Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.

Pairing: Hermione Granger & Lucian Bole.

Warning: Tak ada Lord Voldemort dan tak ada Perang Besar Hogwarts. Nama Lucian Bole pertama kali dimuat di buku Harry Potter dan Tawanan Azkaban, halaman 379. Data Tracey Davis diambil dari Harry Potter Wiki.

Rating: T


Sebagai orang Inggris yang lahir, besar dan tumbuh di ibukota London, Hermione Jean Granger tentu sangat familier dengan ikon transportasi London, bus tingkat. Sedari balita, gadis berambut cokelat lebat itu sering diajak orangtuanya berkeliling kota dengan bus dua tingkat berwarna merah cerah tersebut.

Beranjak besar, kebiasaan berpergian dengan bus tingkat terus dilakukan Hermione. Kendati kedua orangtuanya memiliki mobil pribadi yang nyaman, penyihir bergigi besar-besar itu lebih suka menikmati pemandangan kota London dari balik jendela bus.

Sistem moda transportasi massal cepat dan efisien seperti kereta bawah tanah tetap tak bisa melunturkan kesetiaan Hermione pada kendaraan besar beroda yang sudah beredar di jalanan London sejak tahun delapan belas dua puluhan.

Dengan kecintaan yang berurat dan berakar, tak heran jika Hermione berhasrat menjajal pengalaman naik bus tingkat khusus penyihir, Knight Bus alias Bus Ksatria. Sejak pertama kali menemukan istilah Bus Ksatria di buku Sejarah Dunia Sihir, Hermione sudah berangan-angan mengunjungi berbagai kota di Inggris dengan bus tiga tingkat bercorak ungu tua tersebut.

Hasrat Hermione untuk mencicipi ekspedisi bersama Bus Ksatria kian menebal ketika teman baiknya di Sekolah Sihir Hogwarts, Harry James Potter menceritakan kisah mendebarkan yang dialaminya saat pertama kali menaiki Bus Ksatria.

Kata Harry, tak seperti bus tingkat Muggle, interior Bus Ksatria disesuaikan dengan pergantian siang dan malam. Di akhir hari, bangku penumpang diganti dengan setengah lusin dipan kuningan beraneka ukuran. Untuk penerangan, Bus Ksatria hanya mengandalkan sinar lilin yang ditempatkan di nakas yang berjejer rapi di samping tempat tidur.

Di pagi dan siang hari, dekorasi Bus Ksatria kembali berubah. Ranjang kuningan diganti dengan bangku busa dan sofa buluk penuh kutu busuk yang tak henti-hentinya menggigit bokong empuk para penumpang.

Perbedaan antara bus tingkat Muggle dengan Bus Ksatria tak berhenti di aspek ornamen semata. Jika bus tingkat Muggle dibekali sopir dan kondektur berpengalaman yang tertib berlalu lintas, jangan harap fasilitas menyenangkan serupa ditemukan di Bus Ksatria.

Bus panjang dan luas itu ditunggangi penyihir tua renta berparas mirip burung hantu, Ernest 'Ernie' Prang yang ugal-ugalan saat mengemudi. Meski mata katarak Ernie sudah dilengkapi kacamata super-tebal seperti pantat botol, penyihir berambut seputih halilintar itu kerap melanggar aturan lalu-lintas dunia sihir. Tak jarang Bus Ksatria melaju keluar jalur jalan, membuat seisi rumah pedesaan melompat sejauh mungkin untuk menghindari terjangan bus mabuk tersebut.

Keeksentrikan Ernie kian diperparah dengan kehadiran kondektur bodoh dan jerawatan, Stanley 'Stan' Shunpike. Menurut Harry, walau senang bergosip seperti ibu-ibu, Stan yang berseragam serba ungu seperti cat bus yang digawanginya buta tentang fakta dan berita nyata yang beredar di pasaran.

Contohnya, pemuda berusia delapan belas tahunan itu percaya saja saat Harry mengenalkan dirinya sebagai Neville Longbottom. Padahal, sebelum berkenalan, Stan sempat melihat bekas codet berbentuk sambaran petir di jidat Harry. Guratan luka yang jelas-jelas identik dengan ciri fisik Harry Potter, penyihir yang di masa balitanya sukses membinasakan si Pangeran Kegelapan, Lord Voldemort.

Semua penjelasan Harry tentang kelemahan perilaku sopir dan kondektur tak memadamkan impian Hermione untuk naik Bus Ksatria. Walau menurut penjelasan literatur Bus Ksatria hanya boleh dipakai sebagai bantuan darurat untuk penyihir yang tersesat, Hermione berkeyakinan dirinya tetap bisa menaiki bus gila paling spektakuler tersebut.

Keyakinan yang dibuktikan Hermione di liburan musim panas jelang awal tahun ajaran keempat di Hogwarts. Petualangan naik Bus Ksatria yang tanpa diduga berdampak besar pada kehidupan cintanya di masa depan...


"Oh Sayang, kenapa kau tak bilang kalau dampaknya sebesar ini?" Mrs Granger, ibunda tercinta Hermione mengeluh lemah sembari memegangi perut yang mulas akibat terhantam dinding papan Bus Ksatria. Di samping kiri ranjang, suami terkasihnya, Mr Granger terkulai lemas, kehabisan tenaga karena kebanyakan muntah-muntah di sepanjang perjalanan.

Menatap miris paras kedua orangtuanya yang pucat pasi, Hermione terbata-bata menggumamkan permintaan maaf. Tadinya, saat mendengarkan cerita Harry setahun silam, Hermione mengira formasi mengemudi Ernie masih bisa ditolerir.

Nyatanya, selain membuat tempat tidur membentur dinding setiap lima menit sekali, Ernie juga kerap memencet klakson sembarangan. Klakson bersuara super-keras yang kekuatan volumenya dijamin membuat orang tuli bisa mendengar kembali.

Awalnya, Hermione tak berniat mengajak orangtuanya menaiki Bus Ksatria yang didesain khusus untuk kaum penyihir. Seusai berlibur di vila mereka di Bath, Hermione berencana pulang sendirian ke rumahnya di Hampstead Garden, London dengan menumpang Bus Ksatria.

Namun, impian hanya tinggal impian sebab kedua orangtua Hermione menentang habis-habisan rencana tersebut. Dengan alasan masih di bawah umur sehingga tak aman pergi sendirian, kedua orangtua Hermione ngotot ikut serta naik Bus Ksatria.

Setelah berdebat cukup lama, Hermione akhirnya mengalah. Mengambil posisi di jalan sepi dekat bungalo mereka, Hermione menjulurkan tangan pemegang tongkat sihirnya. Tak lama setelah tangan kanan teracung, bunyi DUAR menggelegar memecah kesunyian disusul suara decit ban dan kilau lampu yang membutakan mata.

Saat melihat keberadaan orangtua Hermione, Stan sempat mengernyit tak setuju. Namun, pemuda bertelinga lebar itu akhirnya bersedia menyelundupkan pasangan suami-istri Granger ke dalam bus setelah disuap dengan uang sepuluh Galleon emas.

Sebagai bentuk terima kasih karena penumpang Muggle-nya memberi tip lebih, Stan menyediakan selusin ember kayu ukuran jumbo. Baskom super-besar yang ternyata ditujukan untuk menampung muntahan orangtua Hermione yang tak ketulungan banyaknya.

"Maaf Mom, Dad. Kalau tahu begini jadinya, aku tak akan memaksa pulang naik Bus Ksatria," desah Hermione getir, menyerahkan saputangan handuk untuk mengelap sudut bibir ibunya yang berkedut miris.

Meremas pundak anaknya, Mrs Granger tersenyum lembut. Menghirup teh lemon yang tersaji di meja samping tempat tidur dengan gerakan hati-hati, menghindari insiden tumpahnya teh seperti yang terjadi lima belas menit sebelumnya, Mrs Granger mendesah pelan. Manik cokelat hangatnya yang serupa dengan iris putrinya menyorot penuh pengertian.

"Tak apa-apa, Sayang. Jangan merasa bersalah. Kami saja yang sudah tua dan tak bisa menerima guncangan perjalanan seperti ini."

Mengulas senyum singkat, Hermione mengalihkan perhatian ke jendela bus, mengamati kotak surat, selter bus umum dan tiang lampu jalan yang berlari maraton menghindari terkaman Bus Ksatria yang mendadak masuk trotoar.

Dari balik pantulan kaca jendela bus, Hermione melihat siluet seorang pemuda yang sedang berbaring malas di ranjang seberang. Penyihir remaja berambut hitam kelam yang semenjak kedatangan Hermione tak pernah sekalipun menurunkan pandangan. Pandangan membakar yang membuat pembuluh darah Hermione meremang dan bergetar.

"Kau kenal anak laki-laki itu, Sayang? Dari tadi dia terus memperhatikan kita," suara Mrs Granger mengusik tatapan menyelidik Hermione yang dilakukan diam-diam via kaca jendela.

Mengangguk sekali, Hermione memberanikan diri menengok dari balik pundak, menatap langsung pemuda berkulit putih bersih yang sedari tadi mengawasi lekat-lekat seperti elang pemangsa.

Tatkala mata cokelat kayu manis Hermione bertatapan dengan iris biru indigo yang menghanyutkan, tanpa diduga si pemuda menyeringai hangat, menampakkan deretan gigi putih yang terawat.

Memalingkan muka untuk menyembunyikan rona merah jambu cemerlang yang menodai pipi, Hermione berdeham kecil, bersusah payah menjawab pertanyaan ibundanya.

"Dia Lucian Bole, Mom. Siswa Slytherin yang dua tahun lebih tua di atasku," jelas Hermione, memegangi pipinya yang memanas. Pipi yang merona gara-gara senyum menghipnotis yang jarang-jarang dilemparkan pemuda berparas tampan tersebut.

"Oh, giginya rapi sekali, Sayang. Mom yakin dia pasti rajin menyikat dan membersihkan gigi," bisik Mrs Granger antusias. Sisi intelektualitas Mrs Granger sebagai dokter gigi tampaknya bangkit, terbukti dengan binar penuh harap yang menyala di retina mata.

"Apa Mom bisa bertanya padanya tentang teknik merawat gigi ala penyihir, Hermione?" tanya Mrs Granger bersemangat. Mengubek-ubek isi tas tangan, wanita anggun bersahaja itu mengeluarkan buku memo serta sebatang pulpen isi ulang bertinta hitam.

"Sebaiknya jangan dekati dia, Mom," larang Hermione tiba-tiba, mengagetkan ibunya yang bersiap-siap bangkit dari tempat tidur.

"Dia itu temperamental, gampang marah dan gemar menghajar perempuan," sambung Hermione, merendahkan suara agar semua kritikan pedasnya tak tertangkap kuping Bole yang masih menyeringai ramah.

Terkesiap kaget, Mrs Granger menutup mulut dengan sebelah tangan. Melirik takut-takut, Mrs Granger mendekatkan bibir ke kuping anaknya. Berupaya mengklarifikasi tuduhan serius yang dilontarkan putri kesayangannya.

"Menghajar perempuan? Yang benar, Sayang?"

Mengangguk berkali-kali, Hermione ikut-ikutan berbisik-bisik. Dengan suara rendah, Hermione memaparkan tentang ulah brutal Bole yang keranjingan meremukkan tulang tengkorak pemain lawan di pertandingan Quidditch.

"Dia itu Beater Slytherin alias tukang pukul bola. Setiap kali berlaga, ia tak pernah sungkan menggampar lawan-lawannya. Karung tinju favoritnya tak lain dan tak bukan adalah tiga pemain cewek Quidditch Gryffindor, Alicia Spinnet, Katie Bell dan Angelina Johnson," seru Hermione provokatif.

Meremas-remas tangan dengan gelisah, Mrs Granger memandang sekilas Bole yang masih tersenyum bersahabat. Mengarahkan kembali tatapan ke putrinya yang merengut, Mrs Granger tersenyum samar.

"Tapi Sayang, sepertinya ia tak sekejam yang kau gambarkan. Lihat, dia tersenyum polos begitu."

Mulut Hermione menganga sebesar lubang bekas galian tambang mendengar tanggapan ibunya. Menjatuhkan tangan ke dahi, Hermione berdecak-decak tak percaya. Rupanya, ibunya yang lugu telah terperdaya sihir pesona palsu yang disemburkan bajingan Slytherin yang detik ini tengah bermalas-malasan sembari merenggangkan kedua tangan ke udara. Aktivitas yang secara otomatis membuat lekuk lengan kekar yang menggiurkan terekspos jelas.

Menggiurkan?

Sedetik setelah pemikiran tersebut mencuat, Hermione menyumpahi dirinya sendiri karena menganggap Bole yang berangasan tak ubahnya seperti pemuda sedap dipandang yang layak diperebutkan.

"Bukankah kau pernah bercerita kalau kekerasan merupakan hal normal di duel Quidditch?" Mrs Granger mengedipkan sebelah mata, membuat lubang menganga di mulut Hermione kian terbuka.

"Iya sih, Mom. Tapi tak berarti kekerasan terhadap pemain perempuan dibenarkan, bukan?" kelit Hermione sengit, mati-matian mempertahankan pendapat tentang tindak-tanduk Bole yang melenceng dari tata krama.

"Memang sih. Tapi, Mom rasa ketiga teman perempuanmu di Gryffindor sudah paham risikonya saat bergabung di klub Quidditch. Lagipula, kau pernah bercerita kalau muka bonyok, tulang patah dan gegar otak permanen lazim terjadi usai pertempuran Quidditch," ungkap Mrs Granger sabar, mengelus-elus pipi putrinya yang menggembung sebal.

"Maka dari itu aku tak suka Quidditch," sembur Hermione kesal, mati kutu karena tak bisa membantah pernyataan ibunya.

Sebagai penggila berita dan ensiklopedia, Hermione tentu tahu kalau komentar ibunya benar adanya. Kekerasan yang dilakukan atlet laki-laki terhadap pemain perempuan memang sudah terjadi sejak berabad-abad lalu. Atau persisnya sedari olahraga terbang itu diciptakan.

Pertandingan sesama skuat Quidditch perempuan pun tak luput dari insiden perkelahian barbar yang menggetarkan bulu roma. Suatu kali Hermione pernah membaca hasil pertarungan yang melibatkan laskar Quidditch wanita, Holyhead Harpies. Pasca laga, banyak pemain yang mengalami kerontokan rambut akibat aksi saling jambak. Belum lagi dengan luka cakar yang melengkapi deretan gigi tanggal gara-gara hantaman Bludger tak terkontrol.

"Mungkin kau tak suka Quidditch, tapi pemain Quidditch di seberang sana jelas-jelas menyukaimu," goda Mrs Granger, terkikik geli menunjuk Bole yang setia memajang wajah simpatik.

Pipi Hermione yang sudah berwarna normal kembali dihiasi semburat merah muda. Mengambil buku Menghadapi Musuh Tak Berwajah untuk menutupi muka yang memerah, Hermione bergumam sedih.

"Tak mungkin dia menyukaiku, Mom. Selama ini dia hanya tertarik dengan penyihir yang sederajat dengannya. Lagipula, aku juga tak mau berpacaran dengan bandot mata keranjang seperti dirinya."

Mata Mrs Granger membulat prihatin mendengar keluh-kesah anaknya. Wanita setengah baya berparas manis itu akhirnya menyadari alasan di balik sikap defensif yang diperlihatkan gadis kecilnya.

Rupanya, putri semata wayangnya menyukai Bole namun tak memiliki kadar kepercayaan diri tinggi untuk mencuri hati si remaja tampan yang masih menaburkan pandangan hangat ke arah mereka.

"Kau cemburu, Sayang. Kau menyukainya dan kesal karena tak bisa mengungkapkan perasaan. Makanya kau mengalihkan kekecewaan dengan berbicara hal buruk tentangnya," urai Mrs Granger pelan, menggenggam lembut jemari Hermione yang terkepal.

"Mom," semprot Hermione kesal, menurunkan pustaka tebal yang menutupi wajah. "Tak bisakah kita membicarakan topik lain?"

Tersenyum keibuan, Mrs Granger membelai rambut kusut anaknya. Memeluk erat Hermione dalam dekapan hangat, wanita paruh baya berintelegensia tinggi itu berbisik menguatkan. Berupaya memberikan dukungan penuh pada putri satu-satunya yang tengah terbelit dilema cinta pertama.

"Jujurlah pada dirimu sendiri, Sayang. Jangan bohongi hatimu. Akuilah kalau kau menyukai pemuda itu."

Merengkuh balik ibunya, Hermione terisak rendah. Membenamkan wajah di dada ibunya yang berdetak teratur, Hermione menganggukkan kepala semak yang diikat seadanya, memberi tanda kalau semua ucapan ibunya benar adanya.

"Iya, Mom. Aku menyukainya sejak tahun lalu. Tapi, tak sekalipun dia menengok ke arahku."

Mengelus-elus surai gelombang putrinya, Mrs Granger bergumam halus. Gumaman pelan yang efektif membuat Hermione mendongakkan kepala yang tersuruk.

"Oh ya? Lalu, kenapa sekarang ia menatapmu bolak-balik dengan sorot khawatir?"

Menyeka air mata dengan lengan baju, Hermione mengerling ke seberang ruangan, tempat di mana Bole berdiri gamang. Mata biru ungu Bole mengerjap khawatir, tangannya terkepal di samping celana, mengindikasikan tekad tertahan untuk tetap bertahan di posisi semula atau menghambur maju ke arah Hermione dan ibunya.

Komitmen Bole untuk terus bertengger di tempat semula tampaknya dikalahkan oleh kecemasan tingkat tinggi yang tertoreh di garis wajahnya. Beranjak secepat kilat, pelajar Slytherin tahun keenam itu dalam waktu singkat sudah berdiri menjulang di hadapan Hermione dan ibunya.

"Apa yang terjadi, Tante? Kenapa Hermione menangis?"

Alis cokelat Mrs Granger naik ke atas mendengar pertanyaan tersebut. Mengerdipkan sebelah mata, Mrs Granger mengusap ubun-ubun Hermione seraya berbisik pelan.

"Nah, dia memanggilmu Hermione. Itu berarti dia mengenalmu dan sering memperhatikanmu. Kau saja yang tak sadar."

Mengecup sekilas puncak kepala Hermione untuk terakhir kali, Mrs Granger menatap Bole yang masih berdiri gelisah. Mengilaskan senyum keibuan, Mrs Granger melepaskan pelukan dan kembali duduk di samping suaminya yang mendengkur kelelahan.

"Hermione cuma merasa sedikit mual, Nak. Mungkin dia mabuk perjalanan," ujar Mrs Granger lembut, tak menggubris erangan protes yang meluncur dari bibir mungil anaknya.

Mengerling sekejap, Mrs Granger dengan nada konspiratif meminta Bole untuk mendampingi Hermione selama dirinya merawat suaminya yang terkapar tak bertenaga.

Pada awalnya, Hermione menepis keras bujukan ibunya. Berkilah dirinya baik-baik saja, Hermione ngotot meringkuk di ranjang bau penuh kutu yang didudukinya. Namun, senyuman penuh harap Bole membuat kebulatan tekad Hermione ambrol seperti bendungan bobol.

Dan begitulah, dengan berat hati Hermione terpaksa mengikuti Bole yang beringsut kembali ke tempat tidurnya. Berpijak kikuk di samping Bole yang sudah bersimpuh nyaman di kasur, Hermione berdeham kecil, berusaha membasahi batang tenggorokan yang terasa kesat.

"Duduklah di sini, Sugar. Kalau berdiri terus, nanti kau nyungsep ke kolong ranjang saat Ern mengerem mendadak," rayu Bole manis, menepuk halus tempat kosong di samping kanan.

Sugar?

Alis Hermione melengkung jauh mendengar panggilan sayang yang diucapkan Bole. Hermione merasa jengah karena belum lima menit bercakap-cakap, lawan bicaranya sudah berani menyapa dengan sebutan romantis seperti itu. Julukan mesra yang membuktikan kelihaian Bole dalam memikat hati lawan jenisnya.

"Terima kasih banyak. Aku sanggup berdiri kok," tolak Hermione judes, memicing memandangi Bole yang tergelak meremehkan.

"Ups, aku tak yakin, Sugar," balas Bole, menarik tangan Hermione tepat ketika Bus Ksatria mengerem tiba-tiba, membuat lusinan tempat tidur terdorong ke depan membentur dinding kayu. Kuatnya hentakan membuat banyak ranjang terguling, termasuk kasur berkutu yang dihuni kedua orangtua Hermione.

Bertolak belakang dengan ayahnya yang gelagapan dan menyumpah-nyumpah karena batok kepalanya kejedot tembok, Hermione geragapan membebaskan diri dari dekapan erat Bole.

