..:: ONE : Kuroko Tetsuya ::..
Dongeng. Apa yang kau pikirkan? Cerita yang romantis? Bahagia?
.
.
Dongeng penuh protagonis, membosankan. Bagaimana kalau diberi beberapa sentuhan dan rombak di sana sini. Dengan antagonis sebagai peran utama.
.
.
Dongeng dengan jalan cerita tenang dan naïf, monoton. Lihat, bagaimana sang antagonis menjalani perannya dengan penuh penghayatan. Mengikuti skema dengan baik, membuat dongeng tak lagi monoton.
.
.
Dongeng yang berakhir bahagia, sudah biasa. Sebuah akhir yang mungkin tak bisa ditebak. Mungkin ada yang bisa menebak. Jika benar. Apakah tebakan itu akan selalu benar?
.
.
Lihat, sosok yang tak anda kira memainkan perannya sebagai sang peran utama, sang antagonis.
T A L E
AkaKuro
Slight KagaKuro and NijiHai
Romance, Horror, Crime, Family
Rate M
Warning! Empire!AU, Major OOC, yaoi, typo(s), Dark theme story
Cerita ini mengandung unsur BL serta kekerasan / pembunuhan. Bagi readers yang tidak menyukai tema BL dan kekerasan, dipersilahkan meninggalkan halaman ini dengan memencet tombol silang di kanan atas, dan bagi readers yang suka, selamat menikmati.
Anda telah diperingatkan sebelum membaca. Resiko tanggung sendiri.
No Flame.
Disclaimer
.
.
Kuroko no Basuke © Fujimaki Tadatoshi
.
.
Story © Kuhaku
.
.
Silakan perbaiki saya bila ada kesalahan, baik penulisan atau lainnya.
Silau matahari mengganggu kegiatan tidur lelap manusia. Cahaya kuning cerah menembus sela-sela jendela yang tak tertutup rapat, lupa barangkali. Beberapa sudah turun pagi, melaksanakan kegiatan masing-masing di pagi buta. Pukul empat pagi dini hari, orang-orang masih terlelap, beberapa sudah bangun dan mempersiapkan kegiatan mereka selama sehari.
Matahari belum tinggi, namun silau. Ada yang baru saja bangun, memulai aktivitasnya.
"Nng …"
Erangan kecil terdengar, dari balik futon. Tampaknya masih ada yang setia bergelung di dalam hangatnya futon, mengingat hari ini mulai memasuki musim gugur. Lampu minyak yang semalam dinyalakan temaram sudah mati, sumbunya termakan api. Ruangan sepuluh kali tujuh meter itu kini gelap, cahaya matahari dari sela jendela satu-satunya penerang ruangan.
Di tengah ruangan, futon digelar sedang dihuni. Di ujung ruangan ada lemari besar, panjangnya kira-kira lebih dari empat meter. Isinya macam-macam, pakaian, aksesoris, dan beberapa benda lain yang lumayan penting bagi sang pemilik. Di sebelah kanan ruangan, ada pintu yang dibatasi kain, menuju ke kamar mandi pribadi. Sedang di kiri ruangan, dua buah jendela besar lapis washi dan sebuah pintu geser menuju teras halaman rumah.
Suara gesekan futon dan kain baju terdengar, menandakan makhluk yang bergelung di dalam futon sudah bagun –tepatnya terbangun. Helaian biru yang mencuat kesana kemari menyembul dari balik futon. Pemiliknya mendudukkan diri, menyibak futon yang menutup tubuhnya sebagian. Matanya masih terpejam, diusap beberapa kali. Makhluk bersurai biru itu menguap dan meregangkan tubuhnya kemudian menyibak futon sepenuhnya. Ia berdiri, melangkahkan kedua kakinya.
Sepasang kaki jenjang nan pucat memijak lantai kayu. Pemiliknya, seorang pemuda bersurai biru muda secerah langit musim panas. Wajahnya manis, mirip seorang gadis. Mata yang bulat dan besar, kulit putih pucat dan halus seperti porselen. Perawakannya mungil, tak terlalu tinggi, walaupun usianya enam belas tahun.
Pemuda itu mengerjapkan kedua matanya beberapa kali, membiasakan mata pada cahaya yang masuk. Ia mendekat ke arah lemari. Sebuah lemari kayu dengan pintu geser yang dilapis washi putih dengan corak sakura merah. Sejenak, ia memandang isi lemarinya. Kimono berbagai warna dan jenis –montsuki dan kinagashi– menghiasi lemarinya. Berbagai bahan kain ia miliki, harganya pun tak main-main.
