Disclaimer : Bleach punya Akang Tite Kubo

.

.

Selamat siang semua, ini fict baru namun sudah saya script sejak bertahun-tahun lalu, karena itu bahasanya agak aneh dan mohon direview untuk perbaikannya.

Awalnya saya berpikir untuk membuat sesuatu yang ringan dan mudah untuk dibaca, karena kebanyakan fict yang sudah saya buat selalu 'berat' saya ingin sesuatu yang lebih ringan dan mengalir, jadilah saya mengangkat kembali karya lama saya yang tertunda untuk dipublikasi.

Maaf untuk segala kekurangannya.

Terima kasih.

.

.

.

Tittle : You

By : Nakki Desinta

Cast : Rukia, Ichigo & Kaien

.

.

.

Chapter 1

.

.

.

Pagi buta Kaien sudah bangun, pria bermata kelabu itu menggaruk kepalanya, dan menyebabkan rambutnya yang sudah berdiri tak karuan makin berantakan. Dia membuka pintu depan rumah, meraih kacamata yang baru saja ia sambar dari meja ruang tengah, ia memakainya dengan malas -walau bagaimanapun ia pakai tetap melihat sekeliling masih rabun karena gelap, ditambah lagi rohnya yang belum balik semua-

Dia melihat halaman rumah, menghirup dalam-dalam udara pagi dan menikmati suara unggas yang masih bernyanyi untuknya, musik favoritnya setiap pagi, dia sangat menyukai pagi, secara dia juga penyuka binatang serta serangga.

Tapi dia benar – benar shock saat melihat sesuatu teronggok di samping pintu rumah, dia langsung panik, namun berusaha keras menenangkan diri. Pria ini memang sangat perasa dengan hal yang menakutkan.

"Ichigo!" teriaknya histeris seraya berlari ke dalam rumah, usahanya untuk menenangkan diri sudah gagal total.

"Kenapa sih?" Ichigo -sang adik yang memiliki karakter serba nyentrik itu- baru keluar dari kamar sambil ngucek – ngucek mata. Rambutnya sama berantakan dengan Kaien, namun yang berbeda dari mereka adalah warna rambut dan warna mata, wajah yang serupa itu jadi tidak terlihat seperti saudara saat orang-orang melihat keduanya berdiri berdampingan. Warna rambut Ichigo orange menyala, dan matanya hazel, sementara Kaien sendiri serba kelabu, rambut bahkan warna mata, karena itu Ichigo sering kali menyebut Kakaknya dengan sebutan 'tidak jelas'.

Ichigo melihat Kakaknya yang berjingkrak panik dengan tangan menunjuk-nunjuk pintu luar rumah yang terbuka lebar.

"Ada mayat!" seru Kaien panic sambil menarik – narik tangan Ichigo untuk keluar rumah, Kaien sang kakak memang lebih sensitive perasaannya dibandingkan Ichigo sang adik yang lebih terkesan berandalan.

Jangan salahkan bunda mengandung, tapi kepribadian Kaien memang agak 'melambai' dari sananya, sifat, tindakan, semuanya serba halus, sangat bertolak belakang dengan Ichigo.

Mereka berdua melangkah beriringan menuju pintu luar, dan seperti yang bisa diduga, Ichigo berjalan di depan.

Ichigo berdiri di dekat pintu, melihat seperti buntalan kain berada di teras rumah, kalau tidak diperhatikan baik-baik maka tidak akan mengira kalau itu adalah orang. Dalam hati Ichigo masih mengakui kejelian mata Kakaknya, padahal sudah empat mata.

"Hei!" Ichigo menendang kaki orang yang teebaring itu, berkali – kali, akhirnya tubuh yang meringkuk itu terbangun sambil mengedarkan pandangannya, dia menatap orang yang sudah membangunkannya dengan kasar, menatap penuh bingung.

Matanya yang berwarna violet kelabu langsung bertemu dengan mata Ichigo yang berwarna hazel. Dalam sorot mata lemah itu Ichigo melihat kerapuhan yang sangat mengenaskan, dia garuk kepala tidak sabar saat orang itu hanya terus menatapnya bingung.

Tubuh orang itu kecil dan ringkih, ditambah lagi matanya yang membulat lebar saat mendapati Ichigo melotot galak padanya. Dia langsung meringkuk ketakutan di tempatnya, memeluk badan seerat mungkin, seperti takut akan ditendang pergi.

