I don't own the characters. Copyright: Mangaka Eyeshield 21

Original artwork of cover book is not mine. Just modified it.

DiyaRi De present : Why Did You Kiss Me?

.

.

Cerita ini hanya fiksi belaka. Kalau ada segala jenis ke-LEBAY-an, semuanya karena imajinasi dari penulis saja.

.

Chapter 1

.

.

Mamori berlari sekuat tenaga di lorong kampusnya berharap dia sudah tidak diikuti lagi. Dia berbelok ke ruang kelas kosong lalu menutup pintunya. Mamori mengambil napas terengah-engah. Dia lalu merogoh tasnya dan mengambil ikat rambut lalu menguncir kuda rambutnya.

Dia kelelahan. Seharusnya kalau sore begini dia sudah ke ruang klub untuk latihan. Namun saat dia hendak keluar gedung, satu dari gerombolan tiga orang laki-laki melihat ke arahnya. Mamori tentu tahu siapa mereka. Mamori yang juga menyadari mereka lebih dulu, menghentikan langkahnya di tangga dan bergegas kembali naik ke lantai tiga, sambil berharap mereka tidak tahu lantai berapa Mamori bersembunyi. Mamori jadi mengerti kenapa orang-orang di film horor yang pernah dia tonton, bukannya berlari ke tempat terang atau ramai, tapi mereka malah berlari ke tempat sepi dan saat dikejar hantu atau semacamnya. Itu karena otak mereka tidak bisa berpikir jernih. Yang dipikirkannya hanya bagaimana bisa sembunyi dan menyelamatkan diri.

Tapi saat ini Mamori bukan sedang dikejar hantu ataupun penjahat. Dia hanya sedang dikejar-kejar para lelaki yang ingin memberikannya cokelat, bunga, atau segala macam hadiah lainnya. Mungkin terdengar sombong, tapi percayalah, Mamori sudah menerima setumpuk hadiah dari pagi ini. Banyak dari mereka yang menitipkannya kepada teman dekat Mamori atau orang yang kebetulan sekelas dengannya pada hari ini. Saat tidak ada tempat lagi di tasnya, dia lalu hendak menaruhnya di loker ruang klub. Ketika sampai disana Mamori terperanjat dengan tumpukan kado di depan pintu ruang klub. Untungnya semua itu bukan hanya untuknya, sebagian besar untuk anggota klub dan untuk Mamori hanya terselip beberapa kado. Walau begitu, lagi-lagi Mamorilah yang harus mengurus dan membereskan itu semua.

Hari menjelang valentine seperti ini memang merepotkan. Beginilah resikonya kalau menjadi manager di klub yang berisikan laki-laki semua. Anggota klubnya tidak mungkin mau mengurus urusan seperti ini, jadi Mamori lah yang merapikan semua lalu memilahnya sesuai nama mereka dan memasukkan ke loker mereka masing-masing. Dari dua tahun terakhir, yang banyak mendapat cokelat ialah Yamato dan Agon yang disaingi oleh Taka dan Akaba. Hampir semua pemain mendapatkan cokelat, sampai Mamori heran ada juga yang berani memberikannya untuk Kapten iblis mereka.

"Bukannya kau yang seharusnya memberikan mereka cokelat, heh, manager sialan?"

Mamori terhenyak kaget dan menengok ke asal suara. "Hiruma! Kau membuat jantungku copot!" teriaknya. Walaupun sama sekali tidak bisa dibilang teriak karena dia sedang sembunyi saat ini.

Hiruma hanya membalas menyeringai.

"Kenapa kamu bisa ada disini?" tanyanya masih berbisik.

"Pertanyaan konyol macam apa itu."

Mamori lalu menghampiri Hiruma yang duduk di meja paling depan samping jendela sambil membersihkan senapannya. Aroma mint dari permen karet selalu melekat padanya dan Mamori sudah terbiasa dengan itu setiap kali dia berada di dekat Hiruma. "Apa yang kau lakukan disini? Kau mengikuti?" tanya Mamori sudah tidak berbisik lagi setibanya dia di depan Hiruma.

"Kau mimpi, heh? Untuk apa aku mengikutimu. Ini tempat umum. Aku bebas kemana pun yang aku mau. Dan aku duluan yang menempati tempat sialan ini sebelum kau datang, bodoh."

"Aku tahu. Tapi ini bukan gedung kuliahmu. Jadi untuk apa kamu kesini?" tuntut Mamori.

"Kau berani bayar berapa kalau mau tahu jawabannya?"

"Sudahlah. Lupakan," balas Mamori. Dia lalu menatap curiga ke Hiruma. "Kamu 'kan seharusnya latihan sekarang."

