A/N : Baiklah, karena saya gak bisa abaikan request ini karena saya juga punya niat yang sama. Jadi saya bikinlah fic rating M, pertama kali nulis lemon, jadi kalau ada yang kurang mohon kasih tau ya.

Tanpa basa-basi, happy reading!

Disclaimer : Samurai Warriors belongs to KOEI. OCs and story plot belongs to me. Kimura Siblings belongs to RosyMiranto18. Cover belongs to me.

Warning / Contains : Chapter yang isinya masing-masing lebih dari 8k, dua kali lipat dari biasanya. Tōdō Takatora x OC (Shiraishi Suzu) LEMON! Gore di Part II (gak gitu gore sih), OOC yang mungkin tidak disengaja atau sengaja demi alur cerita, sering typo, diksi yang tidak baku, suram dan abal alias amburadul. Ada beberapa dialog yang menggunakan bahasa jepang. DON'T LIKE DON'T READ NO FLAMES. REVIEW PLEASE! Disarankan untuk membaca terlebih dahulu Bell of the White Hare sebelum membaca yang ini!

-XoX-

Bell of the White Hare

Secret Chapter

-xxx-

CHAPTER 10 C

Part I

Light from a Dead Star

ーーー

静けさから歩き出す

まだ見ぬ愛の景色へ

この痛みを信じたいの

夜を越えて

貴方が触れた胸に

優しい傷が一つ

隠していた涙が

紅に零れ落ちて

冷たい肌の上に

やっと灯した花びら

私がここにいる

さいわいを歌うよ

もう夢も終わる

星くずが消える頃

ねえ、生きていると分かるほど

抱きしめて

ーーー

XoX

"...Apa aku tidak bisa untuk mencintai Tuan?"

Hening serta angin sepoi berhembus lembut seketika menyambut kedua belah pihak. Sepasang manik biru laut itu membulat sempurna ketika mendengar pengakuannya, kemudian pria itu menurunkan mata.

Akhirnya dia telah mengatakannya. Untaian kata yang ingin Takatora keluarkan dari hatinya yang hendak meledak. Untaian kata yang antara ingin atau tidak ingin Takatora dengarkan. Ingin ia katakan namun tak bisa ia katakan. Karena itu hanyalah perkataan yang bisa menghancurkan segalanya.

Ia sama sekali tak salah dengar berkat keheningan dan kesunyian yang menyambut malam. Angin musim panas yang berhembus lembut membawa untaian kata gadis itu ke sepasang telinganya.

Suzu mencengkram erat dadanya yang sudah terasa sesak dan berat. Tak dapat berhenti bergemetar oleh isakan kesedihannya. Ia tetap menurunkan kepala, tak sanggup untuk memandang wajah Takatora. Hanya bisa memejamkan mata dengan rapat demi menahan air mata yang hendak kembali menetes dari kelopak matanya.

Suzu mencintainya.

Itu sudah menjadi bukti yang kuat bahwa ia tak ingin jauh darinya. Untuk hidup bahagia bersama layaknya sebuah dongeng adalah mimpi yang ingin ia raih.

Namun mimpi tetaplah mimpi, takkan pernah menjadi kenyataan. Takatora sangat sadar akan hal itu. Jika Suzu mengatakan bahwa mimpi itu bisa menjadi kenyataan, jawaban Takatora adalah mustahil. Baginya, kebahagiaan yang diberikan dan memberikan kebahagiaan untuknya sangat mustahil.

"Kau harus melupakan itu," ucap Takatora sembari melepas cengkraman sebelah tangan Suzu pada jubahnya dengan perlahan.

Sepasang mata Suzu terbuka lebar seketika, menengadahkan wajahnya untuk kembali menatap pria itu. Meminta sebuah jawaban dari pertanyaan yang berkumpul lewat sorot matanya. Takatora telah menduga air muka yang terukir jelas pada wajah manisnya. Ia memiliki alasan yang akan ia buktikan pada Suzu. "Kenapa...?"

"Sudah kubilang, bukan? Kau takkan mungkin bisa menemukan kebahagiaan yang kau cari."

Suzu menggeleng kencang dan menahan tangan besar Takatora dengan kedua tangannya.

Sepasang alis pria itu menyempit begitu Suzu masih bersikeras. "...Suzu. Jangan membuatku mengatakannya. Apa kau tidak mengerti? Alasan mengapa Oichi-sama telah pergi, Nagamasa-sama dan bibimu, adalah karena ketidakberdayaanku. Jika kau tetap bersamaku, aku akan menjadi penyebab kematianmu."

Suzu tak menjawab, ia mengeratkan genggaman tangannya. Itukah alasan Takatora? Apakah dia serius ingin Suzu melupakan perasaannya itu?

"Coba kau pikirkan, aku adalah pria yang tidak tahu apa arti kesetiaan yang sesungguhnya. Melayani sang tuan hingga akhir yang seharusnya seorang prajurit penuhi meski harus mempertaruhkan nyawa adalah kesetiaan. Mereka tak mengakui keberadaanku. Suatu saat, mungkin aku akan pergi meninggalkanmu. Kau adalah keluarga bagi Hashiba. Sedangkan aku hanyalah prajurit yang tak paham arti kesetiaan. Dengan aku meninggalkanmu, semua yang kau berikan padaku dan yang kuberikan padamu akan sia-sia."

Suzu masih tak menjawab. Hanya mendengar masa depan yang akan terukir pada takdir mereka berdua lewat mulut pria yang ia cintai itu.

"Jika tanganku terselip sedikit saja, mungkin kau takkan bisa bertahan hidup. Bahkan tak ada jaminan apakah kau atau aku masih bisa bernapas esok hari. Ketidakmampuan dan ketidakberdayaanku akan mempertaruhkan nyawa kita berdua. Jika aku tak dapat menyelamatkanmu, apakah aku masih pantas menerima cintamu...!?" Takatora berusaha mempertahankan nada suaranya yang hampir membuat Suzu ketakutan. Gadis itu melepas genggamannya.

"T-Tapi... aku tetap... tidak mau meninggalkan Tuan."

Takatora menggertakkan gigi, mengepalkan tangannya lalu memukul lantai kayu roka dengan keras. Suzu tersentak kaget. Untuk apa dia bersikeras untuk tetap bersamanya jika masa depan gadis itu hanyalah kekosongan? Segala emosi pria itu akhirnya meledak.

"Aku mengatakan ini demi dirimu, Suzu! Aku ingin kau tetap hidup, tanpa diriku pun kau pasti bisa bahagia. Kau tahu semuanya akan percuma jika aku terus berusaha melindungimu! Selalu ada pengecualian untuk segalanya! Nagamasa-sama, Oichi-sama dan bibimu, kau akan berakhir seperti mereka! Apa tidak masalah bagimu!?"

Kedua tangan mungil Suzu berpindah mencengkram kimono merah gelapnya. Tubuhnya bergemetar dan ia terlalu takut untuk memandang Takatora. "Jika aku mati demi Takatora-san, itu tak apa. Aku tetap bahagia asalkan Tuan tetap bertahan hidup..."

Takatora mengepalkan tangannya. "Tidak apa, katamu? Apa maksudmu?! Jangan bercanda!" Tangannya mencengkram kedua bahu Suzu dengan kuat. "Bagaimana dengan diriku!? Aku tak mungkin bisa menerima jika kau akan mati hanya demi diriku yang tidak berdaya!"

"T-Takatora-san...!" Suzu menjerit ketakutan, ia menutup wajahnya dengan kepalan tangannya.

"Kau pikir sudah berapa nyawa yang melayang akibat ketidakmampuanku!? Mereka yang sangat berharga bagiku, secara bergantian pergi meninggalkanku begitu saja." Takatora mendengus getir. "'Demi diriku', kau bilang? Kau mencintaiku tapi kau sama sekali tidak mencintai dirimu sendiri! Cinta tak semudah itu...!"

Suzu hanya bisa terpaku bergemetar mendengar teriakan yang terlepas oleh pria yang dihadapannya. Sepasang matanya kembali basah akan air matanya.

Dia tak akan bisa mencintainya sampai kapanpun.

"Kita tak memiliki penyelamat hidup, harapan takkan terkabulkan dan doa takkan tersampaikan. Meski kau mengatakan bahwa kau mencintaiku. Tetapi kau tak memiliki harapan pada dirimu sendiri! Buktinya kau sama sekali tak bersedih saat kau mengatakan kau rela mengorbankan nyawamu demi kebodohanku. Yang benar saja...! Kita berdua tak memiliki masa depan yang pasti!"

Napas Suzu bergetar, ia masih menutup wajanya dengan kedua tangan. Melihat gadis itu tak dapat menjawab apapun dan hanya bisa menangis, Takatora berusaha menenangkan diri, lalu memindahkan genggamannya pada pergelangan tangan Suzu dengan lembut. Memintanya untuk berkontak mata. Biru bertemu dengan merah, pandangan pria itu terkunci melihat linangan air mata yang membasahi pipinya.

"Maafkan aku." Kini lantunan nadanya berubah lembut namun terisi penuh penyesalan. "Hanya ini jalan yang bisa kau tempuh agar kau tidak menderita. Jika ada cara lain agar aku bisa menyelamatkanmu, aku bisa terus mencintaimu. Tapi jalan itu tak pernah ada. Karena itu kau tak mungkin bisa mencintaiku. Dan aku tak mungkin bisa mencintaimu. Ini adalah permintaan terakhirku padamu, Suzu. Demi diriku, demi dirimu dan demi takdir kita berdua."