Jemari pucatnya melepas ikat pinggang pada kimono, membiarkan helaian kain itu terjatuh bebas ke lantai kayu, membuat tubuhnya telanjang bulat. Pundak mungilnya dan pinggangnya yang ramping terekspos ke udara bebas, membuatnya sedikit menggigil. Tangannya meraih beberapa lembar kain, warna putih untuk naga-juban, biru muda dengan corak bunga warna hitam untuk nagagi, dan warna biru tua untuk ikat pinggangnya.
Helaian kain itu ia lipat rapi, kemudian ia bawa bersamanya menuju pemandian. Tumpukan kain-kain sutra mahal itu ia letakkan di atas bangku kayu rendah di ujung pemandian, dekat pintu. Pemuda mungil itu segera mencelupkan dirinya ke dalam kolam air hangat, merilekskan tubuhnya yang terekspos ke udara bebas beberapa saat.
Pemandian terletak di tempat terbuka. Pagar kayu tinggi membatasi pemandian dengan halaman luas. Bebatuan alam dipilih sebagai dasar kolam, bebatuan besar dan kecil yang halus. Uap mengepul, menandakan hangatnya air hijau muda jernih di kolam. Pemuda berkulit pucat itu menyandarkan tubuhnya di dinding kolam, membiarkan dada kebawah terbilas air hangat.
Ia berdiri, keluar dari kolam dan duduk di sebuah bangku kayu yang rendah, tingginya tak lebih dari tiga puluh lima centi. Sabun ia raih, digosokkan ke seluruh tubuh. Basa licin membelai kulit pucat. Beberapa kali guyuran air menyapa kulit, membilas sisa sabun basa, ia kembali ke dalam kolam hangat. Setidaknya ia masih punya waktu sebelum sarapan pagi dan pelajaran memanah serta pelajaran lain yang memusingkan otak.
….::::***::::….
Tubuh hangat, tampaknya kantuk makin menjadi. Tubuh mungil nan ramping berbalut kimono warna biru lembut melangkah anggun di koridor panjang. Kaki dibalut tabi putih, menghangatkan kaki dari serangan udara dingin musim gugur. Kepalanya melongok sedikit keluar, memandang langit mendung yang terhalang atap di sepanjang koridor. Matahari sudah tak tampak, terhalang awan. Senyum terulas di bibir merah mudanya, ia lebih suka cuaca mendung berawan daripada cuaca panas menyengat. Satu dua orang pelayan lewat, membungkukkan tubuh tanda hormat.
Langkah kakinya berhenti, tangannya meraih pintu geser lapis washi putih polos menuju ruang makan. Ia masuk, tak lupa kembali menutup pintu –dintuntut selalu ingat tata krama. Dua orang, seorang wanita dan seorang pria di usia sekitar empat puluhan duduk di bantalan alas bentuk persegi. Meja makan rendah, terbuat dari kayu jati diletakkan di tengah ruangan. Di ujung-ujung ruang, beberapa rak disusun rapi, di atasnya pajangan mahal koleksi sang tuan rumah. Pintu di kanan kiri ruangan dibiarkan terbuka, mengizinkan angin berhembus pelan ke dalam ruangan. Penerangan cukup dari pintu terbuka.
Kedua orang yang duduk di bantal alas itu menoleh, menghentikan kegiatan mereka sejenak.
"Selamat pagi, Tetsuya."
Yang dipanggil Tetsuya, pemuda bersurai biru itu membungkuk sembilan puluh derajat, memberi penghormatan. "Selamat pagi, Ayahanda, Ibunda."
Keduanya mengangguk. Tetsuya melangkahkan kedua kakinya, turut duduk bersimpuh di bantalan alas. Dengan anggun, penuh tata krama, ia meraih mangkuk berisi nasi dan piring berisi lauk-lauk.
"Itadakimasu."
Tetsuya melahap makanannya, perlahan. Ia selalu dituntut untuk menjunjung tinggi tata krama. Sebagai seseorang yang berstatus tinggi, alias bangsawan. Kesempurnaan dalam sikap dan tata krama merupakan sebuah keharusan. Didikan kedua orang tua serta tutor yang dipanggilkan sang ayah, memberikan pelajaran dengan ketat dan sangat disiplin. Bila ia melakukan kesalahan –sekecil apapun, tak segan pukulan melayang –kadang tangan, kadang rotan.
"Tetsuya."
Jemarinya berhenti bergerak, mangkuk ia letakkan di atas meja kayu begitu namanya dipanggil sang ayah.
"Ya, Ayahanda?"
Pria paruh baya bersurai biru itu tak lantas menjawab kembali sapaan penuh hormat putra bungsunya. Ia memejamkan kedua matanya sejenak sebelum membalas. "Temui aku setelah sarapan pagi."