"Kau juga seharusnya mengurus anak-anak sialan itu, bukannya malah kabur dari penggemar gilamu."

"Aku mau kesana tadi," sahut Mamori. "Tapi tidak jadi karena ada mereka."

.

.

Tiga orang laki-laki tiba di lantai dua. Mereka semua terlihat kebingungan untuk memilih ke kiri atau ke kanan lorong ruangan.

"Kita berpencar," usul laki-laki satu.

"Oke. Aku akan ke kiri," balas laki-laki dua.

"Jangan. Kalau berpencar, nanti orang yang berhasil menemukan Anezaki-san pasti curang," sela laki-laki tiga.

"Benar juga," balas laki-laki dua lagi.

"Tapi ruang kelas ada banyak. Yang benar saja," sahut laki-laki satu masih tetap berpegang pada idenya untuk berpencar.

"Kalau begitu kita periksa satu-satu." Akhirnya laki-laki dua membulatkan suara mereka.

Keduanya lalu mengangguk setuju, "Oke."

.

.

"Coba lihat di bawah sana, bodoh," sahut Hiruma.

Mamori lalu mengamati ke luar jendela. "Kemana?"

"Lihat yang benar! Kesana! Ke lapangan sialan itu."

Mamori lalu melihat lapangan. "Aku baru sadar dari sini kelihatan lapangan Amefuto."

Hiruma berdecak tidak percaya.

Mamori lalu mengangguk-angguk dan mengerti apa maksud Hiruma. "Jadi kau kalau mendadak hilang saat latihan selalu diam-diam mengamati mereka dari atas sini?" tanya Mamori menatap tidak percaya Hiruma. "Berarti sama saja kau bolos dari latihan."

"Bukan," balasnya kejam. "Dari atas sini aku bisa melihat mereka semua dengan jelas."

"Bagaimana bisa jelas... Jarak dari sini saja lebih dari dua puluh meter," sahut Mamori.

"Kau meremehkanku, heh, manager sialan?" pelotot Hiruma.

"Memang benar kan?"

Hiruma tambah geram. "Aku bahkan bisa lihat dalam jarak setengah kilo sekali pun!"

Mamori menatap meledek. "Mana ada yang seperti itu."

"Kau...!"

"Oh! Agon-san juga datang," timpal Mamori mengabaikan gerutuan Hiruma. Dia lalu menoleh dan tersenyum. Sesaat itu juga dia langsung teringat sesuatu dan merogoh ke dalam tasnya. "Untukmu."

Hiruma melihat ke benda yang disodorkan Mamori kepadanya. "Sudah berkali-kali kubilang aku tidak butuh benda manis sialan itu," sahutnya sambil menunjuk-nunjuk benda persegi panjang yang dibungkus kertas kado hijau dengan pita merah.

"Apa sih? Aku sudah repot-repot membuatkan yang beda sendiri untukmu. Dan ini tidak terlalu manis. Aku bisa jamin."

Hiruma mencibir. "Kepalamu. Tahun kemarin kau membuatnya manis."

Mamori tidak jadi marah lantaran dia tahu bahwa cokelat tahun kemarin yang dia buat, ternyata dimakan juga oleh Hiruma. "Itu karena aku pakai cokelat yang beda. Aku tidak menyangka akan lebih manis. Nah, kalau yang ini juga beda. Ini cokelat khusus ditambah dengan resep rahasiaku. Kau pasti suka dengan rasanya," jawabnya tersenyum lalu memasukkan sendiri cokelat itu ke tas Hiruma.

"Keh. Cepat kita kesana. Nanti mereka malah santai-santai mengira aku tidak datang." Hiruma lalu turun dari meja.

"Tunggu. Bagaimana denganku?" tanya Mamori.

"Tentu saja kau juga ikut, bodoh."

"Tapi mereka masih mencariku."

.

.

"Kau menemukannya?" tanya laki-laki satu. Mereka bertiga sudah kembali berkumpul di tangga lantai dua.

"Tidak ada. Kau benar tidak menemukannya kan di ujung kelas sana?" tanya laki-laki dua dengan curiga kepada laki-laki tiga.

"Tidak ada. Aku tidak mungkin membohongi kalian. Kau sendiri lihat kalau aku hanya mencari dari pintu saja."

"Mungkin dia bersembunyi di dalam?" tanyanya lagi.

"Tidak mungkin. Disana tidak ada tempat untuk bersembunyi," jawabnya.

"Bagaimana kalau kita tunggu di tempat latihannya saja?" usul laki-laki satu.

"Kau gila!" sahut laki-laki tiga. "Kau mau dibunuh si iblis itu?"

"Memang si iblis itu menyukai Anezaki-san?" tanya laki-laki dua.

