempat bertukar cincin sebab ia sedang sibuk dan tak punya banyak waktu. Mungkin Higgs langsung berlatih Quidditch seharian seperti Harry dan Ron yang tadi berpapasan dengannya di pintu Ruang Rekreasi.
Tersenyum ceria, Hermione menyodorkan cincin perak berukir yang dibuatnya ke tangan Higgs. Hermione tercekat sewaktu jemari Higgs menepis ringan cincin pemberiannya.
"Bukan begitu cara bertukar cincin yang benar, My Precious," tukas Higgs sabar, sekelebat kilat gairah terpercik di iris hijau gelapnya.
"Oh, terus bagaimana caranya?" tanya Hermione gundah, bertanya-tanya jenis transaksi apa yang diinginkan kakak kelasnya itu.
Menarik tangan Hermione, Higgs menyelipkan cincin buatannya ke jari manis Hermione. Mengilaskan senyum sarat janji, bibir Higgs bertutur lembut, "Hermione Jean Granger, maukah kau memberiku kehormatan untuk menjadi suamimu?"
Mulut Hermione membulat sewaktu mendengar pernyataan penuh tekad tersebut. Jenggot Naga! Apa benar Higgs barusan melamarnya? Memintanya untuk menjadi pendamping hidup untuk selama-lamanya?
"Higgs, apa tadi itu ucapan lamaran?" tanya Hermione lamat-lamat, menelan ludah dalam-dalam sewaktu senyuman predator membelah wajah tampan Higgs.
Menautkan jarinya di jemari Hermione, Higgs terus menatap intens. Tatapan sarat kepemilikannya tak jua surut sewaktu jemarinya mengusap lembut cincin yang melekat di jari manis Hermione.
"Iya, itu tadi lamaran dan cincin yang ada di jari manismu ini cincin pertunangan. Lihat saja insial yang aku buat."
Menatap cermat insial TH yang terukir di bagian atas cincin, Hermione bergumam perlahan, mengagumi inisial yang berhiaskan taburan intan permata.
"TH ini pasti kepanjangan dari Terence Higgs. Inisial namamu sendiri bukan?"
Derai tawa Higgs yang seindah simfoni mengisi Menara Astronomi. Mengecup jari manis Hermione, Higgs mengoreksi keterangan yang dijabarkan adik kelasnya itu.
"Bukan, My Precious," tutur Higgs ringan, merengkuh Hermione dalam kepitan lengan hangatnya.
"TH itu Terence Hermione. Inisial penyatuan nama kita berdua."
Gelombang senang yang menggenang membuat Hermione secara refleks menyurukkan kepala ke dada kekar Higgs. Mendesah pelan, Hermione menikmati denyut jantung dan keharuman tubuh Higgs yang menghanyutkan.
Menciumi pucuk kepala Hermione, Higgs berdeham gugup. Batinnya berharap-harap cemas menanti jawaban final yang sedari tadi belum dilontarkan Hermione.
Ya, sejak akil balig di usia empat belas tahun, Higgs yang tak pernah serius bergaul dengan perempuan mulai memandang Hermione sebagai satu-satunya gadis yang membetot perhatiannya.
Perbedaan usia dua tahun membuat Higgs menunda pernyataan cinta. Biar bagaimanapun juga, Hermione masih dua belas tahun dan duduk di bangku tahun kedua. Masih terbilang ingusan untuk diajak bermesraan.
Selama beberapa tahun terakhir ini, Higgs harus memuaskan diri memandang Hermione dari kejauhan. Ironisnya, satu-satunya momen untuk berkenalan bahkan harus melalui jalan menyakitkan. Harus melalui aksi laknat Draco Malfoy yang mengata-ngatai Hermione dengan umpatan jahanam sedunia, Darah Lumpur kotor.
Darah Higgs menggelegak sewaktu memori tentang hinaan rasis Malfoy mengapung di benak. Saat itu, kalau tak mengingat posisi Hermione yang terjepit bila seorang penyihir berdarah murni seperti dirinya maju membela, Higgs pasti sudah menghabisi Malfoy dengan tangannya sendiri.
Tapi, niat akbar itu terpaksa diurungkan sebab gadis-gadis Slytherin yang pendengki pasti tak akan tinggal diam jika mengetahui Hermione dibekingi oleh dirinya.
Ancaman balas dendam terselubung itulah yang membuat Higgs terpaksa mengutarakan kepeduliannya pada Hermione di perpustakaan. Penyesalan mendalam yang dijabarkan beberapa jam pasca insiden memalukan tersebut.
Usai permintaan maaf diam-diam itu, peluang Higgs untuk menempel dengan Hermione tetap nol besar. Kemana pun melangkah, Hermione pasti dijaga dua teman karibnya, Harry Potter dan Ron Weasley.
Jika tak dikawal Harry dan Ron, Hermione selalu berseliweran bersama sobat-sobat perempuannya. Penjagaan ketat semacam itulah yang membuat Higgs tak mampu mendekat dan mengenal Hermione lebih dalam lagi.
Setelah tiga tahun terbuang percuma, peluang emas menyambangi Higgs. Sebagai murid tahun ketujuh di Hogwarts, ia dan koleganya diberi kebebasan mengikuti mata pelajaran tambahan.
Paham bahwa dirinya bisa mengekori Hermione tanpa gangguan mengingat dua pengawal pribadi Hermione tak akan sudi masuk ke kelas Telaah Muggle, Higgs mencantumkan mata pelajaran yang diasuh Profesor Charity Burbage ke dalam bidang studi tambahan. Mata pelajaran istimewa yang pada akhirnya membuatnya bisa melamar Hermione seperti sekarang ini.
Menangkap dagu Hermione dengan jari, mata Higgs mengamati setiap detail dan sudut terkecil di wajah gadisnya, termasuk bintik-bintik cokelat yang selalu berkerut tiap kali penyihir cerdas itu mengernyitkan cuping hidung.
"Apa ini tak terlalu cepat, Higgs?" gumam Hermione, balik meneliti lekuk wajah Higgs yang tersaji sempurna.
Menghembuskan napas paham, Higgs mengusapkan pipi di rambut cokelat Hermione. Higgs mengerti bahwa serangan lamaran kali ini bisa dipandang sebagai tindakan terburu-buru. Namun, ia tak bisa lagi membendung perasaan khusus yang semakin menebal seiring dengan bergantinya waktu.
Belum lagi dengan taruhan spektakuler yang digagas si kembar Fred dan George Weasley. Bursa judi yang menjadi pergunjingan seru di Ruang Rekreasi Slytherin.
Taruhan yang membuat siswi Slytherin meradang dan berkasak-kusuk di belakang punggungnya. Taruhan yang secara tak langsung membuka kedok pemuja rahasia Hermione. Buktinya, semenjak perjudian itu beredar, beberapa siswa tahun terakhir tanpa sungkan melemparkan tatapan permusuhan setiap kali berpapasan di selasar.
Prefek Ravenclaw, Anthony Goldstein dan Prefek Hufflepuff, Ernie Macmillan saja berani menantang adu duel kemarin malam. Laga adu kutukan di Ruang Piala yang berhasil dimenangkannya dengan gilang-gemilang. Pertempuran sengit yang membuatnya sadar mengapa sejak dirinya menginjakkan kaki di kelas Telaah Muggle, dua bocah tanggung itu tak henti-hentinya menebar jarum permusuhan.
Menciumi puncak rambut Hermione, Higgs merenung dalam hati. Sekeras apapun nafsunya untuk mengikat gadisnya, ia harus mempertimbangkan perasaan Hermione yang tak pernah suka dipaksa. Dan demi memastikan jiwa Hermione tetap nyaman, Higgs rela menunda jawaban yang sangat ingin didengarnya. Setidaknya, ia akan setia menanti hingga akhir tahun ajaran nanti.
Terus memajang senyum penuh kasih, Higgs menelusuri kontur rahang Hermione dengan usapan jemari yang sehalus sutra. Beragam harapan menghiasi benak Higgs. Harapan untuk membentuk keluarga bahagia bersama Hermione. Keluarga penuh cinta yang tak pernah didapatkannya semenjak terlahir ke dunia.
"Kau tak perlu menjawab lamaranku sekarang, Hermione. Katakan saja 'ya, aku bersedia' jika kau sudah siap nanti."
Bibir Hermione berkedut geli. Ya ampun, Higgs benar-benar tak bisa menerima penolakan maupun kata tidak. Ia memang menunda waktu penentuan jawaban tapi tetap menginginkan mendengar kalimat 'ya, aku bersedia'.
Memukul pelan dada Higgs dengan kepalan tinju mungil, Hermione tergelak hebat.
"Higgs, kau itu ya-"
"Terence, Hermione. Namaku Terence," jawab Higgs, merengkuh kedua pipi Hermione dengan bilah tangan sebelum menempelkan kening ke pelipis Hermione yang merona.
"Terence... Terence," gumam Hermione lirih, mendaraskan nama depan Higgs dengan takzim. Desahan lirih itu memutus tali pengendalian diri Higgs yang setipis kulit ari. Tak mampu menangkis dorongan gairah, Higgs merenggut lembut rambut Hermione. Memanfaatkan kelopak bibir Hermione yang terkesiap kaget, Higgs menguasai Hermione dengan ciuman yang dalam, liar dan menyeluruh.
Setelah keterkejutan sesaatnya lenyap, Hermione balas merespon. Melingkarkan lengan di leher Higgs, Hermione merintih saat Higgs memperdalam ciuman posesifnya. Lagi, lagi dan lagi mulut Higgs melumat agresif, mengisi Hermione dengan hasrat purba yang menuntut untuk dituntaskan. Mengerang dalam, Higgs menyelipkan lidah, dengan penuh gairah mempermainkan titik sensitif yang dijelajahinya.
Ganasnya ciuman Higgs membuat dunia Hermione meledak dalam serabut cahaya. Satu-satunya yang bisa dipikirkan Hermione hanyalah tubuh keras dan panas Higgs yang menindihnya di pagar balkon Menara Astronomi. Satu-satunya yang bisa dirasakan Hermione hanyalah desah bergairah mereka. Desahan nikmat yang bercampur baur dengan dehaman dibuat-buat yang menguar dari balik punggung mereka.
"Ehem, ehem."
Terpaku kesal, Higgs dengan keengganan yang tak bisa ditutupi menghentikan ciuman panasnya. Melepaskan pagutan mulut, Higgs bersiap-siap merapal kutukan non-verbal pada tukang ngintip yang nekat menginterupsi privasi kencan pribadinya. Untungnya, sebelum mantra mematikan terucap, Hermione menyemburkan identitas asli si pengganggu.
"Ginny..." bisik Hermione samar, mengintip malu-malu dari balik lengan Higgs yang masih membelit punggungnya.
"Ehem, ehem," Ginny mengulangi dehaman sok manisnya. Dehaman melodramatis yang mirip sekali dengan batuk palsu Profesor Dolores Jane Umbridge, pejabat eselon atas Kementerian Sihir Inggris yang luar biasa sangar dan arogan.
"Ups, maaf kalau kita mengganggu," Lavender Brown, salah satu teman sekamar Hermione mengerling penuh arti. Melenggang agung seperti ratu, Lavender menghampiri pasangan hangat yang masih berpelukan rapat.
"Tapi, berhubung Hermione harus berdandan untuk pesta, kami harus menculiknya sesegera mungkin," Lavender berbicara dengan nada mengalun, sepasang mata bulat energiknya berkilat membayangkan gosip panas yang bakal disebarkannya nanti malam.
Di sebelah Lavender, Parvati Patil menjentikkan pesan dari Higgs yang dijatuhkan Hermione di lantai Ruang Rekreasi. Senada dengan teman sekamarnya, iris obsidian Parvati yang sehitam bayangan malam menerawang jauh, merenungkan akhir bahagia dari skandal cinta yang baru saja dipergokinya.
Melepaskan diri dari pelukan Higgs, Hermione berlari kecil menjejeri tiga teman perempuannya. Baru enam langkah berjalan, Hermione terhenyak ketika tangan Higgs menangkap dan merangkulnya dari belakang.
"Dandan yang cantik untukku, My Precious," bisik Higgs mesra, mengecup cuping kuping Hermione dengan pemujaan terang-terangan. Mengulum sebentar, Higgs dengan berat hati melepaskan dekapan. Tatapan membaranya tak lepas mencermati setiap ayunan langkah Hermione. Sorot penuh janji kenikmatan yang membuat Hermione tak sabar menanti masa depan...
"Ya Tuhan, Terence Higgs itu seksi sekali."
Tanpa berbasa-basi, Lavender mendudukkan Hermione di depan kaca meja rias. Mengambil sisir bergagang kayu yang terserak di samping alas bedak dan botol masker jagung, Lavender dengan telaten menyisiri rambut Hermione yang mekar berantakan.
"Betul, betul. Terence Higgs itu memang benar-benar seksi. Bokongnya kencang dan bagus lagi," Parvati mengangguk kompak, acuh tak acuh menanggapi lirikan sengit Hermione yang tak suka pantat padat kekasihnya diamat-amati.
"Ngomong-ngomong, ciuman kalian tadi dahsyat sekali. Untung saja kalian tak terjungkal dari pagar balkon Menara Astronomi saking bergairahnya," Parvati menghela napas seanggun mungkin sebelum menggeratak kotak rias yang tergeletak di atas nakas.
Memandangi pantulan wajah yang semerah bunga geranium, Hermione perlahan-lahan mengusap bibirnya. Batinnya mengembara mengenang memori ciuman berkesan yang baru saja dialaminya.
Ya, sama seperti Parvati yang terheran-heran, Hermione juga tak mengira pemuda sesantun Higgs bisa mencium seliar itu. Hermione benar-benar tak menyangka remaja sekalem Higgs mampu memberinya ciuman memabukkan yang membuat tubuhnya meleleh diamuk panas gairah.
"Jadi, ciuman itu simbol bahwa kalian sudah resmi berpacaran?" Ginny bertanya tanpa tedeng aling-aling. Membuka pintu lemari pakaian Hermione dengan tebasan tongkat sihir, Ginny menerbangkan gaun tanpa lengan berwarna merah terakota yang akan dipakai Hermione untuk pesta malam ini.
Mengambil busana merah bata yang melayang ke arahnya, Hermione tersenyum tersipu-sipu. Memakai gaun selutut itu dengan bantuan Lavender, Hermione untuk sesaat berpikir bimbang. Memilah-milah jalur alternatif terbaik untuk kisah percintaannya.
Ketimbang berahasia, akan lebih baik jika ia terbuka mengenai kondisi hubungannya. Lavender memang penggila gosip, tapi pacar pertama Ron itu pasti mau menutup mulut dan merahasiakan kenyataan yang sebenarnya.
"Terence memintaku untuk menikah dengannya."
Jawaban tak disangka itu membuat Ginny dan Lavender melengking terkejut. Parvati yang tengah berjuang memakai sari merah jambu bahkan terbatuk-batuk panjang. Menyelempangkan selendang tenun warna cerah di bahu rampingnya, Parvati menatap terkesima, tampak tak sabar menanti kucuran informasi berikutnya.
"Terus, terus, kau menjawab apa Hermione?" pekik Lavender tak sabar, membuka perangkat kosmetik yang sudah disiapkannya sejak siang tadi.
"Aku belum memberi jawaban pasti. Kata Terence, ia bersedia menunggu jika aku sudah siap."
Lolongan tak percaya kembali bergema di kamar yang diisi empat ranjang besar berkelambu beludru merah jambu. Saking kencangnya raungan itu, Crookshanks yang melingkar di bantal terbangun dari tidur panjangnya. Mendesis marah, Crookshanks menaikkan ekor sikat botol setinggi mungkin sebelum kembali berguling.
"Bego betul sih kau ini, Hermione," semprot Parvati lantang, tak menggubris pelototan mematikan Hermione yang tak terima dirinya disebut bego.
"Seharusnya kau langsung menerima pinangannya detik itu juga. Kurang apa lagi coba si Higgs itu. Pintar, kaya, tampan, seksi dan jago mencium," beber Lavender, mengacungkan jari-jarinya ketika menghitung semua keunggulan Higgs.
"Betul sekali," seru Parvati setuju, menggumamkan kalimat yang terdengar seperti 'jangan lupakan bokong kencangnya'.
"Andai saja pangeran idamanku juga melamar secepat itu," keluh Parvati, melesakkan pinggul di ranjang yang ditiduri Crookshanks, membuat kucing berbulu jingga lebat itu terlonjak dari posisi semula.
"Pangeranmu? Bah! Kalau yang kau maksud Zacharias Smith si pengecut dari Hufflepuff, sampai keriput pun dia tak akan berani mempersuntingmu," sindir Ginny pedas, mengusap-usap kepala Crookshanks yang menggeram marah karena lagi-lagi mimpi malamnya terusik.
"Zach bukan laki-laki penakut," semprot Parvati judes, membela pemuda pirang yang sudah dikencaninya sejak dua tahun terakhir.
"Terserahlah," ujar Ginny cuek, mengepang buntut Crookshanks yang menegak.
