Orpheus and Eurydice

Story by C.C

.

Naruto © Masashi Kishimoto

I don't take any profit from this fict!

.

Alternate Universe, Highschool, Some OC & A Lil' bit OOC.

Drama, Hurt-Comfort & Friendship

.

Hope you can enjoy it and give me your feedback? :)


.

Chapitre Un

Au revoir ... Paris!

.


Alunan nada yang mengalun lembut keluar dari pemutar CD di sudut ruangan berukuran 7 x 10 meter itu, mengiringi gerakan seorang gadis berambut soft pink panjang yang sedang berada di tengah ruangan. Gadis itu bergerak halus mengikuti alunan lagu yang bergaung di dalam ruangan sambil memperhatikan gerakannya melalui cermin-cermin besar yang ada di setiap sisi dari dinding ruangan itu. Gerakannya halus, namun lambat laun berubah menjadi agak cepat, sampai akhirnya ia akan melakukan gerakan terakhir dari tariannya itu saat pintu ruangan menjeblak terbuka dengan cukup keras. Gadis itu pun segera menghentikan gerakannya dan beralih menatap ke arah satu-satunya pintu di ruangan itu.

"Hei! Apa yang—"

"Cherry!" seru seorang gadis lain yang tadi menyebabkan bunyi keras akibat pintu yang ia banting saat masuk ke dalam ruangan. Gadis itu segera menyusul ke tengah ruangan setelah sebelumnya mematikan pemutar CD. "Apa maksudnya ini?!" tanya gadis itu lagi dengan pandangan menuntut sambil mengacungkan sebuah kertas pada gadis yang dipanggilnya 'Cherry' itu.

"Kenapa tiketku bisa ada padamu, Karin?" Bukannya menjawab, gadis pink itu malah balik bertanya pada gadis berambut merah yang dipanggilnya Karin. "Pasti si bodoh itu yang memberikannya padamu, kan?" tanyanya lagi. Ia lalu merebut kertas yang berisi informasi penerbangan dari Paris ke Jepang, di mana tertulis namanya— Haruno Sakura— di kolom nama penumpang, yang dipegang Karin.

"Ya. Aku baru saja dari apartemen Menma dan menemukan tiketmu di sana. Kau benar-benar akan kembali, Cherry? Bagaimana dengan grand-mère-mu? Dia sudah menyetujuinya?" tanya gadis yang bernama lengkap Uzumaki Karin itu— lagi.

Sakura hanya menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia kemudian beranjak ke sudut ruangan yang lain untuk memasukkan tiket keberangkatannya ke dalam tas. "Tentu saja dia akan menentang keras," jawab Sakura dengan nada rendah. Ia lalu meneguk botol minuman berwarna merah yang terletak di samping tasnya setelah menjawab pertanyaan Karin.

"Lalu kenapa kau tetap membeli tiket untuk kembali ke Jepang?" tanya Karin penasaran. Ia menyusul Sakura dan duduk di sampingnya yang sedang menyeka keringat di wajah cantiknya.

"Kenapa tidak? Aku sudah 17 tahun, dan aku sudah berhak mengatur hidupku sendiri. Lagipula grand-mère, kan, bukan orangtuaku. Sudah cukup aku menemaninya tinggal di sini selama tujuh tahun," jawabnya acuh tak acuh.

"Jangan bilang kalau kau akan pergi diam-diam?" tebak Karin, diiringi dengan tatapan ngeri dari kedua bola mata ruby miliknya. Tujuh tahun ia mengenal Sakura karena rumah mereka yang berdekatan, dan ia kenal betul bagaimana watak dari nenek Sakura yang sangat tegas dan tidak menerima bantahan ataupun penolakan itu.

Sakura mengangguk pelan. "Mm-hmm. Kaupikir untuk apa aku bekerja part-time diam-diam mengajar tari di studio ini, kalau bukan untuk menabung membeli tiket kembali ke Jepang? Kautahu bagaimana grand-mère-ku, kan? Kurasa hanya dia satu-satunya grand-mère di dunia ini yang memisahkan seorang anak dengan orangtuanya selama tujuh tahun," ucap Sakura dengan nada yang lambat laun semakin meninggi. "Bayangkan saja, Karin! Tujuh tahun aku tidak diperbolehkan menemui orangtuaku. Selama itu aku hanya mendengar suara mereka lewat telepon saja. Karena itu aku sudah merencanakan hal ini sejak lama," sambungnya dengan nada lirih.

Karin yang mendengar nada lirih Sakura kemudian melembutkan ekspresinya dan menepuk pelan bahu Sakura. "Bagaimana dengan passport-mu? Bukankah grand-mère-mu menahannya?"

"Itulah kenapa aku menunggu umurku 17 tahun, Karin. Aku membuat pengaduan kehilangan passport, dan mengurus passport sementara. Setidaknya agar aku sampai di Jepang dengan selamat," jawab Sakura. Ia mulai membereskan barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. "Kaupikir kenapa tiketku bisa ada pada Menma?" tanya Sakura lagi saat mendapati tatapan bertanya Karin atas jawaban yang ia berikan tadi.