"Bukannya suka. Tapi tidak ada yang berani mendekati ruang klub neraka itu selama ada iblis itu. Makanya sial sekali kita tidak sempat menaruh kado ini di depan ruang klub tadi pagi sebelum iblis itu datang."

"Sialnya seharian ini Anezaki-san sulit sekali ditemui," sahut laki-laki satu.

"Kenapa tidak kita titip saja ke anggota klub yang lain?" usul laki-laki dua.

"Ke mereka? Kau serius?" balas laki-laki tiga.

"Kenapa memang?"

Laki-laki tiga menghela napas. "Di antara mereka, mungkin yang mau membantu kita cuma si Yamato. Kalau yang lainnya. Entahlah..."

"Yang jelas kita tidak mungkin menitipkannya ke Kongo itu," timpal laki-laki satu.

Laki-laki tiga ikut mengangguk setuju. "Kalau Honjo juga. Dia orangnya tidak suka direpotkan. Dia tidak mungkin mau."

"Bagaimana dengan Hosokawa?"

"Jangan. Dia suka juga dengan Anezaki-san. Dia tentu tidak akan mau," jawab laki-laki satu.

"Akaba juga sulit sekali ditemukan," lanjut laki-laki tiga.

Laki-laki dua lalu menghela napas kecewa. "Kalau begitu kita cari saja ke lantai tiga," usulnya pasrah.

.

.

Setelah membereskan tasnya, Hiruma kembali menoleh ke Mamori yang masih berdiri di tempatnya. "Kenapa diam saja bodoh? mau ikut atau tidak?" tanya Hiruma. Dia lalu membuka pintu dan menunggu Mamori.

"Tapi," sahut Mamori bimbang perlahan mendekat ke pintu.

Hiruma melihat ke ujung lorong. "Heh, Mereka kesini. Tiga orang itu kan?" Hiruma lalu kembali masuk dan menutup pintunya.

"Apa!?" kagetnya panik.

"Aku punya ide yang lebih bagus," sahut Hiruma. Dia lalu menarik tangan Mamori. "Kau siap?" tanyanya sambil menyeringai. Dia lalu meletakkan senapan dan tasnya kembali ke atas meja.

"Siap untuk apa?" tanya Mamori bingung bercampur panik.

Tiba-tiba Hiruma menarik Mamori ke dalam pelukannya sehingga membuatnya kaget.

"Apa yang kau lakukan!?" tanya Mamori. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Dia sudah sering berada di dekat Hiruma. Tapi kalau sedekat ini, Mamori sama sekali tidak tahu bagaimana harus mengendalikan detak jantungnya yang berdegup kencang seperti ini.

"Aku akan menolongmu dengan gratis. Kau mau tidak?"

Mamori menatap bingung. Dia tidak yakin dia paham dengan apa yang dikatakan Hiruma sementara pikirannya masih berkelana pada tangan Hiruma yang melingkari pinggangnya. "Apa yang mau kau lakukan?" tanyanya lagi.

"Saat pintu sialan itu terbuka, kita akan pura-pura baru saja selesai berciuman. Sekarang taruh tangan sialan itu ke belakang leherku."

"Kau gila!"

"Sudah aku bilang ini ide gila. Kau mau aku menolongmu atau tidak, heh?"

Suara derap langkah kaki semakin mendekat. Mamori tidak tahu lagi apa yang harus dilakukan. Kalau mengikuti ide gila Hiruma, mungkin para lelaki itu akan berhenti mengejar-ngejar Mamori lagi. Tapi tetap saja ini ide gila. Walaupun berhasil, pasti resikonya sangat besar.

Kepanikan Mamori semakin menjadi saat pintu digeser. Tanpa pikir panjang lagi, dia lalu dengan cepat melingkarkan tangannya ke leher Hiruma. Saking cepatnya, ide gila mereka malah hancur berantakan.

Hiruma tersentak saat bibir Mamori tiba-tiba menubruknya. Mereka berdua sama-sama kaget dengan apa yang terjadi. Di luar kendali Hiruma, tangannya yang bebas meraih ke pipi Mamori, sementara bibirnya perlahan mencium lebih dalam dan enggan untuk melepaskannya. Sementara Mamori sendiri, tanpa disandarinya, juga ikut terhanyut dalam ciuman mereka dan berjinjit untuk memeluk Hiruma lebih erat. Mereka berdua terhanyut dan sama sekali lupa dengan penonton mereka yang melongo dan menatap tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

.

.

Setelah beberapa menit, Mamori melepaskan ciuman mereka dan menarik napas perlahan. "Kenapa kau menciumku?" tanyanya pelan sambil mengatur napasnya kembali.