"Baik, Ayahanda."
Tetsuya kembali melanjutkan sarapannya, sedang sang ayah sudah berdiri dan beranjak dari ruang makan. Atmosfer meringan sedikit –menurut Tetsuya. Ibunya juga ikut, meninggalkan ruang makan. Menelantarkan piring dan gelas kotor di atas meja kayu. Tetsuya menghela napas.
Ini tidak adil.
Sejak kecil ia diajarkan untuk membawa alat makan kotor ke bak pencucian di belakang rumah. Belajar dari pengalaman, tidak membawa alat makan kotor maka pukulan melayang. Mau tidak mau, rela tidak rela, dengan berat hati ia harus membereskan alat makan bekas kedua orang tuanya.
Pintu tiba-tiba digeser, lumayan kasar. Tetsuya menengok, seorang pemuda besurai abu-abu masuk ke ruang makan.
"Selamat pagi, Kakak."
Pemuda bersurai abu-abu itu menoleh, masih mengantuk. Sambil menguap lebar menjawab, "Pagi, Tetsuya."
Pemuda yang lebih tua tiga tahun dari Tetsuya itu duduk di bantal alas, dengan malas meraih mangkuk dan piring lauk dan melahapnya.
"Terima kasih atas makanannya." Tetsuya mengatupkan kedua tangannya di depan dada, kemudian membereskan semua alat makan kotor di meja kecuali milik kakaknya.
Ia keluar, membawa piring, sumpit, gelas, dan mangkuk ke halaman belakang rumah, ke bak pencucian. Seorang pelayan membungkuk kemudian mengambil benda-benda di tangan Tetsuya untuk mencucinya. Tetsuya menghela napas, buru-buru melangkahkan kaki ke ruangan pribadi ayahnya.
….:::***::::….
Tetsuya duduk bersimpuh di bantal alas. Di depannya, duduk sang ayah dan ibu. Ruangan sunyi, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Tampaknya sang ayah sedang menyiapkan serentetan kalimat yang akan keluar. Sedang Tetsuya menyiapkan diri, menerima serentet kalimat dari sang ayah –yang mungkin akan 'menampar' dirinya.
"Tetsuya."
Ia mendongak, menatap wajah sang ayah yang tampak begitu serius.
"Kau tahu kakakmu akan menikah dalam waktu dekat ini."
Tetsuya mengangguk. "Aku tahu, Ayahanda."
Kepala keluarga Kuroko mengangguk. "Aku mengharap kehadiranmu saat pesta. Terutama pada hari kedua, karena sebuah pengumuman penting tentang dirimu akan disuarakan."
Tetsuya mengangkat kedua alisnya. "Pengumuman apa, Ayahanda?"
"Pernikahanmu."
Kedua mata Tetsuya membulat. "Pe … Pernikahan?"
Sebuah anggukan mantap diterima Tetsuya sebagai jawaban. "Ya."
"Ta … tapi … aku baru saja berusia enam belas tahun, Ayahanda."
"Aku tidak menerima alasan apapun."
Tetsuya terdiam. Ia tidak bisa membantah ayahnya, dan ia tidak pernah sekalipun mencoba. Kembali memutar memori, sekali ketika kakaknya membantah, tak segan pukulan rotan melayang. Tetsuya menundukkan wajahnya, kedua tangan mengepal erat di pangkuan paha.
"Baik, aku mengerti. Ayahanda."
"Bagus. Kalau kau mengerti."
Tetsuya berdiri. "Aku mohon undur diri. Permisi." Kemudian ia melangkah keluar, kembali ke kamar pribadinya.
"Tetsu … Oi, Tetsu?"
Panggilan dan goncangan di pundak membawanya ke alam realita kembali. Ia mengedipkan mata beberapa kali. "Eh ?"
Yang memanggil menghela napas. "Jangan malah "Eh?". Kau ini, sedari tadi bengong terus. Kau mau, kerasukan setan, huh?"
Tetsuya menoleh. "Maaf, Aomine-kun." Ia menundukkan kepala.
Aomine –Aomine Daiki menghela napas kembali. "Iya. Tapi tolong tetap fokus."
Tetsuya mengangguk, kembali mengangkat busur panahnya. Sedang Aomine mengamati formasi tubuh Tetsuya yang sedang berlatih memanah.
"Hn, lebarkan sedikit kakimu, terlalu rapat."
Ah, jangan berpikir ambigu. Terima kasih.
Instruksi diberikan, Tetsuya tinggal mematuhinya saja. Gampang. Tapi meleset. Meleset jauh malah, tak kena sasaran sama sekali.
