Saat itu, Yifan kecil sedang mengambil bola sepak yang menggelinding nyaris jatuh ke dalam kolam ikan yang dangkal, ketika sepasang iris coklat kemerahannya melihat eksistensi dibalik tirai-tirai jaring yang jendela merah marun tersebut menjeblak terbuka.
Dibaliknya, lelaki kecil itu menyadari bahwa seseorang itu adalah sama sepertinya, yang berumur lebih muda, dan menatap ke luar jendela dengan matanya yang berwarna kelabu pucat dan memandang kosong. Namun, yang membuat Yifan kecil bingung adalah bahwa bibir sosok berwajah manis tersebut bergerak-gerak, seperti mengucapkan kalimat-kalimat entah apa itu dan untuk siapa—sebab setelah Yifan amati sekitarnya, tidak ada seorangpun di ruang rawat itu melainkan sosok itu sendiri.
Yifan kecil tidak mengerti mengapa anak lelaki tersebut melakukannya, melainkan memilih untuk mendekatinya dengan cara melewati bebatuan yang mencuat-cuat dari kolam di dekatnya, sebab yang ia tahu hanyalah bahwa anak lelaki berambut hitam legam tersebut tampak sedang kesepian—dengan sorot matanya yang semakin lama semakin sendu dan seolah sedang merindukan sesuatu atau seseorang.
Perlahan tapi pasti, jarak antara Yifan kecil dan anak lelaki tersebut mulai menipis, dan sayup-sayup dibalik hembusan angin sore yang damai dan nyanyian indah burung-burung yang bertengger di atas pohon sana, Yifan kecil mendengar sebuah suara nyanyian yang merdu dan terdengar menyedihkan—dan itu berasal dari bibir anak lelaki manis yang telah menarik hatinya beberapa menit lalu.
"Sing me with a tiny autumn song, Weep me the melodies of the days gone-by,
Dress my body with all in flowers white, So mortal eyes can see.
"Where have all my memories gone?
Should i roam again up yonder hill?
I can never rest my soul until you call my name, you call my name,
From the heart."
"Hei," suara Yifan kecil begitu sampai di kusen jendela ruang rawat tersebut membuat sang bocah lelaki lantas menghentikan nyanyiannya. Bahkan ia menjerit lirih karena terkejut sekali.
Tubuhnya mengejang sekilas dan air mukanya menegang, lalu sepasang bola matanya yang kelabu pucat bergulir gelisah, dan Yifan kecil tidak tahu kenapa bocah itu menoleh ke segala arah seolah mencari keberadaannya, padahal dirinya tepat beberapa puluh senti dari bocah itu yang sedang duduk di ranjang.
Tetapi Yifan kecil tidak terlalu mempedulikannya, dan memilih untuk menyuarakan apa yang sedari tadi mengganjal hatinya tepat ketika ia mendengar bocah manis itu bernyanyi dengan jelas:
"Kenapa kamu menyanyikan lagu sesedih itu?" tanyanya pilu. "Kamu membuatku ikut bersedih juga."
.
.
A Tale of Two Kid in Hospital © Akai Momo
.
Screenplays!Kristao
.
Yaoi/ Alternative Universe/ Typos
.
I don't own anything, except this storyline
.
Warning!Very-very-very slowly plot!
.
No like, don't read, please
.
.
Sinopsis!: Sepenggal kisah dua anak lelaki di rumah sakit, anak lelaki yang hanya memiliki sisa hidup enam hari lagi dan anak lelaki yang tidak bisa melihat indahnya dunia dan gagal organ dalam karena sisi lain kehidupan yang kejam luar biasa.
9 years old!Yifan and 6 years old!Tao/ Slice of Life - Drama
1] Panggil aku Akai atau Momo.
2] Awalnya ff ini ingin di daftarkan ke KTEvent INA, tapi nggak jadi karena udah lewat deadline-nya. Ah, tidak apa-apa. Mungkin tahun depan aku bisa ikut berpartisipasi.
3] Rnr!please untuk cepat update.
[Tuhan, aku hanya ingin paling tidak menemani sepanjang hidupnya, meskipun kita tidak bisa bersama-sama lagi.]
.
#NowPlaying:
1] Never Leave You Alone © Kajiura Yuki
3] M17 © Kajiura Yuki
4] Kaze no Machi he © Kajiura Yuki
.
.