Lagi-lagi, pancaran cahaya pada manik merahnya sirna, sorot mata yang kosong penuh kesengsaraan. Suzu dengan lemah melepas genggaman pria itu pada pergelangan tangannya.

"Um, aku mengerti... Kurasa memang inilah waktunya untuk berpisah." Seulas senyuman sedih mengembang pada bibirnya yang tipis.

Ah, padahal ia sudah siap untuk mendengarkan ucapan selamat tinggal darinya. Namun tetap saja menyakitkan. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan. Takatora takkan pernah bisa menarik kembali waktu dan perkataannya. Suzu mengerti bahwa Takatora melakukan hal yang baik demi dirinya, selalu. Namun Takatora menyadari bahwa perkataannya baru saja bermaksud untuk menyingkirkan Suzu dari kehidupannya.

Namun ketika melihat senyumannya, Takatora tahu betul bagaimana kepribadian gadis itu. Selalu mengiyakan apapun yang menurutnya benar. Jika Takatora tak ingin dirinya menderita, maka ia harus melupakan segalanya.

Segalanya yang ia tahu tentang pria itu.

Demi Takatora, pria yang ia cintai, ia mau melakukan apapun demi dirinya.

Karena, mana yang benar dan mana yang salah. Dan mana yang baik dan mana yang buruk.

Tak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu.

"Sebesar itukah perasaanmu padaku...?" bisik Takatora.

Pria itu kembali menangkap pergelangan Suzu. "Tuan-?" Suzu belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena dalam sepersekian detik kemudian Takatora telah menekan bibirnya pada bibir lembut milik gadis itu.

Itu adalah kecupan pertama kali yang Suzu rasakan. Kepalanya sampai terantuk pada dinding karena dorongan Takatora begitu kuat. Ia memindahkan tangannya menuju belakang kepala Suzu, menahannya agar ia tak dapat melawan dan memutuskan ciuman. Sedangkan tangannya yang bebas mengusap punggungnya. Merasa belum cukup, dia menjilat bagian bawah bibir Suzu sebelum menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Suzu.

Tubuh gadis itu seolah-olah seperti terkena sambaran petir, seluruh tubuhnya mulai melemah dan bergemetar akan setiap kontaknya. Suzu yang tak tahu bagaimana merespon hanya bisa mendesah dan mencengkram jubah biru Takatora.

Tidak berhenti sampai di situ, bibir Takatora menjamah leher kurus Suzu, memberi tanda pada kulitnya.

"T-Takatora-san...!" pekik gadis itu pelan sembari menguatkan cengkraman.

Kepalanya memanas namun jemarinya terasa dingin, degup jantungnya terpompa kencang. Begitu ketakutan dan bertanya-tanya apa yang telah membuat Takatora melakukan hal seperti ini.

Tetapi tetap saja, Takatora tak bisa menahan lebih lama. Segala emosi yang ia simpan sudah tak bisa dipertahankan, dadanya sudah terasa berat dan sesak. Hasrat untuk mengisi relung di dalam diri Takatora kelak, telah menguasai akal sehatnya.

Hanya memikirkan kenyataan bahwa Suzu mencintainya.

Sedangkan dirinya tak dapat mencintainya.

Apakah ada balasan yang bisa ia lakukan untuknya?

Takatora pun memutuskan kecupan lalu menatap Suzu dengan lekat, masih menahan tubuh mungil gadis itu. "Maaf, aku tahu ini terdengar egois. Tetapi biarkan aku melakukannya. Setidaknya sebelum kau pergi, aku ingin lebih mendekatkan diri padamu." Suaranya berbisik, Suzu yang masih merasa sekujur tubuhnya meleleh, belum bisa menjawab. Tak hanya itu, ini pertama kalinya ia melihat raut wajah Takatora yang memancarkan hasrat untuk memiliki dirinya.

Malam ini, sudah banyak hal yang belum pernah ia ketahui tentang pria itu, semuanya baru untuknya. Namun tak lama lagi, ia takkan melihat semua itu di masa yang akan datang.

Di saat akhirnya pria itu melepas jalinan tangan dengan gadis itu.

Di saat akhirnya pria itu melepas pandangan pada gadis itu.

Dan di saat pria itu berjalan menjauh tak akan terlihat lagi oleh gadis itu.

Semua, ikatan mereka takkan bisa tersambung dan akan berakhir.

Setelah menarik napas untuk mengatur ketidakteraturan detak jantungnya, Suzu hanya tersenyum, memberinya jawaban untuk melakukan apa yang ia inginkan. Takatora terpana, terperangah lantaran tak menyangka Suzu akan menerimanya.

"...Kenapa kau tidak menghentikanku?"

"...Karena ini pertama kalinya aku bisa mengabulkan permintaan Tuan. Apapun caranya aku ingin melakukannya demi Tuan. Untuk pertama dan terakhir kalinya..." lirihnya.

"...Apakah tidak masalah bagimu jika orang itu adalah aku?"

"Justru karena Takatora-san, aku tidak menginginkan orang lain selain Tuan." Suzu meraih wajah Takatora dengan kedua tangan kecilnya. "Karena aku sangat mencintai Takatora-san..."

"..." Takatora terdiam, pandangannya seolah-olah tenggelam pada iris merah berkilauan pada matanya yang indah. Namun dirinya telah tenggelam terlalu dalam oleh kasih sayang gadis itu.

Dia lalu menopang tubuh mungil itu di punggung dan kakinya kemudian menggendong Suzu masuk ke dalam kamar, lalu membaringkannya diatas futon. Ia telah menutup rapat pintu kamar, membiarkan jendela terbuka namun tirai ditutup. Membiarkan angin malam menyusup masuk ke dalam kamar.

"Anu... Takatora-san...?" Suzu mengedipkan matanya kebingungan. Belum sempat ia bergerak, Takatora menumpukan lengan disamping kepala Suzu, menjebaknya dari dua sisi.

"Jangan bergerak," tegasnya. Kemudian sebelah tangannya bergerak keatas menyentuh pinggang, membuka obi Suzu. Ia menurunkan kepala untuk kembali menjamah leher Suzu. Perlahan menenggelamkan wajahnya di pundak Suzu demi merasakan kehangatan serta aroma manisnya.

"E-eh? Takatora-san... Obi-ku, kenapa...?" desah Suzu mulai panik, ia menahan lengan Takatora yang hendak melepas obi-nya. Jarak mereka yang begitu dekat seakan dirinya terkurung berkat tubuh Suzu yang lebih kecil dari Takatora.

"Ketika aku menginginkan sesuatu, akan sulit bagiku untuk berhenti. Kau sendiri mengatakan kalau tidak akan menghentikanku." Setelah melepas obi-nya dan kimono-nya mulai longgar, tangannya bergerak meraih wajah Suzu. "Tutup matamu..."

Dengan ragu-ragu, ia memejamkan rapat matanya sembari menahan ujung lengan kimono-nya dengan erat. Tak sempat bertanya 'mengapa' ia harus menurutinya. Merasa jarak wajah mereka begitu dekat, ia terlalu takut untuk melawan. Tak hanya itu, aroma serta napasnya yang menyapu kulit wajah Suzu membuat seluruh tubuhnya meleleh. Entah apa yang akan dia lakukan, Suzu sama sekali tak tahu.

Pria itu memandang wajahnya sejenak. Jika dilihat dari dekat kemolekan wajahnya, itu sudah cukup menyesakkan napasnya. Tubuhnya yang jauh lebih kecil, juga rapuh, dengan kulit putih merona yang hampir menandingi pualam, pipinya kemerahan membuatnya semakin terlihat menawan. Rambut perak yang halus bagai sutra, mata merah rubi yang menandingi sebuah permata, bulu mata yang melentik sedikit lembab oleh setitik bulir air mata yang masih tertinggal.

Dirinya yang bodoh baru menyadari betapa menawan gadis itu. Memikirkan bahwa dia telah tumbuh dan berkembang menjadi satu-satunya perempuan-

Yang terlalu ia cintai.

Takatora menahan dagu Suzu, lalu melumat bawah bibirnya dengan lidahnya untuk membuka pintu masuk. Spontan gadis itu tersentak kejut ketika tak ada celah yang terbuka diantara bibir mereka yang saling bertautan. Lidahnya sudah masuk ke dalam mulutnya, lalu menjalinkannya. Mereka bisa mendengar suara decapan dan lenguhan masing-masing. Napas Suzu terpompa kencang dan detak jantungnya mulai semakin tidak beraturan.

Takatora menggerakkan tangannya yang bebas untuk menjamah masuk ke dalam kimonomerahnya. Jemarinya yang kuat bergerak mengusap perut Suzu, kulitnya begitu hangat dan mulus. Tubuh Suzu bergetar kaget kedua kalinya ketika merasakan sentuhan tangan Takatora. Lalu Takatora menggerakkan tangannya menuju pinggang lalu keatas menuju buah dadanya yang dibalut dengan sarashi.

"...!" Merasakan rangsangan yang tak ia duga, Suzu ingin segera memutuskan kecupan namun Takatora menahannya begitu kuat. Ia merapatkan kedua pahanya ketika merasakan sensasi aneh pada bagian bawah perutnya.

"...Uhh, ja... ngan...!" Suzu melenguh di sela-sela ciuman. Namun Takatora masih menolak untuk berhenti, ditanggalkannya balutan kimonoSuzu, mengekspos kulit putih pualamnya. Napas Suzu seolah-olah direbut akan setiap kontak yang dijamah terhadap tubuhnya. Takatora memutuskan permainan lidah mereka, hingga seutas saliva saling menyambung lalu terputus.