Helaan napas panjang kembali diambil Aomine. Ia memijit ujung kedua matanya, penat menyerang. "Tetsu, ada apa denganmu hari ini? Fokus. Aku bilang Fokus. Apa perlu aku eja kata 'fokus' untukmu?" nada bicaranya meninggi, kesabaran menipis.
Tetsuya menurunkan busur panahnya, ia menundukkan kepala. "Maafkan aku."
Aomine mendecakkan lidahnya. "Maaf sedari tadi kau ucapkan. Aku tidak butuh maaf. Aku butuh fokusmu, Tetsu."
Tetsuya semakin menundukkan wajahnya, merasa malu dengan dirinya yang tidak bisa menyembunyikan rasa gelisahnya.
"Istirahat dua puluh menit." Aomine menyuarakan perintahnya, ia segera meninggalkan halaman luas milik keluarga Kuroko. Membiarkan Tetsuya berkencan dengan busur panah dan rasa gelisahnya.
Tetsuya menghela napas. Ia meletakkan busur panahnya di lantai kayu ruang berlatih. Ia segera keluar dari dojo, berniat mengasingkan diri ke halaman rumah. Langkah kedua kakinya dipercepat, ingin segera sampai di tempat yang paling ia suka. Tetsuya duduk di bawah pohon yang besar, daunnya lebar dan rindang. Angin berhembus pelan, meniup helai biru itu perlahan. Tetsuya mendongak ke atas, menatap langit biru yang lumayan mendung. Tak ada kata terucap keluar, hanya bisikan dalam hati –curhatan dan makian.
"Tetsuya?"
Suara familiar memanggil namanya, Tetsuya langsung menoleh. "Kakak?"
Pemuda bersurai abu-abu turun dari kuda hitam yang ditungganginya. Tali kekang kuda ia ikat di pohon kecil kemudian duduk di samping adiknya.
"Kakak sedang latihan berkuda?"
Sang surai abu hanya menggeleng. "Hanya jalan-jalan. Aku bosan di rumah."
"Bosan? Tidak ada pertemuan dengan keluarga calon pengantin wanita?"
Tawa kecil, lebih seperti tawa meledek keluar dari bibirnya. "Calon pengantin wanita kau bilang? Jangan bercanda, Tetsuya. Aku yang jadi pengantin wanitanya."
Kedua mata Tetsuya membulat terkejut –sangat malah. "Eh?! Kakak … yang jadi pengantin wanita?!"
Pemuda bersurai abu-abu itu hanya mengangguk.
"Tapi … apa ayahanda tidak menentang? Pernikahan sesama lelaki … terlebih di kalangan bangsawan."
Pemuda yang lebih tua dari Tetsuya itu mengacak surai biru adiknya pelan. "Kau masih terlalu naïf, Tetsuya."
Kemudian sebuah amplop kecil berwarna putih dengan pita merah diserahkan ke tangan mungil Tetsuya.
"Buka, lalu baca isinya."
Tak banyak tanya, Tetsuya segera membuka amplop itu dan membaca isinya.
"Pertunangan … Nijimura Shuuzo … dengan … Haizaki Shougo. Minggu ketiga bulan kesembilan. Hari pertama hingga ketiga." Tetsuya membaca dengan lantang.
"Sudah kubilang, bukan?"
Tetsuya menoleh. "Dengan keluarga Nijimura?"
Shougo –Haizaki Shougo mengangguk. "Hm, ya. Tampaknya ayah ingin memperluas bisnis kain ke luar pulau. Kau tahu sendiri kan? Keluarga Nijimura menguasai pengoperasian kapal-kapal besar pengangkut barang."
Tetsuya mengangguk. "Iya, aku tahu … tapi … bukankah keluarga Nijimura juga punya anak perempuan?"
"Maksudmu … adiknya Shuuzo?"
Tetsuya mengangguk. "Iya. Siapa namanya? Aku tak bisa mengingatnya …"
Shougo memandang ke atas, memutar otak. "Kalau tidak salah … Kazunari?"
"Ah, benar! Nijimura Kazunari, kan?"
Shougo melirik Tetsuya kemudian tertawa kecil. "Kau salah."
"Eh? Apa salahku?" Tetsuya melirik kakaknya.
"Ada beberapa alasan."
"Alasan? Alasan apa?" tanya Tetsuya, memiringkan kepalanya.
"Pertama, peraturan menyebutkan bahwa anak yang lebih tua harus menikah terlebih dahulu. Kedua, dia belum cukup umur. Dia baru berulang tahun keenam belas delapan bulan yang lalu. Ketiga, dia sudah bertunangan dengan Midorima Shintarou. Yang terakhir, dia itu laki-laki juga."
