Aku berdiri disini, di sampingmu. Memegang kotak cincin sembari mengagungkan wajah bahagiamu.

Putri Asseylum, bagi diriku, tak ada yang lebih membahagiakan daripada kebahagiaanmu. Atas nyawa yang engkau berikan, hanya itu yang dapat kujanjikan.

Di atas altar suci ini, aku berkali-kali mengalihkan pandangan, mencoba menahan diri untuk menahan pesonamu. Namun bagaimanapun juga, aku tak akan mampu.

Wajah cantik yang tak bisa lepas dari pikiranku itu sekarang sedang mengenakan gaun suci—yang bahkan lebih indah daripada gaun kerajaan yang biasa engkau kenakan.

Kenapa, Putri Asseylum?

Aku bertanya pada diriku sendiri berkali-kali, namun tak ada jawaban yang kutemukan. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaanku, tapi sekarang, hatiku dengan begitu mudahnya mengkhianati prinsip yang kubuat sendiri itu.

Kenapa aku hanya memegang cincin ini?

Aku tak tahu. Entah sudah berapa kali aku meyakinkan diriku sendiri bahwa aku merasa bahagia, namun tetap saja—

"Dengan ini, sebagai bentuk persatuan antara Persatuan Dunia dan Kekaisaran VERS, maka, perwakilan Kekaisaran VERS, Putri Asseylum Vers Allusia, secara resmi—"

Kenapa... bukan aku yang bersumpah sehidup semati denganmu?

"—menikah dengan perwakilan Persatuan Dunia, Kaizuka Inaho."


© Project A/Z.

Fanfiksi ini hanyalah cerita buatan penggemar yang dibuat tanpa tujuan komersial.

=Paradox Dream =—
—=
Let My Love Be Forever, Though the Dreams End =—


Sepuluh tahun yang lalu, aku yakin sudah membunuh pengguna Katafrak oranye itu. Saat itu juga, aku membawa kabur Putri Asseylum dari pasukan Kerajaan, bersembunyi di Bumi sambil mencoba menyelamatkan Putri yang di ambang kematian.

Ketika itu, aku sama sekali tidak dapat menduganya.

Kenyataan bahwa pria itu hidup kembali karena kekuatan Aldnoah. Kenyataan bahwa Putri menamparku karena 'membunuh' pria itu. Kenyataan bahwa... Putri Asseylum lebih memilihnya dibanding diriku.

Saat itu, aku hanya dapat bertanya.

Kenapa?

Dirikulah yang daridulu selalu bersamamu, mengenalkanmu pada dunia, melindungimu, dan mencintaimu lebih dari apapun, lebih dari siapapun.

Kenapa engkau lebih mencintainya? Aku sama sekali tak mengerti. Bahkan setelah enam tahun pernikahan kalianpun, aku sama sekali tak mengerti.

Bumi dan VERS sudah berdamai. Tak ada lagi perang. Dua peradaban yang saling bermusuhan itu sudah saling mengerti satu sama lain, dan mulai hidup bersama dalam ketenangan.

Semua orang akhirnya menemukan kebahagiaannya. Bahkan Putri Asseylum sekalipun selalu melewati harinya dengan senyuman. Meskipun begitu, aku—

"Slaine, aku dan Inaho harus pergi ke Rusia untuk beberapa hari. Bisa kau jaga dia?"

—aku sama sekali tak bahagia. Meskipun aku tetap menjadi seorang count yang bertugas sebagai pengawal pribadi Putri dan selalu berada di sampingnya, tak ada sedikitpun kebahagiaan yang terasa di dalam hatiku.

Aku menganggukkan kepala, menunjukkan persetujuan yang terpaksa. Aku tak bisa berbuat apa-apa saat Putri Asseylum menyerahkan pangeran kecilnya ke wilayah genggaman tanganku.

"Aku titip dia, ya," sambil berkata begitu, ia berlari kecil, mengejar suaminya yang menunggunya di depan pintu, seolah sengaja ingin menyakitiku dengan memperlihatkan kebahagiaan mereka.