"Setahuku, pacarmu itu cuma jago membual saja. Efek dari serangan penyakit pecundang mungkin," ejek Ginny, menyebutkan jenis istilah penyakit yang dipopulerkan sejawat mereka di Ravenclaw, Luna Lovegood.
Memelototkan mata, Parvati mendengus suntuk. Tapi, rasa penasaran terkait kelanjutan asmara Hermione dengan Higgs mengendurkan kemarahan penyihir hitam manis berdarah India itu. Bagi Parvati, ketimbang membahas relasi putus sambungnya dengan Zacharias Smith, akan lebih menarik jika ia mengupas tuntas cinta terlarang dua asrama yang tengah dijalani sobat sekamarnya.
"Jadi intinya, kalian pacaran diam-diam begitu?" selidik Parvati, melentikkan bulu mata dengan sekali jentikan tongkat sihir.
Mengangguk pelan, Hermione mengernyit melihat rengutan di bibir Lavender. Membubuhkan bedak tabur ke wajah Hermione, Lavender bergumam gamang.
"Dengan kata lain kau ingin aku tutup mulut mengenai hubungan kalian? Termasuk lamaran sensasional itu?"
"Iya, bukannya aku malu atau apa. Tapi, saat ini umurku baru lima belas tahun. Rasanya masih terlalu dini untuk mengikatkan diri dengan seseorang."
Memulaskan lipstik terang di bibir, Parvati berdecak tak percaya. Berbalik menghadap Hermione yang tengah didandani Lavender, yang tersohor dengan kemampuan tata riasnya, Parvati mengacungkan jari telunjuk yang dicat warna merah muda menyala.
"Kau itu kolot benar sih, Hermione. Kau kan tak harus langsung menikah di tempat dengannya. Zaman sekarang wajar penyihir bertunangan di usia belia. Orangtuaku saja dijodohkan sejak mereka masih bayi."
Menghela napas, Hermione memandangi wajahnya yang sudah selesai dirias Lavender. Pertunangan sejak masih di dalam kandungan mungkin sudah lumrah terjadi di dunia sihir, tapi sebagai penyihir keturunan Muggle dan dibesarkan dengan pendidikan penuh pertimbangan, ia tak bisa mengambil keputusan dengan tergesa-gesa. Adat istiadat itulah yang membuatnya meminta waktu lebih untuk berpikir masak-masak.
"Sudahlah, anak-anak. Semua keputusan ada di tangan Hermione," bela Ginny tegas, berhati-hati mengancingkan gaun merah muda keunguan yang membelit tubuh langsingnya. Jubah pesta menawan yang baru bisa dibelinya setelah menabung mati-matian.
"Yang terpenting, lihat penampilan Hermione malam ini. Cantik sekali, bukan? Aku yakin, Higgs pasti langsung berlutut dan melamar Hermione lagi di depan kita semua," ujar Ginny optimis, merangkul hangat pundak teman baiknya.
Memeluk balik bahu Ginny, Hermione menahan rasa haru dan bahagia yang menguasai. Rasa gembira karena diberkahi dengan teman-teman perempuan yang sangat peduli padanya...
Memasuki Aula Besar yang penuh taburan renda merah muda, jantung Hermione berdebar tak karuan. Genggaman tangan Ginny yang sedikit bergetar makin membuat perasaannya tumpah-ruah tak beraturan.
"Hermione, aku mau ke tempat Harry. Kebetulan dia lagi berdiri sendirian di pojok sana," ujar Ginny perlahan, menunjuk pemuda berambut hitam awut-awutan yang tengah mencecap dan menyesap minuman segar di sudut ruangan.
Meremas tangan Ginny, Hermione mengilaskan senyum menguatkan seraya bergumam menenangkan, "Semoga beruntung, Gin. Aku yakin kau dan Harry akan menjadi salah satu pasangan baru yang lahir di malam ini."
Mengecup sepintas lalu pipi Hermione sebagai tanda terima kasih, Ginny bergegas menghampiri Harry, idola sekolah yang sudah dicintainya sejak bertahun-tahun lalu.
Keasyikan Hermione mengawasi interaksi Ginny dan Harry terpangkas tatkala Prefek Ravenclaw, Anthony Goldstein mengajaknya berdansa. Tersenyum dan menyambut uluran tangan kolega sesama Prefek-nya, Hermione melangkah anggun ke tengah ruangan dan mulai berdansa.
Baru sepuluh menit berdansa, kegaduhan sudah terjadi. Goldstein yang selama menari bersama Hermione selalu berbicara tanpa henti mendadak gagu membisu. Rupanya, pemuda berambut pirang emas itu terkena Mantra Langlock non-verbal, guna-guna yang membuat lidah seseorang melekat di langit-langit mulutnya.
Terpana heran, Hermione menatap punggung Goldstein yang kabur terbirit-birit menuju Ruang Kesehatan. Kebingungan Hermione berakhir setelah Neville Longbottom, anak laki-laki berwajah bundar yang selalu menjadi partner hebat di pelajaran Herbologi mengajak berdansa bersama.
Hermione yang mengetahui kegemaran Neville akan segala hal berbau tari-menari menyanggupi ajakan itu dengan senang hati. Namun, keanehan lagi-lagi terulang. Belum semenit berdansa cepat, Neville yang memang jago menari tak bisa mengendalikan kaki. Kedua tungkainya terus mengentak-entak dengan gerakan cepat dan memusingkan, membuatnya terlihat seperti penari balet kesurupan.
Melipat tangan di depan dada, Hermione menggeleng-gelengkan kepala saat Neville yang lelah dan kepayahan digotong beramai-ramai menuju Ruang Kesehatan.
Ada yang tak beres di sini, Hermione membatin dalam hati, melayangkan pandangan menyelidik ke seantero Aula Besar yang sesak dan padat merayap.
Usai menelisik cepat, pandangan Hermione tertumbuk ke sosok Higgs yang berdiri di seberang ruangan. Dari bahasa tubuh, tampak jelas kalau Higgs jenuh luar biasa mendengarkan ocehan gadis berambut panjang yang bertengger di sebelah kiri. Gadis tinggi ramping yang dikenali Hermione sebagai Hestia Carrow. Bangsawan Slytherin yang pernah satu kali menjadi rekan kerjanya di pelajaran Transfigurasi.
Walau Higgs berulangkali menguap lebar-lebar dan menampakkan roman muka bosan, Hestia rupanya tak ambil pusing. Selama bibir penuhnya berkotek-kotek, tangan Hestia terus meraba-raba lengan Higgs yang terbalut jubah pesta mewah warna hitam.
Tunggu dulu!
Meraba-raba?
Hermione memicingkan mata menyoroti pergerakan jemari Hestia yang mengembara ke mana-mana. Menggeram sebal, Hermione membisikkan mantra non-verbal, berharap kemampuan yang dipelajarinya diam-diam sebelum waktunya itu berguna.
"Rictusempra."
Sekejap setelah mantra menghantam Hestia, gadis bermata hijau zamrud itu terpingkal-pingkal seperti orang gila. Gelak tawa tak terkendali itu membuat murid-murid Slytherin yang mengelilinginya ternganga keheranan.
Selayaknya sifat dasar penghuni asrama berlambang ular perak, bukannya menyelamatkan Hestia dari terkaman mantra, punggawa Slytherin justru melempari mulut gua Hestia dengan benda aneh di sekitar mereka, termasuk kurcaci cilik pembaca surat cinta yang kebetulan melintas di meja.
Sempat terperangah sesaat, Higss akhirnya menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Mengedip samar ke arah Hermione yang mati-matian menyembunyikan seringai geli, Higgs menepuk lengan teman sekamarnya, Adrian Pucey yang terbungkuk-bungkuk mentertawakan kesialan adik kelasnya.
"Sebaiknya cepat bawa Hestia ke Ruang Kesehatan sebelum peri cebol malang itu mati keracunan iler."
Saking hebohnya terbahak-bahak, Pucey tak sadar ketika Higgs beranjak mengikuti Hermione yang sudah terlebih dahulu pergi menuju Menara Astronomi.
Menyenderkan lengan di pinggir pagar balkon, Hermione memandang setengah minat bulan sabit yang sedang bermain petak umpet dengan awan dan bintang. Di sela-sela ringkik jangkrik, angin bulan Februari mengusap lembut, menimbulkan gelombang dingin yang menyengat kulit.
Menggigit bibir, Hermione menyumpahi keputusan bersemayam di Menara Astronomi. Berdiam diri di menara paling atas dengan berbekal gaun tipis sama saja mencari wabah penyakit. Seharusnya sebelum sampai ke sini ia membawa jaket bomber atau jubah sekolah untuk melindungi tubuh dari serbuan angin malam.
Belum tuntas Hermione meratapi keputusan impulsif berdiam di Menara Astronomi tanpa bekal memadai, kehangatan menyenangkan menjalari sekujur tubuhnya. Menengok ke belakang, Hermione melihat Higgs tersenyum cemas, tongkat sihirnya tercengkeram erat di antara jari-jarinya. Rupanya Higgs baru saja melafalkan Mantra Penghangat untuk menetralisir efek negatif angin musim dingin.
"Kau bisa masuk angin kalau terus berdiam di sini, Hermione," ujar Higgs pelan, mendekati Hermione yang masih terpaku membisu. Berbalik arah, Hermione kembali memunggungi Higgs, menatap tanpa minat permukaan air Danau Hitam yang berkelap-kelip.
Saat memutuskan bersemedi di Menara Astronomi, Hermione tak berpikir panjang. Ia hanya ingin membuang pikiran buruk tentang Hestia Carrow. Meski sudah berhasil mengerjai salah satu fans fanatik Higgs dengan kutukan tawa geli tak terkendali, ia tetap merasa kalah.
Secara status darah, Hestia lebih unggul darinya. Hestia berdarah murni dan jauh lebih menarik. Hestia supel dan pintar bergaul. Hestia...
Jalinan prasangka Hermione tercerabut ketika Higgs merangkulnya dari belakang, mendekap dan menguncinya dengan erat. Tangan Higgs yang tersampir di sekitar perutnya membuat hati Hermione berdesir kencang.
Hermione mengerang lirih ketika Higgs menciumi pundak dan lengan atasnya yang telanjang. Bibir hangat Higgs mengecup dan membelai, mengirimkan gelombang elektrik ke seluruh sarafnya yang mendamba.
Mencoba mengalihkan sensasi yang membuatnya tenggelam dalam lautan berahi, Hermione memberanikan diri mengangkat topik yang pertama kali diingat. Pembahasan nasib sial yang menimpa dua pasangan dansanya. Anthony Goldstein dan Neville Longbottom.
"Terence, kau kan yang membuat Goldstein dan Neville jadi seperti itu?" tanya Hermione, memejamkan mata lekat-lekat ketika Higgs mengigit dan mengulum lembut titik sensitif di lehernya.
"Yep," ujar Higgs mengiyakan, terus berkonsentrasi memuja bahu atas dan leher Hermione dengan cumbuan bibir yang terlatih.
"Ya ampun, untuk apa kau lakukan itu?" tanya Hermione tegang, berbalik dan berhadap-hadapan dengan Higgs yang cemberut karena keasyikannya terganggu.
Memegang dagu Hermione di antara ibu jari dan telunjuk, Higgs memaksa Hermione mendongak dan menatap ke iris mata hijau lumut yang bersinar tegas.
"Kau itu milikku. Kau itu tunanganku. Aku tak akan pernah membiarkan laki-laki manapun menyentuh calon istriku."
Komentar posesif yang dilontarkan Higgs membuat Hermione menjulang ke langit ketujuh. Rupanya, Higgs juga merasakan kecemburuan dan rasa kepemilikan yang sama sepertinya. Rupanya, ia tak sendirian merasakan dilema dan curiga. Perangkap praduga dan prasangka yang timbul seketika saat melihat seseorang yang disayangi didekati orang lain.
"Tapi tak perlu membuat Neville jadi badut seperti itu. Kasihan dia. Lagipula, Neville jatuh hati pada Luna," kilah Hermione, meletakkan pipi di dada kokoh Higgs yang terbungkus tuksedo hitam pekat.
"Meski dia badut bego, Longbottom tetap saja laki-laki. Pokoknya, tak ada pria lain yang boleh menyentuhmu. Kecuali Harry Potter dan Ronald Weasley tentunya, mengingat mereka sudah seperti kakak laki-laki bagimu," tandas Higgs tak mau kalah.
Tak ingin memperuncing perdebatan, Hermione tersenyum tulus sebelum merangkulkan tangan ke pinggang Higgs. Meresapi belaian jemari Higgs di pundaknya, Hermione mendesah bahagia.
Ya, senang sekali rasanya memiliki seseorang yang mau mengerti dirinya. Seseorang yang mau mencintainya apa adanya. Seseorang yang mau memuja dan menyayanginya tanpa batas...
"Semua itu ada batasnya, Precious. Mau sampai kapan kau berniat merahasiakan kisah cinta kita?" Higgs bersungut-sungut sewot, dengan malas merebahkan pundak di kursi pojok ruangan. Lokasi terpencil yang selalu diduduki setiap kali mengikuti pelajaran Telaah Muggle.
Hermione meringis mendengar nada senewen yang meluncur dari bibir cemberut calon suaminya. Ya, tanpa ditekankan berulang-ulang pun Hermione tahu kalau perkataan Higgs benar adanya. Semua hal di dunia ada batasnya. Termasuk toleransi dan kesabaran yang diperlihatkan Higgs selama ini.
Sayangnya, Hermione tak bisa meredam emosi Higgs sebab Profesor Charity Burbage sudah memasuki kelas dengan memanggul sebuah mesin pencetak foto. Teknologi Muggle yang dari fitur luarnya saja sudah menawarkan banyak kecanggihan yang memukau mata.
"Anak-anak, setelah kita belajar membuat rajutan, cincin dan aneka macam kerajinan lainnya, sekarang saatnya kita sedikit bersantai-santai," tutur Profesor Burbage sumringah, mengawasi ekspresi tertarik yang terpampang di wajah murid-muridnya.
"Mesin pencetak foto ini merupakan bukti kemajuan teknologi Muggle. Mesin ini bisa merekonstruksi seperti apa wajah bayi kalian di masa depan. Yang diperlukan hanya foto kalian dan rekan kerja kalian."
Tanpa dikomando, anak-anak perempuan termasuk Hermione mendesah heboh, tak sabar untuk memegang dan menjajal mesin mutakhir tersebut. Semangat serupa juga terlihat di wajah siswa laki-laki, terkecuali Higgs yang masih memberengut di ujung ruangan.
"Berhubung ini berkaitan dengan foto bayi dan cuma Mr Higgs serta Miss Granger yang berpasangan dengan lain jenis, kita akan mencoba pertama kali dengan melihat gambar bayi mereka di masa depan."
Sejumlah murid laki-laki tertawa setuju menanggapi instruksi Profesor Burbage. Semua. Kecuali Anthony Goldstein dan Ernie Macmillan yang menggelembung cemburu. Di lain pihak, murid-murid perempuan tak bersikap terlalu frontal. Meski tergolong tak suka, mereka terpaksa mengangguk sepakat karena takut menghadapi sanksi detensi melawan guru.
Menggandeng tangan Hermione, Higgs mengajak gadis yang dicintainya menuju meja Profesor Burbage. Tersenyum keibuan, guru berparas ramah itu menjepret foto Hermione dan Higgs yang langsung dimasukkannya ke dalam mesin pencetak.
Tak butuh jeda lama, enam lembar foto keluar dari mesin modern tersebut. Profesor Burbage pun dengan bangga memamerkan setengah lusin foto itu melalui bantuan proyektor.
Hiruk-pikuk kian heboh tatkala enam foto yang terdiri dari tiga foto bayi perempuan dan tiga foto bayi laki-laki terpajang di papan tulis. Mayoritas siswi melenguh iri menyaksikan keimutan dan kelucuan bayi masa depan Hermione dan Higgs.
Hermione sendiri tak bisa menahan air mata bahagia ketika mengamati foto-foto yang menunjukkan perubahan muka si bayi dalam tiga periode, baru lahir, umur tiga tahun dan lima tahun itu.
Bayi perempuannya berambut cokelat lebat mengembang dan memiliki warna mata Higgs, hijau pekat memikat. Sedangkan bayi laki-lakinya berambut cokelat kehitaman dan bermata cokelat kayu manis seperti dirinya, lengkap dengan bintik imut di hidung mancungnya.
Higgs sendiri hanya bungkam seribu bahasa mengamati gambar menggemaskan itu. Reaksi dingin yang membuat kening Hermione berkerut prihatin. Dalam diam, Hermione bertanya-tanya apakah Higgs benar-benar marah karena sampai detik ini ia belum mau membocorkan identitas hubungan mereka yang sebenarnya.
Tak mau kalah dengan bayi Higgs dan Hermione, penghuni Telaah Muggle yang lain berebut mencoba keampuhan mesin pencetak foto calon bayi. Sedikit kericuhan terjadi saat murid-murid bertukar partner mengingat mesin canggih itu hanya bekerja pada foto pasangan berlainan jenis.