Kedua mata Tetsuya membulat, hampir ia tersedak ludahnya sendiri. "La … laki-laki?! Apa kau yakin, Kak?"
Shougo mengangguk. "Hanya saja, hobinya memang aneh. Dia memang sering mengenakan kimono dan aksesoris perempuan."
"Ah … pantas saja. Lalu, keluarga Midorima dan keluarga Nijimura juga mengadakan pernikahan … sesama lelaki pada generasi kedelapan belas dan tujuh belas?"
"Entahlah … Tampaknya, bangsawan hari-hari ini lebih menghitung laba dalam bisnis ketika melaksanakan pernikahan anak mereka."
"Apa bisnis yang digenggam keluarga Midorima?"
"Obat. Kau juga tahu kan, bahwa obat mahal dan langka di sini? Terutama obat untuk sakit keras."
Tetsuya mengangguk. "Benar … pasti laba yang diperoleh banyak."
Kemudian hening, keduanya larut dalam pikiran masing-masing.
"Ah, Tetsuya." Shougo memecah keheningan.
Tetsuya menoleh. "Hm? Ada apa?"
"Aku dengar dari ayah, kau akan menikah juga?"
Tetsuya kembali memandang ke langit, tampak menerawang jauh. "Ya … begitulah. Padahal aku baru saja enam belas tahun."
"Pasti pernikahan tertutup. Peraturan menyebut bahwa menikah harus minimal berusia delapan belas."
Tetsuya mengangguk. "Tampaknya ayahanda tak berencana menyelenggarakan acara pertunangan untukku."
Shougo hanya bisa menggumam tanda setuju. "Terlalu terburu-buru. Lalu, dengan siapa kau menikah, Tetsuya?"
"Eh? Aku … tidak diberitahu. Aku juga lupa bertanya pada ayahanda."
"Yah, nanti akan diumumkan juga pada pernikahanku."
Tetsuya hanya mengangguk.
Shougo dan Tetsuya membincangkan pernikahan seperti suatu hal yang biasa. Memang biasa. Tetsuya dan Shougo mengerti betul, kehidupan bangsawan pada akhirnya tidaklah bisa bebas seperti rakyat biasa. Memang, hidup makmur dan sejahtera, tak usah khawatir akan kebutuhan sandang, pangan, papan. Namun, apa rasanya bila urusan pernikahan diurusi pihak ketiga. Sejak kecil, mereka sudah dijejali dengan pengetahuan macam ini. Tak bisa diganggu gugat.
"Ah, disini kau rupanya!"
Sebuah suara menganggu acara santai kedua kakak beradik ini. Tetsuya dan Shougo menoleh. Seorang pemuda bersurai biru tua dan berkulit coklat mendatangi mereka.
"Ah, Aomine-kun. Maafkan aku."
Tetsuya segera berdiri, membungkuk. Shougo ikut berdiri di samping adiknya.
"Kukira kau ke mana. Ternyata di tempat biasa, huh?" ujar Aomine, menghela napas.
"Yo, Daiki." Shougo menyapa Aomine, teman kecil yang jarang bertemu.
"Ah, Shougo. Kudengar kau akan menikah dalam waktu dekat?"
Shougo mengangguk. "Yah, begitulah."
"Selamat untuk pernikahanmu."
Shougo mengusap tengkuknya. "Terima kasih."
"Ah, maaf. Kami tidak punya banyak waktu. Ayo, Tetsu."
"Ah ya. Aku permisi, Kakak."
Shougo melambaikan tangannya pada Tetsuya dan Daiki, kemudian kembali duduk bersandar pada batang pohon.
….::::***::::….
"Pelajaran hari ini selesai."
Sebuah kalimat yang membuat Tetsuya lega bukan main. Pelajaran memanah hari ini terasa lebih panjang dibanding biasanya. Mungkin, dia sendiri penyebabnya. Otak yang tidak bisa diajak berkompromi hari ini, malah melantur pergi entah kemana.
"Terima kasih banyak." Kuroko membungkuk, menyuarakan hormat tanpa suara, sebatas formalitas.
"Tetsu, pertemuan selanjutnya kau harus lebih fokus. Hari ini kau meleset target."
Tetsuya mengangguk, yang penting setuju. Ia sedang malas diceramahi. Sepertinya ia sangat ingin memaki siapapun yang ia temui, hari ini bukanlah hari yang tepat untuk tersenyum dan berbuat baik. Ia ingin cepat-cepat tidur, menyudahi hari yang melelahkan –menurutnya sendiri.