"Masih hidup tuh, bukan mayat. Untung aja belum telepon polisi," kata Ichigo sambil mengorek – ngorek kupingnya asal, memutuskan untuk berhenti memberikan sorot mata seram pada orang yang menurutnya masih bocah itu.

" Jangan, jangan panggil polisi... Hatchi, Hatchi! Hatchi!" Bocahitu bersin – bersin dan menggosok hidungnya yang keluar ingus.

"Euh... Dasar jorok!" kata Ichigo seraya menjauh.

"Wah, kamu flu ya? Ayo masuk, kamu sudah kedinginan tidur diluar, ayo!" Kaien langsung menuntun anak itu masuk, Ichigo geram banget kelihatannya, tapi bisa apa kalau Kaien sudah bersikap super sensitive begitu, makanya Ichigo tidak pernah kapok memanggil Kaien itu 'melambai'.

Kaien mendudukkan anak itu di dapur, dan menyediakan tempat yang cukup nyaman untuk anak itu duduk.

"Ini minum dulu susu panasnya!"anak itu langsung menyambar susu itu, walaupun dia tahu itu panas banget, karena uap panas masih mengepul dari puncak gelas. "Pelan – pelan, nanti keselek!" kata Kaien seraya mengusap punggung anak itu.

"Hei Bocah! Apa yang kau lakukan di depan rumah kami?" tembak Ichigo, dan anak itu langsung meletakkan gelasnya, menyiapkan diri untuk menjawab Ichigo. Takut setengah mati pada Ichigo yang terlihat seperti akan melahapnya hidup-hidup, seraaam...

"Saya … Saya… kabur dari rumah, tidak ada tempat tujuan," katanya dengan suara bergetar, matanya takut-takut membalas sorot mata tajam Ichigo.

"Pantas sambil bawa – bawa tas besar begitu!" tandas Ichigo dengan nada dingin.

"Kasihan," gumam Kaien dengan mata berkaca-kaca.

"Lalu saya melihat teras rumah ini yang tidak dipagar seperti rumah yang lain, karena sudah terlalu malam, makanya saya berpikir untuk menumpang tidur dan paginya langsung pergi."

"Kamu tidak punya tempat tujuan? Terus mau pergi kemana?" tanya Kaien simpati.

Anak itu menggeleng pelan, wajahnya benar – benar lecek, rambut hitam legamnya yang sebahu kelihatan begitu masai dan kusut, bajunya berantakan, persis anak gelandangan yang tidak pernah mandi selama berhari-hari.

"Kenapa kau kabur dari rumah?" tanya Ichigo dengan suara datar.

"Ayah saya mau memasukkan saya ke sekolah khusus putra, yang ada asramanya, saya sudah bilang tidak mau, saya mau masuk sekolah umum, tapi ayah terus memaksa, makanya saya pergi dari rumah."

"Dasar anak zaman sekarang!" komentar Ichigo dengan desis mencela.

'Anak' itu makin mengkerut di tempat duduknya, ingin segera mungkin pergi dari jangkauan pandang Ichigo.

"Ichigo! Jangan kasar begitu," tegur Kaien, dan Ichigo malah membuang wajah, cuek.

"Benar tidak apa-apa? Apa ayah kamu tidak akan mencari kamu?" tanya Kaien lagi, mencoba ambil alih sesi interograsi dari tangan besi Ichigo.

" Sepertinya tidak, dari awal memang saya-" anak itu terdiam seperti akan menangis, Kaien makin iba dibuatnya. "Tapi saya akan kuat, saya yakin bisa bertahan walaupun tidak bersama ayah," lanjut anak itu.

"Bagaimana bisa? Mau tinggal dimana kau, Bocah?" Ichigo lagi-lagi menusuk anak itu dengan pertanyaan tajam.

"Kamu bisa tinggal disini," seloroh Kaien dan Ichigo melotot kearahnya.

"Kau pikir dia ini anak kucing? Dia ini anak orang lain Kaien, iba boleh aja, tapi harus lihat kondisi!" sembur Ichigo. " Sekarang kau kembali pada orang tuamu!" bentak Ichigo, mata anak itu langsung berkaca – kaca.

"Jangan menangis!" bentak Ichigo lagi, anak itu langsung tertunduk lesu, menahan air mata yang sudah hampir membludak dari pelupuk matanya, diapun menyedot lagi ingus yang hampir turun dari cuping hidungnya.

" Ichigo!" Kaien memperingatkan lagi Ichigo untuk bersikap lebih lembut.