Seolah langsung mengetahui apa maksud Sakura, Karin menjentikkan ibu jari dan jari telunjuk tangan kanannya. "Ah! Aku melupakan Paman Minato. Bagaimana aku tidak kepikiran tentang itu, ya?" celetuknya yang tiba-tiba mengingat profesi dari pamannya itu yang bekerja sebagai duta besar Jepang untuk Perancis. Ia kemudian mengikuti Sakura yang sudah beranjak dari tempat duduknya ke sudut ruangan lain untuk mengambil jaket merah panjangnya dan memakainya.

"Tidak heran. Sepertinya otakmu menjadi sedikit buntu karena sering mendapatkan kilatan blitz dari kamera yang memotretmu, Karin," ucap Sakura dengan nada sarkastik.

"Enak saja!" seru Karin yang mengacak-acak rambut Sakura.

"Tch! Hentikan, Karin! Kau merusaknya," protes Sakura yang membenarkan rambut panjangnya akibat perbuatan Karin. "Kau sendiri kenapa bisa ada di sini? Bukannya kau ada pemotretan di Lyon hari ini?" tanyanya saat ia dan Karin sedang menuruni tangga menuju lantai bawah studio tari itu.

"Pemotretannya ditunda sampai besok karena beberapa hal, jadi hari ini aku free," ucap Karin senang. Jarang-jarang dia punya waktu luang seharian, mengingat profesinya sebagai model profesional. "Karena aku sedang free, kau harus menemaniku seharian ini keliling kota Paris. Anggap saja jalan-jalan terakhir kita sebelum kau kembali ke Jepang," sambungnya kemudian.

"Asal kau mentraktirku seharian tidak masalah. Kautahu, kan, semua tabunganku habis untuk membeli tiket pulang," sahut Sakura santai.

"Tck, dasar pemeras!" gerutu Karin dengan nada bercanda. Ia lalu tersenyum tipis dan kembali mengacak-acak rambut Sakura— kebiasannya— yang disambut gerutuan dari gadis yang dua tahun lebih muda darinya itu.

"Bonjour, jolies filles," ucap seorang wanita bertubuh agak tambun yang duduk di balik meja resepsionis di lantai bawah. Wanita itu memiliki iris berwarna abu-abu dan wajah bulatnya dibingkai oleh rambut ikal berwarna pirang keemasan

"Bonjour, Carrisa," balas Sakura pada wanita bernama lengkap Carrisa Rousseau, pemilik studio tari itu. "Seperti yang kukatakan kemarin, hari ini adalah hari terakhir aku mengajar di sini," ucap Sakura lagi.

"Quel dommage! Padahal kau sangat membantuku selama ini," balas Carrisa dengan wajah sedih.

Sakura hanya tersenyum tipis dan berjalan ke arah Carrisa. Ia memeluk wanita yang selama ini bersedia memberikan tempat untuknya menari tanpa harus diketahui oleh sang nenek. "Merci pour tout, Carrisa," ucapnya kemudian.

"À tout moment, cher," sahut Carrisa yang membalas pelukan hangat Sakura.

"Kalau begitu, aku pergi dulu," pamit Sakura.

"Hmm. Kalau kau datang lagi ke Paris, jangan lupa mampir ke studioku," pesan Carrisa pada Sakura yang sudah berada di samping Karin.

"Bien sûr!" ucap Sakura, sebuah senyum manis ia hadiahkan untuk Carrisa. Setelah itu, ia dan Karin pun berjalan keluar dari Rousseau Dance Studio yang biasa disebut RoDas.

"Lalu, kau akan bersekolah di mana?" tanya Karin saat ia dan Sakura telah berada di dalam mobilnya.

"Kata Ibu, aku akan bersekolah di Konoha Art Academy, sekolah seni terbaik di Jepang dan tidak sembarangan orang bisa masuk ke sana. Kudengar tidak sedikit alumni mereka yang bisa lulus masuk ke Juilliard Art School di New York," ujar Sakura dengan nada senang.

"Orangtuamu yang memasukkanmu ke sana?" tanya Karin lagi.

Sakura mengangguk sebagai jawaban. "Aku belum menyampaikan kabar baik lainnya, ya? Orangtuaku sudah selesai melakukan tour dunia mereka, jadi mereka juga sudah kembali ke Jepang."

Meskipun hanya melihat Sakura dari sudut matanya, tapi Karin yakin saat ini gadis merah jambu itu sedang tersenyum lebar. "Baguslah kalau begitu. Aku juga turut senang kalau kaubisa melanjutkan cita-citamu," tukas Karin yang masih fokus pada jalanan di hadapannya.