"Jaga dia baik-baik."

Seperti biasa, suara tanpa emosi yang keluar dari mulut pria itu masih membuatku kesal sampai sekarang. Aku mengangguk sekali lagi, menunjukkan kesediaanku, yang sama terpaksanya.

Sambil melambaikan tangannya ke arah anak mereka yang berdiri di dekatku, Putri Asseylum pergi begitu saja, meninggalkanku bersama calon pemimpin Kerajaan VERS masa depan ini.

Aku menarik nafas.

Hal seperti ini sudah sering terjadi selama lima tahun belakangan.

Ini adalah hukuman karena telah melarikan Putri Asseylum sepuluh tahun yang lalu. Atas keringanan hatinya, hukuman yang kudapatkan hanya menjadi pengawal sekaligus pelayan pribadi Putri Asseylum—berserta suami dan anaknya—hingga ajal menjemputku.

Aku tidak tahu harus bersyukur atau justru mengutuk hukuman ini.

Di satu sisi, aku tidak jadi dihukum mati. Nyawaku terselamatkan dan masih diperbolehkan berada di dekatnya. Namun di sisi lain, aku harus menanggung perasaan sakit melihat gadis—ah, sekarang dia sudah menjadi wanita, ya—yang paling kucintai bahagia bersama pria lain selama sisa hidupku.

Mungkin, jawaban kedualah yang benar. Seandainya saja waktu itu aku dihukum mati, aku tidak perlu merasakan siksaan seumur hidup ini.

"Paman Slaine," anak berusia lima tahun yang tidak mengetahui apa-apa itu menarik-narik celana panjang yang kukenakan, "Ayo main."

Mengelus kepalanya, aku berjongkok, menyamakan tinggi badan kami. "Maaf, Paman sedang lelah. Lagipula, ini sudah hampir malam. Kita nonton TV saja, ya?"

"Tapi aku mau main."

"Mainnya besok saja," aku mencoba mengeluarkan senyum palsu terbaik yang aku bisa. "Paman janji."

"Yah...," ia mengeluarkan wajah kecewa. Namun pada akhirnya dia menyerah dan duduk di sofa, mengambil remote, dan menonton acara kartun yang (katanya) sudah ia tonton berkali-kali.

Aku benci anak ini.

Keberadaan anak ini hanya menambah rasa sakit yang menyerang hatiku. Seolah menghina Slaine Troyard yang harus menyaksikan gadis yang dicintainya bersama dengan pria lain.

Aku kagum pada diriku sendiri yang masih bisa merawatnya sambil menahan hasratku untuk membunuh anak ini. Aku sedih pada kontradiksi yang sudah menahun berada di dalam diriku ini.

Aku ingin bebas dari rasa sakit ini, namun aku tak ingin berpisah dari Putri.

Menyedihkan.


Tanggal hampir berganti, namun aku sama sekali tak dapat tertidur.

Mataku terpejam. Bahkan dengan kegelapan yang kubuat ini, aku sama sekali tak dapat tertidur. Stres yang terus menumpuk tiap harinya membuatku makin sulit untuk kabur ke alam mimpi.

Lucid dream.

Sebuah keadaan dimana kita dapat bergerak bebas di dalam mimpi, atau bahkan mengendalikan mimpi itu sendiri. Dunia bawah sadar milik kita seorang. Sebuah miniatur dunia dimana kita adalah pemain, produser, perancang skenario, sekaligus sutradara dari film yang kita buat sendiri.

Atau singkatnya—dunia impian.

Tempat pelarianku selama ini.

Di sana, aku dan Putri Asseylum hidup bahagia. Tinggal di pedesaan yang penuh dengan rumput sejauh mata memandang, hidup sederhana dengan berternak dan berkebun, jauh dari peradaban VERS ataupun bumi.

Hanya aku, Putri Asseylum, serta kediaman impian kami.