Perlawanan Hermione memudar ketika harum tubuh Bole yang maskulin dan memabukkan merasuki lubang hidung. Usapan lembut jemari Bole di punggungnya efektif membuat Hermione menghentikan kepalan tinju.

Mendengkur halus seperti berang-berang gendut kekenyangan, secara refleks Hermione merapatkan diri ke dada bidang Bole. Tanpa sadar menikmati kelembutan perlakuan yang diberikan kakak kelasnya. Senior tampan yang sering disebut-sebut sebagai bajingan berandalan penyuka kekerasan.

Seiring setiap usapan, mata Hermione semakin terpejam. Sembari meresapi aroma jantan Bole dan belaian jemari yang terlatih, Hermione merenungkan kembali alasan mengapa dirinya menyukai pemuda yang tengah menimangnya dengan penuh kelembutan.

Tatkala pertama kali mengenal Bole di tahun ketiga, Hermione tak langsung menyukai remaja bertampang macho itu. Hermione malah dongkol luar biasa sebab di duel kontra Gryffindor, pemuda berdarah bangsawan itu tanpa merasa berdosa menggeprak wajah Alicia Spinnet dengan pemukul Bludger yang sekeras baja.

Namun, kebencian Hermione memudar ketika di malam sebelum liburan Natal dirinya memergoki Bole tengah menolong Fang yang terjatuh di Danau Hitam.

Fang yang malam itu dilepas untuk melemaskan kaki bertindak kebablasan dengan melompati permukaan Danau Hitam yang tersaput es. Ketika tungkai besar Fang menjejak lapisan es, selimut salju pecah berkeping-keping. Bobot tubuh yang melebihi kapasitas membuat Fang tak bisa bergerak sigap dan terperosok ke dasar danau yang membeku.

Untungnya, sebelum anjing raksasa milik guru Pemeliharaan Satwa Gaib, Rubeus Hagrid itu mati tenggelam, Bole melihat insiden memilukan tersebut. Melempar sapu balap Nimbus Dua Ribu Satu ke sembarang arah, Bole tanpa pikir panjang melompat maju dan berenang menyelamatkan Fang. Tak menghiraukan suhu air danau yang minus, Bole mati-matian menggeret Fang yang beratnya ampun-ampunan kembali ke permukaan.

Hagrid yang datang lima menit kemudian menangis tersedu-sedu dan tak henti-hentinya menjabat tangan Bole. Menggosok mata kumbang yang bercucuran air mata, Hagrid menyemburkan lantunan terima kasih atas pertolongan yang dilakukan Bole.

Menepuk tangan Bole sekuat-kuatnya hingga nyaris membuat Beater Slytherin itu terjungkir ke Danau Hitam, Hagrid mengundang penyelamat hewannya untuk menghangatkan diri di pondok butut yang terletak di pinggir bibir Hutan Terlarang.

Mengeringkan jubah Quidditch dengan satu jentikan tongkat sihir, Bole dengan santun menolak ajakan tersebut. Beralasan dirinya harus menghadiri rapat akhir tahun Quidditch Slytherin di markas tim, Bole berpamitan dan meninggalkan Hagrid yang tertegun-tegun.

Hermione yang saat itu berencana mengunjungi pondok Hagrid bersama Harry dan Ron hanya bisa saling berpandangan satu sama lain. Ketiga sahabat yang berlindung di bawah Jubah Gaib tak menyangka preman Slytherin yang terkenal doyan tawuran seperti Bole mau repot-repot menyelamatkan anjing bau penuh liur seperti Fang.

Kekaguman Hermione kian berlipat ketika di bulan-bulan berikutnya aspek kasih sayang Bole pada sesama makhluk hidup terpancar keluar. Tak sekali dua kali Hermione memergoki pemuda atletis itu menyelamatkan nyawa hewan tak berdosa, termasuk kodok betung milik Neville, Trevor yang nyaris jadi bulan-bulanan kejahilan geng Slytherin pimpinan Draco Malfoy.

Puncaknya, di malam bulan Februari, sehari setelah perayaan Valentine, Hermione melihat Bole memberi makan Crookshanks dengan kudapan kucing sihir. Camilan yang menjadi jawaban atas pertanyaan terpendam Hermione selama ini yang heran melihat kucing jingga berkaki bengkoknya selalu berderap kekenyangan setiap kali pulang berjalan-jalan malam di luar kastil.

Menilik sikap Bole yang menyayangi makhluk hidup, pendapat miring Hermione tentang kekurangajaran watak Bole sedikit terpangkas. Namun, anggapan positif itu luruh ketika Hermione mengetahui hobi Bole yang suka bergonta-ganti pasangan semudah membuang sampah.

Sepanjang ingatan Hermione, Bole sudah puluhan kali berkencan dengan gadis-gadis darah murni. Jika tak mengincar penyihir ras tulen dari asrama sendiri, Bole pasti mengarahkan panah asmara pada gadis-gadis seksi penghuni Ravenclaw dan Hufflepuff. Dari sekian banyak koleksi pasangannya, tak sekalipun nama siswi Gryffindor tercantum dalam daftar.

Seperti siswa Slytherin lainnya, Bole rupanya memandang derajat penghuni Gryffindor lebih rendah dari belatung bau penghuni tong sampah. Hewan pemakan bangkai yang tak layak diberi kehormatan untuk menjadi pacar maupun pasangan penyihir berdarah murni.

Berdasarkan asumsi itu, termasuk legenda persaingan antar asrama yang menihilkan peluang terjalinnya asmara, Hermione pelan-pelan mengubur benih cinta yang mulai bersemi. Daripada depresi, Hermione yang merasa dirinya tak akan pernah dilirik Bole karena cuma seorang Gryffindor kelahiran Muggle memilih menutupi isi hati. Isi hati yang kembali berseri berkat kejadian tak terduga di malam ini.

Kenangan Hermione tentang riwayat rasa cintanya pada Bole terpotong ketika ubun-ubunnya dikecup mesra. Menguap kecil menahan rasa kantuk yang mendera, Hermione merasa Bole menempelkan pipi di puncak rambut cokelat mekarnya.

Sebelum kantuk dahsyat memaksanya menutup mata lekat-lekat, Hermione sempat mendengar gumaman pelan yang mengalir liris dari mulut pemuda cinta monyetnya. Bisikan kata-kata penuh cinta yang saat itu disangka hanya gurauan semata...


"Merlin! Kau pasti bergurau, Hermione."

Menutup kitab Bangsawan Alamiah: Ginealogi Sihir yang baru setengah dibaca, Hermione menatap lekat-lekat paras Ginny Weasley yang memucat. Meletakkan literatur berjilid tebal itu di salah satu ransel, Hermione bangkit dari sofa dan mengangkat dua koper besar dengan susah-payah. Di samping kanan, tepat di dekat bangku nyaman berlengan, Ginny bersedekap tak sabar, terus menuntut penjelasan lengkap dari teman terdekatnya.

Menghela napas singkat menyaksikan keteguhan hati Ginny, Hermione meletakkan kembali barang bawaan dan koper bermuatan berat di lantai Ruang Rekreasi. Mengawasi situasi sekelilingnya yang riuh-rendah, Hermione berbisik pelan di dekat kuping Ginny.

"Aku serius, Gin. Liburan musim panas ini aku mau menjelajahi seantero Inggris dengan Bus Ksatria."

Bola mata cokelat kekuningan Ginny melebar sebesar bulan purnama. Berdecak-decak takjub, junior Gryffindor itu mencangklong koper kulit cokelat dengan satu tangan, bergeser ke samping dan memberi akses bagi Hermione untuk kembali berjalan.

Bergerak bersisian melewati lubang lukisan Nyonya Gemuk yang sedang heboh mencoba aneka bikini warna-warni, Ginny mendesis keras. Omelan panjang lebar Ginny mengingatkan Hermione akan sosok ibunda Ginny, Molly Weasley yang biasa merepet tanpa henti memarahi kelakuan anak-anaknya yang kelewat batas.

"Hermione, itu berbahaya tahu! Naik Bus Ksatria sendirian. Bagaimana kalau ada garong dan bandit yang ingin bertindak jahat padamu?" cecar Ginny sengit, mengangkat koper butut berjumbai-jumbai dengan tenaga ekstra. Kekuatan yang mungkin diperoleh berkat kemarahan menggelegak yang merajai dada.

Mengutuki larangan memakai mantra sihir, efek dari detensi tambahan yang dijatuhkan ke penghuni Menara Gryffindor, Hermione berjuang memanggul dua koper kulit hitam yang berisi baju dan peralatan sekolah, termasuk medali emas untuk peraih nilai tertinggi seangkatan.

"Godric! Kenapa kita juga sih yang harus mengangkut koper ke Aula Depan. Kenapa tidak si Filch?" geram Ginny gusar, membanting koper rongsok di lantai Aula Depan, bersisian dengan koper-koper murid lain yang sudah lebih dulu teronggok di sana.

Mengusap-usap telapak tangan yang memerah karena kepanasan mengangkat beban, Hermione mendengus pendek. Setiap tahun, penjaga sekolah Argus Filch memang bertugas membawa koper para siswa ke Aula Depan, sebelum koper-koper diterbangkan ke bagasi Hogwarts Express yang terparkir di rel kereta Hogsmeade.

Namun, tahun ini berbeda. Filch yang sekujur tubuh bengkoknya bentol-bentol gara-gara serangan Bubuk Gatal Akut kreasi si kembar Fred dan George Weasley menolak tugas memboyong koper-koper siswa Gryffindor.

Sialnya, keengganan Filch didukung sepenuhnya oleh Kepala Asrama Gryffindor, Profesor Minerva McGonagall. Dengan alasan agar anak didiknya kapok dan tak lagi mengerjai orang lain, guru Transfigurasi berwajah sangat galak itu memerintahkan murid-murid asramanya membawa sendiri koper mereka ke undakan tangga Aula Depan. Tugas berat yang dijamin tak akan mempan mengubah hobi iseng Fred dan George yang sudah mendarah daging.

"Tenang saja, Gin. Aku bisa menjaga diri. Aku janji menulis surat untukmu setiap kali tiba di kota berbeda. Tapi, kau tak harus membalas semua suratku sebab Bus Ksatria berpindah tujuan secepat kedipan mata," ungkap Hermione menenteramkan, merangkul pundak Ginny dengan lengan kanan.

Menghela napas berat, Ginny mengendurkan pengawasan. Gadis berambut secerah bara api itu tampaknya sadar kalau ceramah berbusa-busanya cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

Selain tersohor sebagai gadis berotak encer, Hermione juga beken dengan karakter kepala batu. Penyihir bergigi bajing itu juga cinta setengah mati pada benda bernama bus tingkat. Jadi, omelan sepedas apapun pasti tak akan bisa mengkandaskan impian Hermione untuk bertualang bersama Bus Ksatria.

"Yah, terserahlah Hermione. Yang jelas kau harus selalu waspada dan jangan percaya pada orang asing. Mengerti?" tandas Ginny tegas, mendelikkan mata cokelat keemasan untuk memperkuat kesan intimidasi.

"Ya, Ma'am," seru Hermione, mengangkat tangan dan menirukan gaya memberi hormat. Lelucon yang disambut Ginny dengan jotosan pelan di lengan kiri Hermione.

Tergelak riang, kedua sahabat karib itu dengan bersemangat menaiki kereta yang ditarik kuda tak kasat mata, Thestral. Binatang gaib yang hanya bisa dilihat oleh penyihir yang pernah menyaksikan kematian orang terdekatnya.

Saking senangnya bercengkrama, Hermione tak menyadari tatapan penuh perhitungan yang dilayangkan Bole yang berdiri di balik tiang pilar berjajar Aula Depan. Pandangan sarat rencana terselubung yang tetap berkobar menyala sampai punggung kereta Hermione menghilang di tikungan...


"Yup, tikungan ini cocok untuk memanggil Bus Ksatria," gumam Hermione lamat-lamat. Menghela napas, Hermione menengok ke kiri dan ke kanan, memastikan tak ada saksi mata yang melihatnya mengacungkan tangan kanan ke udara.

Setelah yakin tak ada seorang pun yang melintas di tikungan sepi dekat vila musim panasnya di Bath, Hermione menjulurkan tangan pemegang tongkat sihir. Kurang dari empat hitungan, suara DUAR membahana muncul, diiringi kilap lampu terang yang menyilaukan mata. Cahaya lentera yang lumayan overdosis mengingat saat itu matahari senja masih bersinar terang.

Belum sempat Hermione mengorek kuping yang berdenging, pintu bus tingkat terbuka lebar. Dari balik ambang pintu, muncul sosok Stan Shunpike, si kondektur pemalas yang dengan asal-asalan membaca ucapan selamat datang yang lazim didendangkan sebelum penumpang merangkak ke undakan.

"Selamat datang di Bus Ksatria, transportasi darurat untuk para penyihir tersesat. Julurkan saja tangan pemegang tongkat sihirmu. Naiklah ke atas dan kami akan mengantarkanmu ke manapun kau mau pergi. Namaku Stan Shunpike dan akulah kondekturmu malam ini."

"Bukan malam ini, Stan. Petang ini. Bagaimana sih kau ini, tak bisa membedakan waktu."

Interupsi yang datang dari belakang punggung membuat Hermione berjengit kaget. Menata debar jantung yang memburu, pelan-pelan Hermione menengok ke belakang, menatap langsung ke dalam iris biru indigo Lucian Bole yang menyejukkan.

Jika Hermione tercengang-cengang dengan kehadiran Bole yang tak disangka-sangka, Stan yang disindir habis-habisan memasang tampang datar. Paras hambar yang tercoreng dengan selipan senyum bersahabat yang tertoreh di bibir tipisnya.

"Wah, Lucian. Mau jalan-jalan lagi senja ini, eh? Sayang sekali, Sobat. Bus sudah penuh. Cuma tersisa satu tempat tidur untuk si Nona Kecil ini," ujar Stan lancar, mengangkat tas bertali motif bunga-bunga milik Hermione yang tergeletak di trotoar.

Mengedip nakal, Bole tanpa sungkan menggamit lengan Hermione, memaksa gadis berhidung penuh bintik itu untuk segera menaiki undakan tangga bus.

"Tak masalah, Stan. Aku dan Hermione teman seperjalanan. Jadi, kami cukup tidur di satu kasur saja."

Komentar ngawur itu kontan menyalakan kewarasan Hermione yang sempat lumpuh akibat genggaman tangan Bole yang menggetarkan. Melotot tak terima, Hermione mencoba melepaskan diri dari cekalan tangan Bole. Usaha yang berujung percuma sebab pemuda berhidung mancung itu makin mengeratkan cengkeraman posesifnya.

"Siapa bilang kita akan pergi dan tidur bersama?" sanggah Hermione pedas, penyangkalan menggebu-gebu yang membuat Stan berpaling dan melengkungkan alis buriknya.

Menepuk-nepuk bahu kekar Bole dengan gerakan sok akrab, pemuda penuh komedo itu terkikik tanpa henti. Kelihatan betul kalau ia benar-benar menikmati situasi pelik yang tersaji di depan matanya.

"Wah, sial betul kau, Sobat. Baru pertama kali mengajak seorang gadis ke sini kau sudah ditolak mentah-mentah," decak Stan, pura-pura menghela napas prihatin yang tak sesuai dengan seringai girang yang menari-nari di ujung bibir.

Menyunggingkan senyum manis, Bole meremas lembut tangan Hermione yang terjalin di antara jemarinya. Mencium sekilas pelipis Hermione, Bole berujar enteng, "Dia sedang ngambek, Stan. Nanti juga kami intim lagi seperti pengantin baru."

Melingkarkan tangan di pinggang Hermione, Bole dengan mudah memaksa adik kelasnya masuk ke dalam bus. Seolah budek dan tuli dengan omelan Hermione, Bole bersiul-siul senang, mengikuti jejak Stan yang membawa mereka ke tingkat teratas.

Sesampainya di tingkat tiga, Stan memandu Hermione dan Bole ke ranjang kosong yang terletak di dinding dekat jendela besar. Menyeringai lebar, mempertontonkan barisan gigi kuning yang pasti membuat orangtua Hermione mati berdiri, Stan menepuk-nepuk kasur buluk yang terbungkus seprai abu-abu.

"Nah, ini sarang cinta kalian. Selamat menikmati perjalanan," kekeh Stan riang, menghitung cermat gundukan Galleon emas yang disodorkan Bole. Usai meletakkan dua cangkir susu cokelat dingin di nakas dekat ranjang, Stan merayap menuruni tangga, meninggalkan Hermione dan Bole yang masih berpandangan salah tingkah.

Menyilangkan lengan di dada, Hermione bersikukuh berdiri di tepi tempat tidur. Mata cokelatnya menyipit mengamati para penumpang yang tengah mendengkur maupun membaca buku berjamur di atas kasur.

Konsentrasi Hermione untuk mengintip aktivitas penumpang lain terhalang ketika Bole menurunkan tirai yang langsung menutupi tempat tidur mereka. Menggeram kesal, Hermione melempar pandangan bermakna cepat-buka-tirai-keparat-itu.

Namun, layaknya punakawan Slytherin, Bole tak menciut menghadapi tantangan menohok seperti itu. Bersenandung gembira, pemuda berparas menawan itu dengan santai menyenderkan kepala di tumpukan bantal.

"Duduk di sini, Hermione. Di sudut ini kau bisa leluasa melihat panorama," bujuk Bole lembut, mengusap lapak kosong di pinggir kanan.

Mengerucutkan bibir, Hermione buru-buru menolak tawaran menggoda itu. Duduk di samping cinta pertamanya selama masa perjalanan? Waduh, bisa-bisa laki-laki muda maskulin ini tak akan selamat mengingat detik ini saja ia sudah diliputi keinginan menyenderkan kepala dan menciumi dada bidang Bole yang mempesona.

"Terima kasih, aku lebih suka berdiri," kelit Hermione ketus, memalingkan muka ke jendela, pura-pura berkonsentrasi memelototi traktor petani dan rumpun gandum yang jungkir balik menghindari serudukan Bus Ksatria yang lagi-lagi hijrah keluar jalur.

"Kalau kau berdiri terus seperti itu, nanti perutmu mual, Sugar," rayu Bole, menyesap seteguk susu cokelat dingin dengan gerakan malas.

Menggerutu sebal, Hermione mau tak mau menuruti keinginan teman seperjalanannya itu. Aksi zig-zag Ernie Prang yang semakin parah memang membuat perut menjerit-jerit protes. Menyampirkan tas motif bunga di dekat kaki ranjang, Hermione beringsut-ingsut duduk di samping Bole.

Tersenyum melihat kegugupan Hermione, Bole meletakkan kembali mug susu cokelat setengah basi di atas baki. Walau tak terlalu berdekatan, Bole bisa menghirup jelas aroma tubuh Hermione. Harum khas yang membuat sisi primitifnya sebagai pria melonjak tak terkendali.

Memejamkan manik biru indigo, Bole berjuang mengekang keinginan menciumi dan memeluk Hermione tanpa henti. Memuja tubuh seorang gadis yang sudah mencuri hati sejak dua tahun silam.

Awalnya, Bole memang tak menaruh perhatian pada nona muda berambut kusut masai yang disebut-sebut sebagai penyihir genius abad ini. Ketertarikan Bole mulai tumbuh tatkala juniornya di Slytherin, Draco Malfoy tanpa henti menceritakan sosok Hermione. Setiap kali berdiskusi di Ruang Rekreasi atau makan bersama di Aula Besar, topik utama yang dibicarakan Malfoy hanyalah Hermione, Hermione dan Hermione.

Memang sih, si pirang platina itu hanya menjabarkan hal-hal jelek tentang Hermione. Namun, mau tak mau rasa penasaran Bole terusik. Diam-diam, Bole mengamati Hermione dari kejauhan, meneliti apakah gadis berambut sejahtera itu seburuk yang dikisahkan Malfoy.

Tak dinyana, seiring pergantian hari, Bole makin kepicut dengan tingkah polah Hermione yang menggemaskan. Prinsip setia kawan, sikap suka menolong dan gaya sok ngebos membuat Bole yang tak pernah serius dan setia pada satu wanita bertekuk lutut sepenuhnya.

Sayangnya, persaingan antar asrama serta rapatnya kawalan dua sobat laki-laki Hermione membuat Bole harus menunda agenda pernyataan cinta. Pernyataan rasa suka yang tanpa diduga-duga terbuka berkat pertemuan setahun lalu di Bus Ksatria.