"Tapi masalahnya, aku tidak bisa langsung masuk ke departemen seni tari mereka," lirih Sakura.

"Hee? Kenapa?"

"Aku kan murid pindahan, jadi mereka melihat berdasarkan nilai-nilaiku di sini. Dan seluruh prestasi yang berhasil kuraih sejauh ini bukan karena bakat menariku, melainkan karena bakat permainan biolaku," jawab Sakura dengan nada tidak bersemangat.

"Apa tidak ada cara agar kaubisa dipindahkan ke departemen seni tari?" tanya Karin lagi. Kali ini sudut matanya dapat menangkap segaris ekspresi kecewa dari Sakura.

"Tidak tahu," jawab Sakura sambil mengangkat kedua bahunya, "kata Ibu kemungkinan itu ada, karena setiap semester mereka mengadakan tes kemampuan untuk setiap murid. Jadi kalau aku bersungguh-sungguh, mungkin mereka akan melihat bakat tariku dan memindahkanku ke departemen seni tari," lanjutnya kemudian.

"Lalu bagaimana dengan biolamu? Sayang sekali kau menyia-nyiakannya, padahal menurutku kau itu seorang violinist yang jenius," tukas Karin dengan nada ringan.

"Aku tidak menyia-nyiakannya, Karin," bantah Sakura, "aku tidak membenci apa yang kulakukan selama ini. Aku tetap menikmati setiap saat aku memainkan biolaku, tapi kecintaanku pada tari lebih besar daripada kecintaanku pada biola dan musik klasik," ucap Sakura kemudian. Ia melihat-lihat keadaan kota Paris hari itu melalui kaca jendela mobil Karin. "Dan sampai sekarang aku masih bertanya-tanya, kenapa grand-mère sangat menentang keras keinginanku untuk menjadi seorang penari? Padahal bermain musik dan menari, kan, sama-sama seni," sambungnya lagi dengan nada protes.

Karin hanya terkekeh pelan mendengar gerutuan sahabatnya itu. "Dia pasti punya alasan tertentu kenapa dia mati-matian melarangmu menjadi seorang penari profesional," komentar Karin. "Kalau begitu, lupakan sejenak masalah itu. Kau mau kita ke mana, sekarang?" tanya Karin; mencoba mengalihkan pembicaraan. Ia tidak mau Sakura menghabiskan hari ini dengan mood yang sangat buruk.

Sakura tampak berpikir. "Aku malas jalan-jalan keluar karena udara di luar dingin," ujar Sakura yang membicarakan temperatur kota Paris yang jarang sekali melebihi 15°C. "Kita ke apartemen Menma saja, aku ingin menyuruhnya memasak makanan yang hangat dan berkuah," ucapnya kemudian.

"Bukan ide buruk, kurasa saat ini dia masih di apartemennya bersama dengan gadis pirang yang entah siapa namanya. Kita hanya perlu mengusirnya saja, kan?" tukas Karin tenang.

Sakura menghela napas pasrah mendengar perkataan Karin. Sahabatnya yang satu itu— Namikaze Menma— tidak bisa berhenti bermain bersama gadis-gadis bule yang mendekatinya. "Kali ini siapa? Abela? Alice? Adelle?" tanya Sakura.

"Tidak tahu, kan sudah kubilang aku tidak punya waktu untuk mengingat nama-nama gadis yang dikencani sepupuku yang satu itu," jawab Karin pasrah. "Sifatnya berbeda sekali dengan Naruto." Kali ini Karin berbicara tentang kakak kembar Menma.

"Ah, ya! Omong-omong tentang kakak kembar Menma yang bernama Naruto itu, sepertinya aku akan satu sekolah dengannya," ujar Sakura saat mengingat apa yang dikatakan Menma di telepon kemarin malam.

"Oh, ya! Setauku Naruto juga bersekolah di sekolah seni Jepang, tapi aku tidak tahu kalau itu sekolah yang tadi kausebut," sahut Karin. "Baguslah kalau ada seseorang yang kaukenal, setidaknya kau tidak akan sendirian saat hari pertama di sekolah barumu," lanjutnya.

"Aku tidak mengenalnya, Karin. Bertemu dengan orangnya saja tidak pernah, selama ini aku tahu tentang Naruto karena ceritamu dan Menma," sergah Sakura.

"Tenang, kau akan cepat mengenalnya. Naruto itu punya kepribadian yang bertolak belakang dengan Menma, lebih menyenangkan dan berisik tentunya," jelas Karin

Sakura hanya terkekeh pelan mendengar perkataan Karin. Tak ada percakapan lagi setelah itu, baik ia ataupun Karin sibuk dengan pikirannya masing-masing. Hanya lantunan lembut Etude Op. 10-3, Chopin de L'Adieu,'Tristesse' yang keluar dari pemutar CD di mobil Karin yang ia putar tadi. 'Tristesse, huh? Bagaimana kabarnya sekarang, ya?' batin Sakura saat tiba-tiba pikirannya tertuju pada seseorang yang ia kenal dan sangat mahir memainkan lagu favorite-nya itu.