Entah sudah berapa ratus, tidak, ribuan kali aku berharap bahwa dunia ini adalah kenyataan, sedangkan kenyataanku selama ini hanyalah mimpi buruk yang sangat panjang. Namun jelas, itu mustahil. Setidaknya aku masih bisa menahan kewarasanku untuk membedakan mimpi dan kenyataan.

Tubuhku mulai terasa berat, seolah gravitasi bumi meningkat lima kali lipat dari biasanya.

Ah, datang.

Senasi yang selalu kurasakan tiap malam mulai mendatangiku, menandakan bahwa pintu antara kesadaran dan dunia impian telah berada di depan mata.

Tak butuh waktu lama hingga aku kehilangan persepsi akan ruang dan diri sendiri. Kasur tempatku berbaring seolah berubah menjadi lubang raksasa, menjatuhkanku ke dalam kegelapan yang lebih dalam.

Kegelapan ini akan berakhir sebentar lagi, dan aku akan tiba di dunia impianku.

...

...

... Aku membuka mata.

Begitu sadar, aku sedang bersandar di bawah pohon dengan daun hijau yang lebat, berpegangan tangan dengan Putri Asseylum yang menaruh kepalanya di bahu kananku.

Sejauh mata memandang, hanya ada padang rumput yang luas. Disana-sini, kudapati banyak pohon-pohon rindang yang ditumbuhi bermacam buah yang segar. Tidak salah lagi, ini adalah halaman belakang dari 'rumah' kami.

"Putri Asseylum."

Aku merutuki diriku sendiri yang masih memanggilnya Putri bahkan di dalam mimpi. Sosoknya yang anggun itu—meskipun hanya terbalut dalam pakaian sederhana—perlahan membuka kelopak matanya.

"Slaine..."

Di dunia nyata, tidak mungkin aku dapat mendengarnya memanggilku dengan suara selembut itu.

Aku memegang dagunya. Menarik wajahnya mendekat, berniat mencium bibir Putri yang seumur hidup tak pernah (dan takkan bisa) kusentuh sejak usiaku masih bocah. Kedua tangan Putri memeluk leherku, seolah tak ingin mengakhiri percumbuan antara kami.

Lima detik.

Lima belas detik.

Tiga puluh detik kami saling menempelkan bibir, dan tak ada satupun di antara kami yang ingin melepaskan diri satu sama lain.

Sensasi bibirnya yang begitu nyata hampir saja membuatku kehilangan akal. Suara lembut dan basah yang keluar dari mulutnya membuat pikiranku melayang entah kemana.

Lalu, secara perlahan—

—Dunia ini runtuh.

"..."

Aku terdiam saat melihat seluruh khayalan solidku berubah menjadi debu. Rumah, kebun, dan bahkan sosok Putri secara perlahan hilang dari pandanganku, digantikan oleh warna putih yang begitu hampa.

Kembali... kembali!

Ini duniaku. Tapi sekarang, dunia ini hancur tanpa seizinku. Tidak peduli sekeras apa aku menggunakan kekuasaanku sebagai Tuhan di dunia ini, dunia indah yang kuciptakan tak mau kembali.

"... Menyedihkan."

Datang dari segala arah, suara seorang pria yang begitu mirip denganku—atau mungkin, itu memang benar suaraku sendiri?—menggema di seluruh ruangan yang bahkan tak kuketahui batasnya ini.

"Siapa kau?!"

Aku bertanya seperti orang bodoh. Padahal dariawal aku sudah tahu dengan jelas siapa pemilik suara itu.

"Aku adalah wujud dari kekuatan yang sudah tersimpan di dalam dirimu selama bertahun-tahun," suara itu berhenti sejenak, "Wujud dari kekuatan Aldnoah."

"Tidak mungkin... aku bahkan bukan orang Mars, apalagi keluarga kerajaan. Aldnoah tidak mengalir di dalam darahku."

"Kalau begitu, kutanya padamu. Kenapa 'pria itu' memiliki kekuatan Aldnoah yang bahkan mampu membangkitkannya dari kematian satu kali?"