Berganti mengisap kulit tulang selangka Suzu lalu menggigitnya. Suzu memekik kesakitan, memejamkan kedua matanya dengan rapat sembari mencengkram jubah biru Takatora. Ia bahkan tak diberi kesempatan untuk menarik napas.

Mengapa Takatora harus melakukan ini padanya? Ia tak bisa mengerti. Namun kecupan dan sentuhannya membuat Suzu semakin mencintai pria itu.

Suzu mendesah kencang ketika jemarinya menekan gundukan lembutnya. Menemukan bagian yang sensitif, Takatora mulai melepas sarashi itu dan menjepit puncaknya dengan dua jari. Suzu kembali tersentak. Mendengar pekikannya mulai keras, Takatora langsung memutus kecupan kemudian menutup mulut Suzu dengan tangan.

"Pelankan suaramu."

"T-Tapi, Takatora-san...!" Suzu langsung mendorong pria itu. Lalu berusaha bangkit dari posisinya. "Aku tidak mengerti kenapa... aku takut..." ucapnya dengan suara bergetar. Suzu memasang kembali pakaiannya, namun tak sempat memasangkan obi.

"Bukankah kau sendiri yang tak mengatakan kalau kau takkan menghentikanku?"

"Aku tahu itu, Tuan...! T-Tapi, tetap saja aku tidak mengerti. Mengapa Tuan melakukan ini padaku...?"

Takatora mengerjapkan mata. "'Mengapa', katamu?"

Suzu melirik sekilas kearah Takatora. Entah ia sedang memikirkan jawaban atau tak mau menjawab, ia tidak tahu. Kelopak matanya menurun namun masih mengunci pandangannya pada gadis itu. Entah mengapa dari tatapannya, Suzu merasa Takatora tak ingin membiarkannya pergi sampai ia selesai memuaskan hasratnya. Apakah dia ingin menghabiskan waktu yang tertinggal sedikit hanya untuk mereka berdua?

"Kau ingin berhenti...?"

"...Sejujurnya aku senang bisa menghabiskan waktuku yang tersisa bersama Takatora-san. Tapi alasan Tuan 'melakukan ini' padaku... aku sama sekali tidak mengerti."

Dia terus mengulang kalimat 'tidak mengerti'. Ia membutuhkan jawaban, Takatora menyadari itu. Namun sulit baginya untuk memasukkan perasaannya ke dalam kata-kata. Pikirannya selalu terbesit untaian kata Suzu dikala menyatakan perasaannya.

"...Tuan, anu... aku harus segera bersiap-siap agar aku bisa pergi besok. Jadi-"

Takatora langsung menghentikannya, merengkuh tubuh mungil Suzu ke pelukannya dari belakang dan menenggelamkan wajah di pundaknya.

"Tak apa jika kau tak mengerti. Suatu saat kau pasti bisa melupakan semuanya. Setidaknya tetaplah disini bersamaku."

Tak apa?

Tidak, Suzu merasa itu sama sekali bukan tidak apa-apa. Terlebih, ia tak ingin melupakannya. Ia juga ingin tahu mengapa sentuhannya membuat Suzu semakin mencintainya.

Begitu banyak hal yang tak ia pahami.

Seharusnya pria itu berkata yang sebenarnya bahwa ia hanya ingin membalas perasaannya pada Suzu. Namun dia tak tahu lagi apa yang harus ia lakukan. Untaian kalimat itu langsung tertelan begitu saja.

Tak ingin menunggu lebih lama, kedua tangan yang melingkar di sekitar perut Suzu melepas kembali balutan kimono-nya sedikit demi sedikit, tangan kanannya mulai bergerak meremas pelan buah dadanya lagi. Kemudian bibirnya meraup daun telinganya, menggigit lalu berganti menjilatinya.

Suzu menahan desahan yang hendak meluncur dari bibirnya dengan sebelah tangan, dipejamkan matanya dengan rapat ketika merasakan sentuhan tangan kekar Takatora serta napas hangat yang menggelitik telinganya.

Setelah melepas semua balutan kain milik gadis itu, Takatora memindahkan kecupan menuju tengkuk lehernya. Mengisap dan menjilat kulit sensitifnya dengan mesra. Suzu menurunkan kepala agar dapat memberi ruang untuk menjamah tengkuknya lebih luas, ia merasa dikendalikan secara tak sadar.

Lalu kecupannya berpindah ke bahu, kembali mengisap kulit putih pualamnya. Kedua tangannya yang masih bekerja meremas gundukan lembut Suzu. Kemudian sebelah tangannya bergerak turun, merasakan setiap lekukan yang tercipta pada kemolekan tubuh Suzu.

"Ini...? Bekas lukamu...?" bisik Takatora.

Tubuh Suzu masih bergemetar tak terkendali ketika kecupan pria itu terus menurun hingga ke punggung. Suzu hanya bisa terus mendesah, tak dapat menjawab tentang bekas luka pada punggungnya.

Luka yang mengorek penderitaan pahit pada masa lalu, keinginan untuk menyelamatkan nyawa gadis itu tak tercapai oleh Takatora. Ia tak ingin itu terjadi kembali. Tak ada jaminan pasti kapan dan bagaimana cara agar dia bisa selamat jika Suzu tetap berada disisinya. Melihat bekas luka tersebut, membuat Takatora semakin ingin menyembunyikan gadis itu jauh dari kekacauan yang mengguncang negeri ini. Tak ingin melihat darah kembali mengalir dari tubuh rapuhnya.

Punggung Suzu kini semakin menurun, kedua tangannya mencengkram alas futon. Ia bisa merasakan ciuman didaratkan ke bekas lukanya. "T-Tuan... Jangan..." Karena tubuhnya tak bisa berhenti bergemetar, dengan lemah Suzu membaringkan tubuhnya, ia menyilang tangan di depan dada dan kakinya merapat ketika ia merasakan sensasi yang belum pernah ia rasakan di sekitar bagian kewanitaannya.

Melihat kemolekan tubuh ramping Suzu, Takatora mendaratkan kecupan diatas perutnya. Merasakan kehangatannya kembali, kemudian menggerakkan lidahnya pada sekitar perutnya. "Hwah...!" Suzu kembali menahan erangannya dengan menutup mulutnya dengan punggung tangan.

Seisi kepalanya masih dipenuhi pertanyaan. Namun entah suatu alasan, ia merasa tak masalah jika semua pertanyaannya itu tak terjawab. Kemungkinan itu berkat Takatora yang mengatakannya untuk tidak perlu memikirkan perasaan aneh yang ia rasakan hingga kini.

Pria yang ia cintai itu, tengah menyentuh tubuhnya dengan lembut. Membuatnya semakin mencintainya. Bulir air mata membasahi kelopak matanya, Suzu menangis dalam diam.

Ia mulai menyadari bahwa mereka takkan bisa lagi berdekatan seperti malam ini.

Pria beriris biru itu kemudian menyelit anak rambutnya lalu memberikan kecupan singkat pada kening gadis itu, lalu turun menuju bibir merah jambu alaminya, bibir mereka kini saling bertautan lagi. Suzu kembali memejamkan mata, tangan mungilnya mencengkram pakaian Takatora.

Setelah cukup lama, Takatora memutus ciuman, melihat Suzu masih memejamkan mata sembari mengatur napas. Gadis itu terlihat begitu menawan dan menyesakkan napas sehingga Takatora kembali mengincar bawah bibirnya, lalu menjilatinya sebelum menyusupkan lidahnya ke dalam mulut Suzu. Suzu semakin kesulitan untuk menarik napas. Lidah mereka saling terjalin dan seutas saliva mereka saling menyambung. Berkat teh yang Takatora berikan padanya, lidah Suzu terasa manis sehingga membuat Takatora tak ingin berhenti mencicipi mulutnya. Mereka terus saling beradu lidah entah sudah berapa detik. Bahkan suara-suara decapan lidah dan erangan dari kedua pihak terdengar jelas di kamar yang hanya diterangi dengan lilin.

"Uh..." Setelah memutuskan kecupan, seutas saliva yang menyambung diantara lidah mereka terputus dan mengalir dari ujung bibir Suzu. Suzu mengesampingkan posisi kepalanya, setidaknya ia ingin memberi tanda bahwa dirinya hampir kehabisan napas dan membiarkannya istirahat sejenak.

Suzu menaruh kepalan tangannya di depan bibir, semu rona merah pada wajahnya masih belum hilang. "Tuan..."

"Hm...?"

Suzu tak langsung menjawabnya, merasa ragu apakah tak masalah jika ia bertanya. Sejak Takatora menyentuhnya, ia terlalu takut untuk menatap pria itu.

"...tidak, bukan apa-apa."

Takatora terdiam sebelum kembali mengincar bibirnya sekilas, setelah itu mengecup rahang lalu ke tulang selangkanya. Meninggalkan bekas ruam kemerahan pada kulit putih pualamnya. Suzu mencengkram bahunya, tak menyadari kalau suara kecil yang meluncur dari mulut Suzu telah memanjakan pendengaran Takatora. Suaranya, wajahnya, semua yang ada pada gadis itu adalah suatu godaan manis yang mendorong hasratnya untuk ingin melihat lebih ekspresi gadis itu yang belum pernah ia lihat.

Sentuhan kuatnya itu selalu membuat dirinya bertanya-tanya. Ia ingin jawabannya sekarang, namun Suzu menelannya. Ditanya mengapa pun ia juga tidak paham.

'Apakah dia juga memiliki perasaan yang sama denganku?'