Jika Bole asyik mengenang asal muasal munculnya perasaan asmara di hati, Hermione sibuk memadamkan perang terbuka antara logika dan nuraninya. Logika dan akal sehat Hermione memekik nyaring, memintanya untuk buru-buru turun di pemberhentian terdekat mengingat berpergian berdua bersama awak Slytherin sebandel Bole tak ubahnya mencari wabah penyakit.

Di lain pihak, sukma Hermione meraung kalap, mendesaknya untuk tetap tinggal dengan alasan perjalanan kali ini merupakan momen tepat untuk mengikatkan diri dengan cinta pertamanya. Cinta yang tetap membara dan makin menguat walaupun sudah berusaha dihilangkan dengan berbagai cara.

Tak sekadar berpotensi mengenal satu sama lain, petualangan ini juga bisa dijadikan momentum untuk mengukir memori tak terlupakan. Kenangan bahagia yang sudah lama dinanti-nantikan Hermione sejak pertemuan mereka di Bus Ksatria musim panas tahun lalu.

Kala itu, sejak tertidur di dekapan Bole dan terbangun di ranjang kamarnya, Hermione berangan-angan bisa mengakrabkan diri dengan senior idolanya. Sayangnya, kenyataan tak berjalan sesuai impian sebab sepanjang tahun ajaran keempat kemarin, ia tak punya kesempatan sedikit pun untuk berdekatan dengan Bole.

Pengawasan ketat rombongan pengagum Bole serta kawalan legiun Quidditch Slytherin membuat Hermione gigit jari dan harus berpuas diri memandangi bangsawan atletis tersebut dari kejauhan.

Nah, kalau begitu tunggu apalagi, Hermione. Sekaranglah waktu yang tepat untuk mengenal Bole lebih jauh. Jangan lupa kalau kesempatan emas itu tak terulang dua kali...

Menarik napas dan menghembuskan perlahan-lahan, Hermione memilih mematuhi kata hati yang berdetak penuh kendali. Melirik sekilas, Hermione menggeser posisi duduk, berupaya meminimalisir efek goncangan yang menjadi ciri khas Bus Ksatria.

Sedetik setelah Hermione duduk di samping Bole, keheningan canggung tercipta di antara mereka. Terbatuk-batuk kecil, Hermione berupaya memecahkan atmosfer lengang dengan pertanyaan pertama yang terlintas di otak.

"Kebetulan sekali kita bertemu di sini. Apa kau juga punya vila musim panas di Bath?" selidik Hermione, penasaran ingin mengetahui alasan di balik kemunculan Bole yang mendadak.

Menggelengkan kepala, Bole tersenyum penuh arti. Menepuk-nepuk bantal tepos yang menaungi kepala, Bole meminta Hermione untuk lebih mendekat. Tatkala Hermione menolak, Bole dengan tiba-tiba melingkarkan tangan di pundak Hermione, membuat gadis bersurai singa itu terpaksa merapat ke lengan kanannya.

Mengabaikan cerocosan marah Hermione, Bole dengan penuh kasih mengusap-usap punggung Hermione. Gerakan lembut yang efektif memadamkan rasa kesal sekaligus mual yang sedari tadi membungkus indra tubuh Hermione.

"Ibumu yang memintaku untuk menjagamu selama ekspedisi ini."

Jawaban Bole yang tak disangka-sangka membuat Hermione tersentak. Menengadahkan muka, Hermione menatap lekat-lekat iris biru indigo yang menyorot ramah.

"Ibuku? Bagaimana bisa?" tanya Hermione tajam, mengingat-ingat kembali reaksi ibunya saat dirinya meminta izin berpetualang bersama Bus Ksatria. Saat itu, orangtuanya memang langsung memberi restu, tanpa banyak pertanyaan maupun sanggahan. Tindakan yang dirasa Hermione cukup janggal mengingat ayah dan ibunya terkenal sebagai orangtua yang sangat protektif.

Beralasan tak bisa mendampingi Hermione karena kapok muntah-muntah sepanjang perjalanan, orangtua Hermione melepas kepergian putrinya dengan senyum lebar. Senyum yang baru kali ini disadari Hermione sebagai seringai ganjil penuh konspirasi.

"Saat kita bertemu di Bus Ksatria tahun lalu dan kau tertidur di pelukanku, ibumu menginterogasiku tanpa henti. Sebelum kau terbangun, ibumu sempat memberi nomor telepon genggamnya padaku. Memintaku untuk menghubunginya saat liburan musim panas ini," jelas Bole sabar, terus membelai Hermione dengan usapan hangat yang menenangkan.

Hermione ternganga-nganga mendengar penjabaran tersebut. Kancut Hagrid! Hermione tak mengira ibunya bisa bertindak sejauh itu. Tampaknya, daya pikat Bole telah menyihir orangtuanya sehingga mereka dengan mudahnya mengatur rencana dan membiarkan putri tunggalnya berkelana berdua bersama seorang pria.

Seorang pria yang populer sebagai Casanova Penghancur Hati Wanita...

Seolah menyadari kegundahan Hermione, Bole mengecup puncak rambut mengembang Hermione. Bergumam pelan, Bole memberikan komitmen kuatnya untuk melindungi dan menjaga kehormatan Hermione selama perjalanan.

"Jangan takut, Sugar. Aku tak akan mencelakakan atau memanfaatkanmu. Kau pasti aman di sampingku," ujar Bole lugas. Meremas lembut lengan Hermione yang lembap, Bole melanjutkan celotehan.

"Ibumu juga percaya padaku sepenuhnya. Ia bahkan menyebutku sebagai calon menantu idamannya."

Jeritan histeris Hermione menggema di seantero ruangan, menimbulkan desau gerutuan yang berhembus dari bilik-bilik di sekitar mereka. Tergelak pelan, Bole melafalkan Mantra Peredam Suara, memblokir rentetan repetan Hermione yang meluncur tanpa jeda.

"Merlin! Aku tak percaya ibuku berani berkata seperti itu. Ya Tuhan! Ya Tuhan! Ya Tuhan," racau Hermione panik, mengipasi wajah yang memerah dengan kedua tangan. Sejujurnya, Hermione tak keberatan dengan celetukan iseng ibunya. Namun, kekhawatiran bahwa tindakan spontan ibunya membuat Bole terbebani-lah yang membuat kegusaran Hermione meluap-luap seperti gelombang air pasang.

"Tak usah kalut seperti itu, Sugar. Aku senang kok punya mertua seperti orangtuamu."

Berondongan komat-kamit Hermione terhenti tatkala kalimat tersebut meluncur mulus dari bibir indah Bole. Mengerjapkan mata, Hermione memandang wajah Bole yang dihiasi sinar percaya diri dan pengharapan.

"Mak... maksudmu?" gagap Hermione rikuh. Kegelisahan Hermione kian menebal tatkala Bole menundukkan wajah. Dengan intim dan ringan, Bole menyapukan pucuk hidung mancungnya ke ujung hidung Hermione yang merengut bingung.

"Artinya, aku senang jika bisa memperistrimu, Hermione."

Detak jantung Hermione berpacu secepat mesin pesawat tempur mendengar penegasan tersebut. Pikiran Hermione kian kacau-balau ketika belaian napas harum Bole menghangatkan kulit wajahnya.

"Apa itu... lamaran?" tanya Hermione terengah-engah, langsung melaknati dirinya karena melontarkan pertanyaan kebablasan seperti itu. Pertanyaan keburu nafsu yang membuat dirinya terlihat seperti perawan kebelet kawin.

Mengangguk mantap, Bole mengangkat tangan Hermione dan dengan khusyuk mengecup setiap jemari Hermione yang bergetar. Dengan lembut dan perlahan, Bole menyalurkan perasaan terpendamnya melalui ciuman mesra yang melelehkan jiwa.

"Jangan jawab sekarang jika kau belum siap, Sugar. Aku bisa bersabar menunggumu sampai kapanpun," ujar Bole, menatap dalam-dalam pipi Hermione yang ditumbuhi noda merah jambu.

Melihat kesungguhan niat Bole, Hermione nyaris saja menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda berbadan tegap itu. Hanya gengsi dan harga diri sajalah yang membuat Hermione menanggalkan hasrat mesum tersebut.

"Bagaimana dengan orangtuamu? Apa mereka setuju jika kau menikah dengan penyihir keturunan Muggle sepertiku?" Hermione bertanya ragu-ragu, memikirkan kembali tradisi keluarga penyihir berdarah murni yang hanya mau menikahkan keturunannya dengan pemilik status serupa.

Mengetatkan pelukan, Bole menciumi helai rambut Hermione. Sapuan bibir Bole menumbuhkan getar hangat di dada Hermione, membuat kabut kecemasan memudar sedikit demi sedikit.

"Jangan takut, Sugar. Orangtuaku tak peduli sedikitpun padaku. Mereka sudah membuangku sejak aku terlahir ke dunia."

Mengunci tatapan dengan manik cokelat Hermione yang bersinar iba, Bole dengan gamblang menjelaskan latar belakang keluarganya. Keluarga yang tak pernah merasakan indahnya perasaan dicintai maupun mencintai.

Kata Bole, seperti penyihir berdarah murni lain, ayah dan ibunya menikah karena perjodohan orangtua. Tak adanya cinta serta prinsip saling menghormati membuat pernikahan itu seperti neraka dunia. Kehadiran dirinya sebagai pewaris dan penerus nama keluarga juga tak mampu memadamkan bara permusuhan di antara orangtuanya.

Sejak melahirkan seorang penerus, ibu Bole seolah lepas dari tanggung jawab. Tanpa kenal waktu dan tempat, wanita cantik bermata biru keunguan itu berpesta dan berfoya-foya.

Setali tiga uang dengan istrinya, ayah Bole juga bertindak serupa, bahkan melebihi ambang batas. Saat Bole berumur tujuh tahun, ayahnya pergi keliling dunia dan tak pernah lagi menampakkan ujung rambutnya.

Kaburnya sang kepala keluarga tak membuat ibu Bole menyadari kesalahannya. Seperti burung lepas dari sangkar, ibu Bole sering keluar rumah selama berminggu-minggu. Tanpa iba meninggalkan putra tunggalnya di bawah belas kasih dan pengasuhan para peri rumah.

Sering kesepian karena ditinggal sendirian di rumah membuat Bole tumbuh mandiri sebelum waktunya. Untungnya, kondisi miskin kasih sayang itu tak menjadikan Bole kehilangan keceriaan masa kecilnya.

Untuk memeriahkan hari-harinya yang senyap, Bole biasa mengutak-atik barang Muggle. Aneka benda asing yang diperoleh Bole berkat bantuan peri rumahnya yang berkawan dekat dengan kolektor dan pencuri barang antik, Mundungus Fletcher.

Berkat kegemaran merakit dan mengobrak-abrik benda Muggle, Bole tak asing lagi dengan teknologi Muggle. Kefasihan yang memungkinkannya memakai telepon genggam untuk menghubungi ibu Hermione di awal liburan musim panas ini.

"Kau tahu Sugar, awalnya aku tak menduga ibumu memintaku untuk mengawalmu," urai Bole, mengusap mesra kuping Hermione dengan kehangatan bibirnya. Menggigit dan mengulum lembut daun telinga Hermione, aktivitas mesra yang membuat Hermione melenguh senang, Bole melanjutkan pembicaraan.

"Aku memang sudah mengetahui rencana perjalananmu sejak menguping obrolanmu dengan Ginny Weasley. Tadinya, aku berencana membuntutimu dari belakang sebagai penonton. Tak dinyana, aku malah ditunjuk jadi pendampingmu," tutur Bole sumringah, mengalihkan ciuman liar menggigit ke garis rahang Hermione.

Di saat Bole menyesap ganas leher Hermione yang terbalut gaun musim panas warna pastel, tirai tempat tidur mendadak tersingkap. Muncul dari balik selubung, Stan menyeringai lebar memandangi dua insan yang langsung berjauhan seperti kucing diguyur air panas.

"Ups, semoga aku tak menginterupsi adegan bercinta kalian," kelakar Stan, menempatkan dua piring saji berisi bolu bulukan di atas nakas. Membuang remah-remah kue yang melekat di keliman kemeja ungu, Stan mengedip penuh arti ke arah Bole.

"Ern titip salam untukmu. Dia bilang kau boleh duduk di balik kemudi kapan pun kau mau. Dia juga tak sabar bertemu dengan satu-satunya perempuan yang pernah kau ajak kemari."

Menyenderkan pinggul kerempeng di tepi nakas, Stan mencomot sepotong bolu dan langsung menyantap rakus dalam satu suapan. Seringai di bibirnya makin merekah saat wajah Hermione berubah semerah mobil pemadam kebakaran.

Pelototan tajam Bole menyadarkan Stan dari pantauan inspeksi menyeluruh yang kebablasan. Menggosok-gosok hidung pesek yang bisulan, Stan beranjak keluar setelah menggasak bolu kedua.

"Oke, sepertinya obat nyamuk sudah tak diperlukan lagi. Silahkan lanjutkan acara panas kalian," tukas Stan cengengesan, menutup tirai tempat tidur yang tadi dibukanya.

Sepeninggal Stan, Hermione memberanikan diri mengangkat mukanya yang masih panas membara. Mengawasi Bole yang tengah memilah-milah bolu bau apek, Hermione teringat dengan tawaran duduk di balik kemudi Bus Ksatria yang terdengar ganjil dan tak masuk di akal.

"Kenapa kau diperbolehkan mengendarai bus ini? Memangnya apa hubunganmu dengan sopir Bus Ksatria?"

Menyunggingkan seringai menawan, Bole membuang semua bolu tengik ke tempat sampah berbentuk gigi raksasa yang terletak di sudut. Kurang dari sedetik, bolu jamuran itu ludes dikunyah gigi geraham tempat sampah yang menggeram-geram kelaparan.

Tersenyum tipis melihat Hermione yang bergidik menatap tempat sampah yang masih mengatup-ngatupkan rahang, Bole membungkuk untuk mengambil tas hitam miliknya yang diletakkan Stan di bawah tempat tidur.

"Bisa dibilang dia itu kakekku."

Senyum Bole makin panjang ketika Hermione menengok cepat ke arahnya, mengalihkan perhatian dari tempat sampah monster yang terus menggerung-gerung aneh. Kemilau penasaran terlihat bergelora di bola mata cokelat Hermione. Kerutan halus yang timbul akibat dorongan ingin tahu pun mulai bermunculan di sekitar dahi Hermione.

Bole yakin informasi tadi tak hanya mengejutkan tapi juga membangkitkan insting penasaran Hermione. Wajar saja, sebab dilihat dari segi manapun, penyihir kelahiran Muggle seperti Ernie Prang tak mungkin berhubungan keluarga dengan klan darah murni seperti dirinya.

Menyodorkan roti daging asap ke tangan Hermione, Bole mengajak gadis yang dicintainya untuk menyantap makanan yang dibuatkan khusus oleh peri rumah kesayangannya. Sembari mengunyah bekal, Bole menyambung kembali ceritanya. Kisah di balik alasan mengapa dirinya menyebut Ernie sebagai kakek terkasihnya.

Kata Bole, selain mengotak-atik benda Muggle, dirinya juga hobi berjalan-jalan tak tentu arah. Kegemaran itu dilakukan setiap kali ia bosan menguprek benda-benda Muggle. Dan perjalanan tanpa tujuan itulah yang mempertemukannya dengan Ernie Prang, penyihir tua yang memberinya limpahan petualangan berkesan.

"Usiaku delapan tahun saat pertama kali naik Bus Ksatria. Sore itu, aku yang berjalan ke pinggiran bukit melihat banyak capung berterbangan. Waktu tangan kananku terjulur hendak menangkap capung loreng paling gemuk, saat itulah Bus Ksatria muncul di depanku," beber Bole antusias.

Kedatangan Bus Ksatria tentu membuat Bole kaget setengah mati. Maklum saja, bus yang saat itu masih dikeneki ayah Stan nyaris menggilas dirinya yang membungkuk di dekat rumput. Seperti putranya yang berotak udang, ayah Stan sepertinya mengira bocah yang jongkok melongo di dekat ban bus sebagai anak malang yang tersesat.

Menggamit lengan Bole, ayah Stan tanpa konfirmasi memanggul bocah delapan tahun itu ke dalam bus. Selayaknya seorang anak-anak yang gemar mencoba barang baru, Bole menyambar peluang tersebut dengan menyebutkan kota-kota yang ingin ditujunya. Setiap kali tiba di kota yang disebutkan, Bole menolak turun dan malah menuntut diantarkan ke kota-kota lain di Inggris.

Untungnya, kenakalan aji mumpung Bole tak membuat Ernie naik darah. Penyihir renta yang hidup sebatang kara itu tak keberatan mengantarkan Bole ke tempat manapun yang diinginkannya.

Petualangan bersama Ernie dan Bus Ksatria tetap dijalani Bole meskipun dirinya bersekolah di Hogwarts. Bedanya cuma jangka waktu yang dihabiskan. Jika di masa kecilnya Bole bisa berbulan-bulan tak pulang ke rumah, semasa di Hogwarts Bole hanya mampu naik Bus Ksatria setiap kali musim liburan tiba.

"Selama bertahun-tahun menemani Ern, aku banyak mengecap pengalaman menarik. Tapi, di antara semua peristiwa itu, momen berkesan yang tak akan pernah kulupakan sepanjang hayat adalah saat-saat di mana kau dan orangtuamu menaiki bus ini," ujar Bole, menyapu remah roti di sudut bibir Hermione dengan ujung jempol.

Belaian mesra itu tak urung membuat Hermione tersedak sisa roti yang belum selesai dikunyah. Buru-buru mengangsurkan gelas berisi air putih yang dimunculkan melalui Mantra Aguamenti, Bole merengkuh pundak Hermione. Tanpa lelah mengusap halus punggung Hermione selama gadis bergigi khas itu membersihkan gumpalan di tenggorokan.

"Kau tidak apa-apa, Sugar?" Bole bertanya khawatir, sorot cemas tingkat tinggi menguar dari iris biru indigo. Samudra biru menghipnotis yang sejak setahun lalu senantiasa menghiasi belantara mimpi Hermione.

Tak mau membuat pria idamannya cemas, Hermione mengangguk cepat. Mengelap jejak air putih di bibir dengan punggung tangan, Hermione berdeham kecil, memohon maaf atas tingkah sembrono yang luar biasa memalukan.

Menyeringai tipis, Bole mengulum sudut bibir Hermione, membisikkan kalimat bahwa permintaan maaf Hermione diterima. Ciuman singkat tak terduga itu nyaris membuat Hermione terpelanting dari ranjang kalau saja tangan kekar Bole tak sigap menyambar.

"Ya ampun Sugar, tak perlu malu begitu. Kita kan sudah bertunangan," Bole tertawa hangat, menarik Hermione yang setengah terapung di atas lantai.

Menempatkan Hermione dengan aman di antara dua pahanya, Bole menautkan tangannya dengan jemari Hermione yang terlipat di pangkuan. Menyurukkan kepala ke lereng leher Hermione, Bole menghirup dalam-dalam aroma manis gadisnya yang menggairahkan.

Untuk beberapa saat, Hermione yang tak terbiasa duduk dengan posisi intim seperti itu menegang sekaku tombak. Punggung Hermione yang menempel dengan dada bidang Bole menggigil kecil tatkala hidung mancung Bole berkelana di lekuk leher dan tulang selangkanya.

Merlin, tak heran jika gadis-gadis Hogwarts rela bersujud dan menyembah-nyembah untuk menjadi kekasih Bole, Hermione berpikir dalam hatinya. Pemuda yang kini mulai menciumi dan menggigit lembut lehernya itu memang paham betul teknik memanjakan wanita.

Muka Hermione merengut mengenang deretan gadis-gadis yang pernah ditaklukkan Bole. Menatap tangan Bole yang terajut dengan tangannya, Hermione mendengus sebal. Gerutuan jengkel yang lahir dari tikaman api cemburu yang melalap habis selongsong jiwa.

Geraman frustrasi Hermione menarik perhatian Bole. Mengusapkan hidung di telinga Hermione, Bole berbisik pelan, bertanya tentang masalah yang menggerus ketenangan batin gadis cantiknya.

"Ada apa, Sugar?" Bole bertanya lembut. Kelembutan di intonasi suaranya bahkan bisa dipakai untuk menenangkan sekerumunan kuda mustang liar yang mengamuk.

Mengangkat bahu, Hermione terdiam sejenak. Selama beberapa saat Hermione terus membisu sampai Bole yang tak tahan lagi membalik tubuhnya semudah membalik selembar kertas. Posisi wajah yang kini berhadap-hadapan tak mengerutkan semangat tutup mulut Hermione. Memonyongkan bibir, Hermione setia memasang raut cemberut, tak gentar melawan tatapan galau lawan bicaranya.