.

.

.

Kedua emerald Sakura memandang jam dinding berwarna biru muda yang tergantung di dinding kamar serba pink-nya. Jarum pendek jam tersebut menunjuk angka sembilan dan jarum panjangnya mengarah ke angka 12. 'Sudah jam sembilan,' pikirnya. Ia yang tadinya sedang duduk di meja belajar dengan earphone yang terpasang di kedua telinganya, segera beranjak ke arah kamar mandi. "Sudah saatnya," gumam Sakura.

Tiga puluh menit berselang sejak Sakura memasuki kamar mandi, ia telah siap dengan t-shirt putih yang dipadukan dengan cardigan panjang berwarna merah muda serta bawahan berupa celana jeans berwarna biru tua. Casual adalah gaya kesukaannya, meskipun Karin selalu memprotes selera berpakaiannya itu. "Percuma kau tinggal lama di kota fashion ini kalau kau tidak bergaya!" Begitulah kata-kata Karin setiap kali melihat gaya berpakaian Sakura yang cukup simple. Namun sebenarnya, bagaimanapun ia berpakaian, Sakura tetap terlihat cantik apa adanya.

Sakura memandang cermin, memperhatikan rambutnya yang tak lagi panjang. Kemarin ia memotong rambutnya hingga sebahu— yang lagi-lagi membuat Karin melayangkan protes kerasnya. Bukannya ia tak suka memiliki rambut panjang, hanya saja ia berpikir sudah saatnya ia mencoba hal baru karena hari ini adalah titik balik kehidupan menjemukannya selama tujuh tahun belakangan. "Parfait!" ucap Sakura senang. Ia lalu memandang kamar serba pink-nya sejenak dan bergumam, "Au revoir..."

Sakura lalu keluar dari kamarnya dengan hanya membawa softcase biola miliknya dan tas samping yang biasa ia bawa ke mana-mana. Sepanjang jalan menuju lantai bawah rumah mewah milik neneknya, Sakura hanya membalas ramah sapaan dari para pelayan rumah itu. Sampai akhirnya ia bertemu dengan sang kepala pelayan. "Bonjour, tante Allegra," ucapnya pada sang kepala pelayan.

"Anda akan berangkat ke tempat les biola Anda, nona?" tanya kepala pelayan yang bernama Allegra itu.

Sakura mengangguk pelan. "Tolong katakan pada oncle Abelard kalau hari ini aku akan naik taksi saja," ucap Sakura lagi.

"Ah, baiklah, Mademoiselle Sakura," sahut Allegra sambil mengangguk pelan.

Setelah mendengar perkataan Allegra yang sepertinya tidak mencurigai tindak tanduknya yang memang tidak terlihat mencurigakan, Sakura mengembuskan napas lega. Meskipun mungkin di mata orang-orang yang ada di rumah itu apa yang dilakukan Sakura adalah aktivitas yang biasa ia lakukan setiap hari Minggu tiba, namun tetap saja Sakura merasa was-was kalau saja rencananya hari itu akan terbongkar.

Sebuah taksi berwarna putih telah terparkir di depan pintu rumah tersebut. Sakura segera menaikinya dan mengatakan tempat tujuan yang akan ia kunjungi. Ia mengetikkan sesuatu di ponsel layar sentuhnya sebelum memandang ke arah jalanan yang sedang ia lalui.

"Aku akan kembali ke Jepang hari ini."

-oo-

Sakura memperhatikan jam tangan berwarna putih yang melingkar di pergelangan tangan kirinya; menunjukkan pukul 10.30 waktu setempat. 'Masih dua jam lagi,' batinnya.

Saat ini ia sedang berjalan menyusuri Sungai Seine yang terbentang di samping kanannya untuk menghabiskan waktu menunggu jam keberangkatannya ke Jepang. Sakura menghirup udara musim semi Paris dalam-dalam. Setelah ini, ia tidak akan menghirup udara yang selalu sejuk itu untuk beberapa waktu.

Tiba-tiba alunan nada Peer Gynt Suite Op. 46 'Morning Mood' milik Edvard Grieg terdengar dari ponselnya. Sakura buru-buru mengambil ponselnya di dalam tas, begitu mendengar nada dering tersebut. "Allô?" serunya senang saat menerima telepon dari seseorang yang sangat ia nantikan. "Kenapa baru menelponku sekarang?" Kali ini nada bicaranya berubah kesal apalagi terdengar suara kekehan di seberang telepon.

"Je suis désolé, Mademoiselle Sakura. Aku terlalu sibuk di sini sampai lupa menghubungimu," ucap suara seorang laki-laki di ujung telepon.