Takatora kemudian menarik tangan Suzu yang menyilang menutupi dadanya. Namun kali ini Suzu melawan, ia tak mau memindahkan tangannya dan tak membiarkan Takatora untuk melihatnya.

"Apa yang kau lakukan?" geram Takatora.

"...Maaf. Tapi kumohon jangan," lirihnya sembari menutup dadanya. Bentuknya yang tidak terlalu kecil dan tak terlalu besar, serta proporsi tubuhnya yang ramping begitu pas untuknya.

Tak ada perubahan pada raut wajah Takatora. "Bukankah sudah kubilang, aku takkan berhenti..."

"T-Tapi..." Netra merahnya mulai basah akan air matanya, kedua pelupuk matanya bergetar.

Takatora menghela napas, menarik dirinya untuk bergerak tenang agar dapat membuat Suzu merasa lebih nyaman. "Aku minta padamu untuk mempercayaiku." Suzu melirik kearah Takatora. "Saat ini aku hanya mempedulikan apa yang ada di depan mataku sekarang. Aku tidak berniat untuk menyakitimu." Takatora kemudian menurunkan kepalanya, mengincar buah dada Suzu.

"Uah!" Suzu langsung terkesiap ketika lidahnya menjilati puncak dadanya yang setengah menegang. Tangan Takatora yang bebas meremas gundukan lembutnya. Payudaranya begitu pas pada telapak Takatora. Sesekali jarinya memainkan puncaknya yang sudah hampir mengeras, menarik-narik dan menjepitnya dengan kedua jarinya.

"Seperti kuncup bunga..." Mencicipi kulit serta mendengar suara rintihan manis yang keluar dari mulut Suzu terdengar begitu jelas membakar nafsu Takatora semakin kuat. Kini mulutnya mengisap buah dadanya dengan kuat sedangkan lidahnya bekerja menjilati kuncup dadanya secara bertahap.

"T-Takatora-san...!" Suzu mengerang keras, mulutnya terbuka lebar, berusaha menahan erangan dari tenggorokan. Tubuhnya menegang begitu merasakan usikan kuat pada dadanya, punggung dan kepalanya sedikit terangkat begitu merasakan kenikmatan itu. Beberapa helai rambut hitamnya menggelitik kulit Suzu.

Kemudian tangan sebelahnya berpindah menuju bagian diantara kaki Suzu, perlahan ia menyentuh kewanitaannya yang masih dibalut dengan fundoshi dengan jemarinya. "A-Ah...! J-Jangan...!" Suzu membelalakkan mata terkejut.

"Tenanglah." Takatora membuka ikatan kain itu lalu melepasnya tatkala merasakan fundoshi-nya sedikit lembab. Kemudian memainkan lipatan-lipatan lembab dengan kedua jarinya. Suzu baru menyadari bagian pintu masuknya sudah basah.

Suzu tak paham bagaimana bisa sentuhan yang dirasakan pada bagian anggota tubuhnya saat ini begitu nikmat. Erangannya semakin kencang, rangsangan diantara kedua pahanya membuat napasnya tersengal.

Sambil terus mengisap payudaranya, Takatora menyusupkan telunjuk ke dalam liang pintu masuknya. Pinggang Suzu sedikit terangkat ketika merasakan rangsangan mendadak yang penuh kenikmatan itu di dalam tubuhnya. "T-Tuan...! Ja-jarimu...!"

Takatora kemudian menyusupkan jari kedua, berniat untuk mengusik intimnya lebih dalam dan melebarkan pintu masuk. Sembari menahan desahan, Suzu menggigit punggung tangannya sedangkan tangan sebelahnya mencengkram bantal lebih kuat. Bulir nektarnya sedikit demi sedikit keluar tiap Takatora menggesekkan kedua jarinya.

Takatora melirik wajah Suzu yang sedikit berkeringat, lentikan bulu matanya basah, mulutnya terbuka dan kedua matanya terpejam rapat. "Kau sangat menawan. Rasanya terdengar bodoh karena aku baru mengatakan itu padamu."

Melihat bagian diantara kakinya basah dibandingkan sebelumnya, Takatora mengecup celah tersebut. Menyusupkan lidah pada lipatan kewanitaannya sambil melanjutkan pekerjaan kedua jarinya. "T-Takatora-san...! J-Jangan disana...!" Pria itu begitu menikmati permainan yang ia lakukan, rasa manis yang ia cicipi membuatnya sulit untuk berhenti. Juga, ia ingin terus mendengar racauan manisnya. Seisi pikirannya penuh dengan gadis itu seorang.

Awalnya Suzu takut menarik rambut Takatora, namun dia tak bisa menahan lebih lama ketika Takatora masih belum berhenti mencicipi pintu masuk kewanitaannya. Beruntung, Takatora sama sekali tak keberatan ketika tangan kecilnya menarik rambutnya sedikit kuat.

Gemetaran tubuhnya tak mampu ia hentikan, rasa terbakar pada dalam kewanitaannya membuatnya ingin merasakan indera pengecap Takatora lebih dalam. Kemudian Takatora mengisapnya lebih kuat membuat Suzu semakin mengerang, ritme permainan lidahnya semakin kencang, kedua jarinya terus bergesekan dengan dinding lorongnya seraya mencari titik lemahnya. Suzu bisa merasakan jari Takatora sudah diluberi nektarnya. Tubuhnya sedikit terangkat ketika sesuatu hendak keluar dari dalam tubuhnya. "T-Tidak...!"

Beberapa bulir cairan nektarnya muncrat membasahi jari Takatora. Belum puas, ia mengubah posisinya di atas Suzu. Tangannya yang ada di bawah masih bergerak memasuki celah sensitifnya. Merasakan betapa licin dan basahnya daerah itu. "Kau menyukainya?" tanya Takatora sambil menggerak-gerakkan jarinya mengocok lubang basah itu dan menatap lekat wajah Suzu yang tengah merasakan usikan jarinya. Diantara sakit dan menikmati permainan yang merangsang kewanitaannya.

Suzu tidak bisa menjawab, sedari tadi ia hanya bisa meracau lemah di setiap sentuhan yang dihasilkan. Suzu menggigit bawah bibirnya, punggung tangannya menutup sebagian wajahnya. Takatora menahan tangan Suzu dari depan mulutnya, lalu kembali mengincar bibir merah jambunya itu dan membelai lidahnya. Suara kecipak permainan pada intim Suzu dengan jarinya dan decapan lidah mereka kembali memenuhi seisi kamar. Kemudian Takatora kembali mengulum puncak dada Suzu, ia sesekali memainkan putingnya yang sudah mengeras dengan gigi dan mulutnya secara bergantian.

Suzu tak pernah mengira bahwa tubuhnya akan dipermainkan seperti itu oleh Takatora. Namun sensasi yang tidak ia pahami itu membuatnya ingin merasakannya lebih. Dirinya sudah terbuai sepenuhnya oleh Takatora, tak ingin menghentikan permainan yang mereka lakukan diatas futon .

"Kau tak perlu menahannya, Suzu," ucap Takatora sembari mengencangkan gerakan jemarinya. Suzu memekik akan rangsangannya yang mengencang.

"A-Aah!" Tubuh Suzu menggelinjang ketika bulir pelepasannya mengalir keluar. Nektar itu keluar mengalir lewat celah sempit lalu membasahi dua jarinya. Takatora menatap jarinya yang sedikit basah karena cairan lengket milik Suzu lalu menjilatinya untuk membersihkan tangannya.

"T-Takatora-san..." lirih Suzu terengah-engah. Terlihat jelas tatapan Suzu tampak tak percaya nektar yang sedikit meluber di jarinya itu berasal dari dalam tubuhnya.

Sementara Suzu beristirahat sejenak untuk mengatur napasnya, Takatora melepas jubah dan balutan kimono dan hakama yang ia kenakan. Pandangan Suzu yang setengah terbuka terkunci melihat punggung kekarnya yang dipenuhi bekas luka. Gadis itu berjengit begitu Takatora mengusap wajah Suzu yang basah akan air matanya. "Kau tak apa?"

Wajah Suzu semakin merona merah, ia mencoba memikirkan kalimat yang tepat untuk mengatakannya meski ia belum sepenuhnya paham. "Tidak tahu... aku tidak mengerti..." gumamnya sembari mengatur napas.

Takatora mendengus pelan. "Begitu."

Suzu mengerjapkan mata ketika memandang tubuh Takatora yang juga tak dibalut sehelai kain, tubuh kekarnya dipenuhi bekas luka sayat dan tembak bahkan jahitan di beberapa bagian. Melihat tubuhnya menggerakkan hati Suzu untuk meraih lalu mengusap dada bidang Takatora.

Dia selalu seperti itu, Takatora tak begitu peduli apa yang saja yang membahayakan dirinya. "Ada banyak sekali bekas luka di tubuh Tuan..."

"..." Takatora terdiam melihat tatapan Suzu yang berubah sendu, kedua pelupuk matanya mulai disinggahi bulir air bening. Sorot mata biru lautnya terkunci memandang perempuan yang terbaring lemah itu di depannya.

"Tapi, aku bersyukur. Meski dengan luka sebanyak ini, Takatora-san masih hidup..."

Melihat senyuman khasnya, menggerakkan hati Takatora mencium bibirnya. Ia menekan bibirnya lebih dalam dan kembali menjalinkan lidah mereka. Membelai lidah gugup Suzu dengan tak sabaran. Suzu memejamkan mata, setiap ciuman yang membanjiri tubuhnya sejak tadi, membuat Suzu semakin ingin mengungkapkan perasaannya kembali pada Takatora. Tubuh kekar Takatora menekan tubuh rapuh gadis itu, sehingga ia dapat merasakan gundukan lembut Suzu tertekan dengan dada bidangnya.