Higgs yang sudah kembali ke posisi semula hanya terdiam mengawasi teman-teman sekelasnya yang berbaris rapi seperti mengantre sembako. Higgs juga terus terpaku membisu saat Hermione berulangkali mengajaknya berbicara.
Menutup akhir pelajaran dengan senyum mengembang, Profesor Burbage mengajak murid-muridnya pergi bersama-sama ke Aula Besar untuk makan siang. Sebelum Higgs sempat bangkit dari kursi, Hermione yang tak tahan diabaikan mencekal lengan pacar rahasianya. Menuntut untuk diberi penjelasan di balik sikap beku yang dipertontonkan Higgs selama pelajaran berlangsung.
"Kenapa sih kau, Terence? Kau masih marah padaku?" tanya Hermione gusar, memaksa Higgs untuk menatap ke arahnya.
Mengangkat bahu, Higgs memandang ke balik tirai jendela, mengamati dedaunan pohon randu yang bergemerisik tersaput angin.
"Tidak, aku tak marah padamu, Precious."
Menautkan dua alis hingga membentuk satu garis, Hermione kembali memberondong kekasihnya dengan rentetan pertanyaan. "Oh ya? Lalu kenapa kau diam saja dan sepertinya sangat jemu selama pelajaran?"
Memasukkan kedua tangan ke saku celana, Higgs terkekeh merendahkan. Mengilaskan cengiran arogan, Higgs memakukan pandangan ke wajah Hermione yang merengut kebingungan.
"Aku tak habis pikir kenapa para Muggle bisa memercayai mesin idiot seperti itu," umpat Higgs sengit. "Merekayasa seperti apa muka calon bayi di masa depan. Pfft, menggelikan."
Kerutan di hidung Hermione makin bertambah dalam. Tumben benar Higgs menyepelekan dan melecehkan benda-benda Muggle. Biasanya selama ini pemuda berpostur flamboyan itu selalu memuji dan mengagumi kehebatan barang-barang non-sihir.
"Mesin itu memang bisa mengira-ngira rupa calon bayi kita, Terence. Hasil foto itu diolah dan dimodifikasi berdasarkan gabungan gambar potret kita berdua. Sebenarnya, caranya tergolong standar dan-"
"Aku tetap tak percaya," sela Higgs sinis. Sudut bibirnya melesak ke atas, mengukir senyum penghinaan.
Menghentakkan kaki, Hermione meninju udara dengan kepalan tangan kosong. Geregetan tak tahu harus bagaimana menyakinkan pujaan jiwanya.
"Percayalah, Terence. Mesin itu benar-benar bisa mereka-reka seperti apa wajah anak kita di masa depan. Duh, apa yang bisa membuatmu memercayai teknologi Muggle kali ini?"
Menyunggingkan senyum kemenangan, Higgs menatap Hermione lekat-lekat sembari berbisik mesra.
"Kalau begitu, menikahlah denganku, Hermione Jean Granger. Dan ayo kita buktikan kebenaran serta kehebatan mesin itu."
Mulut Hermione melongo seperti ikan koi kehabisan napas. Merlin, jadi kejudesan Higgs selama di kelas tadi hanya sandiwara? Hanya akting yang dilakukan Higgs agar ia mau membuktikan kebenaran mesin pencetak foto calon bayi itu dengan satu-satunya solusi yang ada? Menikah dan menghasilkan keturunan bersamanya?
Mengerjap menatap enam lembar foto yang tergeletak rapi di atas meja, mata Hermione memanas. Sejujurnya, ia ingin sekali menikahi Higgs. Bukan karena ingin menunjukkan kebenaran mesin buatan Muggle melainkan karena ia ingin menimang bayi lucu yang mewarisi perpaduan rupa dan genetika mereka.
Anak-anak yang merupakan bukti kuatnya cinta mereka...
Mengangkat muka, Hermione menatap Higgs yang masih tersenyum goyah. Bertolak belakang dengan kerapuhan dan ketidakpastian yang membayang di ujung bibir, mata hijau lumut Higgs bersinar-sinar penuh harap.
"Sebenarnya aku bermimpi dilamar secara romantis," ujar Hermione, langsung berniat menggaplok kepalanya sendiri karena mengeluarkan jawaban tak bermutu seperti itu.
Seringai licik terpahat di sudut bibir eksotis Higgs. Menarik tangan Hermione keluar kelas, Higgs bergumam serak di sepanjang perjalanan mereka menuju Aula Besar.
"Jika itu maumu, akan aku kabulkan keinginanmu."
Hermione masih sibuk bertanya-tanya apa rencana yang disusun Higgs sehingga tak sadar ketika dirinya sudah mendarat di Aula Besar yang dipadati siswa dan guru yang tengah menyantap jamuan makan siang.
Mengucapkan Mantra Sonorus yang memungkinkannya berbicara menggelegar sekeras mungkin, Higgs bertepuk tangan meminta perhatian seluruh penghuni Aula Besar. Perintah arogan yang dalam waktu kurang satu detik membuat seluruh murid dan staf pengajar terdiam membisu.
"Semuanya, aku Terence Higgs mengumumkan akan menikah dengan Hermione Jean Granger saat kami dewasa nanti. Ingat, tujuh tahun lagi Hermione Jean Granger akan menjadi Hermione Jean Higgs. Jadi, siapapun yang berani mendekati tunanganku setelah pengumuman ini bakal menerima konsekuensi paling menakutkan dariku," ungkap Higgs lantang.
Sedetik setelah Higgs selesai mengucapkan lamaran berbau ancaman, suara gedebuk keras terdengar dari meja Slytherin. Flora Carrow, kakak perempuan Hestia Carrow memekik-mekik histeris, berjuang membangunkan adik kembarnya yang jatuh pingsan mendengar pinangan yang bukan ditujukan untuknya.
Jika meja Slytherin kacau-balau dengan umpatan tak setuju, meja-meja lain bergetar dengan suitan dan cekikikan iri.
Di meja Gryffindor, Harry dan Ron tampak terbengong-bengong. Ekspresi kosong mereka nyaris identik dengan mimik muka para guru yang tak menyangka disuguhi adegan ala telenovela di jam makan siang mereka. Kecuali Kepala Sekolah Profesor Albus Dumbledore tentunya, yang mengedip bahagia sambil mengangkat piala tanda bersulang.
Berpaling ke arah Hermione yang mengepul malu, Higgs berlutut dan memegang jemari Hermione, mengecup lembut tiap ujung kuku gadis yang sangat dicintainya itu.
"Hermione Jean Granger, maukah kau menikah denganku?"
Tak berdaya membendung aliran air mata bahagia yang meluncur turun dari sudut mata, Hermione mengangguk mantap dan mengeluarkan jawaban terakhirnya. Keputusan final yang disambut sorak-sorai dan tepukan tangan bergemuruh yang membuat atap Aula Besar nyaris terangkat dari posisinya.
"Ya, Terence Higgs. Aku bersedia menikah denganmu..."
Sejak pinangan fenomenal yang masih jadi buah bibir selama berminggu-minggu, Higgs menghabiskan hari-hari dengan suka cita mendalam. Tak ada yang bisa memadamkan api semangat remaja laki-laki penggila olahraga terbang itu, termasuk bara permusuhan yang diluncurkan rekan-rekan seasramanya sekalipun.
Untungnya, meski memakan banyak waktu, pertikaian tak berdasar itu dimenangkan oleh Higgs. Mau tak mau, suka atau tidak suka, warga Slytherin terpaksa menerima fakta bahwa salah satu personel mereka jatuh cinta setengah mati pada si Princess Gryffindor, Hermione Jean Granger.
Persetujuan Hermione untuk menjadi istrinya, calon Nyonya Higgs di masa depan semakin membuat Higgs merasa menjadi penguasa dunia dan seluruh isinya.
Tidak, tunggu dulu. Coret kata seluruh isi dunia itu.
Ternyata, sampai detik ini masih ada yang belum bisa dikuasai Higgs. Ya, siapa lagi kalau bukan orangtuanya yang masih tersungkur dalam tetek bengek jeratan kasta dan status darah.
Pagi itu, sebelum berangkat ke Aula Besar untuk sarapan, Higgs dikejutkan dengan kedatangan burung hantu berbulu perak milik keluarganya. Burung hantu bersuara serak yang diutus untuk membawa segepok pesan dan wanti-wanti dari ayahnya.
Pesan yang isinya berbunyi seperti ini:
Dear Son.
Ibumu dan aku sangat kecewa mengetahui kau telah bertunangan dan mengikrarkan janji untuk menikah tanpa seizin dan sepengetahuan kami.
Tak tahukah kau bahwa keputusan sembronomu itu membuat ibumu tak henti-hentinya menangis? Bukankah kau tahu kalau sejak dulu ibumu selalu berangan-angan menikahkan dirimu dengan salah satu putri kembar keluarga Carrow?
Sejujurnya, aku sendiri memandang langkah yang kau ambil sangat terburu-buru. Bukankah kau sejak kanak-kanak berkeinginan menjadi penerus jejakku di Kementerian Sihir Inggris? Bukankah kau pernah bercita-cita tak akan menikah sebelum menyelesaikan studi lanjutan di Universitas Durmstrang?
Tapi, terlepas dari keputusan cerobohmu, nasi sudah menjadi bubur. Pohon keluarga kita yang berdarah murni akan ternoda.
Jika kau menanyakan apakah aku merestuimu, dengan berat hati kuserahkan tanggung jawab itu di pundak ibumu. Jika ia setuju, aku juga sependapat. Jika ia tak mau memiliki menantu penyihir keturunan Muggle, kau tentu tahu apa yang harus kau lakukan sebagai seorang anak yang berbakti pada orangtuanya.
Salam.
Ayahmu.
Meremas surat hingga penyok, Higgs memusnahkan kertas bertuliskan petuah ayahnya dengan Mantra Flagrate, mantra yang membuat sebuah objek terbakar habis tanpa sisa. Menyampirkan ransel di pundak, Higgs melesat keluar kamar sambil mengomel pelan.
Hari itu rupanya kesabaran Higgs benar-benar tengah diuji. Belum lepas dari kejengkelan karena pagi-pagi sudah diceramahi ayahnya, kedongkolan Higgs kian menjadi-jadi tatkala Hestia Carrow mendadak menghadang pergerakan langkahnya.
Tak cukup memblokir jalan, Hestia yang berwajah pucat sembap gara-gara terlalu banyak menangis mencekal lengan Higgs, membuatnya tak bisa berpindah satu senti pun.
"Minggir, Hestia. Aku sedang buru-buru dan tak berselera mendengar apapun yang ingin kau sampaikan padaku," labrak Higgs kasar, menghitung sampai seratus juta untuk meredam keinginan melempar teman sejak kecilnya itu sejauh mungkin.
"Terence, kenapa kau lebih memilih Darah Lumpur itu ketimbang diriku?" Hestia terisak parau, air matanya jatuh menetes-netes dan meluncur deras seperti bendungan bobol.
Dalam satu kedipan mata, Higgs menodongkan tongkat sihir ke tenggorokan Hestia yang tercekat kaget.
"Sekali lagi kau panggil calon istriku dengan sebutan amoral seperti itu, aku pastikan kau akan menyesal terlahir ke dunia ini!" bentak Higgs ganas, dampratan buasnya membuat beberapa kepala yang ada di Ruang Rekreasi Slytherin meneleng ingin tahu.
"Tapi kenapa, Terence? Kenapa bukan aku yang menjadi pendampingmu? Seharusnya kau menikahiku. Kau kan tahu kalau sejak dulu aku menyukaimu," cecar Hestia histeris, mengusap brutal sudut mata yang basah dengan telapak tangan.
Menggulirkan mata malas-malasan, Higgs menatap gadis manja yang bersimbah air mata itu dengan pandangan mencemooh.
"Aku tak akan sudi menikah dengan anak dari gundik ayahku. Anak dari seorang wanita jalang yang tega menghancurkan rumah tangga teman baiknya sendiri!"
Pernyataan Higgs tak hanya membuat Hestia terperanjat dan berhenti mengeluarkan air mata buaya. Lima murid Slytherin tahun ketiga yang tengah berkomat-kamit mengobrol di bangku panjang pun ikut-ikutan menganga tak percaya.
Melengkungkan senyum sinis, Higgs mengedarkan pandangan ke sekeliling Ruang Rekreasi yang mendadak sehening pemakaman.
"Oh ya, kalian semua tak menyangka bukan kalau ayahku, Bertie Higgs, pejabat penting di Kementerian Sihir Inggris yang selama ini dikenal sebagai pria setia penyayang keluarga ternyata berselingkuh dengan sahabat istrinya sendiri?"
Menunjuk hidung Hestia yang memerah, Higgs melanjutkan bocoran informasi. Suaranya bergetar menahan berbagai emosi yang berkecamuk. Kesedihan dan kekecewaan tak berujung terdengar dari setiap kalimat yang terlontar dari mulutnya.
"Ya, ibu si cengeng inilah yang membuat ayahku mengkhianati keluarganya sendiri."
"Tidak! Pembohong! Ibuku tak seperti itu!"
Jeritan penyangkalan Hestia bergaung nyaring di ruang bawah tanah Slytherin. Pekikan frustrasi yang dihiasi tangisan lara kakak kembarnya, Flora Carrow yang mencakung kikuk di ujung sofa.
Melirik sekilas ke arah Flora yang meratap sesenggukan, Higgs berujar lirih. Matanya yang berkabut duka menyapu wajah-wajah terpana yang terpampang di hadapannya.
"Tanyakan saja pada kakakmu apa yang kami saksikan di ruang kerja ayahku tiga tahun lalu. Tanyakan saja pada kakakmu apa yang tertulis di buku harian ibumu tercinta. Buku penuh skandal tercela yang dicuri kakakmu dari laci meja rias ibumu."
Menyenggol seorang murid tahun ketiga yang terbengong-bengong, Higgs berkelebat kencang menjauh dari Ruang Rekreasi. Pelipisnya berdenyut menahan sundutan emosi, perutnya bergejolak hebat seakan-akan jantungnya meluncur amblas ke lambung.
Setibanya di ujung koridor, Higgs mengempaskan punggung di dinding berbatu, bersusah payah menekan jeritan depresi yang menuntut dilepaskan. Menyandarkan kepala, Higgs menatap langit-langit ruang bawah tanah yang dihiasi kandil besar berisi lilin keemasan. Cahaya lilin bersinar redup, membuat suasana ruang bawah tanah yang dingin terasa semakin membekukan.
Brengsek! Higgs mengumpat kasar di dalam hati. Ayahnya benar-benar brengsek karena tak bisa menahan godaan perselingkuhan. Ayahnya benar-benar brengsek karena sampai hati meniduri sobat kental istrinya sendiri. Wanita sok suci yang selama ini dianggap Higgs sebagai ibu keduanya.
Memejamkan mata, Higgs berjuang mengubur memori pahit yang disaksikannya tiga tahun silam. Celakanya, perjuangan kerasnya sia-sia belaka. Tanpa diminta, kenangan perselingkuhan ayahnya dengan Madam Carrow, ibu Flora dan Hestia menyeruak ke permukaan. Seperti kumparan film, bayangan prahara yang terjadi di malam Pesta Natal tiga tahun silam itu bergentayangan di benaknya.
Malam itu, di tengah-tengah pesta yang berlangsung meriah, Higgs mengajak dua teman dekatnya, Flora Carrow dan Adrian Pucey bertandang ke ruang kerja ayahnya. Rencananya, di ruang pribadi itu, Higgs bakal memamerkan koleksi baru ayahnya, Golden Snitch langka dari turnamen Quidditch abad kedelapan belas yang baru dibeli dari rumah lelang.
Setibanya di depan pintu ruang kerja, Higgs terheran-heran menyadari pintu ruang kerja yang biasanya tak pernah terkunci kini tersegel dengan sihir. Dengan bantuan Tiny, peri rumah pengasuhnya yang bisa menembus selubung mantra seketat apapun, Higgs dan teman-temannya akhirnya bisa menyusup masuk ke ruang kerja yang berbatasan dengan ruang duduk dan perpustakaan.
Setibanya di ruang duduk, Higgs mendengar tawa rendah ayahnya yang bercampur dengan gelak renyah seorang wanita. Didorong rasa penasaran, Higgs dan kedua temannya mengintip dan menguping selama beberapa menit.
Dari sela-sela pintu yang menghubungkan ruang duduk dengan ruang kerja, Higgs melihat bagaimana Madam Carrow berusaha keras menebar jaring godaan. Rayuan mesum yang akhirnya tak bisa ditepis ayahnya. Bujukan maut yang berujung pada adegan menjijikkan yang merobek-robek hatinya.
Melihat gelagat Higgs yang ingin menyerbu dan menghajar ayahnya sampai babak-belur, Tiny, si peri rumah yang sudah mengasuh Higgs sejak bayi berinisiatif membawa ketiga remaja belasan tahun itu keluar dari ruang kerja.