Tetsuya memandang sosok Aomine yang berjalan semakin menjauh dari tempat latihan memanah. Matahari sudah tinggi di atas, awan mendung yang menghalang terik matahari mengilang begitu saja. Tetsuya semakin cemberut, hawa perasaannya semakin buruk. Pertama, pengumuman pernikahan dirinya. Kedua, diceramahi Aomine karena tidak fokus saat pelajaran memanah. Ketiga, awan mendung kini hilang ditelan bumi. Ia benci udara panas dan sinar matahari yang terik. Tetsuya mengeluh, setelah ini ia masih punya satu pertemuan untuk pelajaran setelah makan siang. Busur panah ia letakkan di tempat semula, kemudian keluar dojo dan melangkahkan kaki menuju ruang makan.
Ikan salmon asap, sup miso, dan semangkuk nasi mengisi penuh perut Tetsuya. Sekarang, ia memilih untuk duduk di ujung ruangan, dekat pintu yang terbuka lebar. Secangkir teh hijau dengan kepulan asap dalam genggaman disesap sesekali. Teko keramik kecil warna putih dengan corak bunga berwarna merah menemaninya duduk bersantai, di sampingnya sebuah cangkir keramik warna putih polos. Cangkir sudah tersedia, seolah mengerti akan ada tamu yang berkunjung. Kedua bola safir terpaku pada daun momiji merah keoranyean yang jatuh ke tanah, kemudian tersapu angin lewat.
Imajinasi membawanya hanyut terlalu dalam, sampai-sampai tak mendengar suara pintu yang bergeser. Tetsuya tetap diam tak bergeming di tempat semula, menyesap teh di tepi teras.
"Kuroko."
Suara familiar membuyarkan lamunannya. Tetsuya terlonjak kaget. Ia segera menoleh, meletakkan cangkir teh terlebih dahulu di atas lantai kayu.
"Ah, selamat siang, Ogiwara-kun."
Yang dipanggil menganggukkan kepala. "Siang." Menutup pintu, kemudian ikut duduk di tepi teras.
Tetsuya menyodorkan cangkir kosong. "Mau teh?"
Ogiwara mengangguk. "Boleh. Terima kasih."
Tetsuya segera menuang teh ke dalam cangkir. Cairan hijau pekat mengalir keluar dari moncong teko keramik. Selesai, Tetsuya menyodorkan cangkir itu pada Ogiwara.
"Silakan, Ogiwara-kun."
"Terima kasih, Kuroko."
Tetsuya mengangguk pelan, kembali meletakkan teko di atas nampan kayu. Sang tamu menyesap teh hangat dalam cangkir, tuan rumah memperhatikan tamunya.
"Kuroko, kudengar kau akan menikah?"
Lagi-lagi, hampir saja Tetsuya tersedak ludahnya sendiri. "Ogiwara-kun, dari mana mendapat kabar itu?"
Ogiwara tersenyum. "Dari ayah."
Tetsuya terdiam.
"Tampaknya ayahmu sudah menyebarkan berita ini. Padahal berita pernikahan kakakmu baru saja keluar, dan pertunangan baru akan dilaksanakan beberapa minggu lagi."
Tetsuya menunduk, meletakkan cangkir berisi cairan hijau pekat yang baru saja ingin ia teguk. "Sepertinya … ayahanda tidak berniat mengadakan acara pertunangan untukku."
"Hah?" Ogiwara menaikkan sebelah alisnya, merasa telinganya salah mendengar.
Tetsuya memandang Ogiwara, mengangguk. "Sepertinya ayahanda ingin aku segera melaksanakan pernikahanku. Entah kenapa."
"Hmm …" Ogiwara menggumam sambil mengangguk-anggukkan kepala sendiri. "Lalu, dengan siapa kau menikah, Kuroko?"
Tetsuya menggeleng. "Tidak tahu."
"Kh … serius?" Ogiwara menepuk keningnya. Serius, sahabatnya satu ini begitu cuek.
Tetsuya hanya mengangguk diam. Ogiwara menghela napas.
"Kemudian, ada apa Ogiwara-kun kemari? Apakah ada urusan genting?"
Bukan jawaban yang ia terima, hanya senyuman penuh arti tersungging di bibir Ogiwara. "Tidak. Aku hanya ingin berkunjung ke rumah teman lama."
"Ogiwara-kun, aku masih punya pertemuan untuk pelajaran siang ini. Kalau mau berkunjung nanti malam saja … Ah, tapi malam ini ada pertemuan dengan keluarga Nijimura." Tetsuya berbicara, panjang lebar.
"Tidak, terima kasih. Aku bercanda, Kuroko."
