London, 1965
Lambeth Marsh. Eren Yeager tak tahu harus dengan istilah apa ia menggambarkan kondisi tempat ia menginjakkan kaki. Barangkali tumpukan sampah Britania Raya yang seharusnya segera diratakan dengan tanah. Atau sekumpulan aib negara yang melintasi selat seolah London menjanjikan kesejahteraan. Atau apa saja. Ia bahkan tak tahu lagi makian model apa yang pantas ia muntahkan pada kota keparat ini.
Sepasang netra zamrud itu bergerak-gerak liar mengamati sekelilingnya. Tubuh-tubuh manusia yang baru saja dievakuasi dari rumah-rumah kumuh dijejal paksa pada kantong mayat yang dalam keadaan darurat muat empat. Lalu dilemparkan tanpa rasa kemanusiaan pada gerobak pengangkut sampah—seolah raja ingin menyampaikan bahwa tumpukan jenazah ini memang sampah negara dan akan segera dimusnahkan sampai ke tulang-tulangnya.
"Rivaille."
Kepala cokelat Eren Yeager mendongak, berusaha menatap sosok lebih tinggi yang tengah berfokus pada kesibukan di depan sana.
"Hm?"
"Mikasa dan Armin … aku tak melihat mereka di pengungsian. Mungkinkah mereka salah satu dari tumpukan mayat itu?"
Sepasang netra gelap Rivaille balik menatap bocah yang lima belas tahun lebih muda darinya, mengeratkan jari-jemari pada tangan kecil di genggamannya.
"Barangkali. Dan kurasa kita tidak perlu melihat jenazah teman kita dicampakkan seperti sampah oleh mereka. Ayo, pergi."
Ia menarik tangan bocah Yeager sedetik setelah ekor matanya menangkap tubuh anak perempuan berusia tujuh kira-kira, berambut malam—lengkap dengan syal merah sebagai ciri khas yang melilit leher gadis berdarah Asia itu—tengah dijejalkan ke dalam kantong mayat yang ia yakini telah penuh sesak, tak ingin si pemilik netra zamrud melihat bahwa kematian begitu dekat dan hadir tanpa belas kasihan.
"Rivaille, jika Armin dan Mikasa benar-benar ada di sana … aku tak punya teman lagi."
Mengulur napas berat, kelopak mata Rivaille mengatup sebentar, sebelum mulut yang akrab dengan cerutu berujar gamang, "Aku temanmu, Eren. Selamanya akan menjadi temanmu. Aku tidak akan pernah membiarkanmu sendirian. Tidak akan."
(Beberapa detik setelah mereka menjauhi lokasi evakuasi korban epidemi, tubuh nyaris busuk anak laki-laki berambut pirang berusia tujuh berbalut piyama abu-abu dilemparkan ke gerobak sampah, berbaur dengan kantong-kantong mayat lainnya.)