"..."

"Kau mungkin tidak mau mengakuinya, tapi aku tahu bahwa kau tahu," mendengar suara diriku sendiri yang tertawa membuatku merinding, "Karena aku adalah kau, Slaine Troyard."

Faktor aktivasi Aldnoah berpindah melalui kontak cairan dalam tubuh. Itu baru kuketahui beberapa tahun yang lalu, saat tidak sengaja mendengar Putri dan pria itu pernah melakukan kontak cairan melalui pernafasan buatan. Itulah yang menyelamatkannya dari peluruku yang menembus kepalanya.

Kalau teori itu benar, maka, faktor aktivasi Aldnoah dari Putri Asseylum—

"Sudah masuk ke dalam dirimu sejak kalian pertama kali bertemu."

Suara itu berbicara, seolah mengetahui apa yang sedang aku pikirkan. Aku mendecih, menatap ruang putih yang hampa ini, "Meskipun aku memiliki kekuatan Aldnoah sekarang, apa artinya?!"

Itu tidak akan mengubah kenyataan bahwa Putri Asseylum sudah menikah dengan pria lain.

"Aku tidak tahan melihatmu hidup di dunia mimpi tiap malam seperti ini. Aku akan mengajarimu sedikit cara yang berbeda untuk menggunakan kekuatan Aldnoah."

"Sudah kubilang, apa gunanya?!"

"Pergi ke masa lalu."

"... Eh?"

"Aku akan mengirimmu pergi ke masa lalu. Karena itu, rubahlah kenyataan sesukamu. Bunuh pria itu, buat Putri Asseylum mencintaimu, hancurkan dunia ini. Terserah."

"Tunggu—"

Tanpa mempedulikanku, pandangan mataku mulai terdistorsi. Warna putih yang memenuhi mata seolah terhisap ke dalam lubang hitam. Lalu, dalam sekejap mata, keberadaanku lenyap dari dunia ini.


"Ini..."

Hari pernikahan Putri Asseylum.

Hari dimana Putri secara resmi sudah tidak lagi dapat kumiliki.

Tidak salah lagi. Ini adalah hari yang tak akan dapat kulupakan untuk seumur hidupku. Bahkan sampai sekarang aku masih dapat mengingatnya dengan jelas.

Jumlah orang yang datang, berat cincin yang disiapkan Putri dan... betapa sakitnya hatiku yang terpaksa berdiri sebagai pemegang cincin pengantin wanita. Mustahil aku dapat melupakannya.

Aku berdiri di balkon lantai dua auditorium pernikahan mereka, menyaksikan Putri dan pria itu yang berdiri di atas altar suci di pusat ruangan.

Karena seluruh gedung dikosongkan, maka hanya lantai dasar yang berisi, sedangkan lantai dua ke atas kosong melompong.

"Aku... benar-benar kembali ke masa lalu..."

Di sampingku, terdapat senapan laras panjang yang biasa digunakan untuk penembakan jitu—pembunuhan diam-diam—yang tersandar begitu saja di dinding.

... ini milik siapa?

Apa hari itu ada seseorang yang berniat menembak, namun berhenti di tengah jalan? Tidak, meskipun begitu, tidak mungkin ia meninggalkan senjatanya begitu saja.

Aku mengambil senapan itu, memeriksa jumlah pelurunya. Hanya ada sebutir di dalamnya.

"Dengan ini... aku bisa membunuhnya..."

Berbaring terlungkup di atas lantai keramik, aku mengatur senapan itu, bersiap menembak pria yang akan memasangkan cincinnya ke tangan Putri.

Kalau aku membunuhnya sekarang, Putri akan sedih. Aku tahu itu. Tapi diriku tidak mungkin membiarkannya. Jika itu terjadi, diriku di masa ini—dengan kata lain, Slaine yang sedang berdiri sebagai pengawal Putri—pasti akan menghibur Putri dengan segala yang ia bisa.

Putri akan menjadi milikku.