Setibanya di luar ruang kerja, Higgs seolah mati rasa. Di sampingnya, di dalam rengkuhan Pucey, si kecil Flora terisak-isak tak berdaya.
Malam itu, hati dua anak yang beranjak remaja pecah berkeping-keping. Malam itu, kepercayaan Higgs akan adanya pernikahan abadi benar-benar musnah. Malam itu, Higgs menyadari bahwa kesetiaan dan cinta sejati cuma mimpi semu baginya.
Selepas insiden memuakkan itu, mereka bertiga sepakat tutup mulut untuk mencegah dampak buruk yang tak diinginkan. Walau belum dewasa, Higgs dan Flora mengerti bagaimana reputasi sangat penting di kalangan penyihir. Mereka berharap peristiwa terlarang itu hanya kekhilafan yang terjadi sekali saja.
Sayangnya, harapan cuma tinggal harapan. Kendati tak pernah lagi menangkap basah ayahnya, Higgs yakin hubungan rahasia itu tetap terjalin di belakang punggung pasangan masing-masing. Dan, melalui buku harian Madam Carrow yang dicuri Flora dari laci meja rias ibunya, Higgs baru mengetahui alasan pasti di balik terjalinnya relasi haram tersebut.
Rupanya, sebelum menikah, ayah Higgs dan Madam Carrow merupakan sepasang kekasih. Pasangan muda yang harus berpisah karena ayah Higgs dipaksa menikah dengan putri tunggal politisi ternama.
Rupanya, perpisahan bertahun-tahun tak bisa memadamkan bara cinta pertama. Nyala api yang pada akhirnya membakar hangus perasaan halus dua anak tak berdosa.
Kendati mengetahui faktor pemicu perselingkuhan ayahnya, Higgs tetap tak bisa mengendalikan sakit hatinya. Setiap kali melihat tampang ayahnya, Higgs dilanda keinginan untuk meludahi wajah berwibawa tersebut. Di mata Higgs, ayahnya cuma pecundang dan pembual besar. Pria munafik yang tak bisa menjaga janji suci yang dibuatnya sendiri di hadapan Tuhan.
Pada akhirnya, hanya wajah sendu ibunya-lah yang memaksa Higgs mengubur tekad lancang melabrak dan mempermalukan ayah biologisnya. Higgs yakin, ibunya yang naif dan rapuh tak akan bisa bertahan lama jika mengetahui perselingkuhan kelam yang dilakukan dua insan yang paling dikasihinya.
Kecemasan akan keselamatan jiwa ibunya itulah yang membuat rahasia memalukan tersebut tertutup rapat. Yah, setidaknya sampai beberapa menit lalu. Saat ini, seluruh siswa Slytherin pasti sudah mengetahui berita bombastis tersebut. Mungkin, dalam beberapa hari ke depan koran Daily Prophet dan tabloid politik akan disesaki berita tentang skandal seks Wakil Menteri Sihir dengan teman dekat istrinya sendiri.
Tepukan di pundak membuat Higgs yang larut dalam lamunan tersentak. Menengok ke samping, Higgs melihat teman karibnya, Adrian Pucey mengawasinya dengan pandangan bertanya-tanya.
Mengambil posisi bersandar di dekat Higgs, Pucey mendelik ke sejumlah siswa Slytherin tahun ketiga yang melintas di depan mereka sambil berbisik-bisik seru.
"Ya Tuhan, Terence. Kenapa kau umbar juga kasus itu? Bukannya kau bilang tak ingin membuat ibumu merana karena masalah ini?"
Menghembuskan napas letih, Higgs menatap paras iba Pucey. Jika bisa memilih, Higgs mungkin akan meminta perkataannya di Ruang Rekreasi ditarik kembali. Tapi apa daya, semua sudah terlambat. Nasi sudah menjadi bubur. Kini Higgs hanya berharap pada roda takdir yang bergulir. Roda nasib yang diharapkan tak menyeret keluarganya ke dalam jurang penderitaan.
"Aku terprovokasi ucapan sinting Hestia yang memintaku untuk menikahinya," dengus Higgs kasar, mengacak-acak rambut cokelat hitam tebal dengan sebelah tangan.
Berdecak pelan, Pucey mengamati sekeliling koridor gelap yang mulai senyap. Saat ini, seluruh penghuni asrama pasti sudah berkumpul di Aula Besar untuk menikmati sarapan penuh gizi. Meski perut kokohnya yang kelaparan mulai keroncongan, Pucey tak sampai hati meninggalkan sahabat terdekatnya berkubang sendirian dalam kesedihan.
"Kau tak bisa sepenuhnya menyalahkan dia. Sejak kanak-kanak, Hestia memang selalu menyukaimu. Pasti sekarang ia sangat terguncang mengetahui seperti apa ibunya yang selalu dibangga-banggakannya."
Mencibir kesal, Higgs mengangkat bahu tanda tak peduli. Baginya, Hestia sudah cukup beruntung mengetahui perzinaan itu sekarang. Tak seperti dirinya dan sang kakak, Flora yang terpuruk selama bertahun-tahun.
"Untung saja Hestia tak melihat kejadian itu sebab ia tak enak badan dan tidur duluan di kamar tamu. Sebenarnya, yang harus dikasihani itu Flora yang sampai sekarang skeptis tentang cinta sejati gara-gara skandal barbar ibunya."
Tersenyum samar, Pucey melirik Higgs yang tengah melonggarkan cekikan dasi hijau bergaris-garis.
"Kau juga dulu seperti Flora. Bersumpah tak percaya cinta sejati itu ada. Tapi, sekarang semua sudah berubah, eh?"
Ujung bibir Higgs naik ke atas mendengar pertanyaan temannya. Ya, sejak skandal seks ayahnya, ia memang tak memercayai keberadaan cinta murni. Cita-citanya untuk menjadi senator jagoan dan politikus berpengaruh seperti ayahnya juga karam seiring dengan terbukanya afair terlarang itu.
Namun, semua berubah semenjak dirinya bertemu dengan Hermione di peron sembilan tiga perempat, Stasiun King's Cross, London. Kala itu, Hermione tampak sangat berbahagia dikelilingi orangtua yang terlihat saling mencintai satu sama lain. Sewaktu menyadari dirinya diawasi, Hermione menengok dan menyelipkan senyum bersahabat. Senyum berhiaskan gigi besar-besar yang membuat Higgs terpikat.
Mulai detik itu, kepercayaan Higgs pada cinta sejati, cinta abadi dunia akhirat mulai tumbuh kembali. Jika bersama dengan Hermione, Higgs optimis bisa menemukan keabadian pernikahan. Jika bersama Hermione, Higgs yakin dirinya akan dicintai dan tak akan pernah dikhianati...
Jika bersama Higgs, Hermione merasa sangat nyaman dan terlindungi. Selama mereka berhubungan, Higgs selalu memperlakukan dirinya dengan penuh cinta dan pemujaan. Kasih sayang nyata Higgs bahkan membuat Ron dan Harry yang sempat menentang luluh dan memberikan doa restu.
Walau Ron dan Harry sudah angkat tangan, kedua remaja yang menganggap diri mereka sebagai saudara laki-laki Hermione tak mengendurkan pengawasan sedikit pun. Tanpa tedeng aling-aling, tepat di depan hidung sempurna Higgs, Ron dan Harry mengancam akan memutilasi Higgs jika pemilik mata hijau indah itu berani menyakiti Hermione.
Kakak kembar Ron, Fred dan George bahkan latah memanas-manasi suasana. Dua pemuda berambut merah karat yang gemar melawak itu mengancam bakal meracuni Higgs dengan produk-produk gila buatan mereka yang belum teruji klinis dan tak terjamin mutunya.
Penerimaan orang-orang terdekatnya membuat Hermione bersuka cita. Sepertinya tak ada masalah berarti yang akan menghadang kisah kasihnya di sekolah. Hermione pun makin bersemangat menjalani hari-harinya. Memanfaatkan sebaik mungkin waktu yang dimilikinya bersama Higgs. Waktu yang hampir habis mengingat wisuda angkatan Higgs akan digelar dalam waktu dekat.
Jika memikirkan tentang kelulusan, Hermione sedikit merasa ketar-ketir. Memang sih, banyak pasangan yang sukses menjalani hubungan jarak jauh, apalagi sekarang ini alat dan sistem komunikasi di dunia sihir sudah makin berkembang.
Namun, selayaknya remaja labil, Hermione terkadang belingsatan jika membayangkan hal yang tidak-tidak.
Misalnya, bagaimana jika saat kuliah di Universitas Durmstrang yang alamak jauhnya itu Higgs kecantol dosen wanita bertampang aduhai?
Atau bagaimana jika ada mahasiswi menawan yang bermain mata dengan pacarnya yang seksi membahana?
Bagaimana jika...
"Apa sih yang kau pikirkan Precious, hingga kau tak menyimak ceritaku?"
Tergagap kaget, Hermione terbangun dari jerat khayalan buruk. Dua butir mata cokelat beningnya mengerjap menatap Higgs yang tersenyum sabar.
Siang itu, kesejukan tak terkatakan yang menandai awal hari-hari musim panas yang keemasan memayungi suasana di sekitar mereka. Gelak tawa anak-anak yang bersorak-sorai karena terlepas dari ujian akhir berhembus sayup-sayup. Di Danau Hitam, cumi-cumi raksasa berendam malas-malasan. Sungut dan tentakel penuh lendirnya terjulur keluar, menangkap gumpalan roti bantal yang dilemparkan beberapa siswa tahun keenam.
"Emm... anu," Hermione terbata-bata menyusun kata-kata. Semua konsonan vokal yang ingin dikatakan ngadat di tempat saat wajah rupawan Higgs berangsur-angsur mendekat. Di atas mereka, kanopi dedaunan bergemerisik lembut, mengirimkan wangi tepi musim panas yang menggugah selera.
"Emm apa?" bisik Higgs halus, dengan lembut menyentuhkan ujung jari di sudut bibir Hermione. Di saat Hermione tetap membisu, Higgs mencium dan menjilati sudut bibir kekasihnya. Mendesak calon istrinya untuk meluapkan problematika di ruang dada. Dorongan mesra yang pada akhirnya memantapkan Hermione untuk terbuka dari hati ke hati.
"Aku hanya memikirkan kelulusan dan kepergianmu ke Universitas Durmstrang. Aku takut di sana kau melupakanku," ujar Hermione bertubi-tubi, menumpahkan segala ketakutan yang menghantui selama ini.
Menarik Hermione ke dalam pelukan, Higgs mengusap-usap lembut punggung Hermione, membuai gadis pujaannya dalam kenyamanan dekapan.
"Tidak akan ada gadis lain, Hermione. Aku tak akan pernah mengulang sejarah hitam yang ditorehkan ayahku."
Menengadah, mata polos dan jernih Hermione bertabrakan dengan iris hijau ekspresif Higgs yang bersinar serius. Menimang wajah Higgs dengan kedua tangan, Hermione bertanya pelan.
"Apa maksudmu? Sejarah hitam apa?"
Menghela napas, Higgs kembali menekankan wajah Hermione di dada bidangnya yang kuat terawat. Ya, berkat bantuan dan gertakan Pucey, anak-anak tahun ketiga yang menjadi saksi mata terbongkarnya rahasia di Ruang Rekreasi bisa disumpal mulutnya sehingga sampai detik ini skandal heboh ayahnya itu tak tersebar ke mana-mana.
Namun, jika Higgs merasa baik-baik saja menyembunyikan rahasia kelam ayahnya dari orang lain, ia merasa bersalah jika tak membuka diri pada Hermione. Bukankah tak bersikap jujur merupakan benih-benih ketidakpercayaan yang bisa meretakkan fondasi hubungan?
Setelah menimbang masak-masak, Higgs memutuskan menceritakan skandal kotor keluarganya pada Hermione. Pada gadis brilian yang tujuh tahun lagi akan menjadi salah satu anggota keluarga besarnya.
"Sewaktu bersekolah di Hogwarts, ayahku dan Madam Carrow, ibu Flora serta Hestia berpacaran. Namun, mereka tak bisa menikah karena ayahku dijodohkan dengan ibuku. Pernikahan itu ditujukan untuk melancarkan karier kakekku di Kementerian Sihir Eropa, sekaligus memastikan masa depan ayahku sebagai politisi di Kementerian Sihir Inggris," ujar Higgs pelan, sesekali menciumi rambut Hermione yang berbau sampo jeruk segar.
"Rupanya, meski masing-masing dari mereka sudah menikah, cinta masa lalu itu tak pernah padam. Tiga tahun lalu, ayahku dan Madam Carrow kembali melanjutkan hubungan terlarang itu secara diam-diam," Higgs berbisik dalam, menenangkan kesiap kaget Hermione dengan tepukan lembut di tulang punggung.
"Ibuku yang tak satu sekolah dengan mereka karena menuntut ilmu di Akademi Sihir Beauxbatons sama sekali tak mencurigai keakraban mereka. Sampai detik ini ia belum tahu dirinya telah ditikam dari belakang oleh dua orang yang paling dipercayainya."
Selama Higgs mencurahkan isi hati, Hermione tak bisa mengucapkan kata-kata. Hanya desahan terkejut yang melecut keluar dari mulut. Hermione tak mengira Bertie Higgs, si Wakil Menteri Sihir yang terkenal sangat bermoral bisa berbuat asusila seperti itu. Hermione tak menyangka selama bertahun-tahun ini jiwa emosional Higgs memendam rasa sakit hati akibat perbuatan ayahnya.
Membingkai kedua pipi Hermione dengan tangan, Higgs menatap lekat-lekat. Napas hangatnya berhembus sangat dekat, membuat bulu halus di dekat lekuk hidung Hermione berdesir pelan.
"Ayahku kembali pada pacar lamanya dan mengkhianati istri yang dipilihkan orangtuanya. Aku tak mau jadi pria bermuka dua seperti itu. Aku sudah memilihmu dan tak akan pernah meninggalkanmu. Tak akan, meskipun orangtuaku ngotot menjodohkanku."
Hati Hermione mencelos mendengar pengakuan tak diduga tersebut.
Perjodohan...
Apakah Higgs sudah ditunangkan dengan orang lain sejak kecil? Menurut Ginny, perjodohan di kalangan penyihir darah murni merupakan hal biasa, terutama di kalangan darah murni kaya. Untuk menjaga keaslian darah dan harta, banyak orangtua darah biru menjodohkan keturunan mereka dengan sesama penyihir berdarah bangsawan.
"Apa kau sudah dijodohkan dengan orang lain?" tanya Hermione gamang, ngeri mendengar jawaban yang sesungguhnya.
Mencium tulang alis Hermione, Higgs bergumam lirih, "Tidak secara resmi. Itu hanya impian ibuku. Hanya ambisi seorang wanita naif yang tak tahu apa-apa. Jika ia tahu, ia pasti tak akan sudi menjodohkan anak tunggalnya dengan putri simpanan suaminya."
"Jadi, kau sudah ditunangkan dengan Hestia atau Flora?" tanya Hermione blak-blakan, berusaha menegaskan status dirinya di dalam hidup Higgs.
Memandang Hermione dengan sorot setengah geli-setengah tak percaya, Higgs menempelkan pipi di puncak kepala Hermione yang bergetar.
"Aku tak bertunangan dengan mereka, Hermione. Sudah aku bilang itu cuma keinginan semu ibuku. Hanya obrolan melantur yang tak mengikat. Tunangan resmiku cuma kamu, Hermione Jean Granger."
Hermione mendesah lega mendengar pernyataan tegas tersebut. Setidaknya, ia bukan orang ketiga atau pihak yang merebut milik seseorang. Bagi Hermione yang dibesarkan dengan penuh kasih sayang, kesetiaan, cinta dan kepercayaan merupakan hal paling berharga yang tak bisa tergantikan.
Hal berharga yang dijanjikan Higgs padanya. Hal berharga yang pasti akan menjadi lentera dalam hidupnya...
"Terence, Mother ingin bicara."
Almeta Higgs, ibu kandung Higgs mencegat anaknya yang hendak masuk ke dalam kamar. Menarik tangan putranya yang bergerak ogah-ogahan, Almeta Higgs membuka pintu ruang minum teh yang biasa dipakai untuk menjamu nyonya-nyonya elit berdarah murni.
Higgs mengerang lelah, mengeluh dalam hati mengapa ibunya tak memberinya waktu untuk beristirahat. Padahal belum lima menit ia tiba di Higgs Manor seusai upacara kelulusan di Hogwarts.
Menilik tampang serius ibunya, tampaknya wanita rupawan yang sangat menjunjung tinggi superioritas kekuasaan itu sudah tak sabar untuk menuntut konfirmasi berita pertunangan langsung dari mulutnya sendiri.
Duduk di seberang ibunya, yang tampak bersahaja dalam balutan gaun musim panas kuning gading, Higgs mengangkat sebelah kaki. Bersandar santai, Higgs menyesap pelan teh bunga krisan yang dihidangkan Tiny, peri rumah yang paling disayanginya.