"Kita tidak boleh membiarkan dia luntang lantung dijalan." Kaien menatap anak bermata violet itu dengan sorot mata paling lembut yang ia miliki, rasa iba dan kasihannya sudah menutupi seluruh otaknya.

"Kalau ada sepuluh orang seperti bocah ini, mau kau tampung semua di rumah ini?" balas Ichigo.

"Tidak begitu juga, ya... setidaknya biarkan dia tinggal disini sampai dia sadar dan mau kembali pada orang tuanya, sampai dia bisa berpikir jernih," jawab Kaien sambil membetulkan letak kacamatanya.

"Lagi pula di rumah ini masih ada satu kamar yang tidak terpakai kan, jadi biar dia memakainya, hitung- hitung merawat kamar itu."

"Hei bocah, kau tidak ada niat ingin merampok rumah ini kan?"

"Tidak, tidak, sama sekali tidak!" jawab anak itu polos, tangannya terangkat di dada menandakan pembelaan diri yang amat sangat.

"Baguslah, soalnya dirumah ini tidak ada barang berharganya juga," gumam Ichigo datar.

"Tapi kau tinggal disini tidak gratis!" tegas Ichigo.

"Saya bisa bersih – bersih kok, masak juga bisa, saya akan kerjakan pekerjaan rumah, saya janji!" kata anak itu bersemangat. Merasa sedikit lega karena akhirnya ada rumah untuknya berteduh.

"Kamu bisa masak?" tanya Kaien terkagum – kagum dan anak itu tersenyum lebar.

"Sebelum kami memutuskan boleh atau tidak kau tinggal disini, buatkan kami sarapan untuk pembuktian," desis Ichigo dengan mata sanksi.

Kaien lagi-lagi melotot padanya, sungguh adiknya yang satu ini paling bisa menyiksa orang lain.

"Baik, dapurnya dimana?" kata anak itu seraya menggulung lengan baju panjangnya. Tangannya yang kurus langsung muncul ke hadapan Ichigo, mau tidak mau Ichigo merasa simpati juga melihat anak itu, namun dia juga merasa aneh saat melihat warna kulit bocah itu bersih terawat.

Anak itu langsung menuju dapur diantar Kaien, tangannya begitu cekatan mengolah bahan – bahan seadanya yang ada dikulkas, sementara Ichigo menunggu di ruang tengah sambil menonton tv, tidak lama kemudian setelah mengantar anak itu Kaien datang menghampirinya dan memprotes keras permintaannya yang menurutnya keterlaluan, anak yang udah semalaman kedinginan karena tidur diluar langsung disuruh masak.

"Lho bagus kan? Biar dia hangat kena kompor," jawab Ichigo cuek.

"Tapi anak cowok itu begitu kurus, bajunya juga kelihatan kebesaran," kata Kaien.

"Kira – kira umurnya berapa ya? Usia masuk sekolah, mungkin waktunya masuk SMP," lanjut Kaien.

"Tanya aja langsung !" kata Ichigo, malas mendengar Kaien terus menebak-nebak, padahal dia bukan peramal.

Kaien dan Ichigo duduk dengan santainya di ruang tengah, membiarkan bunyi kelontang tidak jelas dari arah dapur.

Kaien yang cemas dengan keadaan anak itu langsung menengoknya, mencari tahu kalau-kalau anak itu akan kesulitan dengan peralatan masak yang sepertinya agak tidak terawat. Tapi begitu Kaien sampai di dapur ia malah mendapatkan sarapan sudah siap di meja makan, sangat rapi dan membuat rasa laparnya makin menyerang, Kaien pun terkesima melihatnya.

"Di kulkas cuma ada roti, jadi saya buat sandwich dan roti bakar selai, mudah – mudahan Anda suka," gumam anak itu dengan mata berbinar.

"Ichigo! Sudah siap nih!" seru Kaien pada adiknya. Ichigo yang tidak terlalu tertarik dengan hasil kerja tangan bocah itu hanya melangkahkan kaki dengan malas menuju dapur. Namun saat sampai dapur Ichigo sempat mengerutkan alis melihat makanan yang sudah membuat liurnya mengumpul itu, dia gengsi menunjukkan betapa dia ingin makan sandwich buatan anak itu.

"Wah enak!" kata Kaien saat mencicipi sandwich.

" Biasa aja, yah lumayan sih dari pada masakan Kaien."

"Memang kenapa masakan ku?" balas Kaien agak kecewa, karena selama ini Ichigo tidak pernah protes dengan masakannya.