"Ya, ya ... aku tahu kalau pameranmu itu lebih penting daripada sekedar memberi kabar pada sahabatmu ini," ujar Sakura dengan nada yang dibuat kesal. "Kausudah minum multivitaminmu?" tanya Sakura. Terdengar gerutuan dari seberang telepon karena pertanyaan yang ia ajukan kepada si penelpon; membuatnya tersenyum kecil.

"Kau terdengar seperti ibuku, Sakura. Aku tidak mungkin lupa meminumnya kalau ada seseorang yang selalu memberondongiku dengan banyak pesan di saat jam aku harus minum multivitaminku," ucap orang itu lagi dengan nada sindiran yang ditanggapi dengan kekehan oleh Sakura. "Jadi, kau akan berangkat ke Jepang hari ini?" tanyanya— mencoba mengalihkan pembicaraan.

Sakura mengangguk pelan seolah lawan bicaranya melihat anggukannya itu. "Mm-hmm. Sekarang aku sedang menghabiskan waktu menunggu jam keberangkatanku dengan menyusuri pinggiran Sungai Seine," tukas Sakura santai. Setelah itu, Sakura tenggelam dalam perbincangan ringan dengan lawan bicaranya di telepon sampai waktu menunjukkan pukul 11.45

"Hei, aku sudah harus bergegas ke bandara kalau tidak ingin ketinggalan penerbanganku. Nanti aku akan menelponmu saat aku sudah tiba di Jepang, ne? Jangan lupa mengirim foto-fotomu selama di Venice," ucap Sakura sebelum mematikan sambungan telepon. Ia lalu menghentikan sebuah taksi dan menyebutkan bandara Charles de Gaulle sebagai tujuannya.

-oo-

Sakura mempercepat langkah kakinya memasuki pelataran salah satu bandara tersibuk di dunia, bandara Charles de Gaulle. Ia berusaha menghubungi Karin yang katanya ingin bertemu di bandara setelah pemotretannya selesai hari ini. Ia berjalan mengikuti petunjuk arah untuk menuju ke jalur pemberangkatan International. Langkah kakinya terhenti sejenak saat emerald-nya melihat layar monitor besar yang memampang jadwal keberangkatan hari itu. Sakura lalu memastikan jadwal keberangkatannya di layar monitor besar itu dengan tiket yang ia pegang. Setelah memastikan bahwa ia sudah bisa melakukan check in, ia kemudian kembali berjalan.

Dukk

Sakura meringis pelan saat merasakan pundak kirinya terbentur sesuatu— atau mungkin seseorang. Namun karena nada sambung di ponselnya berbunyi, ia hanya membungkuk sekilas pada orang yang mungkin tidak sengaja ia tabrak tadi, "Je suis désolé," ucapnya buru-buru, lalu kembali berjalan. "Kau di mana?" tanyanya saat seseorang di seberang telepon menjawab. Dan kemudian Sakura tenggelam dalam pembicaraannya dengan seseorang di telepon tanpa memedulikan orang yang tadi ia tabrak.

Sedangkan pemuda berambut merah yang tadi Sakura tabrak hanya memperhatikan Sakura yang telah berlalu dengan pandangan heran. Pandangan matanya yang tertutup oleh kacamata hitam tidak sengaja mengarah ke bawah dan mendapati sebuah gantungan boneka panda yang sudah lusuh. "Apa ini milik gadis tadi?" gumam pemuda itu. Ia sudah akan membuang gantungan itu ke tong sampah saat tiba-tiba sesuatu melintas di pikirannya, dan membuat ia tidak jadi membuang gantungan panda itu.

-oo-

"Kenapa lama sekali? Sudah seperti aku dan Menma saja yang akan berangkat," protes Karin yang bertolak pinggang di hadapan Sakura.

"Gomen, gomen ... tadi aku lupa waktu saat sedang berjalan-jalan di sekitar Sungai Seine," jawab Sakura. Ia lalu melirik ke arah pemuda berambut hitam yang berdiri di samping Karin. "Kau membawa makanan untukku, Menma?" ucap Sakura diiringi dengan cengiran khasnya.

"Dasar merepotkan!" gerutu pemuda bernama Menma itu. Ia lalu menyerahkan kotak makanan yang sudah ia persiapkan untuk Sakura.

"Apa isinya?" tanya Sakura antusias.

"Macaron dan beberapa potong Sachertorte," jawab Menma.

Sakura lalu berseru senang mendengar jawaban dari Menma. "Merci beaucoup, Menma!" ucapnya sambil memeluk Menma yang segera melepaskan pelukan Sakura karena terlalu erat.

"Cherry, kaubisa gemuk kalau terus-terusan mengonsumsi makanan manis seperti itu," potong Karin yang menggeleng-gelengkan kepala melihat Sakura yang begitu senang dengan pemberian Menma yang menurutnya tidak seberapa itu.