"Kau sudah menerima surat ayahmu bukan?" Almeta Higgs bertanya tanpa tedeng aling-aling, dengan sigap memulai interogasi yang sudah ingin dilakukan sejak berbulan-bulan lalu. Atau persisnya sejak Hestia Carrow, gadis yang selama ini diidam-idamkan sebagai calon menantunya mengirimkan kabar bahwa putra semata wayangnya bertunangan dengan Hermione Jean Granger. Bertunangan dengan si penyihir berdarah lumpur yang tak jelas bibit-bebet-bobotnya.
"Ya, sudah," jawab Higgs sambil lalu, mengambil sepotong puding nanas dan mengunyah perlahan. Melipat tangan di pangkuan, alis mata Almeta Higgs melengkung tegas. Mata hijau sewarna lumut-nya memicing mengawasi tindak-tanduk anaknya yang malas-malasan.
"Nah, lalu bagaimana? Kata ayahmu, ia sudah menyerahkan masalah restu di tanganku. Sejujurnya, aku keberatan kau berniat menikah dengan Darah Lumpur seperti si Granger itu."
Melesat bangkit dari tempat duduk, Higgs memandangi wajah angkuh ibunya dengan sorot campur aduk. Kasihan, iba, sakit hati dan kecewa.
"Hati-hati, Mother. Jangan sampai sebutan ofensif dan ucapan rasismu didengar orang lain. Itu bisa membahayakan karier ayah sebagai Wakil Menteri Sihir. Apalagi, ayah dipilih Rufus Scrimgeour sebagai Wakil Menteri karena giat memperjuangkan persamaan kasta dan status darah," tegas Higgs lugas, memasukkan tangan yang terkepal ke dalam saku celana.
Mengambil cangkir berisi teh bunga krisan yang mengepul hangat, Almeta Higgs menyeruput sedikit demi sedikit cairan berkhasiat yang mampu mengatasi beberapa penyakit sederhana. Memegangi dahi yang berputar pening, wanita berparas aristokrat itu mengelus dada seraya menatap anaknya dengan pandangan menerawang.
"Kau dan Hestia bisa menjadi pasangan yang serasi, Terence. Posisi kalian sederajat, darah kalian sama-sama murni dan dia juga cantik memesona. Apa lagi yang kurang?"
"Aku tidak mencintainya, Mother. Bukan Hestia yang menguasai hatiku," jawab Higgs lantang, mondar-mandir di sekeliling ruang minum teh untuk menghalau emosi yang mulai menjajah batin.
"Cinta? Di kalangan kita, pernikahan bisa berlangsung tanpa cinta, Terence. Mother yakin lambat laun kau bisa mencintai Hestia. Dia gadis yang baik dan cantik seperti ibunya," Almeta Higgs mendengus melecehkan, meletakkan cangkir keramik cantik di tatakan dengan segenap keanggunan yang diperlukan.
"Jangan memancingku, Mother," desis Higgs sinis, memejamkan mata rapat-rapat, menahan godaan untuk membuka kedok Madam Carrow. Si cantik berhati iblis. Tukang sihir sok suci yang sialnya selalu dielu-elukan ibunya.
Menyilangkan kaki dengan gaya feminin, Almeta Higgs bertanya lamat-lamat. Pandangan penuh selidiknya tak berkedip menyusuri perawakan tegang putra semata wayangnya.
"Apa kau benar-benar mencintai si Granger ini, Terence?"
Membuka mata, Higgs menatap wanita yang telah melahirkannya. Wanita yang tetap dihormati dan dikasihinya meski tak pernah bersikap baik dan penuh cinta layaknya seorang bunda.
"Aku sangat mencintai Hermione, Mother. Jika aku tak bisa menikah dengannya, aku tak akan menikah dengan siapa pun juga. Aku akan melajang sampai mati hingga pohon utama keluarga Higgs terhenti di tanganku."
Bola mata Almeta Higgs yang besar kian melebar sebesar wajan ceper. Lidahnya terkunci dan kelu sewaktu menyadari tekad baja dan kesungguhan yang terpancar dari pewaris tunggalnya.
Mengurut dada, Almeta Higgs mengalihkan pandangan ke rangkaian bunga ivy yang terjurai apik di tengah meja kayu pernis. Untuk sementara, demi kelangsungan keturunan nama keluarga, ia akan mengalah dan membiarkan putranya bercinta dengan Hermione. Bukankah tujuh tahun masih lama dan banyak hal yang bisa terjadi di rentang waktu itu?
Senyum dingin terukir di bibir indah Almeta Higgs yang terpoles rapi. Batinnya yang terbuai supremasi darah murni berbisik pasti. Ya, saat ini Terence, putra satu-satunya yang masih remaja tengah terlena dengan indahnya cinta pertama. Cinta monyet yang tak bermakna apa-apa.
Tapi, seiring berlalunya waktu, putranya pasti akan makin matang dan tumbuh dewasa. Lambat laun, anaknya akan menyadari bahwa cinta tak bisa membeli kekuasaan, harta dan pengaruh.
Pada masanya nanti, pewaris utamanya itu juga akan bosan dengan penyihir pribumi seperti Hermione Jean Granger dan berpaling ke penyihir lain yang lebih sesuai untuknya. Berpaling ke dara cantik jelita berkasta utama yang sudah dikenalnya sejak balita.
Hestia Carrow...
"Blimey, Hermione. Dengan tumpukan perkamen dan kertas ini, kau bisa mendirikan Museum Surat Cinta dalam sekejap," sindir Parvati usil, mengamati gundukan kertas, kartu dan surat yang tertata rapi di kardus berpita emas.
Mendongakkan kepala dari perkamen yang baru setengah terbaca, Hermione nyengir malu-malu. Memang, selama dua tahun menjalin hubungan jarak jauh, Higgs tanpa henti mengirimi kabar melalui pos burung hantu. Surat cinta lengkap dengan aneka foto-foto kegiatan terbaru yang hampir meledakkan Menara Gryffindor jika tak ditangani dengan Mantra Penciut.
Tak cuma membombardir Hermione dengan surat mesra, sesekali wajah Higgs juga muncul di perapian Ruang Rekreasi Gryffindor untuk berbicara sebentar dengan Hermione.
Perjuangan keras Higgs untuk tetap mengadakan kontak di sela-sela jadwal padat perkuliahan di Universitas Durmstrang membuat Hermione berbunga-bunga. Kendati tak bisa bertemu muka setiap musim liburan Paskah dan Natal, Hermione cukup puas dengan perhatian luar biasa Higgs dalam berkomunikasi dengannya.
Di dalam surat dan kartu-kartunya, Higgs secara mendetail menceritakan kegiatannya saat belajar ilmu politik di Universitas Durmstrang, termasuk temperatur minus yang sudah menjadi ciri khas perguruan tinggi yang terletak di antara Swedia dan Norwegia itu. Kerinduan Higgs akan kehangatan Hermione juga tercetak jelas di barisan kata-kata indah tersebut. Rasa kangen serupa yang juga dirasakan Hermione selama dua tahun terakhir ini.
"Tak disangka ya, besok kita akan diwisuda," ujar Lavender sumringah, dengan ringan membanting tubuh di permukaan ranjang lembut. Memuntir tongkat sihir, Lavender membuat pakaian, perlengkapan kosmetik dan barang-barang pribadinya terlipat rapi di dalam koper.
Hermione menggangguk dan beranjak ke jendela, menatap panorama musim panas yang menyinari dinding-dinding Hogwarts. Memang, tak terasa waktu berputar begitu cepat. Besok, ia dan rekan-rekan seangkatannya akan lulus dari Hogwarts dan berpisah untuk melanjutkan pendidikan sesuai jenjang karier dan cita-cita masing-masing.
"Untungnya, kita tak akan berpisah sebab kita bertiga sudah mendaftar masuk ke Universitas Beauxbatons," seru Lavender gesit, menarik tangan Parvati dan berputar-putar atraktif mendekati Hermione yang berdiam di dekat jendela.
Hermione tersenyum lebar melihat tingkah Lavender yang sibuk berjoget bersama Parvati. Keceriaan dua gadis itu membuat Hermione tak merasa kesepian meski Higgs jauh darinya. Ginny, yang baru tahun depan lulus juga berjanji akan menyusul mereka bertiga menuntut ilmu di Universitas Beauxbatons.
Merangkul Hermione dan Parvati, Lavender berseru kegirangan. Mata bulatnya bersinar semarak, mengirimkan kehangatan yang merasuk ke sanubari Hermione.
"Akhirnya kita akan jadi mahasiswi. Begitu lulus kuliah nanti, aku akan melamar menjadi Manajer Promosi The Weird Sisters. Sejak dulu aku berhasrat pergi konser keliling dunia bersama mereka."
Parvati tergelak geli menanggapi mimpi sobat kentalnya. Menyibak kepang hitam panjang melambai, alis hitam Parvati melengkung jauh ke atas.
"Ooh, lalu bagaimana dengan Won-Won? Kau tak jadi menikah muda dengannya?"
Mengikik genit, Lavender mengedip-ngedipkan tirai lentik bulu mata yang berselaput maskara gelap.
"Won-Won masuk Akademi Auror Internasional dan terikat kontrak membujang beberapa tahun. Jadi, pernikahan besar-besaran ala kerajaan terpaksa ditunda sementara."
Menyodok pelan tulang rusuk Hermione, Lavender berkikik centil, "Lagipula, aku tak mau menyaingi pernikahan akbar abad ini. Pernikahan Hermione dan Higgs yang akan dilangsungkan secepatnya usai Hermione lulus kuliah nanti."
Merona malu, Hermione mengangkat Crookshanks yang sibuk menggosok-gosokkan bulu jingga di ujung lipatan gaun tidur katun.
"Tidak langsung setelah lulus, kok. Terence mengizinkan aku bekerja setahun baru kemudian kami menikah. Itu artinya masih lima tahun lagi."
Mengacak-acak surai tebal Crookshanks hingga sekusut perkamen keriput, Lavender berkomentar mantap, "Lima tahun lagi itu cepat, Hermione. Tiba-tiba saja waktu berlari dan kau sudah berdiri di depan altar."
Tersenyum senang, Hermione berbalik dan memandangi bayangan yang terpantul di jendela kaca kamar. Di mata cokelatnya yang merona, bukan refleksi dirinya, Lavender dan Parvati yang membekas melainkan bayangan dirinya yang bergaun putih.
Bayangan dirinya yang tengah mengucap janji pernikahan. Bayangan dirinya yang tersenyum saat resmi dinyatakan sebagai istri dari pria yang paling dicintainya.
Terence Higgs...
Sesuai prediksi Lavender, jika dilewati dalam kabut kegembiraan, waktu memang bergerak secepat kilat. Setelah empat tahun kuliah di Universitas Beauxbatons, Hermione dan teman-temannya lulus dan menggondol gelar Sarjana Sihir.
Begitu diwisuda, Lavender langsung menuntaskan impian terpendam yang sudah disimpan sejak masa remaja, berkeliling ke seantero bumi bersama band penyanyi dunia sihir paling legendaris, The Weird Sisters.
Parvati lain lagi. Usai lulus kuliah, ia dan saudari kembarnya, Padma Patil memilih kembali ke India. Di tanah leluhurnya, Parvati dan Padma memang dicalonkan sebagai anggota legislatif Kementerian Sihir India.
Ginny, yang masih setahun lagi menempuh pendidikan juga punya rencana brilian tersendiri. Tentu saja, cita-cita menjadi Nyonya Potter yang tersimpan rapat sejak kanak-kanak menempati urutan pertama. Ginny yang berkat cokelat Valentine sedapnya bisa mencurahkan rasa cinta pada Harry berancang-ancang mendirikan sekolah masak, sekolah yang memfokuskan diri pada kuliner khas negeri sihir.
Sedangkan Hermione tetap konsisten dengan jalur karier yang diinginkan sedari dulu. Bekerja di Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir untuk membenahi hukum dan undang-undang yang kadang-kadang kurang berpihak pada penyihir non-darah murni.
Keinginan Hermione bekerja di Kementerian Sihir Inggris tentu bukan karena faktor calon suaminya yang lebih dulu berkarier di sana. Memang, selepas dari Universitas Durmstrang, Higgs langsung ditempatkan di Kementerian Sihir Inggris dan dalam waktu singkat meraih kedudukan berpengaruh.
Higgs bahkan digadang-gadang berpotensi menjadi Menteri Sihir Inggris di masa depan, menggantikan Menteri Sihir periode ini, Kingsley Shacklebolt.
Sewaktu melamar pekerjaan di Kementerian Sihir itulah Hermione merasakan kehadiran batu sandungan pertama dalam perjalanan cintanya. Tanpa alasan jelas, calon ayah mertuanya, bekas Wakil Menteri Sihir era Rufus Scrimgeour, Bertie Higgs mati-matian menjegal proses kepindahannya ke Kementerian Sihir.
Namun, sabotase Bertie Higgs tak sukses sebab dua pejabat paling berpengaruh di Kementerian Sihir, Kingsley Shacklebolt dan mantan Menteri Sihir, Rufus Scrimgeour mendukung penuh kiprah Hermione di institusi tertinggi dunia sihir Inggris tersebut.
Bebas dari penjegalan tak beralasan itu, Hermione tak serta-merta lepas dari problema. Karier Higgs yang kian mentereng di kabinet membuat waktu pertemuannya dengan Hermione terbatas.
Higgs memang sering menitip pesan dan mengirim surat melalui pesawat terbang kertas yang merupakan jasa kurir memo antar departemen. Tapi, memo itu tak cukup menuntaskan kerinduan. Hanya membuat Hermione yang ingin mengobrol empat mata terpaksa gigit jari.
Walau jarang bersua meski berada di kantor yang sama, Hermione selalu berupaya berpikir positif. Ia optimis Higgs tak melupakannya atau membatalkan janji pernikahan yang sudah membayang di depan mata.
Seiring dengan berlalunya waktu, Hermione tetap menaruh kepercayaan tinggi pada calon suaminya. Kepercayaan yang tengah diuji ketangguhannya seiring dengan terbitnya artikel menggegerkan di tabloid gosip Witches Weekly.
Artikel heboh yang pagi ini membuat ruang kantor Hermione jadi segaduh pasar malam...
"Kancut Kampret! Keparat cabul seperti ini harus ditendang bokongnya sampai kempes," rutuk Ron beringas, meremas tabloid Witches Weekly edisi terbaru hingga compang-camping.
Mengelus cincin berinisal TH yang melekat di jari manis, cincin simbol pertunangan yang diterimanya tujuh tahun lalu, Hermione memandang kosong jejeran tabloid yang bertumpuk di meja kerja. Lembaran-lembaran kertas yang memuat isi sama, foto skandal pesta mesum calon Wakil Menteri Sihir, Terence Higgs.
Pagi tadi, setibanya di ruangan kantor, Hermione tak menyangka dihadang dengan berita tak sedap seperti ini. Secara mendadak, seperti angin ribut, Lavender menerabas masuk, tergopoh-gopoh memanggul setumpuk tabloid gosip.
Berkostum hitam robek-robek ala anak band asuhannya, The Weird Sisters, Lavender membanting bundelan tabloid sembari mendesis-desis bengis. Di sela-sela repetan bahasa asing dan umpatan kasar yang mengalir deskriptif dan informatif, Lavender bersumpah akan mengebiri alat vital Higgs jika mereka berpapasan di koridor Kementerian Sihir.
Hermione yang semula tak paham mengapa Lavender yang tengah rehat di London mencak-mencak tak beraturan seperti itu langsung paham ketika melihat sampul tabloid Witches Weekly.
Di foto hitam putih yang bergerak-gerak dinamis, Terence Higgs, pria yang berjanji akan menikahinya terlihat sedang bermesraan dan memangku seorang wanita. Gambar-gambar di halaman dalam lebih horor lagi. Semuanya mempertontonkan aksi liar dan binal Higgs bersama sejumlah wanita jalang berpakaian minim.
Sejurus kemudian, Ron dan Harry membanting pintu hingga terbuka, menerjang masuk sambil berkoar-koar murka. Rupanya, gosip panas di tabloid sudah sampai di kuping kedua Auror tangguh tersebut. Menyumpah-nyumpahi Higgs dengan rentetan kalimat kotor, Ron berjanji akan mengutuk Higgs dengan mantra anti penyihir hitam yang baru dipelajarinya.
Di tengah-tengah konvoi kemarahan sobat-sobat dekatnya, Hermione menekuri gambar tersebut dengan pandangan penuh tanya. Sejujurnya, hal pertama yang dirasakan Hermione ketika pertama kali melihat gambar amoral itu adalah rasa bingung akut.
Hermione tak percaya Higgs yang dikenalnya bisa bertingkah seperti itu. Mungkin ini cuma salah paham belaka, kendati pria muda yang ada di foto itu mirip sekali dengan Higgs, mulai dari perawakan hingga tinggi badan.
"Putuskan saja dia, Hermione. Lelaki bajingan seperti itu tak cocok untukmu," saran Harry, menenggak habis satu botol air putih untuk menghapus perih karena sedari tadi mengoceh tak karuan.