"Apa yang mengganggumu, Hermione?" tanya Bole, mengusap lembut kerut yang tercetak di antara alis Hermione.

Kekhawatiran nyata yang terdengar dari suara Bole membuat keegoisan Hermione luluh. Mengerucutkan mulut, Hermione mengeluarkan semua unek-unek yang bercokol di rongga dada.

"Apa benar kau serius denganku? Jangan-jangan kau cuma penasaran karena aku berbeda dari semua mantan-mantan pacarmu yang cantik dan berdarah murni."

Mencermati wajah murung Hermione, Bole merutuki hobi masa lalu yang gemar mengoleksi pacar berdarah murni. Tradisi khas murid Slytherin yang sudah diakhiri Bole semenjak dirinya bersua dengan Hermione dan orangtuanya di Bus Ksatria.

Menarik Hermione merapat ke dadanya, Bole meminta maaf atas tabiat masa lampau yang tak berkenan di hati. Bole juga menjelaskan bahwa ia tak mencintai semua bekas pacarnya terdahulu. Ia berpacaran dengan mereka sebab gadis-gadis itulah yang memintanya.

"Seumur hidup, aku belum pernah meminta seseorang untuk menjadi pacarku. Aku juga belum pernah menyatakan cinta pada siapapun. Belum pernah kecuali pada dirimu, Hermione."

Jawaban jujur itu membuat kecemburuan dan kekecewaan Hermione sedikit demi sedikit mengempis. Jika diingat-ingat, relasi yang terjalin antara Bole dengan semua mantan kekasihnya memang terbilang standar, singkat dan platonis. Satu-satunya kencan terlama Bole cuma dengan Tracey Davis. Si judes Slytherin yang dipacari Bole selama enam bulan.

"Aku serius ingin menikahimu, Hermione. Kalau kau mau, detik ini juga kita bisa menikah di bus ini dengan Ern, Stan dan seluruh penumpang sebagai saksinya."

Memukul pelan dada Bole dengan tinju kosong, Hermione berdeham salah tingkah. Kendati tak tergolong romantis, lamaran yang sudah dua kali diulang itu sanggup menerbangkannya ke awang-awang. Namun, seriang apapun hatinya berdendang, akal sehatnya masih bercokol sekuat akar pohon Dedalu Perkasa.

"Kita masih di bawah umur, Bole. Selain itu, setelah lulus Hogwarts aku juga ingin berkarier di Kementerian Sihir Inggris," kata Hermione, memasang wajah pura-pura berpikir.

"Dengan semua rencana masa depanku, sepertinya pernikahan bakal tertunda lama."

Mencium gemas pipi Hermione, Bole berbisik rendah. Kibasan napas hangatnya menggoyang anak rambut yang tersangkut di dekat telinga Hermione.

"Aku rela menunggumu sampai kapanpun, Mrs Bole," balas Bole, terbahak pelan melihat kedua bola mata Hermione mencuat mendengar sapaan tersebut.

"Mrs... Mrs Bole?" gagap Hermione jengah. Semburat merah muda berangsur-angsur merambah hingga ke akar rambut cokelat lebat yang terjurai berantakan.

"Yep, Mrs Bole. Aku akan memanggilmu di depan umum seperti itu kalau kau masih terus menyapaku dengan nama Bole. Namaku Lucian, Sugar," beber Bole, terus menggoda dan menyusuri lekuk pipi dan tepi rahang Hermione dengan sapuan bibir.

"Err, baiklah. Lucian," deham Hermione grogi, berusaha membiasakan lidah untuk merapalkan nama yang dalam bahasa Latin berarti cahaya. Nama yang benar-benar sesuai dengan pemiliknya mengingat saat ini hati Hermione berpijar-pijar disinari cahaya cinta.

"Jangan malu-malu begitu, Sugar. Kau harus terbiasa mengucapkan nama calon suamimu bukan?" seru Bole, tersenyum simpul mengamati bibir Hermione yang berkedut. Sewaktu menggosok sudut bibir Hemione dengan ibu jari, sekelebat ide meluncur di otak Bole. Gagasan fantastis yang membuat senyum geli berganti menjadi seringai predator.

"Kalau kau belum terbiasa, aku punya cara jitu supaya kau lancar mengucapkan namaku," sambar Bole cepat. Menangkup belakang kepala Hermione dengan telapak tangan, Bole tanpa ampun melumat bibir Hermione dalam ciuman pertama mereka yang manis dan penuh gairah.

"Lucian..."

Erangan halus Hermione membuat Bole lupa diri. Mengisap dan menjilat bibir bawah Hermione, Bole memperdalam lumatan panas yang bernafsu, liar dan berbahaya. Ciuman rakus dan posesif yang sukses memaksa Hermione mendesahkan nama depan Bole di setiap pagutan.

Mengakhiri ciuman ganas yang membuat Hermione lupa daratan, Bole mengerang penuh hasrat. Iris biru indigonya menggelap ketika jemarinya menyusuri relung bibir bawah Hermione yang merona basah.

"Aku pengusung paham practice makes perfects, Sugar. Jadi, mari praktik terus sampai kau mahir," Bole mengedip nakal sebelum kembali menguasai bibir Hermione dengan ciuman dahsyat yang panas membara...


Seiring dengan pergantian hari, cinta Hermione dengan Bole kian membara, seperti nyala matahari di musim panas. Banyak sifat-sifat terpendam Bole yang menguatkan perasaan khusus tersebut. Di antaranya, watak amanah dan komitmen Bole untuk menjaga kehormatan dan kesucian Hermione selama perjalanan mereka.

Setiap malam, sebelum berbaring di peraduan masing-masing (ide tidur satu kasur ternyata cuma candaan iseng untuk mengerjai Hermione), dua sejoli itu rutin bercerita tentang pengalaman dan kisah masa kecil mereka.

Jika di siang hari Hermione bosan melihat pemandangan dari luar jendela, Bole membawa tunangannya ke kabin depan untuk mengobrol seru dengan Ern atau untuk melihat kepiawaiannya dalam mengemudikan Bus Ksatria.

Sesuai janji yang dibuat, Hermione rutin berkorespondensi dengan Ginny. Di surat-surat yang mengalun teratur, selain mengisahkan petualangan manis yang dialami, Hermione juga menulis tentang Bole dan lamaran pernikahan yang diajukan petinggi Slytherin tersebut.

Awalnya, Ginny menentang keras hubungan tersebut. Di surat balasan pertamanya, putri bungsu dinasti Weasley itu menyuarakan ketidaksetujuan melalui Howler yang dikirim via kilat khusus.

"MERLIN, HERMIONE! APA KAU GILA BERTUNANGAN DENGAN ANAK SLYTHERIN? SLYTHERIN, HERMIONE! SLYTHERIN! ASRAMA YANG SEJAK ZAMAN BUMI DIANGGAP DATAR SAMPAI BULAT BUNDAR SEPERTI SEKARANG TERKENAL SEBAGAI SARANG BANDIT DAN PENJAHAT KELAMIN? POKOKNYA, KAU HARUS JELASKAN SEMUA INI SAAT KITA KETEMU DI SEKOLAH NANTI!"

Memandangi Howler yang meledak hangus dengan kekuatan setara bom nuklir, Hermione melanjutkan membaca surat dari Ron dan Harry. Surat yang untungnya tak dikemas dalam bentuk Howler yang membuat seisi Bus Ksatria bergetar seperti diguncang badai.

Bloody Hell, Hermione. Kau bercanda kan? Otakmu miring kebanyakan makan buku bulukan mungkin? Pacaran dengan anak Slytherin? Bole si tukang pukul itu? Astaganaga, kenapa kau tidak sekalian saja berkencan dengan pohon Dedalu Perkasa?

Salam Canda,

Ron

Jika Ron menganggap hubungan Hermione sebagai lelucon konyol, Harry jauh lebih bijaksana. Pemuda berkacamata bundar itu menyerahkan semua keputusan di tangan Hermione.

Harry berpendapat hanya Hermione seorang-lah yang berhak menentukan jalan kebahagiaan yang ingin ditempuhnya. Harry hanya berpesan agar Hermione bisa menjaga diri baik-baik dan tak segan-segan melapor jika Bole bersikap kurang ajar dan mengkhianati kepercayaannya.

"Oh, Harry," bisik Hermione lega, mendekap surat Harry di dada. Meski baru Harry yang mendukungnya, Hermione tak bermuram durja. Cepat atau lambat, Hermione yakin teman-temannya yang lain pasti mengerti dan memahami keputusannya...


Maraknya pengalaman selama menunggangi roda Bus Ksatria membuat waktu cepat bergulir. Tak terasa, penghujung liburan sudah di depan mata. Dua hari sebelum liburan usai, Bole mengajak Hermione untuk bertemu langsung dengan ibunya yang selalu berdiam di kastil Canterbury setiap musim panas tiba.

Sesuai dengan deskripsi Bole, aura dingin terpancar jelas dari pembuluh penyihir ningrat bertampang angkuh itu. Membalas sapaan hormat Hermione dengan lengkungan alis, wanita yang mewariskan iris biru indigo ke anaknya kembali membenamkan wajah di balik lembaran majalah gosip.

Sambutan ala kadarnya itu tak membuat Hermione berkecil hati. Hermione yakin, di balik perangai sombong dan arogan, ibu Bole tak sebengis yang dikira selama ini. Tanpa perlu menunggu lama, Hermione bisa membuktikan dugaannya di acara makan malam yang digelar satu jam kemudian.

"Mother, tujuh tahun lagi aku akan menikahi Hermione."

Menyuapkan sup bebek ke mulut, ibu Bole mengangkat bahu acuh tak acuh. Mengambil serbet putih kain damas untuk mengelap sudut bibir dengan anggun, wanita setengah baya yang malam itu tampak memesona dalam balutan gaun muslin bersulam warna biru safir hanya berkomentar singkat.

"Kau bebas menikah dengan siapapun termasuk dengan penyihir kelahiran Muggle seperti dia."

"Terima kasih, Mother. Kau memang baik ha-"

"Jangan salah pengertian, Lucian," geraman kecil terlepas dari balik bibir yang tersaput pemulas warna merah darah. Melempar serbet ke samping, bibir bawah ibu Bole bergetar saat berkata-kata. Emosi terpendam tersirat nyata dari setiap suku kata yang dilesakkan.

"Aku sama sekali tak peduli padamu. Izin ini aku berikan hanya untuk membuat ayahmu murka. Dia pasti mengamuk saat mengetahui pohon keluarganya ternoda."

Meski sudah hapal dengan tabiat keras ibunya, hati Bole tetap tercabik-cabik mendengar tanggapan dingin tersebut. Mata biru ungu dalam yang tadi bersinar senang langsung meredup hampa. Melihat kesedihan kekasihnya, Hermione yang duduk di sebelah kanan Bole menjulurkan tangan, menyelimuti jari Bole yang gemetar dengan kehangatan genggaman.

Meletakkan sendok sup dengan tekanan keras yang tak diperlukan, ibu Bole bangkit berdiri dari kursi. Memutar tumit dengan elegan, wanita bangsawan berambut pirang kecokelatan itu meninggalkan ruang makan tanpa sekalipun menoleh ke belakang. Saat punggung ramping ibunya menghilang di balik pintu, desahan tercekat terlepas dari tenggorokan Bole.

"Yah, begitulah ibuku, Sugar. Kejam dan tak berperasaan."

"Tidak, Lucian," Hermione menggelengkan kepala sebelum meneruskan pembelaan.

"Ibumu tak sekeji itu. Aku yakin dia membebaskanmu untuk memilih pasangan bukan karena tak peduli atau ingin membuat ayahmu marah. Ibumu berbuat begitu karena ia tak ingin kau mengalami nasib seperti dirinya. Hidup menderita dalam pernikahan tanpa cinta."

Penjelasan logis Hermione membuat Bole tersentak dan terbangun dari praduga piciknya. Pelan tapi pasti, selubung luka yang terbentuk karena masa kanak-kanak yang terabaikan pecah menghilang. Buyarnya tabir kepedihan itu membuat Bole bisa memandang semua tindakan ibunya dari sudut pandang yang berbeda.

Meremas anak rambut hitam dengan tangan, Bole menahan gejolak emosi yang membuncah di dada. Pelan tapi pasti Bole mulai menyadari kalau ia telah bersikap tak adil pada ibunya.

Selama ini ia menyangka wanita yang telah mengandung dan melahirkannya ke dunia cuma perempuan egois tak berhati nurani. Tak sekalipun Bole memahami bahwa setiap orang termasuk ibunya yang congkak memiliki cara tersendiri untuk menunjukkan kasih sayang.

Dan inilah bentuk kasih sayang yang diperlihatkan ibunya. Membebaskan dirinya untuk hidup berbahagia dengan pendamping hidup pilihan hati. Berkah berharga yang tak pernah dinikmati ibunya sepanjang hayatnya.

Menciumi puncak kepala kekasihnya dengan bertubi-tubi, Bole mengucapkan rasa syukur karena memiliki Hermione di sampingnya. Jika tak bertemu dan berdekatan dengan Hermione, Bole mungkin tak pernah bisa memaafkan ibunya. Jika tak bersama Hermione, Bole mungkin tak pernah menyadari bahwa kasih sayang seorang ibu itu beraneka ragam dan tak pernah ada batasnya.

"Aku benar-benar beruntung bisa mendapatkanmu, Hermione," gumam Bole, mengusapkan dagu di puncak kepala Hermione. Mendongak, Hermione tersenyum dan menempelkan telunjuk di bibir Bole, menikmati sorot memuja yang keluar dari iris biru indigo yang menyejukkan.

"Aku juga, Lucian. Aku benar-benar beruntung berdampingan denganmu."

Mengecup halus kelopak mata serta kedua alis cokelat Hermione, Bole menggumamkan persetujuan. Ya, mereka memang benar-benar beruntung dan apapun yang terjadi mereka akan terus mempertahankan kemujuran itu selama-lamanya...


Bentuk keseriusan Bole dalam mempertahankan kemujuran cintanya terlihat dengan pengumuman yang dilontarkan di makan malam awal tahun ajaran. Usai sesi Topi Seleksi, di depan staf pengajar dan murid-murid yang memadati Aula Besar, Bole menyatakan dirinya telah bertunangan dan akan menikah dengan Hermione tujuh tahun mendatang.

Pengumuman itu kontan mendulang reaksi berbeda-beda. Anak-anak Slytherin dan Gryffindor berlomba-lomba menghunuskan tatapan membunuh, bersaing ketat dengan siulan semangat dan desahan romantis yang mengudara dari meja Ravenclaw dan Hufflepuff.

Semua guru, kecuali Kepala Asrama Slytherin, Profesor Severus Snape yang merengut masam seperti habis ketumpahan cuka sepabrik bertepuk tangan antusias menyambut pengumuman spektakuler itu. Kepala Sekolah, Profesor Albus Dumbledore bahkan bersulang dan menyebut penyatuan itu sebagai langkah awal untuk mengakhiri pertikaian dua asrama yang sudah berlangsung berabad-abad lamanya.

Tentu saja tak semua kalangan setuju dengan usulan Profesor Dumbledore untuk mempersatukan dua asrama yang saling berseteru. Seperti halnya warna rambut yang berbeda-beda, isi kepala setiap orang pun tak sama.

Armada Slytherin contohnya. Tak ada satu siswa pun yang sudi mengakrabkan diri maupun menyudahi persaingan dengan Gryffindor. Mereka lebih memilih menjauhi Bole yang dianggap pengkhianat ketimbang mendekatkan diri dengan bocah-bocah Gryffindor.

Terbiasa sendirian sejak kecil membuat Bole tenang-tenang saja menghadapi intimidasi dan pengucilan. Bagi Bole, lebih baik dirinya dimusuhi seisi dunia daripada harus berpisah dengan Hermione. Selain itu, masa sekolah yang tinggal setahun lagi menjadi faktor penguat bagi Bole untuk bertahan melawan gempuran cercaan teman-temannya.

Meski tak seberat Bole, Hermione juga harus menghadapi permasalahannya sendiri. Untungnya, berkat pengumuman terbuka tersebut, Ginny yang semula skeptis dengan kemurnian niat Bole berubah pikiran. Gadis berambut semerah lava cair itu bersedia memberi Bole kesempatan untuk berdekatan dengan sobat baiknya.

Jika Ginny sedikit melunak, Ron dan si kembar Fred dan George yang notabene merupakan musuh bebuyutan Bole di lapangan Quidditch masih menabuh genderang perang. Fred dan George bahkan menjadikan Bole target baru eksperimen produk sihir mereka yang tak teruji klinis dan belum dipatenkan mutunya. Dua pemuda kocak itu bahkan tak gentar mendengar omelan Hermione yang meradang saat mengetahui cowok terkasihnya dirawat inap di Ruang Kesehatan karena keracunan produk Sihir Sakti Weasley.

Setelah berbulan-bulan menjadikan Bole sasaran kejahilan, kebebalan tekad ketiga putra klan Weasley agak memudar. Mencairnya permusuhan itu dipicu dengan tindakan heroik Bole yang terjadi usai pertandingan Quidditch versus Slytherin.

Selepas laga brutal yang berakhir dengan kemenangan telak laskar Gryffindor, Bole dengan jantan menyatakan kerelaan menjalani Sumpah Tak Terlanggar di depan Ron dan kedua kakak kembarnya.

Hermione yang mendengar rencana Sumpah Tak Terlanggar dari Harry langsung melesat kesetanan ke depan ruang ganti pemain. Berkacak pinggang dan menghentakkan kaki sekeras mungkin ke rumput lapangan, Hermione menceramahi Ron dan dua kakak kembarnya karena nekat melakoni ide gila tersebut.

"Tapi, dia yang mau kok, Hermione," bantah Ron sewot, menancapkan gagang sapu balap di tanah berumput. Mata biru Ron mendelik ke arah Harry yang berdiri di samping kiri Hermione. Tatapan matanya jelas-jelas menyiratkan isyarat ngapain-kau-bela-begundal-bangsat-itu.

Harry yang dipelototi hanya menggaruk-garuk rambut jabriknya yang berterbangan dipermainkan angin. Sebagai anak laki-laki penggemar perdamaian dan antek Dumbledore luar dalam, Harry tentu mendukung penuh gagasan penyatuan asrama. Selain itu, dengan melihat semua tindakan Bole, Harry yakin remaja bersurai kelam itu benar-benar tulus mencintai sahabat perempuannya.

"Betul Hermione. Dia yang mengajukan diri kok," Fred menganggukkan kepala merah stroberi dengan energi berapi-api, mendukung penjelasan Ron yang masih bersungut-sungut tak jelas. Menunjuk Bole dengan dagu, Fred kembali berkomentar malas, "Dia bilang hanya itu satu-satunya cara supaya kita percaya dan tak lagi meragukannya."

Membelalakkan mata selebar mungkin hingga menyaingi bola Quaffle merah yang dikepit Fred, Hermione bergegas melepaskan tangan Bole dari cengkeraman George. Hermione bersyukur dirinya muncul tepat waktu sebelum janji sihir dikumandangkan. Kalau tidak, tangan Bole pasti tak bisa dilepas karena terbelenggu sinar magis pengikat.

"Aku percaya sepenuhnya pada Lucian dan itu cukup bagiku. Aku harap itu juga cukup bagi kalian," cerocos Hermione panjang lebar, bolak-balik menatap Fred dan George yang masih cengengesan tak berdosa.

Kekesalan Hermione yang sudah tersangkut di ubun-ubun sedikit mereda ketika jemari Bole meremas lembut tangannya. Menengadahkan wajah, mata cokelat Hermione terkunci dengan iris biru indigo Bole. Untuk sesaat, seolah lupa waktu dan tempat, kedua remaja yang dimabuk cinta itu saling tersenyum sembari berpandangan hangat.

Menyikut rusuk kakak kembarnya yang cengar-cengir menonton kemesraan pasangan di hadapan mereka, Ron mengedikkan bahu tanda menyerah. Melotot sebal untuk terakhir kali, Ron mengajak dua saudara sedarahnya untuk segera membersihkan diri di ruang ganti pemain.

Harry yang lega perselisihan berakhir tanpa korban jiwa menyusul Ron ke ruang ganti pemain. Langkah senang Harry tersekat tatkala Ron berbalik arah dan menjotos udara dengan kepalan tinju.

"Ini belum berakhir, Bole! Kalau kau macam-macam dengan Hermione, kau tak akan bisa duduk di sapu balap dengan pantat utuh!" ancam Ron nyaring sebelum membanting pintu ruang ganti pemain Gryffindor dengan kekuatan setara gorila gila.