Takdir akan berubah.

Aku menutup mata kiriku, dan melihat melalui lubang keker dengan mata kanan, memperhitungkan segala hal untuk memastikan peluru ini menembus kepala pria bernama Kaizuka Inaho itu.

Jika aku menarik pelatuk ini, masa depan akan berubah. Kenyataan akan berubah. Putri tidak akan menikahinya, dan Slaine di masa ini akan mendapatkan hati Putri.

"—Kalau aku jadi dirimu, aku tidak akan menembaknya."

"...!" aku berguling ke kanan, langsung memasang kuda-kuda siaga saat mendengar suara yang datang dari belakang punggungku. "... kau?!"

Yang berdiri di sana, tanpa diragukan lagi, adalah diriku. Seolah sedang bercermin, dari ujung rambut ke ujung kaki, pria itu sama dengan diriku, bahkan hingga ke pakaian dan sepatu yang kami gunakan.

"Aku datang dari masa depan."

"... untuk menghentikanku?" aku mendecih, membuang muka. "Setelah aku membunuh pria itu, masa depan akan berubah. Putri akan menjadi milikku, dan akhirnya aku akan mendapatkan kebahagiaan yang selama ini direbut oleh pria brengsek itu."

"Kau tidak akan bahagia."

"Kau adalah aku di masa depan dimana aku membunuhnya, bukan? Katakan padaku. Apa yang terjadi di masa depanmu?"

"Aku tidak bisa," diriku dari masa depan itu melihat ke lantai, tak berani menatap mataku, "Itu akan menghasilkan pertentangan takdir—paradoks. Apa kau ingin disingkirkan dari arus waktu selamanya?"

"Kalau kau tidak memberitahuku, aku akan tetap membunuh pria itu."

"... Kau akan menyesal."

Mengabaikannya, aku kembali mengatur posisi tubuhku untuk menembak pria itu. Aku tidak peduli dengan diriku yang sedang berdiri di belakang. Ia tak mungkin membunuhku tanpa kusadari.

Sudah jelas, karena dia adalah diriku di masa depan.

Jika dia membunuhku, ia tak akan pernah ada. Karena ia tak pernah ada, tak ada yang membunuhku. Itulah paradoks. Tapi, apa yang salah dengan memberitahukan informasi dari masa depan?

Hawa keberadaan yang berdiri di belakangku menghilang.

Aku menarik nafas dalam-dalam, dan mulai menggerakkan jariku. Dengan menarik pelatuk ini, sekali lagi, aku akan mencabut nyawa pria itu. Aku tidak tahu apakah ia akan hidup lagi seperti waktu itu atau tidak, tapi aku akan tetap menembaknya.

Jantungku berdetak begitu cepat. Nafasku terengah-engah. Rasa takut dan berdosa mulai menyerangku hingga ke sum-sum tulang belakang. Aku sama sekali tak mengerti. Pikiranku telah siap, namun tubuhku malah berbuat kebalikannya.

Aku menarik dan menahan nafas,

—Pelatuk telah kutarik.

Peluru mulai bergerak, meluncur melalui corong senapan.

Melewati peredam, menghasilkan suara kecil yang menggantikan letupan yang seharusnya. Peluru itu melaju, membelah angin, melesat tepat ke sasaran, menembus kepala Kaizuka Inaho.

"AAA—!"

Teriakan para pengunjung yang harmonis terdengar.

Peluruku menembus kepala pria itu, bersarang di dalam otaknya. Wajah Putri Asseylum dipenuhi dengan ketakutan. Wajah diriku sendiri yang berdiri disana juga ketakutan, namun aku tahu—di dalam hatinya, ia sedang berbahagia.

"Kau begitu munafik, diriku."

Aku tertawa. Aku tak mengerti kenapa, namun seiring dengan keberadaanku yang mulai menghilang, aku tertawa, menyaksikan kematian pria yang paling kubenci itu.

Paradoks.