"Belum tentu pria ini Terence, Harry. Aku harus mengkonfirmasi hal ini dulu dengannya," jawab Hermione pelan, masih menyelusuri gambar bergerak-gerak itu dengan teliti.
"Jangan bego, Hermione," keluh Lavender ketus, menepuk jidat keras-keras hingga membentuk tapak tangan. "Di mana-mana itu tak ada maling yang ngaku. Kalau kau tanya, si Higgs pasti berkilah tak bersalah."
"Rasanya tak mungkin Terence berbuat seperti ini. Dia bukan pria pengkhianat seperti itu," dalih Hermione tak mau kalah.
Memutar dua bola mata dengan kecepatan yang tak bisa ditandingi manusia biasa, Ron mendengus benci. Mengusap-usap leher belakang, isyarat bahwa ia tengah marah berat, lelaki tinggi berwajah penuh bintik-bintik itu mengerucutkan bibir sembari berkomat-kamit kejam.
"Orang bisa berubah, Hermione. Jangan-jangan Higgs selama ini memang hidung belang yang berpura-pura alim."
Melotot marah, Hermione merengutkan hidung. Teman-temannya boleh berpikir dia gila, sahabat-sahabatnya bisa jadi menganggapnya dibutakan cinta tapi hati kecilnya yakin Higgs tak akan menikam dari belakang. Batin terdalamnya tahu pasti bahwa semua janji dan kata-kata cinta yang diucapkan Higgs benar adanya.
"Aku percaya pada Terence, Ron. Aku tak akan mengambil langkah frontal tanpa meminta penjelasan dulu darinya."
Bersamaan dengan berakhirnya penegasan itu, pintu ruang kantor Hermione terpentang lebar. Di ambang pintu, Ginny yang baru lulus kuliah berdiri terengah-engah. Lengan langsingnya yang terbalut jubah satin halus memeluk setumpuk majalah yang langsung dihempaskan ke atas meja.
"Merlin, Hermione. Apa gambar ini benar-benar dirimu?" tanya Ginny panik, menunjuk foto bergerak-gerak yang memuat gambar gadis berambut cokelat mengembang yang tengah berciuman mesra dengan seorang pria paruh baya.
"Hermione Jean Granger, penyihir genius dan berbakat yang dalam waktu singkat berhasil menduduki kursi utama Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir rupanya tak henti menuai prestasi dan sensasi. Kali ini, kami secara eksklusif berhasil mendapatkan foto-foto percintaan panas gadis bergigi khas tersebut dengan seorang pria misterius. Bandot setengah tua yang sudah tentu bukan Terence Higgs, tunangan dan calon suaminya yang kemarin malam tertangkap basah berpesta gila-gilaan dengan sejumlah wanita malam," Ron membaca dengan suara keras dan jelas, menghabiskan seluruh isi berita dalam satu tarikan napas.
Mengangkat alis, Lavender melirik Hermione yang tengah membolak-balik halaman majalah yang memuat gambar-gambar porno tak senonoh.
"Astaga, kalian ini saling balas dendam atau apa? Sama-sama membuat skandal bejat seperti ini. Aku saja yang lekat dengan dunia glamor keartisan tak pernah tersangkut kasus liar," Lavender berdecak kencang, menumpukan kedua tangan di lekuk pinggul.
Lama berkutat sebagai pemburu gerombolan penjahat kambuhan membuat Harry menyadari pergerakan seringan apapun di belakang punggungnya. Melirik sekilas dari ekor mata, pria berambut hitam berantakan itu meringis sinis.
"Omong-omong tentang konfirmasi, tuh orang yang ingin kau minta penjelasan ada di sana," Harry menengok ke arah pintu, memelototi sosok yang berdiri membisu.
"Terence."
"Hermione."
Higgs dan Hermione berkata dalam waktu bersamaan, saling membuka dan menutup mulut dalam waktu berdekatan. Ekspresi identik yang membuat Harry nyaris terbahak-bahak jika tak mengingat situasi pelik yang tengah mereka hadapi.
Berdeham dibuat-buat, Harry menggandeng Ginny dan buru-buru mengajak Ron serta Lavender keluar ruangan. Berniat memberi sedikit privasi bagi Hermione dan Higgs untuk menjernihkan benang kusut di arena percintaan mereka.
"Tapi aku ingin jadi saksi mata perang dunia ketiga," Lavender bersungut-sungut manja, menggelayut erat di lengan berotot Ron yang masih mendengus-dengus sebal.
Menengok dari balik pundak, Ron melempar tatapan memperingatkan ke arah Higgs. Pandangan mematikan yang rutin dilemparkannya pada buronan penyihir hitam yang terjepit di penggerebekan.
"Kalau dia macam-macam, habisi saja Hermione. Tendang pantatnya sampai kempes!" seru Ron, menutup pintu di belakangnya keras-keras hingga daun pintu jati itu bergetar sempurna.
Sepeninggal teman-temannya, Hermione yang masih berdiri grogi dengan bimbang mempersilahkan Higgs untuk duduk di bangku seberang meja kerja. Merapikan susunan tabloid dan majalah gosip di meja, Hermione berdeham kecil, mencoba memutus keheningan mendalam penuh penantian yang menyelubungi ruangan.
"Terence, soal foto di majalah itu-"
"Aku percaya itu bukan kau, Hermione. Itu pasti orang lain yang menyamar menjadi dirimu," Higgs memotong tajam, mengamati gambar Hermione yang tengah berciuman dengan pandangan membakar yang bisa melubangi metal paling tebal sekalipun.
"Kau percaya kalau itu bukan aku?" tanya Hermione, bercampur aduk antara lega dan gembira. Lega karena tak harus menghadapi konfrontasi tak berujung tentang foto-foto vulgar yang jelas-jelas bukan dirinya.
Gembira karena rasa percaya Higgs padanya begitu kuat sehingga dengan sekali lihat, pemuda tampan berbalut setelan jas menawan itu percaya bahwa wanita jalang di gambar tersebut bukanlah dirinya.
"Ya, aku percaya itu bukan kau. Aku yakin kau tak akan pernah mengkhianatiku," Higgs mengulang lugas.
"Oh Terence," Hermione mengerang terharu, menghenyakkan diri di kursi kerja yang nyaman dan empuk. Bangkit dari lokasi duduknya, Higgs mendekat ke arah Hermione yang masih mengusap-usap air mata haru di sudut mata. Menangkup dagu Hermione dengan jari, Higgs menatap gadis yang sejak bertahun-tahun lalu menguasai hatinya.
"Lalu, bagaimana denganmu? Apa kau percaya kalau bajingan brengsek di tabloid itu bukan aku?"
Mengangguk lemah, Hermione menatap balik iris hijau Higgs yang bersinar redup.
"Ya, aku percaya padamu, Terence. Aku yakin itu bukan dirimu. Itu pasti-"
Celotehan Hermione terputus sebab Higgs tiba-tiba menerkam bibirnya, mencium bertubi-tubi dengan hasrat ganas yang menawarkan gairah kenikmatan panas. Melumat dan memagut dengan antusias, Higgs menekankan tubuh, menghimpit Hermione yang bersandar di kursi.
Liarnya ciuman Higgs membuat kepala Hermione berputar-putar. Melumer dalam pelukan, lengan Hermione secara refleks merengkuh leher Higgs, mencari penopang karena tubuhnya mendadak lunglai menerima berondongan ciuman dalam, lama, manis dan penuh nafsu tersebut.
Mengakhiri pagutan bergairah yang hangat mendebarkan, Higgs menyapu wajah merona Hermione dengan ciuman kupu-kupu, ciuman berupa sapuan lembut bulu mata di pipi Hermione yang memanas.
"Ya Tuhan, aku lega kau percaya padaku. Tadinya aku sangat takut kau salah paham dan mengira itu diriku sehingga kau memilih untuk mengakhiri pertunangan kita," Higgs berbisik lirih di sela-sela ciuman halus yang membuat kepala bergetar.
Meniup pelan anak rambut Higgs yang menggantung di pelipis, Hermione mengecup selintas ujung hidung Higgs. Hati Hermione membuncah dengan harapan dan kebahagiaan. Higgs rupanya benar-benar mencintainya sehingga takut setengah mati kehilangan dirinya.
Ketukan di pintu disusul suara cempreng yang mengalun nyaring membuat ciuman panas Higgs terhenti. Dari balik pintu yang tertutup, sekretaris Higgs meminta atasannya untuk segera ke ruang pers guna mengklarifikasi berita yang mengguncang ketenangan dunia sihir.
Melahap dan mengulum kuntum manis bibir Hermione untuk terakhir kali, Higgs melangkah menuju pintu. Sebelum keluar ruangan, tepat di hadapan sekretaris pribadinya yang menatap penasaran, Higgs melemparkan ciuman jauh. Ciuman mesra yang kehangatannya terus membekas di relung hati Hermione...
"Nah, Terence. Terkait skandal heboh kali ini, apa yang akan kau lakukan sekarang?"
Dari balik bulu mata yang lentik sempurna, Almeta Higgs mengamati putra tunggalnya yang sudah beranjak dewasa. Menyelipkan seringai penuh kemenangan di sudut mulut, pewaris tunggal dinasti politik kerajaan sihir Denmark itu berdebar-debar menanti keluarnya eksekusi final terkait akhir kisah cinta anaknya dengan Hermione-si-Darah-Lumpur-Granger.
Memandang datar paras cantik ibunya yang menyeringai gembira, Higgs mencondongkan tubuh ke depan sembari berkomentar tegas, "Aku akan tetap menikah dengan Hermione, Mother. Resepsi resmi akan digelar dua minggu lagi."
Terperangah tak percaya, Almeta Higgs terlonjak dari kursi berlapis sutra. Gaun perak dengan renda bertumpuk yang membalut pembuluh tubuh ningratnya bergemerisik halus seiring dengan setiap langkah kaki yang terbungkus selop sutra berhias permata.
"Tapi, bukankah seharusnya kalian tak saling memercayai dan mencintai lagi? Bukankah seharusnya skandal menjijikkan itu membuat kalian bertikai dan saling membenci?" Almeta Higgs merintih panik, kolam mata hijau bening miliknya membulat tak terima.
Menyandarkan kedua lengan di belakang kepala, Higgs bersandar pelan, dengan santai mengistirahatkan punggung di bantalan sofa. Prasangka Higgs akan keterlibatan ibunya mulai mendekati kenyataan. Kekalutan membuat wanita terhormat yang berjalan hilir-mudik itu tanpa sadar mengeluarkan serentetan pernyataan mencurigakan.
"Skandal murahan itu cuma buatan manusia iseng yang dengki pada cinta kami, Mother. Apapun yang terjadi, aku dan Hermione saling memercayai. Saling mencintai dan setia satu sama lain," ungkap Higgs tegas, memicingkan mata menunggu reaksi lanjutan dari ibunya yang masih melangkah gelisah.
Mematung mendadak seakan tersengat listrik ribuan volt, Almeta Higgs memandangi anaknya yang balik menatap tak gentar. Selaput pelangi mata hijau laut-nya yang biasanya sedingin onggokan gunung es kini mencair. Setitik air mata bergulir dari sepasang jendela jiwa yang sebening telaga.
"Oh Tuhanku, kalian benar-benar tak terpisahkan. Ini berarti aku tak punya pilihan lain selain menyerah," keluh Almeta Higgs serak, kedua bahu rampingnya berguncang menahan tangis.
Berdiri dan merangkul ibunya yang terisak, Higgs mengecup puncak rambut kemilau keemasan ibunya yang mulai dihiasi secarik uban. Tangan kokoh Higgs mengusap-usap hangat punggung ibunya, wanita yang berjasa melahirkannya ke dunia.
"Jangan menangis, Mother. Aku dan Hermione pasti berbahagia. Cobalah mengenal pribadi cantik Hermione lebih dekat lagi. Kau pasti akan menyukainya karena ia benar-benar tulus dan berbudi luhur," Higgs mengangguk menghibur, mengusap lembut pundak ibunya yang bergetar kalut.
Mengusap ujung hidung yang berair dengan saputangan bercorak anggrek, Almeta Higgs tersenyum rapuh. Menjulurkan tangan, wanita yang sejak belia selalu memuja takhta dan harta itu membelai anak rambut yang melekat di samping dahi putranya.
"Ya, Mother tahu kalian akan berbahagia. Kalian bisa mengatasi rintangan bersama-sama tanpa kehilangan cinta dan kepercayaan."
Merangkul erat tubuh ibunya yang makin ringkih seiring pertambahan masa, Higgs berujar pelan, membujuk ibunya untuk membongkar dalang di balik skandal foto memalukan yang nyaris membuat hidupnya berantakan.
"Mother, apa kau tahu siapa yang menyebarkan foto palsu itu?"
Mendongak dan bertatapan dengan sorot serius di mata putranya, Almeta Higgs menghembuskan napas kalah. Mengusap-usap pipi anaknya yang halus dan harum sehabis bercukur, salah satu tokoh penting di peta masyarakat sihir itu akhirnya membuka kartu.
"Hestia. Dia yang merencanakan skandal itu."
Tangan Higgs mengepal membentuk tinju kosong. Tinju kencang yang kekuatan kepalan dan hantamannya bisa membuat petinju legendaris kaum Muggle, Muhammad Ali menciut terkejut.
Hestia Carrow! Rupanya dialah biang keladi tersebarnya foto imitasi menjijikkan itu, Higgs merutuk dalam hati, bersumpah akan memberi teman masa kecilnya itu balasan dahsyat yang setimpal.
Memandang cemas wajah Higgs yang mengeras, Almeta Higgs membujuk putranya untuk tetap bijak dan berkepala dingin.
"Tolong jangan marahi dia, Terence. Cobalah untuk memahami perasaannya. Sedari dulu Hestia bermimpi untuk menjadi istrimu."
Mengecup puncak kepala ibunya yang seharum aroma bunga segar, Higgs menggeram rendah sebelum menghilang dengan bunyi pop pelan.
"Aku tak bisa berjanji, Mother. Dia bisa selamat jika bisa memberi alasan kuat di balik aksi nekatnya."
Memandangi tempat anaknya melesat menghilang, Almeta Higgs berdoa lambat-lambat. Semoga saja anaknya bisa berpikir tenang. Semoga saja putra tunggalnya tak bertindak gegabah. Tak mengubah statusnya dari calon pengantin menjadi narapidana Azkaban karena membunuh Hestia Carrow.
Gadis darah murni kesepian yang rela melakukan apapun untuk mendapatkan cinta...
Merenggangkan tangan sampai mengeluarkan bunyi keras, Hestia Carrow melempar tabloid dan majalah gosip ke api perapian yang berderak menyala. Kurang dari sedetik, lembaran berita yang oplah dan tirasnya sempat meroket drastis karena pemberitaan miring calon Wakil Menteri Sihir, Terence Higgs itu hangus dilalap api.
Menggerutu letih, Hestia menatap percikan abu yang berlarian di antara lidah api. Setelah berusaha mati-matian, perjuangan kerasnya untuk merontokkan ikatan cinta antara Higgs dengan Hermione Granger akhirnya berakhir percuma.
Siang tadi, melalui jumpa pers resmi, secara terbuka Higgs menegaskan bahwa gambar-gambar tak senonoh itu bukan dirinya. Pengakuan Higgs dikuatkan dengan pernyataan Hermione yang dengan berbusa-busa menyatakan dirinya percaya sepenuhnya pada calon suaminya.
Menendang lepas sepatu hak tinggi ke pojok ruangan, Hestia menyurukkan diri di bantalan sofa berlapis kulit sapi. Perasaannya benar-benar hampa dan kacau-balau. Suasana kondominum mewah yang sepi, dingin dan suram kian membuat hati keringnya merana, terhantam cabikan luka emosi yang tak tersembuhkan.
Batin Hestia menjerit iri melihat kemesraan dan kehangatan Higgs dan Hermione. Demi setan neraka, bagaimana mungkin ada sejoli seperti itu? Yang saling mencintai dan memercayai satu sama lain? Saling mendukung, memberi dan menerima?
Aksi dukung mendukung di acara konferensi pers itu mengiris nurani Hestia, mengirimkan rasa sakit yang menusuk sampai ke jantung. Jika mau jujur, Hestia menginginkan cinta abadi seperti itu. Cinta sejati dan tak terbatas seperti itu.
Seandainya saja ada seorang pria di dunia ini yang mau memberikan hati untuknya. Seandainya saja ada seorang pria di dunia ini yang menginginkannya sebesar Higgs menginginkan Hermione.
Seandainya saja...
"Seandainya saja kau bukan teman dekatku sejak kecil, detik ini juga kepala busukmu pasti sudah tercerai-berai dari tubuhmu!" raung Higgs murka, mendadak nongol di ruang tamu Hestia dengan bunyi letupan menggelegar yang setara dengan ledakan bom nuklir paling mutakhir.
Terlonjak ngeri, Hestia tergagap menyaksikan bara kemarahan yang melingkupi tubuh pria yang amat dicintainya. Hawa sepanas lubang neraka terdalam yang siap menghabisinya tanpa sisa.