"Pengawal pribadi yang menakutkan, eh?" ujar Bole santai, merangkul bahu Hermione dengan lengannya yang tak menyandang sapu balap. Mengerutkan dahi, Hermione memandangi wajah tunangannya yang tenang, tampak tak terusik dengan intimidasi Ron barusan.

Jika diingat-ingat, ketenangan yang sama juga diperlihatkan Bole selama pertandingan. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Bole tak memakai pemukul Bludger untuk menumbuk kepala lawan. Cemoohan beruntun yang datang dari tribun penonton Slytherin serta teriakan marah Kapten Slytherin, Marcus Flint yang menyebutnya beraksi seperti banci tak mengendurkan semangat Bole untuk bermain sportif, adil dan bersih.

Sampai duel selesai, yang berakhir dengan kemenangan Gryffindor, tak ada kru Gryffindor yang gegar otak gara-gara pentungan Bludger. Tiga Chaser cewek Gryffindor; Alicia Spinnet, Angelina Johnson dan Katie Bell yang selama bertahun-tahun menjadi sasaran empuk palu godam Bole saja sampai terbengong-bengong tak percaya.

Keheranan Alicia dan dua teman perempuannya makin memuncak ketika Bole menjabat tangan mereka sembari menyisipkan permintaan maaf atas perbuatan kasarnya di masa lalu. Bisa jadi perilaku ksatria serta kesediaan menjalani Sumpah Tak Terlanggar itulah yang membuat kebencian Fred dan George pada Bole menyusut.

"Tumben kau bermain bersih tadi. Apa kau tak takut dihajar teman-temanmu nanti?" ujar Hermione khawatir, melirik sekilas ke tumpukan pemain Quidditch Slytherin yang masih mendesis-desis senewen di sudut lapangan.

Dari sudut mata, Hermione melihat Kapten Slytherin, Marcus Flint yang menjulang di tengah barisan menuding-nuding dirinya dan Bole dengan pentungan Bludger. Uap kemarahan membubung tanpa henti dari lubang hidung dan telinga. Dengan kuda-kuda seperti itu, Flint pastilah sudah mengoyak-ngoyak tengkorak Bole jika saja kedua tangan berototnya tak dipegangi si Wakil Kapten, Adrian Pucey yang kalem dan berkepala dingin.

Mengacak-acak rambut cokelat Hermione, mengalihkan perhatian gadisnya dari kawanan binatang buas Slytherin, Bole tersenyum sabar. Mata biru keunguannya menatap hangat paras Hermione yang bersinar cemas.

"Sejak bayi aku sudah biasa ditinggal sendiri. Bisa dibilang diasingkan dari pergaulan sudah jadi makanan harian bagiku. Aku juga tak ambil pusing jika posisiku di tim utama dicopot," urai Bole tenang, tak ada setitik pun nada getir dalam suaranya.

Meski intonasi suara Bole terdengar tanpa cela, Hermione tahu pria pujaannya menyimpan kesedihan terpendam. Kegetiran hidup yang terpancar dari sorot sendu iris biru indigo. Tatapan mata yang secara nyata menggambarkan keberadaan lorong hampa di dalam jiwa.

Mengencangkan pelukan, Hermione membenamkan wajah di dada kokoh Bole. Berharap bisa melumerkan kekosongan hati calon suaminya dengan rengkuhan hangatnya.

"Sekarang kau tak lagi sendirian, Lucian. Kau punya aku, orangtuaku, teman-temanku, Stan dan Ern serta ibumu di sisimu."

Ucapan menghibur Hermione tak ubahnya air di gurun pasir yang menyejukkan batin kerontang Bole. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Bole memahami arti dicintai dan disayangi. Untuk pertama kali dalam hidupnya, Bole merasa keberadaan dirinya di dunia bukan sekadar beban atau kesia-siaan semata.

Menarik pinggang Hermione, memaksa gadisnya untuk berjinjit, Bole membelai mesra wajah Hermione dengan jilatan bibir. Dalam diam, Bole menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa syukur dengan ciuman-ciuman kecil yang lambat laun berubah menjadi ganas. Lumatan bergairah yang harus terpangkas oleh bentakan menggelegar Marcus Flint.

"Lucian Bole! Sampai kapan kau mau bermain lumpur di sana? Cepat kemari sekarang juga!"

Menyudahi ciuman dengan gerutuan, Bole memungut sapu balap yang terjatuh. Mengecup pipi Hermione untuk terakhir kali, Bole dengan gagah berani mendatangi rekan-rekannya yang bergerombol di sudut lapangan. Setiap ayunan langkahnya mencerminkan tekad bulat dan semangat pantang menyerah dalam menghadapi konfrontasi seruncing apapun.

Memandang punggung tegap Bole yang mendongak layaknya pahlawan menang perang, senyum bangga mengembang di bibir Hermione. Membalikkan badan menuju kastil Hogwarts, Hermione mengikrarkan janji di dalam hati.

Sama seperti Bole yang maju tak gentar, Hermione juga siap bersikap serupa. Siap menghadapi batu sandungan yang merintangi perjalanan romansa mereka dengan berbekal kepercayaan dan kekuatan cinta...


"Naif sekali berharap bisa mengunci hati Lucian dengan sikap sok saling mencintai dan memercayai."

Menarik napas singkat, Hermione merapalkan huruf paku serta hieroglif berulang-ulang, berupaya memblokir keinginan mencemplungkan kepala cokelat Tracey Davis ke kuali menggelegak. Hal yang sukar sekali dilakukan mengingat sedari tadi gadis berparas judes itu terus membombardirnya dengan kata-kata tak bermakna.

"Yah, harus kuakui kalau kau cerdik, Granger. Pura-pura jual mahal sehingga Lucian penasaran dan mempertahankanmu," celetuk Tracey, menggerus sebonggol tanduk banteng kering hingga berbentuk serbuk halus.

"Kau pasti belajar banyak dari pengalamanku serta semua mantan pacar Lucian selama ini. Belajar dari pengalaman mereka yang tercampakkan setelah menyerahkan raga dan jiwa sepenuhnya."

Mengunci rapat mulutnya, berpura-pura tak mendengarkan semua ocehan berbisa partner kerjanya, Hermione berkonsentrasi mengaduk kuali dengan putaran searah jarum jam. Uap mendung tipis yang berputar-putar di sekitar mereka membantu Hermione untuk mengabaikan Tracey yang saat ini tengah menakar dan menimbang serbuk tanduk banteng.

"Asal kau tahu, Granger. Dalam waktu singkat Lucian pasti jenuh dengan sikap sok moralis dan jual mahal yang menggelikan. Aku yakin, di akhir tahun ajaran bulan depan, Lucian pasti mencampakkanmu ke tempat sampah."

"Oh ya? Wah, wah, wah. Aku tak tahu kalau kau berbakat meramal, Davis. Kau berminat menggantikan Profesor Trelawney rupanya?" balas Hermione suntuk, menjatuhkan serbuk tanduk banteng yang diberikan Tracey ke dalam ramuan panas. Sesaat setelah bubuk dibubuhkan, warna kuah belanga yang tadinya sekeruh air comberan berubah menjadi sejernih minyak zaitun.

Seperti gadis berotak ular lain, Tracey tak terpengaruh dengan sindiran tajam itu. Mengibaskan rambut cokelat panjang ke balik bahu, siswi Slytherin yang sejak September tahun lalu ditunjuk sebagai pendamping Hermione di kelas Ramuan hanya terkikik melecehkan. Netra cokelat pekat Tracey menyipit senang melihat warna dan kekentalan ramuan yang sesuai dengan petunjuk di dalam buku.

Hermione memiringkan bibir menyaksikan ekspresi puas Tracey. Hermione tahu, kegembiraan itu dipicu oleh fakta bahwa semenjak berpasangan dengan juara kelas seperti dirinya, nilai pelajaran Ramuan Tracey yang semula kebakaran kini melonjak drastis.

Tapi, dasar kadal, bukannya berterima kasih, Tracey malah menghantui Hermione dengan cerita masa lalunya saat berkencan dengan Bole. Hikayat bombastis dan fantastis yang diyakini Hermione diumbar hanya untuk membuatnya terbakar cemburu. Skenario bumi hangus yang sudah pasti berjalan mulus jika saja Hermione tidak mengingat komitmen untuk memercayai Bole seutuhnya.

Ketika Tracey menyadari kalau bualan kosongnya tak membuahkan hasil, penyihir tinggi semampai itu mengganti strategi. Setiap kali mengolah ramuan bersama, salah satu anggota geng sinting pimpinan si anjing pesek Pansy Parkinson itu meneror Hermione dengan prediksi-prediksi keji.

"Berani bertaruh, Granger? Bulan depan Lucian pasti kembali ke pangkuanku. Saat ini Lucian cuma khilaf dan hanya ingin tahu seperti apa rasanya meniduri Darah Lumpur."

Cukup sudah!

Hermione sudah tak bisa lagi bersabar menghadapi otak korslet Tracey. Menggebrak meja dengan alu batu yang tadi dipakai Tracey untuk menumbuk tanduk banteng, menggulingkan kuali Lavender Brown dan Vincent Crabbe yang bertengger di dekatnya, Hermione memutuskan mengakhiri puasa berbicaranya detik itu juga.

"Lakukan semaumu, Davis. Aku tidak takut. Aku percaya Lucian tak akan pernah mengkhianatiku."

Tergelak ringan, Tracey memandangi Hermione dari atas ke bawah dengan menyeluruh. Mata dinginnya menyipit segaris, tampak optimis bisa memenangkan pertaruhan. Tracey yakin, jika dibandingkan dengan dirinya yang sempurna lahir batin, saingan kecilnya itu jelas tak ada apa-apanya.

Oh ya, otak Hermione memang encer, seencer otak si genius pendiri asrama Ravenclaw, Rowena Ravenclaw. Tapi, dari segi daya tarik fisik tak ada yang bisa diandalkan. Hermione berpostur kecil pendek, bertolak belakang dengan dirinya yang jangkung dan seksi. Untuk ukuran tampang, Hermione memang manis tapi tak bisa menandingi keelokan wajahnya yang setara bidadari.

Menghembuskan napas puas, Tracey memelototi Hermione yang sibuk menuang ramuan ke dua tabung kaca berinisial nama mereka. Sebenarnya, tak seperti murid perempuan Slytherin lainnya, ia tak terlampau membenci Hermione. Di awal-awal tahun pertama mereka bersekolah, Tracey bahkan menganggap Hermione sebagai gadis murah senyum yang ramah dan menyenangkan.

Namun, semua berubah ketika September lalu Bole mengumandangkan kalau dirinya telah bertunangan dengan Hermione. Selain melemparnya ke jurang sakit hati, pengumuman itu juga membuat Tracey menyadari kalau ia benar-benar menyayangi Bole. Benar-benar mengagumi penyihir tampan yang pernah berpacaran singkat dengannya.

Dulu, sewaktu meminta Bole untuk menjadi pacarnya, Tracey memang belum menyukai pangeran tampan bermata biru indigo tersebut. Ia mengincar Bole hanya karena dirinya tak mau berlama-lama sendirian pasca putus dari kekasih terakhirnya yang lulus tahun itu.

Selama setengah tahun berpacaran, rekor terlama dalam statistik kencan Bole, Tracey tak pernah mempermasalahkan gaya kencan mereka yang biasa-biasa saja. Ia baru menyadari arti Bole bagi dirinya tatkala pemuda berhidung bangir itu memutuskan tali cinta mereka secara sepihak.

Meski didesak berulangkali, Bole tak mengungkapkan alasan detail mengapa ia mengakhiri hubungan. Laki-laki bertulang pipi tinggi itu cuma menyebut kalau ia bosan dan ingin mencari pengalaman baru dengan gadis lain. Alasan yang jelas dibuat-buat karena setelah putus dengan dirinya, Bole tak pernah menggandeng perempuan lain.

Selama dua tahun, Bole setia menjomblo, tak mempedulikan berondongan pernyataan cinta yang dilontarkan gadis-gadis pemujanya. Keheranan Tracey atas perubahan sikap itu terjawab ketika September tahun lalu, di awal tahun ajaran, Bole menyatakan kalau dirinya sudah terikat dengan Hermione.

Terikat janji pernikahan dengan penyihir berpembuluh lumpur kotor yang tak sederajat dengannya...

"Sepertinya kau yakin sekali Lucian akan setia padamu selamanya," desis Tracey sinis, tanpa basa-basi menyambar tabung kaca berisi ramuan dari tangan Hermione. Tak menunggu tanggapan Hermione ataupun berterima kasih atas bantuan dan kerja samanya di praktik ramuan kali ini, Tracey meneruskan celotehan kasar dengan penuh percaya diri.

"Sekali melata, ular itu akan tetap melata, Granger. Camkan hal itu baik-baik."

Menyunggingkan senyum imitasi, Tracey melenggang gemulai menuju mentor Ramuan, Profesor Severus Snape yang duduk angker di belakang meja berlaci dua. Lenggak-lenggok kenes Tracey terhenti ketika suara keras Hermione mengalun dari belakang punggung.

"Sekalinya cinta, Lucian akan tetap cinta padaku, Davis. Camkan itu baik-baik!"

Menengok cepat dari balik pundak, Tracey memandangi Hermione dengan cermat. Melingkarkan seutas senyum palsu di sudut bibir merah marun yang beracun, Tracey mengedipkan sebelah mata sebelum meninggalkan komentar terakhir yang mengganggu ketenangan batin Hermione.

"Kita buktikan saja, Granger. Bulan depan, Lucian pasti bertekuk lutut di pelukanku..."


"Kudengar Tracey mengganggumu lagi di kelas Ramuan?"

Tak mengangkat wajahnya yang terbenam di rengkuhan lengan Bole, Hermione mengangguk samar. Menikmati detak jantung kekasihnya yang bergerak stabil, Hermione memainkan kancing kemeja putih Bole. Setelah melalui hari yang meletihkan, tak ada yang lebih membahagiakan bagi Hermione selain memasrahkan diri dalam pelukan hangat calon suaminya.

Mengusap rambut ikal Hermione, mata biru indigo Bole menerawang jauh, memandangi surya yang bergulir perlahan di tepi barat. Senja itu, kesyahduan panorama surga seolah melingkupi seantero Hogwarts. Semburat jingga bercampur merah muda terpantul di permukaan Danau Hitam yang berkelap-kelip seperti kaca. Semilir dedaunan serta soneta kelompok burung yang berbondong-bondong pulang ke sarang mereka membuat keindahan suasana kian terasa.

Sayangnya, keapikan pemandangan itu tak sesuai dengan atmosfer batin Bole saat ini. Sejak mengetahui Tracey mengintimidasi Hermione di pelajaran Ramuan siang tadi, Bole sudah tak sabar untuk membuang bekas pacarnya itu ke kerumunan setan air kecil bertanduk, Grindylow yang bersarang di dasar perairan. Untung saja Bole teringat dengan prinsip barunya untuk menjauhi aneka bentuk kekerasan. Kalau tidak, Tracey pasti sudah jadi tengkorak di kerak Danau Hitam.

"Apa yang ia katakan padamu, Hermione?"

Mengangkat muka, Hermione menatap lurus ke manik biru ungu Bole yang berkilau cemas. Sebenarnya, Hermione tak terlalu mempermasalahkan teror yang diluncurkan Tracey. Hermione tahu kalau ancaman terselubung itu berakar dari perasaan cemburu. Perasaan yang dulu pernah dimiliki Hermione saat memergoki Bole bermesraan bersama koleganya di kelas Ramuan itu.

"Bukan hal penting," tolak Hermione, kembali menyurukkan wajah di dada kokoh Bole yang seharum musim semi. Bagaimanapun juga, Hermione tak mau menambah kecemasan Bole dengan mengungkapkan semua hal busuk yang dikatakan Tracey padanya.

Sepertinya, keinginan Hermione untuk menutup diri tak selaras dengan kemauan Bole. Mengangkat dagu Hermione dengan ibu jari, Bole mendesak tunangan mungilnya untuk mengeluarkan semua keluh kesah yang terpendam.

"Sugar, katakan yang sebenarnya. Malfoy bilang kau dan Tracey hampir baku hantam di kelas Ramuan," desak Bole, meringis saat lidahnya mengucapkan nama Malfoy.

Ya, Malfoy. Berkat remaja berwajah runcing pucat itulah Bole mengetahui teror yang dilayangkan mantan pacar terakhirnya. Seusai makan siang di Aula Besar, Malfoy berkoar-koar di Ruang Rekreasi Slytherin, merekonstruksi ulang ketegangan yang terjadi antara Tracey dan Hermione.

Awalnya Bole tak langsung percaya mengingat Malfoy cenderung hiperbola jika bersinggungan dengan Hermione. Bole baru percaya ketika sobat gembul Malfoy, Vincent Crabbe yang menggerung-gerung meratapi nasib kuali ramuan yang terguling memberi testimoni tambahan.

"Sugar..." desis Bole pelan, menepuk-nepuk pundak Hermione yang masih tersungkur nyaman di lekuk lengan. Mengintip sejenak, mengamati sorot tegas Bole, Hermione dengan berat hati melepaskan pelukan. Berdeham dua kali, membersihkan gumpalan ludah yang menyumbat tenggorokan, Hermione mengulang kembali kata-kata bejat yang diucapkan Tracey di kelas Ramuan.

"Dia bilang kalau kau ngotot bertahan di sisiku karena aku masih perawan. Dia bilang kau akan mendepakku setelah meniduri dan merampas kehormatanku. Dia juga bilang bulan depan, di akhir tahun ajaran, dia akan membuatmu jatuh tunduk di pangkuannya lagi."

Tersengal-sengal, Hermione menyelesaikan berondongan kalimat yang melesat tanpa jeda. Sampai perkataan terakhir selesai dilafalkan, Bole tak bergeming satu sentipun. Hanya sinar amarah dan denting gemeretak gigi-lah yang menjadi indikator reaksi Bole saat itu.

Mengepalkan tangan, Bole membendung keinginan menyeret Tracey dan mengumpankan jalang gila berbisa itu ke penghuni Danau Hitam. Bole tahu cepat atau lambat, Tracey yang culas dan manipulatif bakal menjadikan reputasi masa lalu dan perilaku buruknya sebagai amunisi untuk menghancurkan kepercayaan Hermione.

Memetik bunga rumput yang tumbuh di dekat kaki, Bole mengusap lembut pipi Hermione dengan kelopak kembang kuning cerah tersebut. Bole paham, jika dibandingkan dengan dirinya yang penuh noda, Hermione jelas bukan pasangan tepat untuknya.

Jurang perbedaan dan ketimpangan di antara mereka menganga begitu lebar. Berbeda dengan dirinya yang kotor dan suka mempermainkan wanita, Hermione seputih salju Himalaya. Tak seperti dirinya yang terlahir dari keluarga berantakan, Hermione dibesarkan orangtua yang saling mencintai dan memercayai. Kepercayaan tulus yang disaksikan Bole saat dirinya mengantarkan Hermione usai liburan bersama dengan Bus Ksatria, akhir Agustus lalu.

Dengan tangan terbuka, orangtua Hermione menyambut baik rencana pernikahan masa depan mereka. Pengakuan Bole bahwa dirinya cuma produk keluarga berantakan tak menyurutkan keramahan keluarga Hermione. Ibu Hermione bahkan menegaskan bahwa ia percaya Bole bisa membuat putri satu-satunya bahagia.

Dengan kesenjangan tak seimbang, masih berhakkah ia berkhayal mendampingi dan mempertahankan Hermione untuk selama-lamanya?

Menatap wajah Hermione yang bimbang, senyum penuh tekad terulas di bibir Bole. Ya, mungkin ia tak berhak, mungkin ia tak sepadan. Namun, tak ada yang bisa menghalangi tekad bulatnya untuk menikahi dan memiliki Hermione.

Jika Hermione mundur teratur karena malu dengan masa lalunya, ia tak akan mengibarkan bendera putih. Sesuai dengan kodrat Slytherin, ia akan maju merebut Hermione apapun yang terjadi. Sesuai dengan insting dasar Slytherin, ia siap menghalalkan segala macam cara untuk mengubah keputusan putus tersebut.

"Lalu, apa rencanamu selanjutnya, Hermione?" Bole bertanya lugas, memandangi Hermione dengan tatapan cermat seorang kekasih. Dengan rakus dan penuh perhatian, Bole menyerap detail wajah mungil menggemaskan yang senantiasa menghiasi bunga tidurnya sejak bertahun-tahun lalu.

"Menonjok Tracey Davis tepat di hidung Pinokio-nya kalau ia berani merebutmu. Kau itu milikku, Lucian. Hanya milikku!" jawab Hermione lugas, menarik kerah Bole untuk mencuri ciuman singkat.