Aku membunuh pria itu. Dengan kata lain, Slaine di masa ini tidak akan pergi ke masa lalu untuk membunuh Kaizuka Inaho. Aku akan disingkirkan dari arus waktu, dan menjadi Slaine yang menyaksikan kematian dari calon suami Putri Asseylum.

Keberadaanku bertambah tipis.

Ingatanku yang kuhabiskan untuk melayani keluarga Putri dan pria itu mulai meghilang, digantikan oleh ingatan yang tak kukenal.

Tanpa disadari, Slaine Troyard telah menghilang dari dunia ini.


...

Aku tak mengerti.

Ingatanku tak menghilang. Aku masih dapat mengingat dengan jelas ingatanku dari garis waktu sebelumnya. Namun di sisi lain, ingatanku di garis waktu ini juga ada di dalam kepalaku. Keberadaanku bukan 'berubah' menjadi Slaine yang lain, namun 'bergabung'.

Kepalaku sakit.

Ingatan senilai enam tahun antara dua dunia yang berbeda bersatu di dalam otakku, jadi ini hal yang wajar.

Aku berteriak.

"Aah—"

Tidak, teriakanku terlalu suram untuk disebut teriakan. Aku pasti sudah berteriak dalam waktu yang sangat lama.

Di tengah hujan, aku sedang berlutut. Di tengah medan perang, di depan makam seadanya di halaman belakang (yang seharusnya) rumah Putri Asseylum dan pria itu.

Akibat pembunuhan Inaho di hari itu, Bumi dan Mars sekali lagi berperang. Heaven's Fall kedua terjadi. Populasi bumi turun drastis. Lalu, Putri—

"Aaah—"

Mataku terasa panas, seolah ingin melompat dari tempatnya. Airmataku sudah lama mengering. Suara televisi rusak tidak dapat berhenti memekakkan telingaku. Ingatan yang bukan milikku terus-menerus menyerang kepalaku.

Rumah yang sangat kukenal namun tak kukenal.

"Kau bukanlah Inaho, Slaine."

Mayat yang tak kukenal namun sangat kukenal.

"Kau tidak dapat menggantikannya."

—Sosok putri yang menggantung dirinya.

"AAAAH—!"

Entah sudah berapa kali aku memukuli tanah di depan makam putri, mengutuk diriku sendiri, mengabaikan suara tembakan dan ledakan dalam perang yang terjadi di sekitarku.

Aku harus kembali. Aku harus kembali. Aku harus kembali.

Aku harus segera kembali ke enam tahun yang lalu. Aku harus menghentikan diriku sendiri. Aku tidak dapat membiarkan masa depan ini terjadi.

Berdiri dari tanah, aku memejamkan mata, mencoba memanggil kekuatan Aldnoah yang terkubur di dalam diriku. Tanganku terasa sakit, daging telapak tanganku pasti tertusuk oleh kukuku sendiri karena menggenggamnya terlalu kuat.

"Bagaimana rasanya? Dunia barumu?"

Aku dapat mendengar suaranya menggema di dalam kepalaku.

"Jangan bercanda! Ini sama sekali bukan dunia yang kuinginkan...," aku mengumpat kesal pada diriku sendiri, "Kirim aku kembali ke enam tahun yang lalu. Aku harus menghentikan diriku sendiri."

"Meskipun kau sudah tahu apa yang akan terjadi?"

Menelan ludahku sendiri, aku menjawab tanpa ragu, "Ya. Aku akan tetap pergi. Aku tidak akan menyerah sebelum mencoba."

"Kau tidak boleh melawan takdir."

"... Apa maksudmu?"

Tanpa mengabaikan pertanyaanku, sekali lagi, duniaku terdistorsi. Semua yang ada di mataku runtuh, lalu, dalam sekejap mata, aku kembali ke masa itu.


"..."

Aku berdiri di belakang punggungku sendiri. Di depan mataku, aku dapat melihat sosok dari Slaine Troyard yang sedang mengarahkan senapannya ke arah pengantin pria di bawah sana.