Takatora memutuskan kecupan, kemudian mereka berbalas pandang. Saling menenggelamkan diri pada keindahan warna mata mereka. "Meski nyawaku sebagai taruhannya, aku tidak akan membiarkanmu mati. Karena itu kau harus..." Takatora berhenti berbicara.

"Takatora-san...?" Menyadari bulir air mata membasahi kelopak mata Suzu, Takatora mengecup pelupuk mata lalu ke dahinya. Kecupan itu membuat Suzu teringat akan cerita dongeng romantis yang pernah ia baca, ciuman pada kening menandakan bahwa orang itu akan selalu melindunginya. Tetapi mengingat mereka akan berpisah, apakah pertanda itu akan terus bertahan meski mereka sudah tak bisa bersama lagi?

"...Kau hanya perlu percaya padaku, Suzu."

"Ya... Takatora-san juga, tapi... kumohon..." Suzu langsung menjawab dengan suara bergetar. "Kumohon jangan pergi meninggalkanku hanya karena melindungiku. Aku akan bahagia kalau Takatora-san selalu bersamaku. Karena itu kumohon... Takatora-san-"

Takatora mengecup bibirnya sekilas, menghentikannya untuk berbicara. "Suzu..." Tak ingin membuang waktu, Takatora menindih tubuh mungil Suzu. Kesejatiannya menggesek pintu masuk kewanitaannya yang sudah basah, lalu memasuki lorong sensitifnya yang tengah menantikan kedatangannya.

"Ahh!" Suzu kaget bukan main, ia langsung memekik begitu merasakan sebuah batang yang tegang dan keras bergesekkan dengan mulut kewanitaannya. "T-Takatora-san...!"

Setelah itu, Takatora memasukkan sedikit demi sedikit kejantanannya. Tubuh Suzu berguncang ketika tubuhnya tiba-tiba dimasuki suatu benda yang hangat dan besar langsung bergesekkan dengan dinding kewanitaannya.

Mereka berdua mengerang, namun suara pekik gadis itu lebih keras. Suzu memejam matanya rapat. Ritme napasnya mendadak tidak beraturan. Pinggangnya sedikit terangkat dan tubuhnya bergetar merasakan batang keras tersebut penuh dan sempit di dalam tubuhnya. Bahkan ia tak dapat menahan saliva yang menitik dari ujung bibir. Menyadari Takatora mengambil alih tubuhnya, Suzu merasa kehilangan diri karena tak tahu harus berbuat apa.

Melihat wajahnya yang tersirat ekstase yang meluap, ia mulai ingin melihat dan merasakan lebih dari gadis itu. Ia menahan pinggang dan paha Suzu kemudian mulai menghujam untuk mendalamkan kontak mereka dengan kasar. Memaksa kejantannya untuk masuk lebih dalam. Hujaman demi hujaman keluar masuk dengan cepat terus membentur mulut terdalam Suzu.

Dia telah kehilangan kendali. Lenguhan napasnya juga tak beraturan, kedua alisnya menyempit. Membuat Suzu semakin takut apa yang akan terjadi padanya nanti.

"T-Takatora-san...! Ah, aah! S-Sakit...!" Tangan mungilnya mencengkram lengan Takatora, kesakitan di dalam tubuhnya tak dapat ia tahan. Setitik bulir air mata menitik dari pelupuk matanya.

Suara decap basah semakin terdengar keras. Takatora merangkul tubuh Suzu, mengangkat sedikit tubuh mungilnya dengan menahan bokong gadis itu agar dapat membentur intimnya lebih dalam. "Kkh... Suzu..." lenguh Takatora sambil terus bergerak semakin liar. Seisi kepalanya juga tak henti memikirkan betapa menawan gadis itu. Suaranya, terdengar seperti godaan manis seolah memintanya untuk tidak berhenti.

Tiap hujamannya yang keras dan kencang sehingga mengguncangkan buah dada Suzu. Tanpa disadari, setitik darah mengalir keluar dari intim Suzu yang menyatu dengan Takatora. Keperawanan gadis itu sepenuhnya telah direbut olehnya.

Mulutnya terbuka dan mengeluarkan erangan tak tertahankan. Sakit. Rasanya sakit sekali. Kenapa ini bisa terjadi padanya? Kini Suzu ingin berhenti akibat merasakan sakit dari dalam tubuhnya. "T-Tidaaak...!"

Pekikannya semakin keras. Takatora berhenti seketika, sadar karena telah menyakitinya. "...Maaf, kau tak apa?" tanya Takatora menyeka air mata yang membasahi wajahnya setelah membaringkannya kembali. Melihat raut wajahnya yang kesakitan dan air matanya berlinang, Takatora mengumpat dirinya dalam hati.

Suzu menggeleng pelan. Meski awalnya ia ingin berhenti dan memisahkan penyatuan tubuhnya dengan Takatora, namun ia merasa masih belum puas. Ia yakin Takatora juga merasakan hal yang sama. "T-Tidak apa kok... M-Maaf. Aku tidak sengaja berteriak..."

"Bukan, ini salahku. Tapi kali ini aku akan melakukannya dengan pelan. Jika sakit, katakan padaku."

Suzu mengangguk pelan dengan lemahnya. Takatora menghela napas panjang untuk menenangkan dirinya, ia mencium telapak tangan Suzu lalu mencium sepasang bibirnya agar bisa lebih tenang. Suzu yang mulai terbiasa akan ciumannya mulai memejamkan mata dan menyambutnya. Gadis itu mulai menyukai setiap kecupan yang didaratkan pada bibirnya. Karena kecupannya kali ini lebih lembut dan bergairah tak seperti sebelumnya yang agak kasar dan keras.

Takatora menjalinkan tangannya dengan milik Suzu, Meski jemarinya ramping dan kecil namun jarak diantara jari-jari Takatora begitu pas dengan tangan gadis itu.

Setelah Takatora memutuskan ciuman, dia kemudian menggerakkan pinggang dengan perlahan. "Aku mulai..." bisik Takatora ke telinganya.

"Uhh...!" Rintihannya langsung meluncur keluar, kukunya menekan kulit tangan Takatora.

"Suzu...?" Alis pria itu menyempit ketika melihat ekspresi wajah Suzu.

"U-Um... aku tak apa..." ucap Suzu terengah-engah dan tersenyum lemah, meyakinkan Takatora untuk melanjutkannya.

"Begitu 'kah... Saat ini aku tak ingin berhenti. Maaf, tapi bertahanlah." Sedikit demi sedikit, kejantanannya mulai membentur mulut terdalamnya. Suzu menyadari bahwa sensasi yang ia rasakan benar-benar membuat dirinya terbuai hingga ia lupa diri. Takatora menahan paha Suzu dan terus mengencangkan ritme gerakannya.

"Suzu..." lirih Takatora sedikit menggeram. Pria itu memejamkan matanya dan menggertakkan gigi, ia membuka lebar paha Suzu agar bisa masuk lebih dalam. Suzu melingkari kedua kakinya ke pinggang Takatora untuk lebih mendalamkan kontak mereka.

"Uaah...!" Sepasang netra birunya separuh terbuka memandangnya lekat, Suzu tengah merasakan rasa nikmat dan menahan sakit secara bersamaan, Takatora kembali menangkap bibirnya, kembali beradu lidah. Suzu yang hampir kehabisan napas kemudian memutuskan kecupan lalu menggigit pundak Takatora. Pria itu sedikit terkejut merasakan gigitan kecil namun kuat pada kulitnya.

"T-Taka... tora-san...!" Kehadiran Takatora di dalam tubuhnya semakin kuat, tak henti mengerang untuknya agar bergerak lebih kencang. Sekujur tubuhnya terasa panas berkat tombak perkasa yang menguasai dirinya. Cairan putih yang lengket memenuhi seisi liang dan membasahi pangkal pahanya. Serta bunyi decap basah yang mereka hasilkan semakin keras dan ritme permainan mengencang membuat erangan keduanya tak tertahankan.

Menyadari bahwa pria yang ia cintai itu tengah menjadikan dirinya miliknya seutuhnya. Merasa seakan dunia hanya milik mereka berdua. Suzu tak ingin melupakan momen ini.

Takatora meremas dada kecil Suzu yang tengah berguncang akan permainan mereka. Lahar putih sudah membasahi organ kedua pihak. Gesekan dan hujaman yang masih tak hentinya membentur titik kelemahannya semakin kuat sehingga birahinya tak dapat menahan lebih lama.

"T-Tidak...! Aku tak tahan lagi...! Uaahh!"

Tubuh Suzu menggelinjang ketika lorongnya menyempit. Tepat pada saat itu, Takatora menggeram pelan ketika kejantannya melepaskan luapan benih di dalam intim Suzu, membanjiri seisi dalam tubuhnya.

"Sial...!" runtuk Takatora dengan lemah. Seharusnya dia tak membiarkan benihnya mengisi relung Suzu. Pria itu melirik kearah gadis itu, tampaknya Suzu tak menyadarinya.

Kemudian dia mulai mengeluarkan kesejatiannya dari tubuh gadis itu yang melemah seketika. Sambil mengatur napas, Takatora mengistirahatkan diri diatas tubuh Suzu, membenamkan wajah diatas belahan dadanya.

Terkejut Takatora mendadak rubuh diatas tubuhnya, Suzu mengusap kepalanya dengan pelan. "...T-Takatora-san? Tuan tidak apa-apa?" tanya Suzu dengan suara lemah.

Ia menghela napas berat. "Kurang lebih, ya."