Seringai kemenangan tersimpul di bibir Bole. Rupanya kekhawatirannya terlalu berlebihan. Di balik penampilan teduh dan tenang, Hermione menyimpan keganasan seekor singa betina. Singa galak yang jelas bukan tandingan ular kecebong seperti Tracey Davis.

"Aku milikmu seutuhnya, Hermione. Hanya milikmu," janji Bole, menciumi sudut bibir Hermione yang menukik puas. Menyenderkan kepala Hermione di tulang bahu, Bole menjatuhkan kecupan manis ke puncak kepala Hermione.

Menatap garis cakrawala yang mulai dirambati gugusan bintang, terus membuai Hermione dengan sentuhan penuh cinta, Bole melantunkan rencana dan janji-janji masa depan.

Janji tulus untuk membentuk keluarga bahagia penuh cinta. Komitmen membara yang sudah tertanam sejak dirinya berjumpa dengan Hermione di Bus Ksatria...


"Kenapa Tante tidak mendukung komitmenku untuk menikahi Lucian?"

Tanpa menghentikan pergerakan jemari di tuts piano, Mrs Bole mengerling sekejap ke samping kiri. Menatap sekilas gadis berambut cokelat panjang yang terduduk muram, Mrs Bole menggubah melodi sendu favoritnya, Pathetique Sonata, komposisi klasik ciptaan maestro Beethoven yang sangat sesuai dengan iklim batin saat ini. Bersenandung lirih, selirih desir angin yang merasuki jendela, jari-jari lentik Mrs Bole yang termanikur indah menari-nari seirama dengan tangga nada yang dimainkan.

Desah tak sabar Tracey bergema di ruang santai yang dipenuhi lukisan impresionis berkualitas dan perabot klasik dari zaman Louis XVI itu. Kerlip lilin yang bersinar di atas kandelir kristal melengkapi suasana megah yang melingkupi bilik luas tempat di mana acara minum teh sore biasa dilangsungkan.

"Apa yang kau harapkan dari putraku, Tracey? Lucian tak punya harta benda sebanyak warisan keluargamu. Kami hanya punya status darah dan gelar bangsawan," Mrs Bole akhirnya membuka mulut. Suara merdunya yang tak kalah sendu dari irama lagu yang mengalir teratur mengagetkan Tracey yang asyik mengamati lukisan Istana Versailles yang tergantung di dinding.

"Aku tak butuh harta, Tante. Aku cukup kaya untuk membiayai kalian," seru Tracey berapi-api. Meremas-remas tangan, Tracey menatap cemas manik biru indigo Mrs Bole yang identik dengan netra anaknya. Mata seorang pemuda yang sangat dikaguminya sepenuh hati.

"Kau tentu sudah tahu rumor tentang kebangkrutan keluarga kami, bukan?" ujar Mrs Bole tenang, membuka-buka lembaran buku musik dengan keanggunan yang terlihat jelas. Melihat anggukan samar Tracey, Mrs Bole dengan santai menekan jemari di salah satu tuts, menimbulkan dentingan bening yang sayup-sayup.

"Suamiku yang gila bertualang tak pernah mengurus aset keluarganya. Kami bisa hidup berkat bantuan warisan keluarga yang disimpan di Bank Sihir Gringotts."

Tracey menarik napas berat, mengangguk mengiyakan. Sebagai gadis yang terlahir dari rahim wanita penggemar gosip, Tracey tentu sudah tahu kondisi finansial keluarga Bole. Ningrat berdarah murni yang saat ini ada di ujung tanduk pailit. Priyayi terhormat yang bertahan hidup berkat status serta simpanan turun-temurun yang kian menyusut dari tahun ke tahun.

"Aku tak peduli, Tante."

"Setelah lulus dari Universitas Durmstrang, Lucian berencana kerja di Departemen Transportasi Kementerian Sihir Inggris. Jenjang karier yang kering dan tak banyak menghasilkan uang," lanjut Mrs Bole, tak mempedulikan sanggahan gadis remaja yang duduk gelisah di sampingnya.

"Jika tak lulus masuk Kementerian Sihir Inggris, Lucian berniat bekerja sebagai sopir Bus Ksatria," Mrs Bole tersenyum tipis tatkala kesiap ngeri meluncur mulus dari tenggorokan Tracey.

"Apa kau sanggup menikah dengan seorang sopir bus, Tracey?" sindir Mrs Bole, tak bisa menyembunyikan seringai geli melihat ekspresi pias di paras putri baptisnya.

"Aku... aku sanggup, Tante," gagap Tracey ragu. Jemarinya semakin kencang meremas-remas, nyaris membuat gaun sutra lembut warna emas pucat yang dikenakannya terbelah dua.

Alis indah Mrs Bole melengkung sedikit, gumaman skeptis terdengar di antara denting melodi Ballade No 1, lagu mendayu-dayu gubahan Chopin yang mengalun tenang. Irama sarat kesedihan yang bagi Mrs Bole sangat serasi dengan suasana hatinya yang lara.

"Bagaimana dengan orangtuamu? Mereka tentu tak sanggup memiliki menantu seorang sopir angkutan umum," balas Mrs Bole, memusatkan perhatian ke pergerakan jemari di tuts piano.

"Mereka..." Tracey terdiam, tak mampu berkata-kata. Tracey sadar bahwa semua perkataan Mrs Bole benar dan sesuai fakta. Orangtuanya yang hartawan dan materialistis tentu tak bisa menerima kehadiran parasit dalam keluarga.

Meskipun dirinya merupakan putri baptis Mrs Bole, Tracey tahu kekerasan hati orangtuanya tak bisa diruntuhkan. Ketimbang menikahkan putrinya dengan Bole yang tak berduit, orangtua Tracey lebih suka anaknya menikah dengan Vincent Crabbe yang gendut tak berotak tapi kaya-raya.

"Lebih baik kau mencari pria lain yang setara denganmu. Lucian tak mencintaimu. Dia mencintai gadis lain. Calon istrinya yang akan dinikahinya tujuh tahun lagi," tandas Mrs Bole, menghentikan pergerakan jari di tuts piano.

"Aku mencintai Lucian, Tante!" jerit Tracey frustrasi, menarik-narik ujung rambut cokelat tanah dengan beringas, kebiasaan buruk yang selalu dilakukan jika dirinya terjerat depresi.

"Aku lebih cantik dan terhormat dari pelacur Darah Lumpur itu! Darah Lumpur sialan itu-"

Tamparan telak yang bergema sampai ke penjuru ruangan menghentikan ratapan nyaring Tracey. Memegangi pipinya yang nyeri, mata cokelat gelap Tracey berkaca-kaca menatap wajah ibu baptisnya yang dipenuhi amarah.

"Jangan berani-berani kau mengucapkan kalimat rasis itu di rumahku, Tracey. Harap kau ingat, yang kau hina itu calon menantuku," Mrs Bole melompat berdiri dari sandaran kursi bulat empuk. Menunjuk ke arah pintu, Mrs Bole memerintahkan putri baptisnya yang masih tercengang-cengang tak percaya untuk segera angkat kaki.

"Lekas tinggalkan rumahku, Tracey. Kau sudah tak punya keperluan di sini."

Menggeleng-gelengkan kepala, Tracey mencoba menyentuh tangan Mrs Bole yang langsung menampik cepat. Penolakan terang-terangan itu menyengat batin Tracey, sebutir air mata pun turun dari sudut mata cokelat gelapnya yang berkaca-kaca.

"Tante, maafkan aku. Kumohon jangan usir aku. Aku ingin ketemu Lucian."

Menyilangkan tangan di dada, Mrs Bole memandang lurus. Mengunci manik biru indigo dengan iris cokelat basah Tracey, Mrs Bole berkomentar lugas.

"Lucian tak ada di sini. Ia merayakan kelulusannya dari Hogwarts di rumah keluarga Granger."

Sedetik setelah informasi diutarakan, Tracey langsung berkelebat secepat anjing pemburu. Berdecak-decak gusar, Mrs Bole menutup piano yang dimainkannya. Beringsut angkuh menuju pintu, gerutuan sebal mengiringi ayunan langkah kakinya yang terbungkus sepatu biru lila.

"Benar-benar gadis tak tahu sopan santun. Untung saja bukan dia yang akan jadi menantuku..."


"Kami senang karena bisa memiliki calon menantu sepertimu, Nak."

Mengangkat gelas kristal berisi anggur putih, Mr Granger mengajak para tamunya untuk bersulang. Diiringi siulan genit dan ucapan selamat, denting gelas anggur pun beradu, membuat rona pekat yang membayangi pipi Hermione kian bertambah nyata.

"Kenapa kau masih malu-malu kucing begitu sih, Hermione," celetuk Ginny usil, mengisi kembali gelas yang kosong dengan beraneka ragam minuman manis yang melimpah ruah di meja saji.

Harry yang berdiri di sebelah Ginny mengangguk sepakat. Membenahi letak kacamata bundar yang sedikit melorot, mata hijau zamrud cemerlang Harry berkelip senang.

"Betul, Hermione. Seharusnya kau girang karena impianmu berjalan lancar. Calon suamimu sudah diterima di Universitas Durmstrang dan orangtuamu sudah setuju kau naik pelaminan secepatnya."

Meletakkan gelas yang baru setengah dihabiskan, Hermione tersenyum mengiyakan. Ia memang gembira karena Bole lulus dari Hogwarts dengan nilai baik, sebuah prestasi besar mengingat selama bertahun-tahun ini pemuda berambut hitam itu dikenal malas belajar.

Tapi, yang membuatnya malu dan merona adalah tindakan impulsif Bole untuk menggelar pesta perayaan kelulusan di rumah orangtuanya.

Tanpa sepengetahuannya, Bole menyusun acara dan mengundang semua kenalan, termasuk teman sekolah dasar Hermione yang seratus persen asli Muggle. Kerumunan anak manusia yang terbengong-bengong melihat dandanan nyentrik Luna Lovegood dan ayahnya, Xenophilius Lovegood yang malam ini datang dengan kostum telur ceplok kedodoran.

Untungnya, meski pesta meriah ini dihadiri banyak penyihir berpenampilan ngaco, rahasia Hermione sebagai penyihir tak terbuka. Sampai saat ini, teman-teman Muggle Hermione cuma menganggap kehebohan itu sebagai bagian dari acara pesta.

"Merlin, kuharap Fred dan George tak menjual produk ngawur mereka pada teman-temanku," sungut Hermione, memicing melihat Fred menawarkan sekotak permen berbentuk granat ke sekelompok gadis yang mengembik terengah-engah.

"Tenang saja, Sugar. Mereka tidak seceroboh itu," bisik Bole menenangkan. Mengusap rambut Hermione yang dikuncir kuda, Bole menarik Hermione merapat ke sisinya. Tak menghiraukan tatapan waspada Ron maupun dehaman pura-pura Ginny dan Harry, Bole mencuri ciuman singkat yang dibalas Hermione dengan antusias.

Mendesah pelan, Bole berupaya menyingkirkan kekecewaan karena gagal membujuk ibunya untuk turut serta dalam perayaan. Memandangi orangtua Hermione yang saling berangkulan dan tertawa bersama bekas guru sekolah dasar Hermione, Bole tersenyum tipis.

Ya, meski saat ini ibunya tetap memasang tembok keangkuhan, Bole optimis sikap tersebut bakal berubah seiring dengan berlalunya waktu. Apalagi, selama dirinya kuliah di Universitas Durmstrang, Hermione berjanji untuk bertandang ke kediaman ibunya di kastil Canterbury selama musim liburan.

"Seharusnya kau tak menghabiskan uang tabungan hanya untuk mengadakan perayaan ini," gumam Hermione, mengedarkan pandangan ke seisi ruangan yang dipenuhi banyak tamu.

Tak hanya teman dan guru Muggle, pesta malam ini juga dihadiri kenalan Bole seperti si sopir dan kenek Bus Ksatria, Ern Prang dan Stan Shunpike. Mundungus Fletcher, penyihir klepto yang berjasa membawa barang-barang Muggle untuk keperluan investigasi Bole di masa balita pun turut diundang.

Memanggul karung rombeng yang berbau celana dalam terbakar, Mundungus tanpa malu-malu mengelilingi rumah Hermione. Mengamat-amati benda Muggle mutakhir yang bisa dicoleng dan dijualnya di pasar gelap.

"Aku sengaja, Sugar. Semakin banyak tamu, semakin baik. Itu berarti semakin banyak orang yang tahu bahwa kau adalah calon istriku," bisik Bole mesra, menjilat lembut garis bibir Hermione.

Mengalungkan tangan di leher Bole, Hermione membalas ciuman bergairah calon suaminya. Gelak tawa Ginny dan Harry maupun siulan panjang undangan lainnya tak menyurutkan parade kasih sayang itu. Parade kemesraan yang terekam dalam tatapan benci sepasang mata cokelat berkilat yang menatap nyalang dari balik jendela...


Menatap nyalang cermin retak di meja riasnya, Tracey Davis terisak sesenggukan. Di dekat kakinya, vas kristal yang tadi digunakan untuk menghancurkan cermin rias tergeletak tak berdaya. Patahan batang bunga aster putih terserak lemas, selemas sang empunya yang berdiri lunglai di tepian meja.

Menginjak-injak kelopak aster dengan bertubi-tubi, tak mempedulikan cacahan beling yang merobek telapak kaki, Tracey meluapkan kekesalan. Menyumpahi hidupnya yang berantakan dan hancur-hancuran.

Selepas lulus dari Hogwarts, Tracey yang berambisi menghancurkan Hermione menyusul Bole kuliah di Universitas Durmstrang. Meskipun kampus yang terletak di pegunungan bersalju Swedia dan Norwegia itu tak menyediakan jurusan yang diminatinya, Tracey tetap pantang mundur. Ia yakin kehadirannya di sisi Bole bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan Hermione yang menuntut ilmu di Universitas Beauxbatons.

Sayangnya, meski sering berpapasan di koridor, tak sedikit pun Bole menoleh padanya. Sikap Bole bahkan lebih dingin dari musim salju menggigit yang sering melanda kampus. Lulusnya Bole, yang dua tahun lebih tua darinya menghapus alasan Tracey untuk terus bertahan di Universitas Durmstrang.

Mandek kuliah di tengah jalan, Tracey mudik ke Inggris dengan tekad baru. Menggoda Bole yang tengah merintis karier di Departemen Transportasi Kementerian Sihir Inggris. Departemen yang tak bonafid serta tidak menyediakan masa depan bergelimang uang bagi para pekerjanya.

Serupa dengan yang terjadi di kampus Durmstrang, Tracey tak bisa menghancurkan benteng kesetiaan Bole. Hermione yang belum lulus kuliah memang tak ada di sekitar mereka, tapi kehadirannya sangat kuat dan terasa, membuat serangan godaannya seolah membentur tembok tak kasat mata.

Lulusnya Hermione dan masuknya gadis berambut belukar itu ke Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir membuat gempuran rayuannya terjegal. Setiap kali berkunjung ke Atrium Kementerian Sihir, ia harus menangis dalam hati menyaksikan kemesraan sejoli yang berencana menikah dalam waktu dekat.

Setiap hari, ia harus meringis iri menonton kecemerlangan karier Hermione. Jenjang karier yang tak bisa diraih gara-gara keputusan sembrononya untuk putus kuliah di tengah jalan.

Menggeram, Tracey mengingat kembali seringai kemenangan yang terukir di wajah Hermione setiap kali melihat dirinya luntang-lantung di Atrium Kementerian Sihir. Oh ya, senyum sombong yang sama juga terpatri di hari kelulusan Bole dari Hogwarts, tujuh tahun lalu. Cengiran berpuas diri yang muncul karena kegagalannya dalam menuntaskan taruhan. Merebut Bole sebelum hari kelulusan tiba.

Dari sekian banyak kekalahan yang dideritanya, puncak kehancuran hidupnya terjadi pagi ini. Dengan alasan memperluas jaringan bisnis, orangtuanya mengumumkan pertunangan dirinya dengan Vincent Crabbe. Kingkong dungu tak berotak yang semenjak lulus dari Hogwarts menghabiskan hari-harinya dengan bermain wanita dan mabuk-mabukkan.

Ketika mengetahui rencana orangtuanya, Tracey menentang habis-habisan. Penolakan yang berakhir tatkala ayahnya mengancam mencabut hak waris. Hak atas kekayaan yang selama ini dibangga-banggakannya.

Menatap bayangan yang terdistorsi, Tracey mengenang kembali argumentasi orangtuanya. Orangtua yang membesarkan dirinya untuk keuntungan materi semata. Orangtua yang sialnya menyadari ketakutan terbesarnya untuk hidup dalam kemelaratan

"Perusahaan Crabbe berkolaborasi dengan kerajaan bisnis Malfoy. Jika kau menikah dengan Crabbe, kita bisa terikat secara langsung dengan keluarga Malfoy," Mr Davis berkata tegas sembari mengisap selongsong cerutu dalam-dalam. Di samping meja kerja, istrinya mengikir jalinan kuku runcing dengan perhatian tinggi, sengaja menghindari kontak mata dengan putri tunggalnya yang terbakar emosi.

"Tapi Dad, tega sekali kau menjualku pada Crabbe! Crabbe, Dad! Crabbe! Bedebah bego yang hanya berpikir dengan selangkangan!" racau Tracey histeris. Kegusaran mendarah daging membuat Tracey yang selalu berbicara runut sesuai tata kalimat melupakan norma kesopanan dan etiket yang ditanamkan sejak kecil.

Melempar dan menginjak cerutu dengan sepatu kulit ular piton, ayah Tracey mendengus murka. Menuding telunjuk ke wajah merah putrinya, satu ultimatum meluncur keluar. Menikah dengan Crabbe atau terhapus dari pohon keluarga Davis untuk selama-lamanya.

"Aku ingin bersama Lucian, Mom," isak Tracey kalah, menatap gamang punggung ayahnya yang berderap keluar ruangan. Punggung yang dulu sering dipanjat dan dinaikinya semasa kanak-kanak.

"Kau bisa bersamanya jika kau mau," Mrs Davis mengangkat kedua alis hingga saling bertaut. Menepuk tangan putrinya, Mrs Davis tersenyum penuh perhitungan. Butiran mata cokelat dingin-nya berkilap setajam pisau pengikir yang bercokol di belitan jemari.

"Ikuti saranku dan kau bisa mendapatkan semuanya."

Mengalihkan mata dari bayangan suram di kaca, Tracey menyambar mantel beludru berlapis bulu yang tersangkut di sandaran kursi. Melesat menghilang menuju apartemen Bole di Leicester Square, London, Tracey bersiap-siap melaksanakan saran ibundanya.

Saran pamungkas yang akan menentukan kelangsungan masa depannya...


Menggoyang-goyangkan kaki untuk keseribu kali, Tracey menatap gelisah selasar apartemen yang sempit dan berpenerangan sederhana. Sampai detik ini, Tracey tak habis pikir mengapa Bole mau-maunya menetap di flat murahan seperti ini.

Memang sih gaji pegawai Departemen Transportasi tak terlalu besar, tapi bagaimanapun juga Bole masih punya tabungan di Bank Sihir Gringotts. Dana simpanan yang bisa menjamin kelangsungan hidup untuk beberapa puluh tahun ke depan.

Melirik jam sihir yang membelit di pergelangan tangan, Tracey menggerutu panjang pendek. Seharusnya, Bole sudah pulang ke apartemen satu jam lalu. Tapi, sampai kaki jenjangnya bentol-bentol digigiti nyamuk jalang, pemuda bermata biru indigo menghipnotis itu belum juga menunjukkan batang hidung mancungnya.

Bahu Tracey yang tadi tersampir lemah di daun pintu menegak sekaku busur ketika langkah Bole yang sangat dihafalnya merasuk ke lubang kuping. Memasang senyum semenarik mungkin, Tracey menahan napas saat sosok penyihir yang menjadi obsesi terdalamnya muncul dari undakan tangga.

Mengangkat muka, mata Bole menyipit tak suka melihat tamu tak diundang yang bertengger di ambang pintu apartemen. Mendekat ke pintu tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Bole mengambil kunci yang disimpan di saku mantel. Tak menghiraukan sama sekali sapaan selamat malam yang diucapkan putri baptis ibunya.

"Lucian, aku ingin bicara denganmu."

Menghentak tangan Tracey yang mencekal lengan mantel, mata biru ungu Bole mengeras. Dada bidangnya mengembang saat menarik napas dalam, mengumpulkan kesabaran untuk menghadapi penguntit maniak yang tak mengenal kata kapok itu.