"Kau kan yang membuat foto palsu yang tersaji di tabloid dan majalah kacangan itu?" labrak Higgs berang, menodongkan tongkat sihir ke pelipis Hestia yang berdenyut takut.
"Maaf, Terence. Maafkan aku. Aku hanya cemburu pada kemesraan kalian," Hestia mengaku lirih, mata hijau sewarna batu zamrud-nya meredup memohon pengampunan.
Mendengus gusar, iba melihat penderitaan yang terpahat nyata di wajah pucat Hestia, Higgs memasukkan kembali tongkat sihir ke dalam saku. Menatap jijik tubuh teman masa kecilnya yang gemetaran, Higgs menyemburkan pertanyaan berikutnya.
"Bagaimana caranya kau melakoni trik kejimu?"
Mencomot serbet berpelipit kotak-kotak di atas meja, Hestia buru-buru membersihkan ingus, menyedot lendir hidung dengan suara senyaring tiupan terompet berburu. Tertunduk lesu, tak kuat menghadapi pelototan mengintimidasi Higgs, putri kesayangan keluarga besar Carrow itu mengelap perlahan wajah sembap-nya yang sepucat tengkorak.
"Dengan memakai Ramuan Polijus. Aku meminum larutan Polijus untuk berubah menjadi Granger."
Mengumpat geram, Higgs merapikan rambut yang berantakan dengan kelima jari. Ramuan Polijus, ramuan yang bisa mengubah seseorang menjadi orang lain. Cairan magis yang sejatinya tak membahayakan tapi jika ada di tangan yang salah berpotensi merusak dalam skala besar.
Mencatat dalam benak, Higgs bersumpah akan membatasi etika penggunaan Ramuan Polijus jika ia terpilih sebagai Wakil Menteri Sihir di kampanye awal tahun nanti.
"Lalu siapa yang menjadi diriku? Siapa yang meminum ramuan sialan itu untuk menyaru jadi diriku?" tukas Higgs penasaran.
Menelan ludah, Hestia dengan gugup menatap motif karpet yang menutupi lantai parket ruang tamu. Meremas-remas jemari tangan yang gemetar, Hestia tak berani mengangkat muka tatkala mengeluarkan pengakuan yang menggetarkan hati Higgs.
"Ayahmu. Bertie Higgs."
Berondongan sumpah serapah yang bisa membangunkan Lord Voldemort dari peti mati menyeruak dari mulut Higgs. Ayahnya! Ya Tuhan! Demi semua roh suci di surga, ayahnya, pria yang selama ini dilindungi rahasianya tega berbuat senista itu.
Memegang lengan kemeja Higgs, Hestia berbisik rendah. Bulu mata panjang lentiknya yang basah berkedip khawatir.
"Sebenarnya, ayahmu tak mau melakukan perbuatan tercela itu, Terence. Tapi ibuku memaksanya. Ibuku juga yang merancang skenario ini. Ibuku-"
"Stupefy!"
Sedetik setelah rapalan Mantra Bius terucapkan, tubuh ramping Hestia ambruk terguling. Menengok cepat, Higgs langsung berhadapan dengan ibu kandung Hestia, Madam Carrow. Setan wanita yang menganggap aktivitas mengacak-acak rumah tangga orang lain tak ubahnya kegiatan selingan yang sangat menyenangkan.
Bergerak maju dengan keanggunan seekor kucing, Madam Carrow melemparkan senyum melankolis nan manis. Seringai polos dan lugu yang tak serasi dengan sinar keji yang terpancar dari bola mata hijau kuning mengilat.
"Terence, sudah lama sekali kita tak berjumpa," Madam Carrow mendesah mendayu-dayu, menyegel seluruh pintu masuk dan keluar dengan rapalan mantra sihir non-verbal.
"Tante, sebenarnya apa maumu?" Higgs mendesis murka, mengeluarkan dan menyiapkan tongkat sihir untuk menghadapi serangan balasan tak terduga.
Tertawa liar, bibir Madam Carrow yang setipis belati melengkung penuh emosi. Menguarkan ekspresi berbahaya, pemilik hati sejahat iblis jahanam itu mengamati profil lawan bicaranya dari ujung kaki hingga ujung kepala.
"Kau tidak tahu? Ow, ow, ow," Madam Carrow berdecak meremehkan, intonasi suara sinisnya mengalir layaknya derik ular sanca. Memiringkan kepala ke satu arah, penyihir berhati sampah itu mengusap keras pundak Higgs, mengirimkan aliran dingin membekukan ke seluruh pembuluh darah.
"Aku ingin menghancurkan keluargamu. Aku ingin menghancurkan ibumu. Jalang sialan yang sudah merebut kebahagiaanku. Aku ingin menghancurkan dirimu yang semakin lama semakin mirip dengan pelacur terkutuk itu," Madam Carrow merutuk bengis, tanpa ampun menancapkan cakar setajam pedang di lengan jubah Higgs.
"Jangan bawa-bawa ibuku yang suci, Madam. Lidahmu yang berbisa dan beracun tak pantas melafalkan namanya," Higgs membalas tak kalah sengit, menyentak lepas belitan cakar runcing Madam Carrow dengan sekali gebrakan.
Lengkingan tawa dingin Madam Carrow bergema di kondominium megah yang dilengkapi perabot antik berkelas bergaya kontinental. Terus tertawa tanpa henti seperti orang maniak, manik berkilat Madam Carrow membelalak lebar, menghunjamkan tatapan paling mematikan ke arah anak saingannya.
"Oh ya, Almeta yang suci. Almeta yang cantik. Almeta yang punya segalanya," Madam Carrow terkekeh sinting, sepasang bola mata lebarnya mendelik dan berputar-putar seperti orang gila.
Higgs tetap diam tak bergerak, menunggu peluang meruntuhkan nenek sihir tak waras yang berdiri menantang. Menegak dalam posisi siaga, Higgs terus bersabar menanti kelengahan yang pasti terjadi.
"Apa kau mau tahu kenapa aku sangat membenci ibumu?" Madam Carrow bertanya sarkastis, melengkungkan dua alis tebal yang ditata artistik. Tergelak seram melihat Higgs tetap bungkam, wanita secantik artis itu mendesah dramatis sebelum kembali mengoceh melantur seperti orang kurang waras.
"Itu semua karena ibumu, Almeta si mutiara ambisius yang cantik jelita merenggut cinta dan kesetiaan Bertie," bibir Madam Carrow bergetar, terdiam selama beberapa detik saat mendengar kesiap pelan terlontar dari bibir pemuda tampan yang terpaku terkejut.
"Ya, betul sekali. Cinta dan kesetiaan Bertie yang dulu ditujukan hanya untukku kini berpindah ke diri Almeta," lanjut Madam Carrow nyaring, memuntir tongkat sihir di antara jari-jari runcing.
"Kau bohong," Higgs akhirnya berbicara, tak tahan lagi membiarkan penyihir mengerikan yang pernah dianggap sebagai ibu keduanya berputar-putar memutarbalikkan fakta.
"Ayahku tak pernah mencintai ibuku. Dia berselingkuh dan berzina denganmu. Aku melihat hal nista yang kalian perbuat di ruang kerja ayahku sepuluh tahun lalu," ketus Higgs, mengepalkan tangan keras-keras saking marahnya.
Bibir tipis Madam Carrow membentuk segurat senyum mengejek. Jari telunjuk runcingnya yang dikikir rapi mengetuk-ngetuk ujung dagu yang mulai dihiasi sentuhan garis kerut.
"Rupanya sampai sekarang kau tidak tahu duduk permasalahan yang sebenarnya, ya? Dasar anak kemarin sore," Madam Carrow membuat suara mengejek, tak lupa berpura-pura menghempaskan napas prihatin.
"Saat itu, susah sekali membengkokkan hati Bertie. Aku harus memakai Mantra Confundus, Kutukan Imperius dan Ramuan Gairah untuk memicu kejadian mengasyikkan yang kau saksikan."
Penjelasan tak terduga Madam Carrow membuat dunia Higgs jungkir balik. Mantra Confundus dan Imperius? Guna-guna yang ditujukan untuk membuat pikiran seseorang menjadi linglung? Serta Ramuan Gairah? Eliksir yang bisa membangkitkan libido pria jompo sekalipun?
Ya Tuhan, jadi saat itu ayahnya tak pernah berniat mengkhianati ibunya. Saat itu, ayahnya hanya menjadi korban jebakan permainan jahat yang dipasang bekas kekasih masa remajanya.
Menempatkan pinggul montok, subur dan berisi di tepi meja kopi, Madam Carrow terus bercerita panjang lebar. Mutiara matanya yang berkilau jahat setia mengawasi setiap kedik dan kedut yang timbul di sekujur tubuh Higgs yang menegang keras. Getar kemarahan dan penyesalan yang timbul karena salah menganalisa keadaan.
"Setelah peristiwa malam pesta Natal itu, Bertie tak ubahnya boneka bernyawa bagiku. Aku bisa menyuruhnya berbuat sesuka hatiku sebab aku menyimpan bukti kejadian saat itu. Bukti yang bisa meluluhlantakkan karier cemerlang dan pernikahan gemilangnya," Madam Carrow tertawa terkekeh-kekeh, kesenangan jahat terpancar sempurna dari sepasang bola mata yang berkilat seperti awan petir.
"Bertie terus memelas, mengiba, memohon agar aku tak membeberkan bukti itu kepada ibumu. Katanya, ia tak ingin membuat hati ibumu hancur. Katanya, ia lebih baik mati daripada harus berpisah dengannya," seru Madam Carrow tercekat, suara tipis nyaring-nya bergetar hebat menahan emosi.
"Kau tahu, permintaan itu makin membuatku membenci ibumu. Sundal keparat yang membuatku cuma bayangan masa lalu semu. Wanita menjijikkan yang karena lebih kaya dan berpengaruh bisa merebut Bertie dariku. Merebut pria yang sejak masa sekolah berjanji menikahiku."
Untuk sesaat, kesunyian mendalam dan mematikan menyelimuti ruangan megah tersebut. Hanya detak jarum jam besar penuh hiasan di pojok ruang tamu serta hembusan napas menggebu-gebu Madam Carrow yang menyelubungi kekosongan.
Higgs mengamati wanita sakit otak di depannya dengan perasaan campur baur. Benci sekaligus terenyuh.
Benci karena nenek sihir inilah yang hampir membuat keluarganya tercerai berai. Benci karena gara-gara manipulasi liciknya selama bertahun-tahun ini, ia jadi memandang rendah ayahnya.
Iba karena Madam Carrow telah salah menempatkan cinta.
Cinta buta yang berubah menjadi dendam membara...
"Rencanaku yang akan berjalan sempurna jika kau menikahi putriku mulai berantakan tatkala kau jatuh cinta pada penyihir hina dina seperti si Darah Lumpur Granger itu," Madam Carrow menyembur liar, membasahi karpet oriental dengan muntahan kebencian.
"Bertahun-tahun aku bersabar, berharap anak bawang sepertimu bisa waras kembali. Tapi sayangnya, kau tetap mabuk kepayang," Madam Carrow mengumpat garang, mengetok-ngetokkan jari di sisi meja kopi. Kencangnya ketukan jemari itu membuat betina jalang itu tak menyadari pergerakan halus Hestia yang mulai tersadar dari pingsannya.
"Jika kau menikah dengan Hestia, aku bisa memusnahkan keluarga Higgs dari dalam. Aku bisa leluasa membantai kalian perlahan-lahan dengan racun katak pohon Ekuador. Aku bisa mengambil alih seluruh aset berharga yang tersedia. Kekayaan tak terhingga yang seharusnya aku miliki sedari dulu," Madam Carrow melengking histeris, memandang congkak wajah Higgs yang menegang dengan ekspresi merendahkan.
Keinginan terpendam Madam Carrow yang akhirnya terkuak nyaris membuat Higgs memuntahkan isi perut sampai habis tak bersisa. Astaga, rupanya iblis wanita bengis ini tak sekadar sinting tapi juga gila harta.
Higgs yakin, segala macam silat lidah Madam Carrow tentang cinta sucinya yang direbut cuma kamuflase. Ujung-ujungnya, bangsawan materialistis ini pasti mengincar harta keluarga besar Higgs yang melegenda.
"Sayangnya, penghancuran diam-diam itu tak bisa aku lakukan. Kepercayaanmu yang terlalu tinggi pada si Jalang-Granger membuat semua rencanaku berantakan. Kalau sudah begini, tak ada yang bisa aku lakukan selain melenyapkanmu dengan tanganku sendiri!" Madam Carrow menghardik bengis, berancang-ancang mengambil posisi menyerang dengan mengacungkan tongkat sihir kayu aspen tepat di tulang rusuk yang melindungi denyut jantung Higgs.
Secara bersamaan, kedua penyihir berbeda generasi itu saling melambaikan tongkat sihir, bertubi-tubi meluncurkan berbagai macam mantra dan kutukan mematikan.
Di balik tubuh indah menggugah dan postur halus lemah gemulai, Madam Carrow rupanya lihai mengendalikan sihir hitam. Ilmu mengerikan yang bisa jadi dipelajarinya melalui jasa dua kakak iparnya, buronan top Auror saat ini, kriminal dan pembunuh kaum Muggle nomor satu, Amycus dan Alecto Carrow.
Namun, Higgs bukanlah bocah bau kencur seperti ejekan Madam Carrow. Mungkin ia masih muda dan kurang pengalaman tapi tekad sesolid baja yang diusungnya terbukti menjadi tameng fantastis bagi serangan sihir hitam Madam Carrow.
Berang karena serbuan gencar dan brutalnya tak membuahkan hasil, Madam Carrow pura-pura menyerah. Berlutut dan terisak lemah, setan gila beranak dua itu mengemis meminta belas kasih dan pengampunan.
"Maaf... maafkan Tante, Terence," Madam Carrow merengek sesenggukan, rambut cokelat panjangnya yang menggantung tebal jatuh terurai menutupi wajah. Menutupi seringaian culas yang terulas di lengkungan bibir merah mengilat yang dipenuhi noda dusta.
Selama beberapa saat, Higgs tetap waspada dan tak menyurutkan kuda-kuda. Namun, rengekan dan ratapan Madam Carrow, wanita yang di masa kanak-kanak pernah dianggap sebagai ibu kedua membuat kebenciannya luluh.
Menghela napas panjang berkali-kali, Higgs memasukkan tongkat sihir ke saku celana. Beranjak mendekat, Higgs mengulurkan tangan untuk membantu ibu baptisnya bangkit berdiri.
"Aku memaafkanmu, Tante. Tapi kau tetap harus diadili di Pengadilan Sihir Wizengamot."
Cengiran licik Madam Carrow kian lebar menyadari kelengahan Higgs dan posisi lemahnya yang telah menyimpan tongkat sihir di dalam saku celana. Mengangkat muka yang bersinar horor, mulut kemerahan Madam Carrow mendendangkan kutukan paling mematikan. Kutukan Maut yang tak bisa ditangkal oleh tameng mantra atau perisai sekuat apapun juga.
"Avada Kedavra!"
Sinar hijau yang keluar dari ujung tongkat sihir Madam Carrow melesat ke arah Higgs yang terperangah tak percaya. Sedetik sebelum cahaya pembunuh itu menghantam tubuh, Higgs didorong oleh tangan ramping yang sangat dikenalnya. Tangan hangat yang sejak masa kanak-kanak selalu menggenggam jemarinya erat-erat.
"Hestia!"
Madam Carrow dan Higgs memekik bersamaan seiring dengan ambruknya tubuh Hestia. Melotot hampa, bibir merah pastel Hestia mulai membiru, menunjukkan tanda-tanda hilangnya kehidupan dari dalam diri.
Meraung menjerit-jerit, Madam Carrow menjambak surai hingga terburai dari akar. Bibir tipisnya melolong panjang, berulang-ulang meratap nelangsa meneriakkan nama darah daging kesayangannya. Putri tercinta yang tewas di tangannya sendiri.
Menatap pilu sosok teman sejak kecilnya yang memilih mati untuk menyelamatkan dirinya, Higgs mengusap sebutir air mata yang bergulir di pipi pucat Hestia. Berpaling ke Madam Carrow yang tersuruk sesenggukan, Higgs yang tak mau terperdaya untuk kesekian kalinya mengikat wanita psikopat itu dengan Mantra Incarcerous, mantra yang digunakan untuk membelit tubuh dengan tali sihir.
Mengirimkan Patronus ke Departemen Auror untuk meminta bantuan, Higgs secara perlahan-lahan menutup kelopak mata Hestia yang membelalak. Air mata hangatnya menetes jatuh di pipi Hestia yang memucat. Pipi yang dulu sering dikecupnya dengan perasaan kasih sayang seorang kakak.
Sejurus kemudian, dua Auror paling terkenal abad ini, Harry Potter dan Ron Weasley datang ke lokasi perkara. Menerima penjelasan singkat dari Higgs yang masih terguncang, Ron dan Harry segera menahan Madam Carrow atas tuduhan pembunuhan dan konspirasi kejahatan, termasuk penggunaan dua Kutukan Tak Termaafkan, Avada Kedavra dan Imperius.