Suzu merapatkan bibirnya, tak menduga tubuh kekarnya terlihat pas seperti selimut hingga dapat menutup badannya yang kecil. Pada awalnya Suzu menarik dirinya untuk mengusap rambut Takatora namun Suzu tak bisa mengabaikan keinginannya tersebut. Telapak tangannya bergerak pelan membelai surai hitamnya.

Ini pertama kalinya Suzu membelai rambutnya. Entah mengapa sensasi nyaman yang ia rasakan pada rambutnya membuat Takatora berpikir dirinya telah dimaafkan oleh gadis itu.

Merasakan sentuhan lembutnya berhenti, Takatora membuka kembali matanya. "...Takatora-san, apa aku... melakukan hal yang baik...?"

Takatora terdiam, kemudian mengubah posisinya disamping Suzu, langsung menariknya ke dalam pelukannya, lalu mengecup puncak kepalanya.

'Seharusnya aku yang bertanya demikian...'

"Takatora-san...?" Takatora masih tak menjawab, ia lebih memilih untuk menunggu pertanyaan Suzu selanjutnya. "...apakah Tuan... memiliki perasaan yang sama denganku?" Suaranya mulai terdengar mengantuk.

"..." Dua pertanyaannya itu amat menyesakkan dada bagi Takatora, ia menenggelamkan wajah di puncak kepalanya. Mendengar ritme napas Suzu terdengar kecil dan pelan, nampaknya ia telah tertidur karena kelelahan. Takatora pun juga merasa lebih mengantuk dan lelah dari yang biasanya. Namun pertanyaan Suzu tak dapat ia buang begitu saja.

"Ya... kau benar."

Mendengar bisikan itu, ingin sekali ia bertatapan wajah dengan pria itu. Namun sayang, tenaga dan rasa kantuknya telah menguasai dirinya. Ia mulai memejamkan mata. "...Takatora-san."

Mendengar napasnya mulai pelan, Takatora mengeratkan pelukan. "Maaf..."

-XXX-

Kicauan burung yang bertengger di pohon di dekat kamarnya membangunkan Takatora dari tidurnya yang pulas. Sorot cahaya matahari menembus masuk ke dalam kamar lewat jendela.

Rasa geli pada lengannya membuat Takatora sadar kalau Suzu masih tertidur. Surai putih keperakannya tergerai sedikit kusut hampir menutup sebagian dari wajahnya. Tubuhnya tak terbalut satu helai kain pun, hanya diberi selimut yang menutupi tubuhnya. Bulu matanya yang melentik, serta sepasang bibirnya sedikit terbuka mengeluarkan suara napasnya yang lembut dan kecil. Berkat dekapan pria itu, ia bisa merasakan kehangatan tubuhnya.

Setelah apa yang dilakukannya malam itu, kini hatinya bercampur. Juga penyesalannya semakin membesar. Seharusnya ia tidak menyentuhnya, kasih sayangnya pada gadis itu semakin membesar. Tetapi yang lebih buruk dari itu, dia merasa telah memanfaatkan perasaan gadis itu hanya demi kepuasan nafsu. Padahal sebenarnya ia berniat untuk membalas perasaan cintanya pada Suzu.

Ia semakin tidak ingin melepasnya. Ia mulai menyalahkan takdir yang mereka alami selama ini. Namun ia tahu itu sama sekali tidak berguna.

Demi kepentingan nyawa gadis yang ia cintai itu, ia harus melepas semua kasih sayangnya pada Suzu.

"...Takatora-san..." Suara lembutnya mengalihkan perhatian Takatora. Perempuan itu membuka matanya yang masih terasa berat dengan pelan. Netra merah rubi bertemu dengan biru laut. Kemudian Suzu mengalihkan pandangan. "...um, selamat pagi," ucapnya pelan setelah bangkit dari futon . Ia menutup dadanya dengan sebelah lengan.

"Aku... aku harus siap-siap memberitahu keberangkatanku pada Hideyoshi-sama. J-Jadi, Takatora-san, setelah aku berangkat, Tuan tidak perlu repot menjagaku lagi. Seharusnya dari awal aku memang harus pergi ke tempat yang lebih aman, jadi ini semua salahku... d-dan..."

Tanpa mengatakan apapun Takatora langsung bangkit, lalu membawa Suzu ke dalam rengkuhannya. "Aku akan mengantarkanmu kesana. Tak ada yang perlu dibicarakan lagi."

Takatora mendaratkan kecupan pada bibir tipis gadis itu, tubuh mereka saling menekan berkat dekapannya yang erat. Suzu melenguh pelan dan memejamkan mata. Ia tak berniat untuk melawan, namun sebaliknya, Suzu menyambutnya. Menekan bibir mereka hingga ciuman itu terasa lebih dalam, yang kemudian saling menjalinkan lidah dengan perlahan.

Mereka tak bernapas, Takatora menekan punggung kepala Suzu untuk menahannya agar tak memutuskan kecupan. Namun diluar dugaan, ketika kedua tangan kecilnya berada di depan dada bidang pria itu, seolah tak ingin mengakhirinya. Suzu membiarkan pria itu mengutarakan segala emosi dari yang belum pernah Suzu lihat.

Setelah memutuskan ciuman, Takatora kembali memeluknya, membenamkan wajahnya di bahu Suzu. "Sekarang kembalilah ke ruanganmu." Takatora kemudian melepasnya lalu mengambil kimono merah gelap milik Suzu yang tergerai diatas tatami. Lalu membantu Suzu mengenakan kimono-nya. Pipi gadis itu merona kemerahan.

Setelah memakai pakaiannya, hening kembali menyusup diantara mereka.

"...Apa aku melakukan hal yang baik...? Apakah Tuan... memiliki perasaan yang sama denganku?"

Perasaan yang sama?

Jika maksudnya itu adalah cinta. Maka jawabannya adalah ya.

Mengapa ia mencintai gadis itu? Takatora tahu bahwa ia takkan bisa memilikinya. Tapi ia ingin memberikan kebahagiaan, namun ia tak dapat melakukannya.

Dia sudah mengetahui keburukan dan kebaikan dalam dirinya. Semuanya.

Tapi ia sadar bahwa cintanya pada Suzu hanyalah kebohongan. Ia tak pantas menerima kasih sayangnya. Perasaannya yang sesungguhnya tak pernah ada, ia takkan bisa menemukan itu.

Dirinya yang bodoh dan pengecut.

Takatora meraih wajah Suzu, mengusap pipinya dengan lembut. Suzu hanya menatapnya dengan matanya setengah melebar yang sedikit membengkak, bibir merah jambunya sedikit terbuka. Netra biru bertemu dengan merah rubi.

Ia tak ingin melepasnya, jika itupun harus menyakiti dan menyia-nyiakan nyawa dan jiwanya.

Ia tak ingin melupakannya, meski telah begitu banyak kenangan yang terukir di hati dan pikiran mereka yang tak hentinya mengorek luka lamanya.

Ia ingin mencintainya, meski ia harus membuang segalanya demi dirinya.

Namun dirinya yang pengecut tak mampu merealisasikan keinginan egois itu. Ikatan, kenangan dan segalanya akan berakhir. Percuma saja untuk memperbaikinya.

Takatora kemudian menurunkan tangannya. "...Kau harus bersiap-siap sekarang."

Suzu mengerjapkan mata. "Y-Ya..." Gadis itu mengangguk. Kemudian beranjak bertolak meninggalkan Takatora sendirian di kamar. Gadis itu menoleh ke belakang sekilas setelah menggeser pintu. Menyadari Takatora masih menatapnya, Suzu bertolak meninggalkan kamar.

Pria itu menatap kepergiannya, surai peraknya yang indah tergerai begitu saja berkibaran ditiup angin tiap helai. Meninggalkan aroma wangi yang merupakan godaan manis dari perempuan yang terlalu ia cintai itu.

-XXX-

Ketika Suzu berjalan melewati lorong, secara tak sengaja ia hampir menabrak seseorang.

"Hm?"

Suzu mengangkat wajahnya untuk melihat siapa orang yang hampir ia tabrak. Sehelai kain putih menutup sebagian wajahnya, surai hitamnya dibiarkan tergerai tanpa mengenakan topi putih-biru menutupi kepalanya. Dia membawa beberapa gulungan dan buku. Netra kelabunya sedikit terbuka lebar menatap Suzu.

"Yoshitsugu-san..."

"Jarang sekali aku melihatmu berjalan-jalan lewat sini. Ada apa?"

Suzu menurunkan kepala. "...Bukan apa-apa, kok, Tuan."

Yoshitsugu menduga kalau Suzu baru saja mengunjungi ruangan Takatora. Tapi ia tak tahu mengapa raut wajah gadis itu tak dihiasi dengan senyuman khasnya. Matanya sedikit membengkak dan lelah, kulitnya memucat dan kimono yang ia pakai terlihat sedikit kusut.

"Anu, Yoshitsugu-san... aku..."

Yoshitsugu langsung mengerjapkan mata, mengembalikan pikirannya pada perempuan yang di depannya.

"Aku... akan pulang ke Sado."

Yoshitsugu masih belum menjawab, ia mengedipkan matanya lagi. Indera penglihatannya terkunci melihat sebuah bekas kemerahan pada leher Suzu.

"Maaf karena telah banyak merepotkanmu, Yoshitsugu-san."

Yoshitsugu menggeleng. "Tak masalah. Kau telah melewati banyak hal. Kau tak perlu memaksakan diri."

Suzu menengadahkan wajahnya. "Tuan mengizinkanku?"