"Silahkan bicara di sini. Secepatnya. Aku lelah dan ingin beristirahat."

Tersenyum manja, Tracey merapatkan tubuhnya. Tanpa malu-malu menatap dalam-dalam wajah Bole yang sekaku granit dipahat.

"Boleh aku masuk ke dalam? Di sini dingin dan banyak nyamuk."

"Tidak boleh," sembur Bole cepat, berbicara dari balik gigi yang terkatup. Rahang tegasnya mengencang, menahan hasrat mengutuki Tracey dengan kata-kata yang tak layak ditujukan untuk wanita terhormat.

"Kenapa? Aku janji tak akan mengigit," Tracey mengedip-ngedipkan kelopak mata cokelat, membuat Bole diserang keinginan menusuk iris beraura dengki itu dengan ujung tongkat sihir.

"Aku tidak mau memasukkan perempuan lain ke dalam kamarku," balas Bole, mengernyit tajam ketika gelak tawa Tracey menyemarakkan suasana.

"Memangnya Granger tak pernah menginap di kamarmu?" Tracey mengusap-usapkan jari di lengan mantel abu-abu Bole. Bibir indah dan penuhnya mendengus sengit ketika Bole menepis kasar, melepas belitan jemarinya dengan sentakan brutal.

"Hermione tidak pernah bermalam di kamarku. Dia gadis baik-baik, Tracey."

"Membosankan sekali," Tracey menghela napas dramatis. Menyibak rambut cokelat panjang ke belakang dengan gerakan yang amat sangat nakal, senyum pengertian tersungging di sudut bibir Tracey yang terpoles sempurna.

"Kau pasti bosan berhadapan dengan gadis kolot sok polos dan ortodoks itu."

Melemparkan tatapan mengancam, sorot mengerikan yang membuat manusia waras manapun tunggang-langgang ketakutan, Bole mendorong Tracey menjauh. Memutar kenop pintu, bibir Bole mengencang, tak sabar untuk merapalkan kutukan mengerikan yang bisa membuat gadis cerewet di sampingnya membeku sekaku patung.

"Kalau tak ada hal penting, sebaiknya kau pergi."

"Bulan depan aku akan menikah dengan Vincent Crabbe."

Menaikkan alis, mengirimkan pandangan bermakna memangnya-aku-peduli, Bole membuka pintu dan bersiap masuk. Belum sempat kakinya melangkah, tangan Tracey menahan daun pintu, secara efektif mengunci pergerakannya.

"Kau dingin sekali, Lucian. Kupikir kau peduli padaku."

Memelototi tangan Tracey yang menahan bibir pintu, Bole mengilaskan senyum hambar. Bole tak habis pikir mengapa Tracey gigih sekali mengganggunya. Jika tak mengingat rencana pernikahan yang pasti tak akan terlaksana jika dirinya berstatus narapidana Penjara Sihir Azkaban, ia pasti sudah mengirim Tracey ke neraka dengan Kutukan Avada Kedavra.

"Oh, jadi kau mau apa? Ucapan selamat? Baiklah, selamat. Semoga pernikahan kalian bahagia."

Memandangi wajah datar Bole, napas Tracey tercekat di tenggorokan. Selama bertahun-tahun, ia sudah karib dengan penolakan kasar Bole. Namun, baru kali inilah penolakan itu mengusik nuraninya. Ya, wajar-wajar saja sebab penolakan kali ini merupakan penolakan terakhir yang menentukan masa depannya.

"Aku tidak mau ucapan selamat darimu. Aku ingin bersama denganmu."

"Tracey!" geram Bole, mengacak-acak rambut hitam kelam dengan gerakan frustrasi.

"Sudah berapa kali kubilang kalau aku tidak mencintaimu. Aku tak mau bersama denganmu! Lagipula, bukankah kau sebentar lagi akan menikah?"

"Aku tak memintamu untuk menikahiku. Aku bisa menjadi wanita simpananmu. Pengisi kekosongan kala Granger datang bulan dan berhalangan."

Menatap lekat-lekat dengan tatapan tak percaya, Bole menggeleng-gelengkan kepala. Bole tak menyangka kemauan keras dan sikap pantang dikalahkan membuat teman sejak kecilnya merendahkan diri seperti ini.

"Apa kau gila? Sampai mati pun aku tak akan menyetujui pengaturan jahanam itu."

"Tapi, bagi kalangan kita, hubungan gelap lumrah terjadi," cecar Tracey tak mau kalah. Manik cokelat pekatnya menyipit, meneliti kedut yang berdenyut di sekitar sudut bibir Bole.

"Banyak penyihir berdarah murni, pria atau wanita yang memiliki kekasih simpanan. Ibuku punya, ayahku juga. Aku yakin ayahmu juga punya. Makanya dia tak pernah pulang kampung ke Inggris."

Menatap tajam, Bole menarik napas dalam untuk menghapus emosi yang tersulut. Bagi kaum penyihir berdarah murni, praktik perselingkuhan memang umum terjadi. Tapi, tak berarti dirinya harus ikut-ikutan seperti itu.

Sampai terompet Sangkakala penanda hari kiamat bertiup pun, ia tak bisa mengkhianati Hermione. Satu-satunya lentera dalam hidupnya. Pelita yang mengusir kehampaan dan mengisi jiwa raga dengan cahaya kebahagiaan.

"Jangan buang harga dirimu, Tracey. Kau gadis baik-baik yang pantas mendapat hal terbaik," ujar Bole, mengawasi perubahan air muka Tracey yang menggelap.

"Aku menginginkanmu, Lucian," sedu sedan Tracey mengalun lirih, membuat sepasang penyihir tua yang menenteng kantung belanjaan menengok ingin tahu.

"Kau tak mencintaiku, Tracey. Kau hanya terobsesi. Terjerat gengsi. Kau tak ingin mengakui kekalahanmu. Kau tak terima karena aku memilih Hermione ketimbang dirimu."

Tangisan Tracey yang mengiba tersendat mendadak. Mengusap sudut mata yang basah dengan lengan mantel berujung bulu, Tracey terpekur menatap lantai bermotif papan catur. Sedikit demi sedikit, Tracey mulai menyadari kebenaran fakta yang disodorkan Bole.

Ya, ia mungkin menyukai Bole, tapi tak mencintainya. Sebagai gadis kolokan yang terbiasa mendapatkan semua keinginan, harga dirinya tentu terusik saat penyihir berdarah lumpur seperti Hermione Granger menyalip di depan.

Kehadiran Hermione membuat kekaguman yang dirasakannya pada Bole memudar menjadi obsesi tak sehat. Obsesi yang jelas-jelas berbeda dari cinta murni yang ditawarkan saingannya.

"Apa yang harus aku lakukan? Bulan depan aku harus menikah dengan begundal yang kubenci," desah Tracey lelah, meremas-remas ujung mantel bulu lembut warna magenta hingga kusut masai.

Menggenggam bahu langsing Tracey, Bole memandangi gadis jangkung yang pernah menjadi pacar masa lalunya. Meski hubungan mereka lekat dengan perselisihan, Bole tetap tak bisa membiarkan putri baptis ibunya menderita.

Menderita akibat perjodohan paksa tanpa cinta...

"Kau bisa memilih jalanmu sendiri. Batalkan pernikahan dan carilah kebahagiaanmu sendiri."

"Aku tak bisa!" ratap Tracey, menggenggam tangan Bole sekencang mungkin. "Hak warisku akan dicabut. Aku tak bisa hidup melarat!"

Bole menahan umpatan jijik dan kotor yang melekat di ujung lidah. Ya, ya, ya. Tracey yang manja pastilah lebih memilih terbenam dalam derita ketimbang merana tanpa sokongan dana.

"Kalau begitu, menikahlah dengan Crabbe dan terima nasibmu apa adanya. Hidup itu pilihan dan kesempatan tak akan terulang dua kali."

Nasihat Bole menghentak batin Tracey. Melepaskan cekikan jemari di tangan Bole, Tracey menerawang memandang sulur dedaunan berbunga merah muda yang tergantung di depan kamar pasangan penyihir tua yang tadi menatapnya dengan pandangan prihatin.

Hidup itu pilihan...

Tracey membatin, membandingkan pro dan kontra yang akan direngkuhnya. Jika menikahi Crabbe, ia bisa hidup mewah dan tak kekurangan apapun. Tapi, setiap hari ia harus bersabar melayani penjahat kelamin yang beratnya melebihi paus pembunuh.

Tiap hari, ia harus bersabar menghadapi tingkah memuakkan Crabbe. Bersabar menghadapi pengkhianatan Crabbe. Bersabar menghadapi gerombolan pelacur dan wanita simpanan Crabbe.

Terus bersabar, bersabar dan bersabar sampai rambut cokelat gelapnya dipenuhi uban.

Jika menolak dijodohkan, ia akan kehilangan kekayaan yang sejak lahir menaunginya. Ia tak lagi menyandang nama keluarga Davis yang terhormat dan disegani. Tapi, kebebasan itu setara dengan apa yang bisa diraupnya. Dengan sisa-sisa tabungan pribadinya, ia bisa menuntut ilmu di jurusan Arkeologi, jurusan favoritnya. Cabang ilmu yang ditentang ayahnya dengan alasan kuno dan tak mentereng.

Setelah diwisuda, ia bisa menjadi arkeolog handal. Bisa menggali dan mencari benda-benda kuno yang tersebar di tempat eksotis di penjuru dunia. Dan, mungkin suatu hari nanti ia bisa menemukan seorang pria yang tulus mencintainya.

Seperti Lucian Bole mencintai calon istrinya...

Mendongak, Tracey menatap Bole yang mengernyit tak sabar. Dengan sudut pandang baru yang cerah dan tak seburam sebelumnya, ia mulai menyadari keberadaan Bole bagi dirinya. Seorang pemandu yang menuntunnya lepas dari kungkungan gengsi tak berarti.

"Terima kasih, Lucian. Aku janji tak akan mengganggumu lagi," Tracey tersenyum tulus. Senyum polos yang disambut Bole dengan anggukan samar. Mendesah lega, Bole bersyukur wejangannya tepat sasaran. Meskipun Tracey sangat menjengkelkan, ia tak ingin salah satu serpihan masa lalunya bernasib buruk seperti ibunya yang terkurung dalam penjara kawin paksa.

"Boleh aku minta ciuman terakhir, Lucian? Ciuman terakhir yang mengesankan?" Tracey berbisik, mengagetkan Bole yang tengah memikirkan ibunya. Ibunya yang selama bertahun-tahun ini hidup kesepian dan sendirian di kastil dingin Canterbury.

Mendelik garang, Bole menggeram marah. Tadinya ia berharap Tracey sudah berubah total. Tapi seperti ular yang terus melata, Tracey tetaplah Tracey. Tetap seorang gadis Slytherin yang suka mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Tidak ada ciuman, Tracey," Bole mendengus kasar, menghentak pintu apartemen hingga terbuka. Cukup sudah kesabarannya menghadapi Tracey hari ini. Saat ini, yang diinginkannya hanyalah membersihkan diri dan beristirahat untuk menjemput hari esok. Bukannya meladeni gadis tak tahu malu yang masih rajin menebarkan jaring godaan.

"Kenapa Lucian? Mumpung Granger tak ada di sini. Mumpung Granger tak melihatnya," seru Tracey, menahan pintu untuk kedua kalinya malam itu. Melepas cengkeraman Tracey, Bole memandang lurus. Menembus iris cokelat Tracey dengan kedalaman biru indigo, Bole berharap bisa membuat mantan kekasihnya itu mengerti arti Hermione bagi dirinya.

"Hermione mungkin tak melihatnya. Tapi, hatiku melihatnya."

"Hatimu?" suara Tracey bergetar, hembusan napas tercekatnya terdengar panjang pendek. Sudut matanya mengabur, terselubung air mata yang tertahan di balik kelopak.

"Ya, hatiku. Hatiku, Tracey."

Terisak lemah, Tracey menyedot lendir hidung dengan satu sapuan lengan. Menatap Bole yang teguh pendirian, senyum pemahaman melintasi bibir merah mengilatnya yang bergetar.

"Rupanya kau benar-benar mencintainya. Hermione Granger yang beruntung..."

"Tidak, akulah yang beruntung," sanggah Bole cepat. Menghembuskan napas pendek, Bole mengenang kembali masa lalunya yang keruh dan suram. Masa kanak-kanak yang hampa. Masa remaja yang penuh hura-hura tak bermakna. Masa sia-sia yang berubah seindah permata saat Hermione mengulurkan cinta.

Cinta yang terjalin di antara roda Bus Ksatria...

"Aku yang beruntung karena mendapatkan cinta Hermione. Jika tak bersamanya, mungkin aku akan mengulang kesalahan sama yang dilakukan orangtuaku. Kesalahan yang semestinya bisa kau hindari juga," ungkap Bole, menatap Tracey sepintas lalu.

Sebelum menutup pintu sepenuhnya, Bole masih sempat mendengar gumaman lirih Tracey. Bisikan selamat tinggal dan lantunan terima kasih yang hilang tersaput gelombang angin malam.

"Selamat tinggal, Lucian. Semoga kau hidup bahagia selamanya..."


"Omong kosong apa ini! Mana bisa hidup bahagia selamanya dengan penyihir kelahiran Muggle seperti itu!"

Membuka koran dan membolak-balik lembaran Sunday Prophet dengan gerakan malas, Bole melirik tanpa minat, mendengarkan dengan sebelah telinga omelan ayahnya yang meraung-raung seperti kambing terluka.

"Wah, selamat datang, Suamiku. Kupikir kau sudah terkubur bersama mumi Mesir atau hanyut di Segitiga Bermuda," sindir Mrs Bole, mencium harum kelopak mawar putih yang baru dipetik. Di bawah kaki cantiknya yang dihiasi sepatu elegan kulit berhak sedang, peri rumah keluarga Bole, peri rumah perempuan yang merawat dan mendidik Bole sejak kecil mencicit ngeri. Ketakutan luar biasa melihat ekspresi emosi yang melingkupi sang Tuan Besar yang baru pulang setelah puluhan tahun menghilang.

"Kau tahu kalau aku sekarang ada di Tibet," geram Mr Bole, menghunuskan tatapan benci pada istrinya yang tengah sibuk mengatur mawar putih dalam keranjang.

"Oho, bergaul dengan para Yeti rupanya," Mrs Bole mendengus tanpa emosi, memetik setangkai mawar besar dengan jentikan gunting besi. Yeti sendiri merupakan primata besar berbulu mirip manusia yang menghuni pegunungan Himalaya, Nepal dan Tibet.

"Jangan menghindar dari inti masalah!" Mr Bole menggeram, persis seperti Yeti yang barusan disinggung istrinya. Memutar bola mata biru ungu dengan gerakan bosan yang dilebih-lebihkan, Mrs Bole bersenandung lembut, melangkah luwes menuju rumpun mawar yang mekar sempurna.

"Apa maksudnya itu? Menikah dengan penyihir kelahiran Muggle? Ya Tuhan, Lucian. Apa kau ingin mencoreng darah murni keluarga kita?" Mr Bole mengalihkan sasaran ke putra tunggalnya yang duduk bertumpu siku di meja besi bulat berukir.

Menyeruput wiski gandum dengan perlahan, jemari kekar Bole menekuni artikel Sunday Prophet, pura-pura memasung perhatian pada berita remeh-temeh tentang koleksi barang lelucon Sihir Sakti Weasley yang diobral besar-besaran.

Bagi Bole, membaca artikel tentang Obral Langsung Bawa Pulang dan Terbang jauh lebih menyenangkan ketimbang mendengarkan gerung kemarahan ayahnya. Pria paruh baya yang baru menaruh perhatian padanya saat pengumuman rencana pernikahannya dengan Hermione tersebar ke seantero dunia.

"Masih banyak gadis berdarah murni yang bisa kau nikahi, Lucian. Millicent Bulstrode, misalnya," sembur Mr Bole, menyeka keringat di dahi dengan saputangan kotak-kotak.

"Millicent Bulstrode?" Mrs Bole memekik nyaring, membuat kelopak mawar di sekitarnya rontok berguguran. Menyodorkan keranjang mawar ke peri rumah, Mrs Bole berkacak pinggang. Mata biru indigonya disesaki percikan pijar kemarahan.

"Apa kau sudah tak waras? Punya menantu seperti Millicent Bulstrode? Aku tak mau menggendong cucu yang mukanya mirip Shrek!"

Bole hampir tersedak wiski gandum yang baru setengah terhirup. Mengelap bibir dengan serbet, Bole mengertakkan gigi menahan senyum ketika melihat tampang masam ayahnya yang kebingungan.

"Shrek? Siapa pula dia?" Mr Bole memicing tajam, mata hitam kelamnya berputar bolak-balik, mengamati istrinya yang cemberut dan anaknya yang hampir mati menahan tawa.

Menyenderkan punggung di kursi besi, Bole memejamkan mata. Pundak bidangnya bergetar menahan gelak. Rupanya, pengaruh Hermione pada ibunya benar-benar tak terbendung.

Sesuai janjinya dulu, Hermione memang sering mengunjungi calon ibu mertuanya di musim liburan. Pelan tapi pasti memperkenalkan wanita ningrat kesepian itu pada dunia Muggle, termasuk film animasi Shrek. Film kartun favorit ibunya yang selalu diputar setiap kali penyihir cantik itu membutuhkan hiburan.

"Ah, sudahlah. Penyihir terbelakang sepertimu pasti tak bisa memahami omongan orang terpelajar," gerutu Mrs Bole sambil lalu, melambaikan sebelah tangan dengan gerakan melecehkan.

Bole tersenyum simpul mencermati ketegangan yang menyelubungi orangtuanya. Dulu, di masa balita, atmosfer mendidih seperti itu membuatnya terluka. Rengekan dan rajukannya seringkali diabaikan, membuat dirinya merasa kehadirannya di dunia hanyalah sebuah noda kesalahan.

Namun, semenjak Hermione berada di sisinya, perselisihan panas seperti ini tak membuatnya sengsara. Bole tahu, ikatan di antara orangtuanya sudah rusak dan tak bisa diperbaiki lagi, betapa pun kuatnya ia berusaha.

Namun, setidaknya ia bisa mencegah prahara serupa terulang. Setidaknya, ia bisa menjamin anak-anaknya kelak hidup dalam keluarga bahagia penuh cinta. Tak seperti dirinya yang tumbuh besar dalam suasana hampa.

"Menikahi penyihir keturunan Muggle. Demi janggut Merlin, apa kau mau menambah aib kalangan ras murni? Setelah Tracey, sekarang dirimu," bentak Mr Bole, menunjuk anaknya dengan telunjuk ramping yang dihiasi cincin pusaka keluarga.

Aib yang ditimbulkan Tracey...

Mengambil sekeping Biskuit Sihir Cribbage dan mengunyah pelan-pelan, Bole tersenyum puas. Sebulan lalu, Tracey memang menggemparkan dunia sihir saat membatalkan pertunangan dengan Vincent Crabbe, ahli waris juragan bisnis klan Crabbe.

Setelah memutuskan pertunangan, yang berimbas pada penghapusan namanya dari daftar keluarga Davis, Tracey mengejar cita-cita terpendamnya, menjadi arkeolog kelas dunia.

Pencoretan hak waris dan minimnya dana pendidikan tak menghalangi niat Tracey menggali ilmu di jurusan Arkeologi. Bole dan Hermione yang tergugah dengan keinginan Tracey untuk memperbaiki hidup bahu membahu memberi bantuan uang kuliah. Kucuran materi kian bertambah deras setelah ibunda Bole yang merasa senasib sepenanggungan dengan Tracey ikut menyumbangkan sebagian uang pribadinya.

"Aku akan menikahi Hermione, Father. Dengan atau tanpa restumu," tegas Bole, menyesap cairan terakhir wiski gandum. Dari ujung mata, Bole melihat anggukan samar dan senyum tipis ibunya. Isyarat dukungan yang dibutuhkan Bole untuk menghadapi keriut marah ayahnya.

Mondar-mandir tak tentu arah seperti Yeti yang dikurung, Mr Bole mengarahkan pandangan marah ke gerumbul semak mawar berduri yang tertata rapi. Mengepalkan tinju kosong, penyihir yang masih tegap dan kekar di usia paruh baya itu berjuang keras memikirkan solusi terbaik untuk membredel pembangkangan putra tunggalnya. Pewaris nama keluarga satu-satunya.

Setelah berjalan bolak-balik berulangkali sampai membuat rumput di taman belakang kastil menipis, Mr Bole mengeluh frustrasi. Jalan buntu tak berujung seolah terpampang di depan mata.

Mengancam untuk menghapus putranya dari daftar waris? Hah, gertakan basi yang pasti membuat anak semata wayangnya itu terpingkal-pingkal kegelian.