"Biar saja, toh badanku tidak seperti badanmu, Karin. Makan sebanyak apapun berat badanku tidak akan naik," sahut Sakura, membicarakan fakta tubuhnya yang menjadi satu-satunya hal yang membuat Karin iri padanya. "Lagipula setelah ini aku tidak akan merasakan makanan buatan Menma lagi. Apalagi macaron buatannya yang tidak ada tandingannya itu," ucap Sakura dengan nada sedih.

"Sudahlah, kenapa kau jadi ragu hanya karena macaron buatanku?" tukas Menma yang sedari tadi hanya memperhatikan perbincangan dua orang gadis itu. "Cepat lakukan check in, kau sudah dipanggil," sambungnya saat suara petugas bandara yang mengumumkan bahwa penumpang dengan tujuan penerbangan ke Jepang sudah bisa memasuki pesawat.

"Ini," kata Karin sambil menyerahkan sebuah tas jinjing berukuran sedang pada Sakura. "Aku sudah mengira kau tidak membawa satu potong baju pun agar tidak dicurigai grand-mère-mu. Jadi aku membawa beberapa potong bajuku untuk kaubawa pulang," jelasnya saat melihat tatapan bingung Sakura.

"Karin, aku bukan ingin berlibur. Aku akan pulang ke rumah, jadi aku tidak perlu repot-repot membawa baju segala," protes Sakura.

"Sudahlah, anggap saja itu oleh-oleh dariku untukmu," paksa Karin.

Sakura hanya pasrah menerima paksaan Karin yang tentunya tidak akan bisa ia tolak. "Baiklah, aku pergi dulu teman-teman. Aku akan sangat merindukan kalian," ucap Sakura pelan. Ia lalu memeluk Karin erat seolah tidak ingin berpisah dari sahabat yang sudah ia anggap seperti kakaknya itu.

"Hei, kau sudah berjanji untuk tidak menangis, kan?" ucap Karin dengan nada bergetar. Ia sendiri sebenarnya sudah menitikkan air mata, untung saja kacamata hitam yang ia pakai dapat menyembunyikannya dengan sempurna.

Sakura lalu beralih pada Menma yang hanya menatapnya sambil tersenyum tipis. "Kau sudah mendapatkan pelukan tadi," ucapnya sambil menyeka setitk air mata yang mengintip di kedua sudut matanya. Tapi pada akhirnya ia kembali memeluk Menma dengan erat. "Terima kasih untuk bantuanmu selama ini," ucap Sakura tulus.

"Hmm. Kau akan baik-baik saja di sana dan bertemu teman-teman yang baik. Aku sudah meminta tolong pada si pirang bodoh itu untuk membantumu di sana," ucap Menma yang diiringi oleh jitakan pelan dari Karin di kepalanya.

"Tidak sopan kau menyebut kakakmu seperti itu!" seru Karin. "Ah, bagaimana dengan grand-mère-mu?" Tiba-tiba karin teringat dengan nenek Sakura yang tidak mengetahui tentang keberangkatan Sakura hari ini.

"Grand-mère pergi saat aku keluar rumah tadi pagi. Jadi aku meninggalkan pesan untuknya di ruang kerjanya," jawab Sakura.

"Aku pasti akan dibunuhnya jika dia tahu bahwa aku membantumu kabur seperti ini," tukas Karin ngeri.

"Kau berlebihan, Karin-nee," celetuk Menma ringan.

"Mm-hmm, setidaknya grand-mère tidak akan memasukkanmu ke penjara hanya karena hal ini," ucap Sakura sambil terkekeh pelan. Ia tersenyum sekali lagi pada dua sahabat yang begitu berharga baginya itu. "Baiklah, aku akan menghubungi kalian saat sudah tiba di Jepang. Jaga diri kalian baik-baik, ya?"

"Hmm. Kau juga, Cherry. Jaga dirimu baik-baik," balas Karin yang sebenarnya ingin sekali menangis, terlihat dari bibir merahnya yang mulai bergetar.

"Ittekimasu, minna!" ucap Sakura yang mulai berjalan mundur sambil melambaikan tangannya pada Menma dan Karin.

"Itterashai!" ujar Karin dan Menma bersamaan. Sakura lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju lokasi check in keberangkatannya.

"Kalau ingin menangis, ya menangis saja. Kenapa malu-malu begitu," sindir Menma pada Karin yang masih memandangi punggung Sakura.

"Dia akan ikut menangis kalau aku melakukannya," ucap Karin sambil terisak pelan. "Ayo, kita pulang. Lama-lama melihat Cherry, aku jadi ingin menyusulnya," sambungnya lagi.

"Kau kan bisa mengunjunginya kapanpun kaumau," tukas Menma santai.

"Aku bisa, tapi waktuku yang tidak bisa," ujar Karin. Ia dan Menma lalu berjalan menuju pintu keluar bandara setelah bayangan Sakura menghilang di balik pintu keberangkatan.