"Terence."
Usapan halus di tulang pundak membuat Higgs yang tertunduk mengangkat muka. Mata hijau pekatnya yang mengabur karena air mata bertatapan dengan semburat cemerlang Hermione yang memicing khawatir.
Merangkul erat Hermione, yang buru-buru datang ke lokasi setelah dihubungi Harry, Higgs mengeluarkan hujan duka yang sedari tadi ditahan-tahan. Isak pelan tanpa suara karena telah kehilangan Hestia. Kehilangan gadis manja yang sudah dianggapnya sebagai adik perempuan yang tak pernah dimilikinya.
Mengusap-usap punggung bidang Higgs yang menggigil, Hermione menciumi puncak rambut tunangannya. Gerakan menenangkan yang mengalir dari belaian jemari Hermione membuat kesedihan Higgs menguap, berganti dengan kecemasan. Ketakutan beralasan yang langsung dikonfirmasikan pada Hermione saat itu juga.
"Apa kau masih mau menikah denganku, Hermione?" tanya Higgs cemas, pertanyaan yang langsung disambut pelototan marah dari Hermione.
"Tentu saja, Terence. Kenapa aku mesti membatalkan rencana pernikahan kita?" Hermione bertanya balik, menyodorkan teh melati hangat yang baru dibuat Harry ke tangan Higgs.
Menghirup sedikit teh melati untuk melancarkan tenggorokan yang tercekat, Higgs menatap wajah Hermione yang tampak sempurna di matanya. Wajah seorang gadis penuh cahaya yang mungkin tak sesuai untuknya. Tak layak untuk mendampingi seorang pria yang memiliki banyak skandal memalukan dalam keluarganya.
"Di persidangan nanti, fakta dan skandal seks ayahku, yang meski dilakukan karena pengaruh Mantra Confundus, Imperius dan Ramuan Gairah pasti terbuka. Dalam sekejap, nama baik keluarga kami akan ternoda. Kami pasti akan menjadi target gosip panas dan hinaan pedas," beber Higgs, memutar-mutar gagang cangkir bermotif bunga sakura dengan ujung jari.
"Terus kenapa? Aku tak peduli dengan nama baik atau apapun itu," tandas Hermione, kian merapatkan tubuh ke lengan Higgs yang hangat. Menengok cepat, Higgs mengawasi Hermione yang mengusap-usapkan pipi di lengan bajunya.
"Tapi, keluargamu pasti akan malu jika kau menikah denganku. Keluargamu-"
Hermione menciumi bibir Higgs untuk membungkam protesnya. Ciuman manis penuh cinta yang membuat Harry dan Ron yang masih menginspeksi ruangan bersiul-siul panjang.
Memandangi wajah Higgs yang memanas karena gairah, Hermione menautkan jarinya dengan jemari Higgs yang kokoh.
"Keluargaku percaya pada semua pilihanku. Keluargaku percaya aku akan berbahagia bersamamu," ujar Hermione tegas, mengusap-usap cincin perak berinisial TH yang terselip di jari manisnya.
Mengamati gerakan melingkar Hermione di cincin tersebut, keraguan Higgs melumer menghilang. Hermione dan keluarganya sudah memberikan kepercayaan mereka padanya.
Dan tugas dirinya-lah untuk membuktikan dan menghargai kepercayaan itu.
Mengangkat tangan Hermione yang terjalin dengan jemarinya, Higgs mengecup hangat jari manis Hermione yang diisi cincin perak. Cincin pertunangan yang dibuatnya di kelas Telaah Muggle, tujuh tahun lalu.
"Apa kau masih percaya pada hasil foto calon bayi kita yang didesain oleh mesin pencetak foto calon bayi itu, Precious?"
Tersenyum lebar, Hermione mengangguk berulang kali, matanya berbinar mengenang gambar-gambar foto calon bayi mereka. Foto berharga yang selalu disimpan rapi di dalam dompet.
"Tentu saja aku percaya. Teknologi Muggle itu tak ada duanya."
Menyeringai puas, Higgs mengusapkan ibu jari di bibir bawah Hermione. Menundukkan kepala, Higgs berbisik sebelum memagut lembut bibir Hermione dengan segenap rasa cinta yang mengalir di serabut nadi.
"Nah, kalau begitu, ayo kita buktikan dua minggu lagi..."
"Siap membuktikan kehebatan mesin Muggle pencetak foto bayi itu malam ini, My Precious?"
Higgs berbisik provokatif di kuping Hermione, yang beberapa menit lalu resmi menjadi istrinya. Berbalut gaun sutra putih bersih, Hermione benar-benar terlihat seperti malaikat penyelamat yang turun ke bumi. Wajah mungilnya bersinar bahagia dan mata jelita-nya berbinar-binar penuh harapan.
Tertawa rendah, Hermione berjinjit dan mencium sekilas bibir suaminya. Menaikkan sebelah alis dengan gerakan mengundang, Hermione melingkarkan lengan di pinggang suaminya.
"Tentu saja, Suamiku. Tapi, setelah pesta ini selesai. Kasihan kan teman-teman kita yang sudah susah payah menyiapkan semuanya," ujar Hermione, meremas pelan tangan suaminya.
Higgs tergelak dan mengawasi sekeliling ruangan resepsi yang gemerlapan. Ia benar-benar merasa beruntung dikelilingi sahabat yang ringan tangan dan gemar menolong.
Dalam waktu sempit, setelah masa-masa persidangan Madam Carrow yang melelahkan, teman dekat dan kerabat Higgs dan Hermione bahu membahu menyiapkan pesta pernikahan romantis yang akan selalu dikenang selamanya.
Mengobrol dan tertawa bersama para tamu yang bergantian mengelilingi dan mengucapkan selamat, Higgs tak pernah melepaskan tangannya yang terjalin dengan jemari Hermione. Sesekali matanya melirik istrinya, yang asyik bersenda gurau dengan kerabat dan teman-temannya semasa di Hogwarts dan Universitas Beauxbatons.
Walau pesta resepsi pernikahannya tak dihadiri ayah ibunya, Higgs tak merasa kekurangan. Ayah dan ibunya memang tengah berada dalam masa-masa sulit. Sampai sekarang, ibunya belum bisa melupakan prahara pengkhianatan suaminya. Belum bisa berbesar hati memaafkan meskipun sudah berulang kali dijelaskan bahwa insiden terkutuk itu terjadi akibat pengaruh mantra dan ramuan.
Higgs yang mulai berbaikan kembali dengan ayahnya setelah mengetahui titik permasalahan yang sebenarnya membujuk ayahnya untuk tak lekas menyerah. Kepercayaan ibunya memang sudah punah tapi masih bisa ditumbuhkan. Berkat saran Higgs-lah, kedua insan yang tengah retak itu bersedia pergi berlibur berdua, berjuang bersama menumbuhkan sisa-sisa cinta yang masih ada.
Lamunan Higgs terhenti ketika Hermione mengajaknya untuk berdansa. Menyambut uluran tangan Hermione, Higgs mensyukuri semua berkah yang didapatnya selama ini. Cinta dan kepercayaan mutlak dari wanita yang dikasihinya. Wanita yang kini menjadi istrinya.
Hermione Jean Higgs.
Wanita yang akan menjadi ibu dari anak-anaknya...
"Ya ampun, cantik sekali kamar ini. Apa tidak terlalu boros kau menyewa kamar di sini, Terence? Ini kan President Wilson Hotel, hotel paling mahal sedunia?" Hermione berdecak kagum, memandangi sekeliling ruangan kamar yang tertata mewah dengan keterpesonaan yang tak dibuat-buat.
Melonggarkan belitan dasi sutra sempurna, Higgs tersenyum simpul melihat binar takjub di mata istrinya. Bagi Higgs, uang bukan masalah besar. Demi menyenangkan belahan jiwanya, ia rela melakukan apapun, termasuk membeli bulan bintang dan seluruh galaksi jika perlu.
Merengkuh Hermione dalam dekapan, Higgs menciumi rambut istrinya yang masih dihiasi barisan jepit mutiara yang bersinar-sinar tertimpa cahaya lampu kristal.
"Hotel paling indah di Swiss ini cocok untuk menjadi tempat bulan madu sekaligus malam pembuktian kehebatan mesin Muggle," ujar Higgs, mengedip nakal dan mendudukkan Hermione di ranjang besar khusus pengantin yang bertabur kelopak mawar merah.
Merona parah, Hermione hanya bisa mengusap-usapkan jari di dada suaminya yang terbalut tuksedo hitam. Tersenyum malu, Hermione tak banyak bergerak saat Higgs dengan cekatan mencabut jepit rambut dan meletakkan aksesoris mahal itu di nakas samping ranjang.
Mengangkat dagu Hermione yang tersipu, Higgs menatap penuh hasrat. Tatapan bergairah Higgs yang sarat janji-janji permainan cinta yang romantis, seksi dan dijamin luar biasa memuaskan menghangatkan Hermione, merengkuh hati dan jiwanya dalam kedamaian tak terhingga.
"Apa kau masih percaya pada hasil foto calon bayi kita yang didesain oleh mesin pencetak foto calon bayi itu, Precious?" Higgs bertanya serak, perlahan-lahan membuka kancing depan gaun pengantin Hermione dengan sentuhan seringan kapas.
Menelan ludah gugup, Hermione mengangguk sekali. Pelupuk matanya terpejam ketika bibir hangat Higgs menciumi dan mencicipi setiap senti kulit yang tersingkap dengan pemujaan terang-terangan.
"Tentu saja aku percaya. Teknologi Muggle itu tak ada duanya."
Mengulaskan senyum predator maskulin, Higgs melepas sisa pakaian terakhir. Membaringkan Hermione di atas tempat tidur, Higgs bersiap-siap menaungi dan membanjiri istrinya dengan luapan kehangatan cinta.
"Nah, kalau begitu, ayo kita buktikan..."
"Mommy... Mommy..."
Higgs menguap dan menggosok mata, mengerjap menatap pewaris tunggalnya yang berderap kecil memasuki kamar tidur. Setiap langkah pendek putranya diiringi pengawasan penuh kasih Tiny. Kepala pelayan sekaligus peri rumah pengasuh yang sudah bertahun-tahun mengabdi di keluarga besarnya.
Tersenyum lebar, Higgs mengangkat dan mendudukkan putra kesayangannya di pangkuan. Tangan kekarnya dengan penuh sayang mengacak-acak rambut balita mungilnya yang basah sehabis dikeramas.
"Mommy sedang tidur, Jagoan," jawab Higgs, melirik penuh cinta ke sosok istrinya yang sedang tertidur pulas. Rambut berantakan Hermione yang di mata Higgs terlihat sangat seksi mengembang di sekitar bantal. Mulut Hermione, bagian tubuh menggiurkan yang selalu dipujanya setiap saat sedikit terbuka, mengeluarkan dengkur halus yang membuat Higgs hampir mati tergila-gila.
Mengalihkan pandangan dari wajah damai ibunya, bocah laki-laki yang baru menginjak usia lima tahun itu berkata lancar.
"Oh, kalau begitu aku tanya Daddy saja. Begini Daddy, tadi aku dan Grandma Almeta menemukan fotoku yang sudah usang di dalam album. Tapi anehnya, foto itu tak bergerak-gerak seperti fotoku yang lain," jelas si bocah, mengangsurkan tiga lembar foto hitam putih datar ke pangkuan ayahnya.
Higgs menyeringai memandangi tiga foto bersejarah itu. Foto yang dihasilkan mesin pencetak foto calon bayi di kelas Telaah Muggle, bertahun-tahun silam. Hermione memang benar, mesin teknologi Muggle itu benar-benar fenomenal. Lihat saja anaknya sekarang, memiliki paras serupa dengan hasil foto tersebut.
Kuapan lebar Hermione membuat seringai serigala Higgs makin bertambah lebar. Merenggangkan tubuh seperti anak kucing, mata cokelat Hermione yang masih mengantuk berbinar gembira tatkala melihat putra semata wayangnya yang bergelung manja di pangkuan ayahnya.
"Selamat pagi, Jagoan," ujar Hermione, menciumi pipi montok anaknya yang seharum bedak segar.
"Selamat pagi juga, Mommy," balas sang bocah, makin merapatkan diri di dalam pelukan. Mendengkur dalam, bocah tampan berotak cerdas itu tersenyum menikmati setiap belaian lembut jemari ibunya dan tepukan hangat ayahnya.
Ketukan halus di pintu membuat tiga penyihir yang tengah terhanyut dalam kemesraan keluarga menengok ke sumber interupsi secara bersamaan.
"Sudah kuduga kau ada di sini. Ayo Manis, pergi ke ruang makan bersama Grandma Almeta. Grandma sudah membuatkan menu sarapan favoritmu."
Almeta Higgs, ibunda Higgs yang selalu tampil memukau melangkah memasuki kamar. Tersenyum hangat, wanita paruh baya berwajah oval sempurna itu mengangkat dan menggendong cucu kesayangannya. Cucu yang kehadirannya mampu merekatkan kembali hatinya yang tercabik-cabik akibat ulah Madam Carrow, teman dekat yang berbalik menjadi musuh dalam selimut.
Hermione dan Higgs memandangi wanita yang masih cantik di usia senjanya itu dengan penuh kasih sayang. Sedikit demi sedikit, Almeta Higgs mulai berubah. Priyayi berdarah murni yang dulu tak percaya pada keagungan cinta abadi kini mulai menghargai hal yang sempat dijadikannya bahan lelucon.
Terbukti ketika lady berkedudukan sangat tinggi itu bersedia menerima permintaan maaf suaminya. Bersedia untuk rujuk kembali dan membangun keluarga bahagia dengan fondasi kepercayaan yang lebih kukuh dari sebelumnya.
"Untung sekali kau datang, Mother, jadi kau bisa membawa anakku keluar dari sini secepatnya," Higgs terkekeh penuh konspirasi, merangkulkan lengan di pundak Hermione yang terbungkus gaun tidur merah muda.
"Memangnya kenapa?" Almeta Higgs melengkungkan alis bertanya-tanya, menimang dan membuai punggung cucu tunggalnya yang berada di dalam gendongan.
Mencium pelipis Hermione yang mengerut heran, Higgs mengedip menggoda. Sinar nakal dan kilau serigala membayang di kedua mata hijau gelap yang gemerlap.
"Pagi ini, aku mau membuktikan lagi kehebatan mesin Muggle pencetak foto calon bayi, Mother."
Mendecak-decakkan lidah dengan kesabaran yang dilebih-lebihkan, Almeta Higgs membawa cucunya menuju pintu kamar. Setiap gemerisik langkah anggunnya diiringi si peri rumah berbakti, Tiny yang setia mengekori. Setibanya di depan pintu kamar, Almeta Higgs menengok dan pura-pura bergumam heran.
"Bukankah kalian setiap malam tak pernah berhenti mencoba kebenaran mesin itu?"
Tertawa geli, Higgs mengangkat bahu, tak menggubris cubitan gemas Hermione di ujung lengannya.
"Itu beda, Mother. Itu kerja menyenangkan yang sengaja dirancang tanpa hasil. Tapi, sekarang harus ada buah pembuktiannya. Sudah saatnya putraku punya adik. Adik perempuan yang, aduh," Higgs mengaduh pelan ketika cubitan halus Hermione berubah beringas.
Menggeleng-gelengkan kepala menyaksikan interaksi mesra anak dan menantunya, Almeta Higgs keluar kamar dan menutup pintu, setelah sebelumnya mengingatkan putranya untuk melindungi kamar dengan Mantra Peredam Suara.
Sepeninggal ibu mertuanya, Hermione menyodok siku suaminya yang masih tergelak geli. Hidung berbintik-bintiknya mengerut tak setuju, ekspresi yang menyiratkan bahwa pejabat penting Kementerian Sihir Inggris itu tak menyukai tingkah suaminya yang nekat mengucapkan kata-kata vulgar di depan putra mereka.
Tersenyum geli melihat kerutan di hidung istrinya, Higgs membungkukkan wajah dan menghilangkan rengutan itu dengan sapuan ciuman lembut. Menyisiri ikal gelombang Hermione yang acak-acakan hingga halus, mata hijau menyegarkan Higgs berkilap provokatif.
"Apa kau masih percaya pada hasil foto calon bayi kita yang didesain oleh mesin pencetak foto calon bayi itu, Precious?"
Melingkarkan lengan di leher Higgs, Hermione menatap mesra suaminya. Pria sejati yang telah menguasai hatinya sejak usianya dua belas tahun. Mendekatkan bibir ke kuping suaminya, Hermione bergumam pasti.
"Tentu saja aku percaya. Teknologi Muggle itu tak ada duanya."
Tergelak mesra, Higgs melambaikan tongkat sihir, merapalkan jampi-jampi pengunci pintu dan peredam suara. Meletakkan tongkat sihir di nakas, Higgs mengedipkan sebelah mata dan balas berbisik penuh hasrat.
"Nah, kalau begitu ayo kita buktikan..."
TAMAT