"Itu pilihanmu. Jadi aku tak berhak untuk protes dengan arus milikmu."

Seharusnya Suzu merasa senang, tapi tidak. Seulas senyuman kecil terbentuk pada wajahnya, Yoshitsugu menduga bahwa itu bukanlah senyuman pertanda kebahagiaan.

"...kau benar." Lalu Suzu membungkukkan badan. "Terima kasih banyak, Yoshitsugu-san. Kalau begitu, aku akan segera meminta izin pada Hideyoshi-sama."

"Ya."

Ketika ia mulai pergi berlawanan arah dari Yoshitsugu, pria itu dengan tak sengaja mencium aroma yang bukan milik Suzu. Yoshitsugu menoleh ke belakang, memandang gadis bersurai perak itu menjauh. "Sepertinya... ada pemicu yang mengubah arusnya."

Kemudian Yoshitsugu berniat mengunjungi kamar pribadi Takatora. Pintu shoji kamarnya tersebut terbuka, manik kelabunya tertuju pada Takatora yang tengah memasang jubah biru.

Menyadari kedatangannya, Takatora menoleh ke belakang. "Aku tak menduga kau yang telah mengubah arusnya. Awalnya aku mengira kelinci itu dapat membukakan matamu, tapi ternyata dugaanku salah."

Alis lawan bicara Yoshitsugu menyempit dalam amarah. "Membukakan mataku? Bicara apa kau? Aku tidak peduli jika kau mau menyalahkanku."

"Aku memang tak pernah mengatakan itu. Ini semua telah ditentukan sendiri oleh arus. Kau tahu sendiri bahwa aku berniat untuk tidak melawannya." Yoshitsugu mengangkat bahu. "Lagipula, kau melakukan ini demi dirinya. Tapi tak kusangka akan berakhir seperti ini."

"Hmph..." Takatora hanya mendengus. Ketika tangannya masuk ke dalam kantong dada dalam jubah birunya, ia mengambil benda yang ada di dalam kantong itu kemudian meratapinya.

Sebuah omamori. Jimat perlindungan yang pernah Suzu berikan saat ia masih anak-anak dan dirinya saat masih bernaung pada Nagamasa. Kelopak matanya menurun.

'Apakah tidak apa jika aku terus menyimpan jimat ini...?'

"Kau memang buruk dengan setiap hal yang menyangkut perasaanmu."

Mendengar ucapan itu dari teman lamanya, Takatora menolehi Yoshitsugu. Namun pria berkerah tinggi itu hanya mendengus pelan kemudian bertolak pergi.

-XXX-

Sementara itu, Suzu tengah merendam tubuhnya di sebuah bak kayu berisi air hangat. Jemarinya menyentuh bibirnya, hingga kini ia masih merasakan dan membayangkan bagaimana saat bibir mereka saling bertautan.

Semua itu bukanlah mimpi, namun Suzu masih tak bisa mempercayainya. Di saat Takatora menyentuh, mencium, semua itu membekas jelas dalam ingatannya. Bahkan disaat tubuh mereka saling terhubung, kenikmatan itu masih menggelitik sekujur tubuhnya.

Suzu mengepalkan kedua tangannya di depan dada dan memejam erat matanya. Berusaha mengatur kembali ketidakteraturan ritme napasnya.

"Tak apa jika kau tak mengerti. Suatu saat, kau pasti bisa melupakan semuanya."

Ia tak ingin melupakan momen saat itu. Suzu merasa yakin bahwa malam itu adalah saat Takatora mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya, namun tak dapat ia ungkapkan dalam seuntai kata. Pria itu kini berniat untuk membuang segala perasaannya dan tak lagi memiliki harapan sekecil apapun untuk dirinya sendiri. Takatora tak ingin Suzu menyaksikan kengerian dan kekacauan yang mengguncang dunia lebih jauh. Karena ia tak ingin kehilangan orang yang amat ia hargai untuk kesekian kalinya.

Demi hal itu, mereka harus membuang jauh perasaan mereka agar tak menderita lebih jauh lagi. Melupakan dan melepaskan akan membuat semua hal dalam kehidupan mereka akan lebih ringan. Sama sekali tak peduli dengan kekosongan hatinya. Karena tiap kepingan dari dalam dirinya ingin ia berikan pada hal yang amat ia hargai.

Yaitu Suzu itu sendiri.

Itulah keinginan pertama dan terakhir Takatora pada gadis itu.

Tapi semua itu mustahil. Semua kenangan itu telah membekas terlalu banyak dalam benaknya. Tak sedikit pun Suzu memiliki niat untuk melupakannya.

Namun, Suzu tahu tak ada yang mustahil. Seiring berjalannya waktu, ia pasti bisa melakukannya. Melupakan dan melepaskan, mungkin mustahil untuk saat ini. Namun roda waktu pasti akan membawanya dimana permintaan pria itu dapat terkabulkan olehnya.

Karena gadis itu amat mencintainya, ia bersedia melakukan apapun demi pria itu.

Tak selang berapa lama Suzu kembali ke kamar dan memasang kimono baru. Seseorang berdiri di depan shoji.

"Suzu-chan! Kamu belum bangun?"

Suara itu adalah Natsuko dari klan Kimura. Akhir-akhir ini gadis itu sering mengunjunginya di kala bosan. Mengingat perang di Shizugatake baru saja berakhir, gadis itu sama sekali tak memiliki tugas yang harus ia lakukan di istana selain membantu kakaknya meski tidak terlalu sering.

Kemudian Natsuko menggeser pintu dan langsung masuk. "Selamat pagi!" seru Natsuko dengan wajah ceria khasnya. Namun dengan seketika keceriaannya berubah ketika manik hijaunya tertuju pada kulit leher Suzu. "Suzu-chan! Lehermu kenapa?" tanya Natsuko bergegas menghampirinya.

"...eh? Leherku kenapa?" Suzu mengusap lehernya.

"Itu tuh! Untung saja tidak berdarah, hanya kemerahan kok. Tapi sepertinya itu bekas gigit."

Ingatan Suzu langsung mendera saat Takatora menjamah lehernya pada malam itu. Detak jantungnya tiba-tiba berdenyut keras. "...B-Begitu?" gumam Suzu sembari mengeratkan pakaiannya untuk menutup tanda di lehernya itu.

"Hmmm, aku tidak begitu yakin, tapi ya sudahlah! Lagian bekas itu sepertinya tidak parah. Nanti hilang sendiri." Suzu menghela napas lega berkat Natsuko yang tidak mempermasalahkan bekas gigitan tersebut. "Oh iya, kemarin aku mendinginkan semangka di sungai, lho! Rencananya aku ingin mengambilnya sekarang, jadi temani aku, ya! Tidak jauh kok!" Natsuko meraih kedua tangan Suzu.

Mengingat ia harus segera pergi, Suzu dengan pelan melepas genggamannya. "Um, Natsuko. Maaf aku tidak bisa pergi denganmu."

"Eh? Kenapa? Apa kamu punya tugas baru?"

Suzu menggeleng. "...Aku akan kembali ke rumahku."

Natsuko mengedipkan matanya, pelupuk matanya melebar. "Eh...? Kembali, maksudmu?"

Suzu tak langsung menjawab, seisi kepalanya mulai membayangkan bagaimana reaksi gadis itu jika ia memberitahu bahwa ia akan pergi dan takkan kembali. "Sekarang aku harus meminta izin pada Hideyoshi-sama..."

"Tunggu dulu, Suzu-chan! Kamu bercanda, 'kan? Lagipula kenapa kamu tiba-tiba memutuskan untuk pergi secepat ini...?"

"Maaf, tapi aku tidak ingin terlibat lebih jauh dengan kekacauan negeri ini. Aku... tak pantas berada disini."

"Bicara apa kau, Suzu-chan? Padahal... aku berharap kita bisa berteman lebih lama." Natsuko menggigit bawah bibirnya. "Apakah ini menyangkut kematian Oichi-no-Kata?"

Suzu terdiam dan menolak untuk saling bertemu pandang. Kemudian ia membungkuk. "Terima kasih telah menganggapku sebagai temanmu. Dan aku minta maaf..."

"Suzu-chan, ternyata benar, kamu..." Natsuko menarik napas. "Kau jahat!" Natsuko langsung lari bertolak meninggalkan kamar.

Suzu menatap kepergian gadis itu dalam diam. Manik merahnya kini kehilangan cahayanya seakan terlihat seperti mata yang telah mati. Namun setitik bulir air mata mengalir dari sebelah matanya.

"Ah... jadi seperti inikah rasanya memutuskan ikatan." Suzu membiarkan air matanya mengalir deras, matanya mulai basah dan sedikit sulit baginya menatap kepergian Natsuko. "Apakah Takatora-san juga merasakan hal yang sama denganku?"

-XXX-

Setelah menyampaikan pada pelayan istana bahwa Suzu ingin bertemu dengan Hideyoshi, ia meminta Suzu untuk menunggu di ruang pertemuan.

Di dalam ruangan yang luas dan kosong, Suzu duduk bersimpuh di tengah ruangan. Lalu Suzu mengalihkan pandangan ke pintu shoji yang digeser oleh Hideyoshi yang ditemani oleh Nene.

"Ada apa, Suzu? Jarang sekali kau ingin bertemu denganku. Apakah ada sesuatu yang menganggumu?" Hideyoshi duduk bersila di ujung tengah ruangan sedangkan Nene duduk di sebelahnya.

"Um... aku..." Agar dapat menenangkan diri, Suzu menarik napas kemudian menghembuskannya dengan pelan. Lalu menunduk dalam di hadapan mereka, dahinya hampir menyentuh tatami .