"A-a-aku," kata bocah itu, setelah sekian puluh detik terjadi keheningan diantara mereka. "i-i-ini bukan lagu menyedihkan, karena ayahku," mata abu-abu pucat itu bergetar-getar, dan Yifan kecil berpikir bahwa bocah itu akan menangis. Tapi tidak, karena setelahnya, bocah itu justru menampilkan eye-smile-nya yang menggemaskan. "karena ayahku selalu menyanyikan lagu itu sebagai pengantar tidur."
"Benarkah?" Yifan kecil merasa sangsi, sebab seingatnya, baik itu sang ayah maupun sang ibu ketika menyanyikan lagu pengantar tidur, melodi lagunya tidak seperti ini melainkan seperti lagu anak-anak yang ceria pada umumnya. "aku tidak percaya, karena ayah dan ibuku tidak begitu walaupun mereka sering sekali menyanyikan lagu pengantar tidur untukku." Bantahnya.
Selanjutnya, Yifan kecil menampakkan air muka bersalah, manakala setelah ia mengatakan apa yang menjadi bantahannya, mata coklat kemerahannya yang berkilau-kilau indah menampilkan ekspresi sedih.
Yifan kecil menyesal telah membuat bocah manis itu demikian, bahkan semakin besarlah rasa bersalahnya, ketika ia menyadari ada jarak canggung yang tebal diantara mereka, dengan anak lelaki bermata panda itu kini terdiam, tidak lagi mengarahkan wajah padanya melainkan sibuk menunduk dengan kedua tangan mungilnya yang memainkan kain selimut beludu berwarna abu-abu hangat. Bibir uniknya yang sedari tadi menjadi objek pandang Yifan kecil kini tertutup rapat, hanya menyisakan gerakan-gerakan tak berarti, bahkan gerakan tersebut tak bersuara.
Maka, untuk menghilangkan rasa bersalah dan kecanggungan diantara keduanya, Yifan kecil berdeham malu-malu setelah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Em," gumamnya sesaat. "ta-ta-tapi, lagu yang dinyanyikan ayahmu sama bagusnya dengan lagu yang dinyanyikan ayah-ibuku, kok, sungguh!"
Kalimat itu berhasil menarik perhatian sang bocah manis, meskipun hanya sebatas lirikan acuh tidak acuh, tetapi setidaknya Yifan kecil senang karena bisa paling tidak mengalihkan perhatian dari rasa sedihnya akan ucapan beberapa menit lalu. Karenanya, kembali ia memancing perhatian lebih banyak dari anak lelaki tersebut, dengan berkata sambil merautkan wajah memohon yang sungguh-sungguh, "jadi, bisakah kamu menyanyikan lagu itu dari awal lagi? Bisakah?"
Jeda sesaat, untuk kemudian, sepenuhnya kembali anak lelaki manis tersebut mengarahkan wajahnya kepada Yifan kecil.
Dan setelah mengangguk samar-samar yang dapat diamati oleh mata jernih anak lelaki bermarga Wu tersebut, bocah manis itu menutup matanya perlahan, menikmati udara segar halaman belakang rumah sakit tempatnya berada, merasakan sensasi damai angin siang menjelang sore yang membelai penuh sayang tubuhnya, dan sedikit demi sedikit, lagu indah yang dilantukan sepenuh jiwa sang penyanyi terdengar menyapa lembut indera pendengaran Yifan kecil.
"In my long forgotten cloistered sleep, you and i were resting close in peace.
Was it just a dreaming of my heart? Now i'm crying, don't know why.
Where do all the tears come from?
Could no one ever dry up this spring?
If you find me crying in the dark,
please call my name from the heart.
"Sing me with a tiny autumn song, Weep me the melodies of the days gone-by,
Dress my body with all in flowers white, So mortal eyes can see.
"Where have all my memories gone?
Should i roam again up yonder hill?
I can never rest my soul until you call my name, you call my name,
From the heart."
"In my long forgotten cloistered sleep,
someone kissed me, whispering words of love.
Is it just a longing my hearts? Such a moment such a peace.
Where do all the tears come from?
With no memories, why should i cry?
I can never rest my soul until, you call my name, you call my name,
You call my name,
Call my soul from the heart."
Aneh sekali, Yifan kecil merasa terhipnotis dengan lagunya, meskipun ia tidak mengerti arti sebenarnya dari lirik lagu tersebut.
Namun, ketika ia selalu-selalu-dan selalu melihat perubahan mimik wajah milik sang anak lelaki manis bermata panda tersebut yang tampak senang dan bahagia—lengkap dengan rona menggemaskan di kedua pipi gembilnya, Yifan kecil pun berkata dalam hati bahwa lagu itu adalah lagu yang cantik, lagu yang indah dan lagu yang penuh kenangan bagi orang yang menyanyikannya—seperti bocah manis tersebut.