-oo-

Seorang wanita tua yang masih terlihat cantik dengan rambut putih panjangnya yang digelung ke atas, menatap marah ke arah kertas putih yang berada di tangannya. Kedua emerald miliknya berkilat menahan amarah yang memuncak setelah membaca kalimat yang tertulis di atas kertas itu.

"Untuk grand-mère.

Aku minta maaf karena aku pergi tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari grand-mère. Aku lakukan ini karena bagaimanapun aku memintanya pada grand-mère, aku tahu grand-mère tidak akan mengijinkanku. Aku bukan kabur dari rumah, aku hanya kembali ke rumah orangtuaku. Maafkan aku.

H. Sakura."

Begitulah isi dari surat singkat yang ditinggalkan Sakura— cucunya— di atas meja kerja miliknya. Ia menggertakkan giginya dan meremas kertas malang itu dengan kasar. "Seharusnya dari awal aku tidak membiarkannya bergaul dengan putra kedubes itu!" ucapnya dengan nada dingin.

"Allegra! Segera hubungi Kabuto," serunya pada sang kepala pelayan.

-oo-

Sakura memasuki pesawat dan mencari di mana tempat duduknya sambil tetap menjinjing softcase biola miliknya. Seorang pramugari mendekatinya untuk membantu mencarikan tempat duduknya, dan pramugari itu lalu mengantarkan Sakura ke tempat duduknya. Ternyata Sakura mendapatkan tempat duduk paling ujung yang dekat dengan jalur orang berlalu lalang. Sayang sekali ia tidak mendapat tempat di dekat jendela pesawat.

Sakura memperhatikan orang-orang yang duduk di sekelilingnya. Ada tiga orang keluarga kecil yang terdiri dari seorang suami, istri dan anak laki-laki mereka yang duduk di sebelah kirinya. Dan belum ada orang yang menduduki bangku paling ujung sebelah kanan di seberang tempat duduknya. Ia lalu memutuskan untuk memasangkan earphone pada kedua telinganya, dan segera setelah itu Sakura hanyut dalam lantunan simfoni musik klasik koleksinya yang ada di i-pod miliknya.

Beberapa menit kemudian, seorang pramugari kembali mendatangi Sakura untuk memberikan sebuah kertas yang harus ia isi. Sakura membuka tas kecilnya untuk mencari-cari alat tulis yang sekiranya bisa ia pakai untuk menulis, tetapi nihil. Ia beralih ke wanita yang duduk di sebelah kirinya untuk meminjam bolpoin atau semacamnya, namun sepertinya wanita itu juga sedang memakainya. Sakura lalu memutuskan untuk meminjam dari sang pramugari, namun ia tak mendapati lagi di mana si pramugari. Ia lalu melirik ke arah kanannya saat mendapati kursi yang tadinya kosong telah diisi oleh seorang pemuda berambut merah yang sepertinya sebaya dengannya. Ia sudah akan memanggil pemuda itu saat emerald-nya bersirobok dengan dua manik berwarna hijau yang sedikit mirip dengan miliknya.

"Ah, kita berjumpa lagi, nona," ujar pemuda itu dengan menggunakan bahasa Perancis yang fasih, saat ia melihat Sakura.

"Eh?" Sakura bingung saat mendengar pemuda itu berbicara dengannya seolah-olah mereka saling kenal. Ia merasa seperti pernah melihat pemuda itu, tapi tidak tahu mereka bertemu di mana. "Kau..."

Seolah mengerti dengan pandangan Sakura, pemuda itu kembali berbicara, "aku 'korban' tabrak larimu saat di bandara tadi." Sebuah senyum tipis menghiasi wajah tampannya.

"Ah, ya! Kau orang yang kutabrak tadi," ucap Sakura setelah berhasil mengingat siapa pemuda itu. "Karena tadi kau memakai kacamata, aku jadi tidak mengingatnya. Maaf karena perbuatanku tadi," sambung Sakura.

"Hmm, tidak apa-apa," balas sang pemuda. "Kau ingin mengisi itu?" tanyanya sambil menunjuk kertas yang dipegang Sakura.

"Iya, tapi aku tidak membawa pulpen atau semacamnya," jawab Sakura.

"Pinjam saja punyaku," tawar pemuda itu yang kemudian menyerahkan sebuah pulpen berwarna hitam.

"Ah, terima kasih. Aku pinjam sebentar," ucap Sakura yang kemudian sibuk dengan kegiatan menulisnya.

"Anou ... ini pulpenmu. Aku sudah selesai memakainya," Sakura memanggil pemuda di seberangnya untuk mengembalikan pulpen milik pemuda itu. "Terima kasih," ucapnya sekali lagi saat pemuda itu mengambil pulpennya.

"Kau tidak perlu berterima kasih sebanyak itu hanya untuk sebuah pulpen," sahut pemuda itu. Seperti mengingat sesuatu, ia lalu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sesuatu, "apa ini punyamu?" tanyanya pada Sakura sambil menyodorkan sebuah gantungan boneka panda yang ia temukan tadi.