Di luar dugaan, hatiku sangat tenang.

"Jika kau menarik pelatuk itu, Putri akan bunuh diri."

—Itulah yang seharusnya kukatakan, jika saja mulutku mau bergerak mengikuti perintah otakku.

Kau tidak boleh melawan takdir.

"... Begitu," aku terkekeh pada diriku sendiri dengan suara yang begitu kecil, "Jadi itu maksudnya."

Karena aku sudah mendengar apa yang diriku di masa depan matakan, aku juga harus mengatakan hal yang sama, melengkapi lingkaran. Menciptakan paradoks sama sekali bukan pilihan. Memberitahu informasi dari masa depan adalah larangan takdir.

—Persetan dengan takdir.

Aku sudah tidak peduli lagi dengan diriku sendiri.

Jika aku membunuh diriku yang sedang bersiap menembak Inaho di depanku ini, keberadaanku akan menghilang. Bukan hanya itu. Aku juga melanggar takdir karena tidak melakukan hal yang seharusnya kulakukan.

Kali ini, tidak seperti sebelumnya, aku tidak akan hanya dilempar ke garis waktu yang lain. Aku pasti mati. Bukan karena dibunuh oleh diriku sendiri, namun sebagai hukuman dari Tuhan akibat mengganggu jalannya takdir.

Tanpa menghasilkan suara, aku melangkah mendekat ke arah Slaine Troyarf yang bersiap menembak. Tangan dan seluruh tubuhku terasa kaku, melarang diriku yang akan menghancurkan takdir.

"Kau tidak boleh melakukannya."

Tanpa aba-aba, aku langsung menduduki tubuhnya sekaligus mengunci tangannya ke belakang.

"K-kau!"

Jantungku terasa seperti akan meledak. Inikah akibat dari melanggar larangan takdir?

"Kalau kau melakukannya, kau bukan hanya akan disingkirkan dari arus waktu, jiwamu dibuang dari rantai kehidupan sebagai 'produk gagal'."

"Maafkan aku."

Menginjak kedua tangannya dengan sepatuku, aku menyaksikan Slaine Troyard yang akan terbunuh oleh tanganku sendiri.

"Sedikit lagi, aku akan membunuh pria itu! Jika aku bisa melakukannya, aku—tidak, kita akan mendapatkan kembali Putri Asseylum!"

Paru-paruku mulai mengkerut. Hukuman Tuhan sudah dimulai sejak tadi. Aku tidak punya banyak waktu lagi untuk menanggapi teriakan tak masuk akal dari diriku sendiri.

Kedua tanganku memegang lehernya.

"Kau benar-benar akan melakukannya, Slaine Troyard?"

Akan kulakukan. Dariawal, aku sudah hancur. Sejak Putri Asseylum menikahi pria itu, hati Slaine Troyard telah mati. Yang ada hanyalah pria busuk yang menginginkan namun takut akan kematian.

Namun sekarang berbeda.

Satu-satunya perasaan yang ada di dalam hatiku sekarang hanyalah ingin melihat Putri Asseylum bahagia. Aku mendapatkan kembali hatiku yang rusak. Slaine Troyard telah hidup kembali untuk memusnahkan Slaine Troyard yang rusak.

Darah mulai menetes dari seluruh lubang di tubuhku. Hidung, mulut, telinga, bahkan kelenjar mata. Kesadaranku sudah mulai runtuh. Aku dapat merasakan organ dalamku yang sudah setengah hancur.

Aku rela mati asalkan Putri Asseylum bahagia.

"Hentikan... hentikan!"

"Selamat tinggal."

Ya. Selamat tinggal. Terima kasih atas kesempatan yang kau berikan.

"Sampai jumpa di dunia lain, Slaine Troyard."

"—!"

Krek.

Aku membunuhnya. Aku membunuh diriku sendiri. Aku menyaksikan pandangan mata kosong dari diriku sendiri yang kepalanya terputar seratus delapan puluh derajat ke arah belakang, memutus syaraf dan penopang kehidupan yang lain dari kepalanya.

