Napasku memburu. Iris rubyku menatap tajam.

Lagi, semua orang menjauhiku. Menatap takut-takut, sambil sesekali berbisik-bisik.

Aku berjalan keluar dari ruangan memuakkan itu. Duduk di bawah pohon rindang, angin yang berhembus mendinginkan pikiranku yang mendidih. Kuhembuskan napasku secara perlahan, kupejamkan mata sejenak. Akhirnya diriku bisa menenangkan diri.

Jujur saja, aku paling benci diriku yang tidak bisa menahan amarah ini. Semua orang menjauhiku, membenciku. Orang tuaku malu mempunyai anak yang tak bisa menjadi seorang yang ramah, walaupun aku sudah berusaha dan berhasil meraih kemenangan dalam lomba disana-sini.

Aku berusaha untuk terus diam dan bersabar, namun sayangnya pikiran dan mulut tidak bisa diajak bekerja sama. Aku berusaha ramah, sampai aku memakai topi hitam ini untuk menutupi tatapan mata merahku yang tajam dan berkilat penuh murka saat aku marah.

Berkali-kali diriku terkena masalah karena tak bisa menahan luapan amarah di dalam diriku, baik dalam keluarga ataupun lingkungan sekitar dan sekolah.

Aku mengurung diri di kamar. Kuhabiskan waktuku dengan menatap langit-langit kamarku atau pergi ke alam mimpi.

Aku pun berusaha untuk menahan rasa iri hatiku dan juga murkaku saat diriku dibanding-bandingkan dengan anak lain, bahkan dengan kakakku sendiri.

Apakah kalian tidak melihat usahaku untuk merubah sikapku selama ini? Apakah kalian memang ada di sini untuk menjadi kaca yang memperlihatkan noda hitam di diriku?

Iri hatiku semakin memuncak saat melihat kasih sayang yang diberikan orang tuaku pada kakakku itu. Begitu besar rasa sayang dan bangga mereka pada kakakku. Mereka menganggap diriku tak ada di sini. Mereka terus saja membangga-banggakan dia tanpa peduli iri hatiku yang mungkin dapat membunuh diriku sendiri.

Setiap aku pergi dari rumah itu, aku serasa terbebas. Sayapku serasa membentang lebar ke seluruh dunia, apalagi dengan hadirnya ketiga sahabatku yang dapat membuatku setidaknya tersenyum.

Tapi, sekali lagi, aku tetaplah rendah di mata orang tuaku. Seolah semua pencapaianku ini transparan di mata mereka. Di mata mereka, aku adalah anak yang kurang ajar.

Lelah untuk bersedih terlalu lama, aku memilih untuk acuh tak acuh. Aku mulai belajar mengendalikan amarahku dengan mendengarkan musik instrumental dan melihat alam yang begitu rindang dan hijau.

Lalu, saat sedang mendengarkan lagu lewat earphone, aku berpikir.

Apakah standar seorang manusia normal adalah bersikap ramah dan sabar?

Jika itu benar, lalu apakah manusia melupakan teori bahwa manusia itu berbeda-beda? Bukankah mereka membenarkan teori itu? Lalu, kenapa aku mendapat perlakuan seperti ini?

Aku memanglah tempramental, tapi aku berusaha menutupinya dengan meraih prestasi yang tidak bisa sebagian orang raih. Aku berusaha membanggakan orang tuaku, tapi apa yang kudapat?

Pujian saja aku tidak mendapatnya. Hanya sesekali, dan aku lupa kapan itu.

Dan saat di depan saudaraku, orang tuaku membangga-banggakan diriku.

Apa maksudnya itu?

Apa prestasiku hanya dipakai untuk membanggakan diri mereka di depan sanak saudaraku? Kenapa?

Aku, BoBoiBoy Halilintar, kecewa terhadap dunia.