"Aku mohon maaf karena tiba-tiba mengatakan ini. Tapi kumohon, izinkan aku untuk pergi ke Pulau Sado."

Hideyoshi dan Nene mengerjapkan mata dengan terkejut. "Tunggu dulu, kenapa, Suzu...?" tanya Nene yang mulai tak bisa menenangkan diri.

"Onene-sama, maafkan atas kelancanganku karena telah mengabaikan nasihatmu. Sejak dulu aku ingin membalas kebaikan Tuan dan Nona tapi aku tak pernah bisa melunasinya. Seiring aku mengikuti medan perang, aku merasa... tempatku bukan berada disini."

Hideyoshi dan Nene kembali terkelu.

"Tapi kenapa Pulau Sado?" tanya Hideyoshi.

"...Sebenarnya disana adalah tempat kelahiran ibuku. Memang sudah tak lagi berpenghuni tapi aku yakin rumah mendiang ibuku masih berdiri di sana."

"Jadi maksudmu kau ingin pulang kesana?"

Suzu mengangguk pelan.

Hideyoshi dan Nene kemudian saling bertemu pandang. Sepasang alis sang istri menyempit kemudian mengangguk. "Mungkin memang inilah jalan yang terbaik untuknya," bisik Nene.

"Ya, sepertinya kita memang tak bisa melakukan sesuatu dengan traumanya. Padahal aku, maksudku kita... ingin menjaganya demi menghormati keinginan Nagamasa-dono. Sama seperti tiga putrinya," balas Hideyoshi. Kemudian mereka kembali menatap Suzu.

"Hm... baiklah. Tak apa, kami tak memaksamu untuk tetap tinggal disini, tapi kau bisa kembali kesini kapan saja kau mau." Hideyoshi manggut. "Kalau begitu aku akan menyuruh seseorang untuk mengantarimu kesana."

"Anu... sebenarnya sudah ada orang yang bersedia mengantarkanku kesana."

"Hm? Siapa?"

"...Takatora-san."

Sang pemimpin Hashiba itu kemudian berbalas pandang dengan istrinya. "Oh, begitu. Baiklah, aku mengizinkanmu. Kalau begitu aku akan menyuruh pelayan untuk mengantarimu menemui Hidenaga untuk meminta izin darinya."

Pintu shoji terbuka, seorang pelayan yang akan mengantari Suzu menunduk dalam menghadap mereka.

"Nah, kalau begitu jaga dirimu," lanjut Hideyoshi.

Kemudian Nene menghampiri Suzu, menahan kedua bahunya. "Pasti sulit bagimu menghadapi semua ini. Maaf ya."

Suzu menggeleng pelan. "Tidak, saya yang seharusnya meminta maaf."

Nene tersenyum sedih. "Sudah, tak apa. Jangan dipikirkan." Kemudian Nene meminta seorang pelayan untuk membawakan sesuatu untuknya. Pelayan itu memberikan sebuah peti kecil pada Nene, kemudian Nene memberikannya pada Suzu.

"Ambillah ini, Suzu." Nene membukakan tutup peti itu, mata mereka tertuju pada isi peti tersebut yang merupakan sebuah kanzashi yang berbentuk bunga sakura .

"Maaf atas kelancanganku, Onene-sama. Tapi aku tak pantas menerima apapun darimu."

"Suzu, sebenarnya aku telah lama mempersiapkan ini dan ingin memberikannya setelah kamu menikah. Jadi aku ingin kamu menerimanya, ya?"

"Maafkan aku. Tapi aku..."

Sepasang mata Nene terbelalak setengah terkejut melihat tangan Suzu yang bergemetar. Tak tahu apa yang telah membuatnya seperti itu, Nene terpaksa menarik kembali hadiah itu. "Baiklah..."

"Kalau begitu, saya mohon pamit. Semoga kedamaian negeri ini berpihak pada Hideyoshi-sama." Suzu kembali menunduk dalam pada mereka.

-XXX-

Sementara itu di tengah lorong istana, Masanori menahan kerah Takatora dengan kuat. Pria beriris biru itu sama sekali tak melawan. "Aku sudah mendengar semuanya dari Ojiki. Kenapa kau ingin membuang dia ke tempat jauh!?"

"Masanori, hentikan!" bentak Kiyomasa sambil menahan Masanori yang dibantu oleh Aki. Nene telah memberitahu pada ketiga anak didiknya bahwa Suzu akan pulang ke Sado. Namun ketika mendengar Takatora yang akan mengawalinya, mereka yakin pria itulah yang telah mendorongnya untuk pergi. Sejak kematian istri dari mantan majikannya dari klan Azai itu, ia yakin Takatora tak ingin melibatkannya lebih jauh dengan kekacauan negeri ini.

Masanori dengan keras kepala melepas genggaman Kiyomasa dan Aki dan langsung memukul wajah Takatora. Cengkraman pada kerahnya terlepas setelah menerima pukulan keras dari Masanori. Takatora masih tak mengatakan apapun.

"Aku memang bodoh, tapi kau jauh lebih bodoh! Apa kau tidak sadar!? Semenjak kau datang kesini, Suzu-chan sudah bisa mulai tersenyum! Ia selalu membicarakanmu dan selalu ingin mengikutimu! Dia benar-benar berbeda dari sejak kami bertemu dengannya saat pertama kali!" Masanori mengepalkan kedua tangannya dan menggertakkan gigi. "Tapi kau malah membuangnya begitu saja!"

Masanori bersiap melayangkan pukulan kedua. Kiyomasa dan Aki kembali berusaha menahan Masanori.

"Masanori, tenanglah." Seorang pria berkerah tinggi muncul dihadapan mereka, seperti biasa ia menemani Mitsunari. "Coba kau pikirkan, memang tak ada salahnya jika dia tetap berada di sini. Tapi, saat ini dia sangat tertekan. Apakah kau tahu apa yang membuatnya memutuskan hal ini?" ucap Yoshitsugu. "Saat Istana Kitanosho terbakar beberapa hari yang lalu, insiden itu membuka luka lamanya. Bibinya mati dengan cara yang sama seperti istri dari mantan majikan pertama kami."

"Aku tahu itu! Tapi bukankah artinya itu akan dia akan sendirian disana!?"

Hening menyusup suasana tegang diantara mereka. Yoshitsugu kembali menjawab. "Itu adalah keputusan 'dia' sendiri."

"Kenapa kau bisa setenang itu!?" bentak Masanori.

"Sebenarnya aku sependapat denganmu, Masanori," ucap Kiyomasa menyentuh bahunya. "Sejujurnya tidak masalah jika ia pulang ke tempat seharusnya ia berada. Tapi, jika ia pulang dengan hatinya yang masih tak tertolong. Aku ingin melakukan sesuatu untuk membuatnya kembali."

"Itu tidak perlu," Mitsunari mulai angkat bicara.

"Ya, aku tahu itu." Kiyomasa mengarahkan pandangannya ke Takatora. "Mungkin rasanya aku tak perlu mengatakan ini, tapi kau memiliki waktu untuk membuka hatinya lagi. Memang kami juga anak didik dari Hideyoshi-sama sama seperti Suzu, tapi aku yakin kau yang lebih pantas untuk-"

"Aku tak memiliki waktu untuk membicarakan omong kosong ini," sahut Takatora. "Kau tak perlu memberitahuku." Takatora kemudian berbalik meninggalkan mereka.

"Brengsek! Tunggu kau!"

"Masanori, sudahlah."

Pria itu mengarahkan tujuannya ke luar istana, dimana seorang pelayan telah membawakan barang pribadi Suzu. Gadis bersurai perak itu tengah duduk dibawah pohon. Melihat kedatangan Takatora, Suzu langsung menghampirinya.

"Takatora-san...?" Sepasang manik indahnya terbelalak melebar, gadis itu menghampirinya lebih dekat. "Wajahmu kenapa bisa seperti ini?" Suzu bergegas mengusap wajah Takatora dengan saputangan.

Takatora tak menjawab, biji biru matanya terkunci memandang gadis itu. Suzu berusaha keras agar tak membalas pandangannya dan memusatkan perhatiannya pada bekas luka di ujung bibirnya. Menyadari itu, Takatora kemudian menyentuh punggung tangan Suzu yang berada di wajahnya, sehingga dengan spontan Suzu berhenti dan mulai saling menatap.

"Kurasa... semuanya sudah tak ada artinya. Tak ada satu pun yang tersisa," gumam Takatora.

Gadis itu mengedipkan mata, lalu menurunkan kepala. "...um." Sebuah senyuman sendu terukir pada wajahnya. "Tuan benar. Jika itu memang benar, lalu mengapa... demi apa kita dipertemukan?" lirih Suzu.

Mulut pria itu sedikit terbuka. Pikirannya mulai bekerja mencari jawaban dari pertanyaan Suzu. Namun sekeras apapun mereka memikirkan itu, tak ada pintu jawaban yang terbuka oleh mereka.

-XXX-

静けさから生まれて

まだぬくもりも知らず

ただに届きたいの

夜を越えて

なつかしいなつのあめ

私を見送ってね

信じ合う始まりへ

泣きながら行けるように

よろこびもかなしみも

刻みつけたい深く

貴方とここにいる

さいわいの名残に

星くずが消える頃

初めて見る光の中で

その瞳でくちづけ

恋した跡を下さい

生きることに貫かれて

泣いてみたい

静けさから歩き出す

まだ見ぬ遠い夜明けへ

ただ願いを叶えたいの

夜を越えて

~ Kalafina, 傷跡

-XXX-

つづく

-XXX-