"Gimana ya..." Ichigo menggaruk kepalanya yang tidak gatal, terkesan sedang berpikir padahal tidak sedang berpikir. "Dibilang enak ya... tidak enak – enak banget, dan.. dibilang tidak enak ya.. tidak terlalu sih, tapi yang pasti tidak enak banget!"

"Dasar kau!" Kaien langsung menjitak Ichigo, Ichigo berusaha membalas tapi tidak bisa – bisa karena Kaien menghindar dengan cepat. Anak itu tertawa melihat tingkah mereka yang seperti anak TK.

"Kenapa tertawa?" sembur Ichigo.

Tawa anak itu langsung hilang begitu Ichigo melotot padanya.

"Ti-tidak..." ucapnya gugup, "Lucu saja melihatnya, kakak adik yang seperti anak TK berebut mainan."

"Jangan sembarangan ya! Kami bukan anak TK, memang umurmu berapa? Beraninya bilang aku seperti anak TK ?" Ichigo bertolak pinggang pada anak itu.

"Umur saya 15 tahun."

"Hah?" baik Ichigo maupun Kaien sama – sama kaget, tidak menyangka anak sekecil ini berumur 15 tahun, badannya memang tanggung sih, dibilang beranjak remaja juga belum, tapi dibilang kecil juga tidak kecil – kecil banget.

"Kalau umur dia 19," sahut Kaien sambil mendorong kepala Ichigo hingga hampir terbentur meja makan.

"Dia Ichigo, adik dan aku Kaien kakaknya, umur aku 23 tahun, aku bekerja menjadi guru di SMA Karakura, Yayasan Karakura tepatnya. Disana ada sekolah dari jenjang play group sampai perguruan tinggi, dan kebetulan Ichigo kuliah di sana, karena itu kami jadi masih sering bertemu, dia bosen sepertinya, makanya dia kesel tiap kali melihat ku. Di rumah ketemu, di kantin Karakura ketemu dan kadang di tata usaha yayasan juga ketemu, " jelas Kaien dengan senyum ramah, sekaligus meledek Ichigo.

"Tidak usah dijelaskan sedetail itu," protes Ichigo .

"Saya mohon maaf sebelumnya, sudah merepotkan dan untuk selanjutnya akan terus menyusahkan, saya perkenalkan diri saya, nama saya Rukia umur saya 15 tahun," ucap anak itu sambil berdiri dari kursinya dan membungkukkan badan penuh hormat.

"Wah, resmi sekali." kata Kaien kaget, anak seperti itu bisa sesopan itu bicara pada seseorang, padahal cowok.

"Ayo kekamar mu, sekalian bersih – bersih." Kaien menuntun Rukia menuju kamarnya yang sudah sejak lama tidak ditempati, namun masih layak hanya berdebu. Perabot yang ada di dalamnya terbungkus kain putih.

"Tenang saja, Ichigo memang kadang galak, tapi dia baik kok." Kaien tersenyum untuk meyakinkan Rukia lagi.

"Kami tinggal disini hanya berdua, orang tua kami meninggal karena kecelakaan pesawat lima tahun lalu, makanya Ichigo agak keras terhadap anak yang tidak menghargai orang tuanya, dan-"

"Tapi saya bukan tidak menghargai orang tua, saya..."

Kaien melihat anak itu tampak sedang mengingat sesuatu yang sangat menyedihkan dalam benaknya sendiri.

"Iya, sekarang mandi dulu, disana kamar mandinya. Nanti aku pinjamkan baju Ichigo." Kaien menunjuk sebuah pintu berwarna biru dekat dapur.

"Hanya ada satu jadi harus mengantri tiap pagi, dan jangan heran kalau seperti kandang bebek, kotor banget, ," lanjut Kaien.

"Akan saya bersihkan!" ucap Rukia lugas.

"Iya, iya, tidak usah buru – buru, maklumlah rumah ini isinya cuma cowok, semua sibuk masing-masing jadi rumah jorok begini."

"Iya, saya mengerti." Rukia mengangguk dalam.

"Aku pulang kerja biasanya jam empat sore, kalau Ichigo tidak tentu, tergantung jam kuliahnya, bisa jadi kamu lebih sering bertemu Ichigo, jadi harus lebih sabar ya."

"He – eh!" Rukia mengangguk lagi.

Kaien menghampiri Ichigo yang masih meneruskan sarapannya, mulutnya penuh, walaupun dia bilang masakan Rukia biasa aja, dia tetap melahapnya sampai habis.

"Kok aku tidak disisakan?" seru Kaien

"Suruh dia bikin lagi."