"Apa?" Hiruma dengan pikirannya yang masih campur aduk berusaha untuk mengambil napas. "Kau duluan yang menciumku, bodoh."

"Bukan aku. Tapi kamu duluan yang...," Mamori berhenti sambil memikirkan kata-kata yang tepat. "Benar-benar menciumku," lanjutnya, menahan rona merah di wajahnya.

"Lalu kenapa juga kau malah balik menciumku?"

Mamori memutar bola matanya bingung mencari jawaban. Dia lalu menengok ke pintu yang terbuka dan melihat sudah tidak ada siapapun disana. "Mereka tidak ada," sahutnya mengalihkan perhatian dan melepaskan rangkulannya dari leher Hiruma.

Hiruma lalu melepaskan tangannya dari Mamori dan berjalan mengambil senapannya kembali. "Ayo. Masalah sialanmu sudah selesai. Jadi cepat kita latihan."

Tanpa kata-kata, Mamori lalu mengikuti Hiruma keluar dan berjalan menyusuri lorong. Dalam langkahnya, dia masih juga terbayang dengan ciuman mereka tadi. Bagaimana Hiruma mendekap tubuhnya supaya lebih dekat dan menopangnya sedemikian rupa agar dirinya tidak terlepas dari Hiruma. Tangan Hiruma di pipi Mamori masih bisa dirasakannya dan saat ini mulutnya juga merasakan rasa permen karet mint yang berasal dari Hiruma. Mamori sama sekali tidak pernah membayangkan dirinya akan berciuman dengan Hiruma. Laki-laki pertama yang menciumnya dan tidak pernah sedikit pun terlintas bahkan dalam imajinasinya sendiri.

"Sudah berapa laki-laki yang pernah kau cium, heh?" tanya Hiruma tiba-tiba. "Kau menciumku seperti sudah sering melakukannya."

Mamori mendongak menatap punggung Hiruma di depannya. "Apa?" sahutnya walau dia mendengar apa yang dikatakan oleh Hiruma. "Itu bukan urusanmu," lanjutnya lagi. "Dan aku tidak menciummu. Kau yang menciumku Hiruma. Dan jangan berkata seolah aku perempuan murahan."

Hiruma berhenti dan menoleh ke belakang.

"Apa?" tantang Mamori.

"Kau brengsek," geramnya lalu kembali lurus melanjutkan jalannya.

"Jaga ucapanmu Hiruma," balasnya sambil menyamakan jalannya di sebelah Hiruma. "Aku sudah cukup mendengarmu berkata sialan atau semacamnya. Tapi untuk yang satu itu, terlebih itu ditujukan padaku, aku sama sekali tidak bisa menerimanya."

"Jadi kau mau apa, heh?" tatapnya singkat ke Mamori. Dia lalu mempercepat langkahnya sehingga Mamori tidak bisa menyamainya.

"Tunggu aku," sahut Mamori.

Hiruma tidak memedulikan Mamori dan tetap melanjutkan langkah cepatnya sementara Mamori menggerutu di belakangnya. Dan mereka tidak akan pernah menyangka kalau badai yang lebih besar akan segera menghampiri mereka.

.

.

To Be Continue

.

.

Catatan Kecil:

Okey... Hai~! Berhubung beberapa hari yang lalu lebaran, sebelumnya saya mau mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri, mohon maaf lahir dan batin semuanyaa ~~ Semoga kita bisa menjadi diri sendiri yang lebih baik dan dihapuskan segala dosa yang telah lalu. Aamiin

Nah.. Saya harap, chapter ini bisa jadi permulaan yang bagus. Berhubung ini cerita saya yang ke 9, saya berusaha untuk tidak bikin cerita yang monoton. Karena itu, saya akan membuat fic ini jadi cerita yang tidak biasa. Bukan cerita biasa~ (#eeaa) Bisa ga ya?

Kalian tahu apa yang paling sulit? Pertama mencari judul, kedua bikin summary! Karena keduanya itulah modal awal agar membuat pembaca tertarik membaca cerita saya. Nah karena mereka berdua itu pula, yang jadi penghambat saya untuk cepat upload cerita baru walaupun sudah saya buat lama sebelumnya. Dimaapin yaaa... XD

Dan lagi-lagi soal genre. Fic ini saya beri genre Romance/Comedy. Tapi sebenarnya saya kurang yakin kalau saya bisa bikin comedy. Menurut kalian, apa selama ini fic yang saya buat itu termasuk kategori lucu atau tidak? Atau sedih2an terus?

Nah.. Untuk pembaca setia semuanya, selamat membaca~~! Dan jangan lupa...

Write something in the box?

Salam: De (lagi-lagi ini bukan catatan kecil)