Sayang sekali, ayahnya sedang tidak bersamanya saat ini—entahlah, ia tidak mengerti mengapa ayah dan ibunya tidak memanggil-manggil namanya padahal sudah lama ia tidak kembali kepada mereka sedari niat awal untuk mengambil bola sepak.
Mungkin, benaknya berucap, mungkin aku akan membawa ayah kemari lain kali, dan saat itu aku akan merekam lagu cantiknya, dan aku akan meminta ayah untuk membuatkan kotak musik dengan rekaman lagu itu.
Lagu yang menyedihkan tetapi sangat cantik.
Lagu yang cantik tetapi sangat menyedihkan.
Begitu anak lelaki mnais tersebut selesai menyanyikan lagu kesayangannya, Yifan kecil lantas bertepuk tangan dengan meriah sambil berjingkat-jingkat kecil. Kemudian, kepala bersurai coklat madu sang bocah Wu menoleh ke kanan dan ke kiri, dan begitu telah ia pastikan aman, dengan agak kesusahan, Yifan kecil berhasil menyelinap masuk ke dalam ruang dimana sang bocah bermata panda dirawat.
Bunyi Bruk! keras yang cukup menggema ke sudut-sudut ruangan, membuat sang bocah manis terkesiap, lalu mundur menghantamkan punggung sempitnya pada headbed sambil mengamankan diri dibalik selimutnya, bahkan kepalanya kembali menoleh ke kanan dan ke kiri untuk mencari sumber suara berasal dengan mata bergetar-getar penuh kewaspadaan.
Yifan kecil yang melihat respon itu tertawa tanpa suara, lalu berjingkat-jingkat selayaknya maling rumah untuk mendekati ranjang, dan begitu ia sampai dekat dengan sang bocah manis, tanpa ragu-ragu Yufan kecil menarik kedua tangannya yang mungil, untuk ia bawa ke dalam dekapan lembut tubuhnya.
Semula, bocah lelaki itu menegangkan tubuhnya, bahkan merasa asing dengan wangi maskulin khas anak-anak yang menyapa indera penciumannya. Matanya yang sipit dibalik helai-helainya yang hitam kelam membola hebat, dan hampir-hampir ia akan berteriak histeris meminta tolong jikalau ia tidak mendengar suara anak kecil yang berbisik polos padanya:
"Suara kamu bagus." Puji Yifan kecil. "Karena kamu mau menyanyikan ulang lagunya, maka aku akan memberimu hadiah!" ucapnya senang sekali. "Hadiahnya adalah pelukan sayangku ini," sebuah usapan lembut tercipta di punggung sempit sang bocah bermata mata. Membuat bocah itu menggeliatkan tubuhnya dalam dekapan Yifan kecil, hingga tubuh mereka berdua rapat sekali. "dan ciuman sayangku ini."
Bocah lelaki dalam dekapan Yifan kecil kembali membulatkan matanya yang sipit, manakala ia merasakan kecupan ringan nan polos namun penuh rasa kasih sayang menyapa pipi kanannya, membuatnya merona dan mendengar tawa milik lelaki kecil yang mengecupnya.
"Kamu manis sekali. Aku bahkan tidak tahu apakah kamu ini laki-laki sepertiku atau bukan." Yifan kecil sangat pintar berbicara, mungkin itu karena ia selalu mendengar bujuk rayu sang ayah untuk ibunya ketika mereka berdua berdebat.
"A-a-aku laki-laki." Sanggah bocah manis tersebut. Wajahnya mengeruh mendengar pernyataan yang membuatnya seolah dilecehkan seperti itu. Tetapi kemudian, ketika ia mendengar pujian yang diucapkan di awal peryataan, membuatnya malu dan menyembunyikan wajahnya ke dalam dekapan sang bocah Wu. "Tetapi aku senang dibilang manis. Terima kasih."
Senyum lebar terpahat di wajah rupawan Yifan kecil.
"Sama-sama." Balasnya. "Jadilah temanku, mau ya?"
Jeda sesaat diantara mereka, dan Yifan kecil was-was menunggu jawaban dari tawarannya. Namun ia berjingkat-jingkat senang sekali tatkala merasakan gerakan kepala dalam dekapannnya, sekaligus mendengarkan jawaban bersuara samar dari sang bocah manis.
"Iya, aku mau."
.
.
(Bersambung)