Mr Bole tahu, harta bagi putranya bukan ukuran kebahagiaan dunia. Lagipula, harta duniawinya juga berkurang drastis, terima kasih banyak untuk kegemarannya bertualang ke tempat menawan di penjuru dunia. Dengan uang tak seberapa, mana bisa dirinya menghentikan kobaran semangat putranya untuk menikahi penyihir bernadi lumpur.

"Kau sudah kalah, Suamiku," suara mendayu-dayu istrinya membangunkan Mr Bole dari lamunan depresi. Melirik sengit, Mr Bole memandang galak wanita yang berdiri di dekat petak mawar itu. Wanita bangsawan yang dinikahinya sejak dua puluh empat tahun lalu.

Mata hitam Mr Bole yang sekelam gelap malam memicing, mencermati penampilan lahiriah istrinya. Tak seperti tujuh belas tahun lalu, saat ia meninggalkan rumah tanpa pesan, banyak perubahan yang terjadi di profil istrinya.

Dulu, istrinya berperawakan angkuh dan dingin, sedingin Kutub Utara yang pernah disambanginya. Kini, kebekuan seolah lenyap dari setiap gerak-gerik, berganti dengan keanggunan feminin yang mengagumkan.

Rambut pirang kecokelatan istrinya yang selalu tampak mewah bila digerai kini dihiasi seberkas uban, surai putih abu-abu yang berkilau diterpa sinar mentari pagi. Sosok ramping istrinya masih seperti dulu, masih tampak memikat dalam balutan gaun sutra nila berbordir bunga magnolia.

Manik tajam Mr Bole tertumbuk ke kerut halus di sudut bibir dan mata istrinya. Guratan tipis yang menandakan kalau wanita setengah tua itu sering tertawa lepas. Kebiasaan aneh yang sebelumnya tak pernah dilakoni istrinya. Sepanjang ingatannya, istrinya itu sekaku patung Liberty; patung buatan Muggle yang berdiri tegak di Pulau Liberty di muara Sungai Hudson, New York.

Mengalihkan perhatian, Mr Bole mengawasi putranya. Pewaris satu-satunya yang tak pernah dirawat dan dididik sepenuh hati. Putra tunggal yang hanya dianggap sebagai komoditi penerus nama keluarga.

Mata biru indigo putranya, yang semasa balita redup tak bersinar kini berpijar penuh harapan. Raut tenang dan penuh cinta terpahat jelas, bertolak belakang dengan kehampaan ekspresi yang dilihatnya terakhir kali.

"Sepertinya kalian bahagia," Mr Bole tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Apa Hermione Granger yang membuat kalian seperti ini?"

Sudut bibir Bole naik ke atas, membentuk senyuman memukau saat nama calon istrinya disebut. Bangkit dari kursi besi, Bole menghampiri ayahnya. Menepuk lembut lengan seorang pria yang tak pernah menggendong maupun mengajarinya bermain Quidditch, Bole mengangguk mengiyakan.

"Benar sekali, Father. Tapi, yang paling utama itu berdamai dengan diri sendiri. Melupakan masa lalu dan menerima cinta yang tersaji di sekitar," ujar Bole, menatap langsung ke mata gelap ayahnya yang membelalak lebar.

Berdamai dengan diri sendiri...

Melupakan masa lalu...

Menerima cinta orang sekitar...

Mr Bole terhuyung, hampir jatuh jika tak dipegangi putranya. Desir kibasan gaun sutra yang tertangkap indra pendengaran menjadi pertanda kalau istri yang diabaikannya selama ini bergerak mendekat ke arahnya. Menangkap halus lengan kanan yang goyah, istrinya tanpa diduga membantunya duduk tenang di kursi taman.

Dari balik bulu mata, Mr Bole menatap paras cemas putranya. Putranya yang dulu ditinggalkan semasa balita kini sudah dewasa. Tumbuh semakin matang sehingga mampu memberi petuah yang menyentuh sampai dasar nurani.

Berdamai dengan diri sendiri...

Oh ya, Mr Bole memahami betul kalimat tersebut. Sebagai seorang pewaris utama, ia menerima amanat berat meneruskan pohon keluarga. Beban yang tak sesuai dengan panggilan hati yang gemar berkelana.

Tatkala perjodohan paksa disodorkan ke depan hidung, ia tak kuasa menolak. Saat pernikahan berubah jadi bencana, ia kerap menyalahkan dirinya yang lemah dan tak bisa menentang titah orangtua.

Melupakan masa lalu...

Oh, betapa ia berharap bisa melupakan masa lalu yang buruk, kusam dan penuh kehampaan. Hidup seatap dengan wanita asing yang tak pernah dikenalnya, perempuan dingin yang memandang remeh setiap kali melihatnya membuat emosinya tersulut.

Pertengkaran demi pertengkaran yang meletup setiap detik tak bisa terhindarkan. Keributan dan kekerasan rumah tangga yang membuat barisan peri rumah mereka harus menutup mata dan telinga rapat-rapat.

Perang kata-kata itu berakhir dan berganti perselisihan bisu saat putranya lahir ke dunia. Tak tahan tinggal dalam atmosfer beku, tak tahan hidup seatap dengan istri yang secongkak merak dan sedingin salju, ia angkat kaki dari rumahnya sendiri. Mencari kebahagiaan di tempat-tempat baru yang dikunjunginya. Kebahagiaan fana yang sampai sekarang tak pernah ditemuinya.

Menerima cinta orang sekitar...

Pernyataan terakhir itulah yang menghentak mata batin. Selama ini, ia susah-payah bertualang mencari kebahagiaan dan cinta. Tanpa menyadari bahwa cinta yang diidam-idamkan ada di dekatnya.

Cinta tulus dari anaknya. Anak yang disia-siakannya selama ini...

Mr Bole terperanjat saat istrinya mengangsurkan gelas berisi air putih bercampur sari lemon. Mendongak, mata hitam arang Mr Bole berpandangan dengan manik biru indigo istrinya. Kilap sedingin es yang biasa bercokol di sana berganti sinar cemas. Sinar kepedulian yang menyentil hingga ke tepian dinding sukma.

"Minumlah supaya kau lebih tenang."

Mr Bole mereguk banyak-banyak air putih lemon, meresapi campuran rasa asam yang sejak remaja mampu menetralisir kegundahan hati. Terapi menenangkan diri yang tak disangka-sangka diketahui istrinya.

Istri yang selama ini dianggap dingin dan tak peduli padanya...

Menatap suaminya yang tercenung, Mrs Bole tersenyum getir. Hilang sudah perasaan benci yang selama ini menggerogoti hati. Tak seperti putranya yang hendak menikah atas nama cinta, pernikahannya dulu hanya kedok untuk memperkuat ikatan darah murni antara dua keluarga.

Menikah di usia belia dengan pria yang tak pernah dikenalnya membuat kebebasannya terenggut. Tak heran jika ia selalu merengut setiap kali memandang wajah suaminya. Wajah penyihir darah murni yang merebut keleluasaan masa mudanya.

Namun, semenjak melihat kekuatan cinta putranya dengan Hermione, sedikit demi sedikit tabir kebencian Mrs Bole pada suami dan nasib mirisnya menipis. Ia akhirnya menyadari bahwa bahagia itu pilihan.

Seseorang bisa terus bahagia bila ia menerima dan mensyukuri berkah yang didapatnya. Begitu juga sebaliknya. Seseorang akan terus merasa menderita jika hal itu yang terus-menerus tertanam di dalam pikirannya.

Menelusuri paras suaminya yang identik dengan putranya, Mrs Bole menghela napas samar. Ya, meski terlambat, mungkin ia bisa belajar menghargai dan menghormati suaminya.

Mungkin ia gagal menciptakan iklim kondusif di masa pertumbuhan anaknya, tapi setidaknya ia bisa memastikan cucunya tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang.

Seakan terpaut oleh gelombang telepati, mata gelap Mr Bole terpaku dengan manik biru ungu istrinya. Sedetik kemudian, senyum pemahaman dan pengertian tersimpul di ujung bibir masing-masing.

Senyum tipis yang menandai perubahan sudut pandang dua anak manusia yang di masa lalu terjebak dalam dilema prasangka...


"Jangan berprasangka dulu, Sugar. Aku yakin Ern bisa mengemudikan Bus Ksatria dengan sempurna."

Mendengus di gendongan suaminya, Hermione melengkungkan alis cokelatnya, masih belum percaya seutuhnya pada kalimat menenangkan tersebut.

Oke, oke, Hermione tahu kalau sejak zaman dahulu kala Ern sudah dikontrak sebagai pengemudi Bus Ksatria. Tapi, seharusnya setahun lalu penyihir gaek itu pensiun dari balik kemudi. Lalu, kenapa sekarang Ern turun gunung dan ditunjuk untuk menunggangi Bus Ksatria? Bus Ksatria yang didesain khusus untuk menyemarakkan hari pernikahannya?

Pernikahannya...

Hermione tersenyum senang mengenang kembali momen membahagiakan saat dirinya mengucapkan janji sehidup semati bersama Lucian Bole, pria yang dicintainya sejak remaja.

Sesuai dengan keinginan kedua belah pihak, perayaan pernikahan digelar sederhana dan khidmat. Hanya kerabat dan teman terdekat yang menghadiri resepsi bernuansa putih tersebut, termasuk ayah Bole yang selama ini ogah-ogahan mendukung pernikahan.

Ketika melihat kehadiran ayah Bole, Hermione tak bisa menutupi kegembiraannya. Mr Bole memang belum bisa berbaur dengan besan maupun menantunya, tapi Hermione yakin perputaran waktu bisa memupus kesombongan tersebut.

Keterkejutan dan kesenangan Hermione bertambah ketika di tengah-tengah acara resepsi, Tracey Davis datang untuk memberi ucapan selamat. Bukan hanya pola pikir picik yang berubah, penampilan jasmaniah Tracey juga berganti total.

Kulit putih pucat Tracey yang kemerah-merahan bertransformasi menjadi cokelat mengilap, efek dari penelitian lapangan yang dilakukannya. Rambut karamel-nya yang sepinggang dipotong pendek, makin mempermanis wajah berbentuk hatinya yang menawan.

Setelah berbasa-basi sebentar, Tracey menyempatkan diri untuk bercerita tentang kesibukannya selama ini. Selain duduk di bangku kuliah, ia juga berkesempatan terjun langsung menggali reruntuhan peradaban Romawi kuno di kota Antiochia ad Cragum, Turki Selatan.

Selama Tracey bercerita, Hermione tak luput menyaksikan sinar bahagia yang berdansa di bola mata mantan rivalnya. Binar gembira yang menunjukkan bahwa gadis jangkung itu puas dengan hidup yang dijalaninya saat ini.

"Apa yang kau pikirkan, Sugar?" Bole mencium lembut pelipis Hermione, menyadarkan Hermione dari alam lamunan. Mengusap-usapkan pipi di tuksedo putih suaminya, Hermione mendengkur senang. Seperti Tracey yang puas dengan hidupnya, ia juga bahagia dengan kehidupannya saat ini. Bahagia karena bisa menyandang gelar Mrs Bole, status yang dicita-citakannya sejak dulu.

"Aku memikirkan Tracey dan orangtuamu," Hermione membenamkan wajah di dekapan hangat Bole, mendengarkan simfoni jantung suaminya yang berdentam teratur.

"Tracey baik-baik saja, begitu juga orangtuaku. Kudengar dalam waktu dekat mereka berencana pergi berdua ke Gunung Kilimanjaro. Ibuku ingin melihat langsung keindahan alam Afrika dengan mata kepalanya sendiri."

Hermione menyeringai geli, membayangkan ibu mertuanya yang modis dan selalu bergaun sutra mendaki puncak salah satu gunung tertinggi di dunia. Di usia yang sudah tak muda lagi, memanjat gunung dan bermain dengan singa Afrika tentu merupakan tantangan berat. Tapi Hermione yakin ibu mertuanya tak akan berkeluh-kesah menjalani petualangan yang selama ini menjadi urat nadi suaminya.

Mendudukkan Hermione di ranjang putih besar yang terletak di tingkat tiga, Bole mencium dan menyesap nadi di leher Hermione, mengembalikan konsentrasi istrinya yang terbagi-bagi.

Mengalungkan tangan ke leher Bole, Hermione mengecup lembut bibir suaminya. Menyalurkan cinta, kasih sayang dan luapan kegembiraan yang dirasakannya melalui ciuman manis tersebut.

Mengakhiri ciuman penuh kasih, ciuman yang kian menyalakan emosi cinta dalam jiwa, Hermione mengamati keadaan di sekitarnya. Hilang sudah tumpukan tempat tidur kuningan penuh kutu maupun sofa rombeng berbagai ukuran. Sesuai dengan instruksi Bole, setiap lantai Bus Ksatria diisi dengan ranjang empuk ukuran besar. Dipan harum yang khusus didekorasi untuk keperluan bulan madu mereka.

"Interiornya sih oke, tapi aku kurang setuju kalau Ern yang menyetir," Hermione kembali menyuarakan keberatannya. Bukannya tak menaruh respek pada Ern yang sangat dihormati suaminya, tapi dengan mata rabun akut seperti itu, Hermione tidak yakin Ern bisa menunaikan tugas dengan maksimal.

"Tenang saja, Sugar. Daripada memikirkan talenta Ern, lebih baik kita memikirkan nama anak kita kelak," ujar Bole, membuka ritsleting gaun pengantin Hermione dengan cekatan.

Mencium lembut pundak telanjang istrinya, Bole meletakkan tiara yang menghiasi rambut cokelat Hermione di atas nakas. Selama menggerai rambut Hermione, Bole terus memuja bahu dan leher istrinya dengan belaian bibir.

"Uhm... apa ya," Hermione berkata tersendat-sendat, tak mampu berpikir cepat saat kulit tubuhnya meremang menerima sentuhan penuh cinta suaminya.

"Aku ada ide," usul Bole, bergumam di antara leher dan tulang selangka Hermione. Mencium dalam-dalam, Bole menghirup parfum vanila dan aroma khas istrinya yang menggiurkan.

"Aku yakin anak pertama kita pasti berjenis kelamin laki-laki. Dan karena anak kita diproduksi di Bus Ksatria, aku akan menamakannya Knight Bus Bole."

Tergelak hebat, Hermione menepuk bahu suaminya. Memonyongkan bibir, Hermione terang-terangan menolak gagasan konyol tersebut.

"Tidak mau. Nama apaan itu? Knight Bus?"

Melempar jas putih dan menyentak lepas dasi kupu-kupu, Bole tersenyum sensual. Mencermati Hermione lekat-lekat, dengan tangkas Bole melepas kancing kemeja putih. Seringai predator Bole semakin melebar saat melihat Hermione menatap dada kekar yang terbuka dengan pandangan memuja penuh damba.

Memegang dagu Hermione di antara ibu jari dan telunjuk, Bole menyapukan hidung mancungnya ke puncak hidung istrinya yang berbintik-bintik.

"Diskusi nama anak kita tunda dulu. Bagaimana kalau saat ini kita fokus untuk membuatnya saja," bisik Bole serak, menciumi sudut bibir Hermione yang tersipu-sipu.

Menurunkan tirai dan memasang Mantra Pengaman dengan satu lambaian tongkat sihir, Bole langsung menunaikan tugas sebagai seorang suami.

Memuja dan mencintai istrinya dengan sepenuh hati...


Seperti yang diprediksi, anak Hermione dan Bole yang lahir sembilan bulan kemudian positif berjenis kelamin laki-laki. Dan sesuai dengan rencana, putra pertama yang mewarisi mata biru indigo ayahnya dan rambut cokelat lebat ibunya itu dinamai Knight Bole. Minus kata Bus, sesuai dengan instruksi Hermione yang sejak masa kehamilan mewanti-wanti suaminya untuk menanggalkan nama tengah memalukan tersebut.

Sesuai dengan perkataan Bole, setelah menyaksikan kelahiran cucu mereka, ayah dan ibunya pergi bertualang berdua ke Gunung Kilimanjaro dan dataran Afrika. Disusul pedalaman Amazon dan lembah sungai Nil di Mesir. Sepertinya, jiwa berpetualang ayahnya sudah menular ke ibunya.

Jiwa berkelana yang ternyata diwarisi juga oleh cucu pertama mereka, Knight Bole.

Ya, coba lihat saja Knight Bole sekarang...

Duduk antusias di depan jendela besar Bus Ksatria, Knight Bole memandangi deretan ladang jagung dan orang-orangan sawah yang terbirit-birit menghindari serbuan Bus Ksatria. Mata biru keunguannya berbinar girang, senyuman lucu terus tersampir di bibir imutnya yang menggemaskan.

Gaya ugal-ugalan Stan Shunpike, si sopir baru Bus Ksatria tak mempengaruhi kegembiraan bocah montok yang gemar tersenyum itu. Bunyi muntahan beruntun serta repetan omelan penumpang lain cuma dianggap angin lalu bagi balita berusia tiga tahun tersebut.

Memang, sejak menyetir Bus Ksatria untuk keperluan bulan madu Bole dan Hermione, Ern Prang resmi pensiun dari belantara lalu-lintas dunia sihir. Posisi empuknya digantikan Stan Shunpike, si kondektur jerawatan dengan kemampuan menyetir memprihatinkan. Setelah tak lagi mengurusi Bus Ksatria, Ern menghabiskan masa tua di kastil Canterbury, kastil mewah yang kosong pasca kepergian orangtua Bole.

Bersandar di samping suaminya yang terus membelai punggungnya dengan mesra, Hermione tersenyum bahagia. Kehadiran putra kebanggaannya membuat hidupnya lengkap dan sempurna.

Seperti orangtuanya, Knight Bole juga tergila-gila pada bus tingkat. Setiap akhir pekan, batita lucu itu selalu merengek, membujuk orangtuanya untuk bertualang naik Bus Ksatria. Hermione dan Bole sendiri tak pernah keberatan dan selalu menyanggupi permintaan putra kesayangan mereka. Bagi keduanya, Bus Ksatria merupakan monumen bersejarah bagi perjalanan cinta mereka.

Tempat di mana cinta mereka bertemu dan dipersatukan...

Menatap putranya yang bertepuk tangan gembira melihat gerombolan sapi dan biri-biri kocar-kacir tak tentu arah, Hermione menyenderkan kepala ke bahu suaminya. Seperti dirinya, mungkin di masa depan anaknya bisa bertemu jodoh di Bus Ksatria. Bus transportasi darurat yang membantu para penyihir tersesat menemukan cinta dan arah pulang rumahnya.

"Kau tahu apa yang kupikirkan saat ini, Sugar?" gumam Bole, mengecup mesra rambut cokelat mengembang Hermione yang menyundul kepalanya. Menundukkan wajah, Bole berbisik di kuping istrinya, meniupkan napas hangat yang membuat ikal megar Hermione berdesir.

"Bagaimana kalau kita berbulan madu kedua di Bus Ksatria? Siapa tahu kita mendapat anak perempuan yang bisa diberi nama Knighty Bus Bole," ujar Bole, menyeringai senang saat alis cokelat Hermione bertaut tak setuju.

"Nama apaan itu? Knighty Bus Bole? Tidak mau," balas Hermione, mencium dagu suaminya dengan penuh kasih sayang.

"Diskusi nama anak kita tunda dulu. Bagaimana kalau kita fokus untuk membuatnya saja?" gumam Bole parau, menangkup wajah istrinya dengan kedua tangan. Tepat di saat Bole hendak mencium bibir Hermione, bantal besar penuh liur melayang mulus ke jidatnya.

"Ewh, Dad, Mom. Cepat ke kamar sana," Knight Bole mencibir, menyilangkan lengan kecilnya di dada. Gerak-geriknya serupa benar dengan ekspresi Hermione ketika memarahi Ron dan Harry yang ketahuan mencontek PR.

Tergelak riang, Bole beranjak mendekat dan mengacak-acak surai singa anaknya, membuat rambut belukar putranya semakin jabrik tak beraturan. Mengedip nakal ke arah Hermione yang tersenyum malu, Bole menggumamkan kalimat tanpa suara.

"Besok malam. Bus Ksatria. Jangan lupa, Knighty Bus Bole."

Tertawa tertahan, Hermione balas mengedip, menghambur ke pelukan suaminya yang menanti. Saling berangkulan di depan jendela, keluarga kecil bahagia itu menatap pemandangan fantastis yang terhampar di depan mata. Pemandangan penuh kesan yang cuma ada di Bus Ksatria.

Bus transportasi darurat yang membantu para penyihir tersesat menemukan cinta dan makna hidupnya...

TAMAT