"Momo!" seru Sakura kaget saat melihat gantungan kesayangannya berada di tangan pemuda itu. Ia segera mengambil gantungan itu dan memasangkannya kembali pada softcase biola miliknya. "Bagaimana benda ini ada padamu?" tanya Sakura, "Ah! Pasti saat aku menabrakmu," sambungnya saat memikirkan kemungkinan itu.

"Ya, aku menemukannya setelah kaupergi dengan terburu-buru," jawab pemuda itu.

"Terima kasih, sepertinya kau sangat menolongku hari ini," ucap Sakura tulus. Ia lalu menjulurkan tangannya pada pemuda itu, "Sakura. Haruno Sakura. Kuharap suatu saat aku bisa membalasmu karena sudah mengembalikan gantungan berharga milikku ini, sekaligus permintaan maaf karena aku menabrakmu tadi err..."

"Gaara. Rei Gaara," seolah tau apa yang dipikirkan Sakura, pemuda yang ternyata bernama lengkap Rei Gaara itu menyebutkan namanya. "Kau orang Jepang?" tanya Gaara saat mengetahui nama Sakura. Kali ini ia bertanya menggunakan bahasa Jepang.

"Iya. Apa aku terlihat seperti orang asing?" tanya Sakura kemudian.

Gaara tertawa pelan. "Tidak, wajahmu menyiratkan bahwa kau orang Asia," jawab Gaara.

"Kalau begitu, kuharap suatu saat aku bisa membalas perbuatanmu, Rei-san," ucap Sakura kemudian.

"Kau tidak perlu repot-repot melakukannya, Haruno-san," tolak Gaara halus. "Tapi jika kita bertemu lagi, mungkin ... aku akan mempertimbangkannya," balas Gaara sambil tersenyum tipis.

"Tentu saja," jawab Sakura. Ia lalu membungkukkan badannya sekilas pada Gaara dan kemudian beralih menatap gantungan boneka panda lusuh yang tadi diserahkan Gaara padanya.

Gantungan itu adalah satu-satunya benda berharga yang pernah diberikan oleh seseorang yang selalu memainkan 'Tristesse' untuknya, tujuh tahun yang lalu. Dan sebenarnya, salah satu alasan kenapa ia kembali ke Jepang adalah untuk mencari keberadaan orang yang menyisakan pertanyaan besar di kepalanya saat pertemuan mereka terakhir kali, yang terjadi empat tahun silam di Vienna.

-TBC-


Kamus Author :

Grand-mère = Nenek
Bonjour, jolies filles = Halo, gadis-gadis cantik
Quel dommage! = Sayang sekali!
Merci pour tout = terima kasih untuk semuanya
À tout moment, cher = Kapanpun untukmu, Sayang
Bien sûr! = Tentu saja!
Parfait! = Sempurna!
Au revoir = Selamat tinggal
Tante = Bibi
Oncle = Paman
Mademoiselle = Nona
Je suis désolé = Maafkan aku
Gomen (bentuk informal dari gomenasai)= Maaf
Macaron = Kue khas Perancis yang berbentuk seperti hamburger, namun memiliki ukuran yang lebih kecil. Terbuat dari Meringue puff bewarna-warni diisi dengan buttercream, selai atau ganache.
Sachertorte = Kue khas asal Austria. Terbuat dari Coklat sponge cake, selai buah apricot, dan dipoles dengan dark coklat icing
Merci beaucoup! = Terima kasih banyak!
Ittekimasu, minna = Aku pergi, teman-teman!
Itterashai! = Selamat jalan!


Authors note :

Terima kasih buat reader yang udah bersedia membaca fict MC SasuSaku-ku yang terbaru... Semoga kalian suka dan puas, ya :))
Oh ya, fict ini main pair-nya SasuSaku, tp tentunya dalam proses mereka bersatu ntar banyak hal yang terjadi dan di chap ini juga Sasuke belum aq munculin hohoho :3 Next chap, mungkin? #digeplak

Padahal kemarin udah tekad gak ngeluarin fict MC SS kalo yg sebelumnya belum tamat... Tp yah mau gimana lagi, ide udah nyesak di kepala minta di tuang dalam tulisan...
Dan rencananya aq bakal publish fict MC SS lagi setelah ini yang temanya ttg dunia kedokteran gitu... Doakan fict-nya cepat selesai ya sebelum aq kena webe lagi hehehe

Fict ini aku persembahkan buat Laura Pyordova Marbun sebagai birthday fict-nya dia yang sebenernya udah lamaaaa banget... gomen ne, Laura :(

Karna aq telat publishnya, aq kasih yang MC deh fict SS nya hehehe #ngeles

Dan terima kasih buat Iztii yg udah bantuin dalam benerin kata-kata dalam bahasa Perancis-nya :* #ketchupbasah

Akhir kata, mind to review or give me some advice/critism for this fict?

Sign,

C.C

24122013