Ichigo melanjutkan acara sarapannya dan menelan banyak-banyak dengan dorongan air dari botol di hadapannya.

"Barusan kau ngomong apa ke dia?" tanya Ichigo

"Tidak ada, hanya beberapa hal yang perlu dia tau tentang rumah ini."

.

.

.

Rukia bangun paling pagi keesokan harinya. Dia sudah diberi jadwal oleh Kaien, jadwal yang mengharuskannya membangunkan Kaien dan Ichigo kalau – kalau mereka kesiangan, dan untuk mengingatkannya menyiapkan makanan atau cemilan, serta jadwal selama seminggu kedepan.

"Aku berangkat." Kaien melangkah keluar dari pagar rumah.

"Hati – hati dijalan!" Rukia melambai, celemeknya bergoyang-goyang seiring lambaian tangannya, di sampingnya berdiri Ichigo yang dengan malas menggerakkan tangannya, dibilang melambai ya bukan, tapi menyerupai melambaikan tangan. Maksudnya?

"Hah," Ichigo menghela napas sambil masuk kerumah . " Kenapa aku harus ikut mengantar dia berangkat kerja?" keluh Ichigo, karena dia tidak pernah melakukan hal ini sebelumnya, seperti aktivitas baru saja dan itu karena kedatangan Rukia kerumah ini.

"Jadwal kuliah pertama jam 10 ya, Ichigo?" tanya Rukia seraya melihat buku kecil dari kantong celemeknya.

"Iya, tenang aja aku tidak bakal bolos kok!"

"Tidak, saya hanya berpikir membuatkan bekal dan cemilan untuk dibawa, baru pulang jam 6."

"Bekal?" ulang Ichigo shock. "Tidak usah, emang aku anak TK, tidak usah – tidak usah, aku beli saja di kantin kampus," tolak Ichigo, bisa turun pamor kalau dia bawa bekal ke kampus.

"Bukannya kalau bawa bakal lebih enak? Tidak perlu menunggu lama atau antri di kantin, lebih sehat juga."

"Lama – lama kau mirip Kaien tahu!" protes Ichigo tambah gondok.

"Saya sudah tahu kalau Ichigo baik, karena itu saya mengerti kalau Ichigo suka bicara dengan nada tinggi," Rukia merapikan celemek yang ia gunakan.

"Nah sekarang saatnya menyiapkan makanan untuk Ichigo. Ichigo suka perkedel kan? Akan saya buatkan."

Rukia langsung menuju kulkas, meraih beberapa bahan makanan, dan segera saja ia asik dengan kegiatannya mengolah makanan.

Jam setengah sepuluh pun tiba, Rukia menyerahkan sebuah kotak nasi. Ichigo menerimanya dengan berat dan memasukkannya ke tas.

"Dimakan ya Ichigo."

"Iya!" jawab Ichigo cuek seraya melengos pergi, tapi detik kemudian dia berbalik lagi pada Rukia.

"Oh ya, nanti aku pulang malam, harus ke warnet dulu server disana rusak," katanya berat, merasa aneh karena ini pertama kalinya ia meninggalkan pesan pada seseorang saat ia pergi, padahal cemas juga tidak.

"Iya. Hati – hati dijalan ya, saya akan menjaga rumah."

"Emm..." Ichigo berangkat dengan perasaan beda dari biasanya, baru kali ini ada yang mengantarnya dengan lambaian tangan riang.

"Dia cowok tapi kenapa bisa selembut itu? Dididik pakai cara apa sih dia sama orang tuanya?"gumam Ichigo seraya melangkah lambat – lambat.

"Wah jangan – jangan ayahnya mau dia masuk sekolah khusus putra biar lebih jantan, tapi dia tidak mau. Wah itu anak udah menyalahi kodrat." kata Ichigo yang kembali menduga-duga seperti dia paranormal saja.

.

.

To Be Continued

.

.

.


A/N :

Bagaimana menurut Anda semua?

Gaje kah ?

Terserah bagaimana Anda menilainya.

Tapi bisa terjadi salah penilaian pada diri Rukia karena badan Rukia yang ringkih dan hampir berdada rata *dalam fict ini* tapi Rukia tetap perempuan tulen kok.

Gomen jika saya banyak memberikan bahasa yang aneh dalam fict ini, untuk Nenk Rukia-terima kasih atas masukannya, itu sangat berharga untuk saya ^^

Sudah meracaunya ah, Ja ne...

:-:-:-Nakki-:-:-:

15-12-11