Tetsuya menoleh, menarik naik sebelah alis. "Hah?"
Ogiwara tampak meraih sesuatu dalam kantung kain penghangatnya. "Ini, bacalah."
Tetsuya memandang secarik amplop di tangan Ogiwara. "Apa ini? Surat cinta?"
"Tentu saja bukan, bodoh." Ogiwara menghela napas.
"Lalu apa?" Tetsuya mengambil amplop putih bersih itu, memperhatikan permukaan luar. Siapa tahu ada nama pengirim tertera, minimal judul surat.
"Seseorang memberikannya padaku." Ogiwara berujar santai, menyesap teh hijau yang dituangkan tuan rumah.
"Seseorang? Siapa?" Tetsuya meletakkan amplop itu disamping cangkir teh. Perasannya diluapi penasaran, ia akan menggali informasi sedalam mungkin.
Ogiwara mengendikkan bahu. "Seseorang dari desa."
"Desa?" Bagus. Ia terjebak dalam teka-teki buatan orang tak dikenal. Seseorang dari desa memberikannya surat ini. Ogiwara tidak menanyakan nama orang itukah? Siapa … Bagaimana ciri-cirinya … Tetsuya semakin dimakan rasa penasaran.
Satu anggukan diterima Tetsuya. "Seseorang dari desa datang ke rumahku tadi pagi. Ia minta surat ini kuantarkan padamu."
"Siapa namanya?"
"Dia tak memberitahu namanya, aku bahkan tak dapat melihat wajahnya yang tertutup caping."
"Caping … apa mungkin dia seorang petani?"
Ogiwara meletakkan telunjuk kanannya di dagu. "Rasanya tidak mungkin. Kimono yang dikenakan orang itu cukup mahal, aku bisa lihat dari kainnya. Bukan kain katun murah yang biasa dijual di pinggir jalan."
Tetsuya menghela napas panjang. "Apa-apaan ini …" Ia kemudian mulai membolak-balik amplop putih itu, menemukan coretan pena di bagian belakang.
"Kau menemukan sesuatu?" tanya Ogiwara, ikut penasaran.
Tetsuya mengangguk, mencoba mengamati coretan yang amat kecil itu. "Tiga puluh satu … dua belas … enam belas … dua belas."
31 . 12 . 1612
Ogiwara mengernyitkan alis. "Apa itu? Kode?"
Tetsuya memiringkan kepala, diam tidak bersuara. Tampaknya sedang memutar otak mencari akal. "Hari ketiga puluh satu, pada bulan kedua belas, tahun ini … sepertinya."
"Hah? Maksudmu … apa?"
Tetsuya menoleh. "Sepertinya orang itu memintaku membaca surat ini pada tanggal yang kusebut barusan."
Ogiwara hanya mengangguk-angguk. "Hm … mungkin saja. Tapi untuk apa?"
Tetsuya meletakkan amplop itu, mengendikkan bahu dan mengganti isi genggamannya dengan cangkir teh.
"Ah, aku harus kembali sekarang. Ayah butuh bantuan di ladang." Ogiwara segera berdiri, menghabiskan tetes terakhir dari cangkir tehnya. "Sampai ketemu lagi, Kuroko." Ogiwara melambaikan tangan.
Tetsuya mengangguk. "Sampai ketemu lagi, Ogiwara-kun." Membalas lambaian Ogiwara sambil duduk manis di bantal duduknya.
Tetsuya duduk bersimpuh di samping kakaknya. Pertemuan dengan keluarga Nijimura didominasi oleh bincangan keempat orang dewasa di sana. Dua orang wanita dan dua orang pria di usia sekitar empat puluhan. Tetsuya dan Shougo hanya diam, duduk bersimpuh di balik meja dengan berbagai macam kudapan kecil untuk tamu. Teh mahal, diimpor dari luar Jepang pun disediakan bagi sang tamu.
Nijimura Shuuzo, duduk di seberang Tetsuya dan Shougo. Tetsuya memperhatikan kakaknya yang beberapa kali bertemu pandang dengan Nijimura Shuuzo. Tetsuya memandangi gerak-gerik kakaknya, sesekali bersemu merah muda –hampir tak terlihat.
Tetsuya berdeham –lumayan keras. Matanya melirik sang kakak yang langsung menoleh. Tetsuya menyeringai kecil, sesekali menggoda kakaknya boleh juga. Pria yang baru saja menginjak usia sembilan belas itu bersemu merah –semerah tomat. Shuuzo ikut menoleh, menyeringai memandang Shougo –walau wajahnya sendiri merah.
"Apa?" Tetsuya bertanya, berpura-pura polos terhadap Shougo yang sedang mendelik ke arahnya. Tetsuya menyeringai kecil.
Shougo menghela napas.
Tetsuya tersenyum. "Kalau begitu, kutinggalkan Kakak berdua dengan Shuuzo-san. Aku permisi." Tetsuya berbisik, terlalu senang melihat perubahan ekspresi kakaknya.
Tetsuya berdiri, tidak memberi kesempatan Shougo untuk berbicara.
"Ayahanda, aku mohon izin pergi ke luar."
Kepala keluarga Kuroko yang sedang berbincang menoleh, mendapati anak bungsunya. Ia mengangguk. "Kembalilah sebelum bulan semakin tinggi."
Tetsuya membungkuk. "Baik, Ayahanda."
Tetsuya buru-buru melangkahkan kaki keluar, menyeringai usil pada kakaknya.
….::::***::::….
Tetsuya berjalan kaki menuju hutan di dekat kediaman Nijimura. Kuda sengaja ia tinggal, hendak menikmati hutan –alasan Tetsuya. Bermodalkan sebuah lampu minyak di tangan, sempat membawa dari rumah –tampak seperti terencana. Ia melirik ke kanan ke kiri, mencari sesuatu yang menarik hati. Bola safir yang jeli itu menemukan semak rimbun yang menutup sepertiga bagian hutan, tampak sengaja ditanam.
Tak sadar, bermodal intuisi dan rasa penasaran kaki sudah menuntunnya mendekati semak rimbun yang hijau itu. Tetsuya mengangkat lampu minyak di tangannya sedikit lebih tinggi, berusaha melihat apa yang ada di depan matanya.
"Uwa … cantik …"
Sebuah kalimat keluar secara spontan.
Kedua matanya berbinar, memperhatikan semak hijau ditumbuhi bunga. Bunga berkelopak banyak, warnanya merah dengan garis putih yang mencuat keluar. Bagian tengah bergradasi ke arah dalam, merah tua hingga hitam. Tetsuya bergerak untuk menyentuh bunga itu, terpesona akan keindahannya.
"Siapa di sana?"
Sebuah suara, Tetsuya melonjak kaget. Jemarinya tak jadi meraih bunga cantik di depan mata. Ia mundur beberapa langkah, suara kaki di atas rumput mendekat. Siluet seseorang –tepatnya lelaki berdiri di hadapannya. Tetsuya tak dapat melihat jelas sosok orang itu –sialnya lampu minyak pecah, jatuh karena kaget.
"Siapa?" Orang itu kembali bertanya pada Tetsuya, berdiri tak kurang dan tak lebih dari satu meter dari Tetsuya.
.
.
.
To be Continued
Glosarium
Futon : matras tipis di Jepang, dapat dilipat. Digunakan untuk tidur di lantai (biasanya tatami). Satu set terdiri atas shikibuton (alas tidur) dan kakebuton (selimut futon)
Tatami : semacam tikar, digunakan sebagai alas di lantai. Tatami terbuat dari jerami yang ditenun. Di sekelilingnya dijahit kain brokade atau kain hijau polos.
Washi : kertas yang dibuat dengan metode tradisional di Jepang. Seratnya lebih panjang sehingga tipis namun tahan lama. Bisa digunakan untuk melapis shoji (pintu geser Jepang)
Kimono : pakaian tradisional Jepang, bermacam-macam jenis. Berbeda kegunaan tergantung jenisnya.
Naga-juban : kain yang mencegah kimono bersentuhan langsung dengan kulit. Gampangnya, kain yang dikenakan sebelum kimono.
Nagagi : nagagi sendiri adalah kain yang dikenakan setelah naga-juban, merupakan kimono utama.
Tabi : kaus kaki yang dipakai ketika mengenakan kimono, biasanya sebetis.
Montsuki dan kinagashi : jenis kimono pria di Jepang.
Dojo : bangunan tempat kompetisi, pertandingan, latihan, serta belajar segala jenis seni bela diri Jepang.
Author's note:
Ah, terima kasih buat para readers yang telah meluangkan waktu membaca fanfic ini. Fic ini projek baru author dalam multichap fic. Dengan rombak sana sini, dan author sebisa mungkin menggunakan bahasa yang lebih baik. Kalau masih ada kesalahan, mohon ralat saya. Kemudian, jangan segan untuk memberi saran atau kritik supaya fic ini bisa lebih baik lagi. Untuk chapter selanjutnya mungkin akan di update beberapa hari setelah UN selesai.
Semoga fic ini bisa menghibur, mengisi waktu luang readers, dan akhir kata,
Mohon reviewnya.
Terima kasih banyak.
Sign,
Kuhaku