Keberadaanku akan menghilang. Slaine Troyard akan dilenyapkan dari dunia ini—dari alam semesta ini sebagai produk gagal yang melanggar takdir Tuhan.

Aku mengambil senapan laras panjang yang belum sempat ditembakkan itu.

Dengan kekuatan terakhirku, tanpa diperintahkan, tanpa memohon pada kesadaran Aldnoah, aku mengirim diriku beberapa jam ke masa lalu, sebelum pernikahan yang akan menyatukan Bumi dan Mars dimulai.

Kesadaranku sudah hilang.

Satu-satunya yang menggerakkanku hanyalah perintah terakhir dari sang Pengatur Takdir.


"Ah..."

Sebentar lagi, keberadaanku akan musnah.

Aku menaruh senapan dengan satu peluru itu ke dinding tempat aku menemukannya, lalu membaringkan diriku sendiri ke lantai.

"Ternyata... aku sendiri yang menaruh senapan itu disini..."

Aku tertawa pada diriku sendiri.

Aku tertawa pada Slaine Troyard lain yang akan mengalami kehancuran yang sama dengan yang kualami.

"... Putri... Asseylum..."

Mataku telah kehilangan cahaya. Telingaku telah kehilangan suara. Hidungku telah kehilangan aroma. Jantungku hilang. Paru-paruku mengerut. Ginjalku remuk. Lambungku mencair.

"...Aku... mencintaimu..."

—Lalu, tanpa meninggalkan jejak, aku menghilang dari dunia ini.

=[FIN]=—

=[Epilogue]=—

"Slaine..."

Padang rumput sejauh mata memandang. Rumah kecil di sudut mata. Matahari terbenam di ujung Horizon. Sosok wanita yang paling kucintai selama hidupku yang memanggil namaku.

"Putri—tidak... Asseylum."

"Akhirnya kau bisa memanggil namaku tanpa 'Putri', ya, Slaine?"

Wajah tersenyumnya yang hanya ditujukan pada diriku seorang. Senyum malu-malu yang kuberikan sebagai balasan.

"Kenapa, Slaine? Kau terlihat seperti bermimpi buruk."

"... Ya," aku mengangguk. "Aku baru saja mendapatkan mimpi buruk yang sangat panjang."

"Begitu?"

"Tapi kurasa sekarang tidak perlu khawatir lagi," aku menjawab, sambil memeluk tubuh mungil Asseylum. Bersama-sama, kami melihat matahari yang mulai tenggelam di ujung sana.

Sambil terus memeluknya, aku bergumam dengan suara kecil,

"—Karena sekarang, aku mendapat mimpi indah yang tak akan pernah berakhir."

= Let Justice Be Done, Though the Heavens Fall =—

Pesan Penulis:

(1). Saat Slaine mulai kembali ke masa lalu, itu terserah anda mau menganggap semuanya cuma mimpi Slaine, atau Slaine beneran kembali ke masa lalu. Emang sengaja dibuat ambigu, btw.

(2). Cerita ini dibuat sebelum season 2 tayang, jadi anggep aja kebodohan Slaine yang enggak bisa nembak dari jarak point blank di episode 12 enggak ada, dan Inaho beneran mati ketembak.

(3). Ada 2 Slaine di cerita ini. Slaine yang kembali ke masa lalu, ngebunuh Inaho, lalu ngebunuh dirinya sendiri, dan Slaine yang enggak mampu ngebunuh dirinya sendiri dan memutuskan menerima takdirnya di masa depan yang hancur. Slaine yang kedua gak tampil karena gak penting. Saya bilang ini duluan supaya ntar enggak ada yang nanya kenapa future!Slaine yang memperingatkan Slaine enggak ngebunuh.

(4). Cerita ini dibuat karena saya desperate pengen bikin cerita dengan closed time loop.

(5). Cerita ini dikirim ke YPKBN buat kontes fanfik pas bulan Desember. Btw saya menang dan dapet kaos #SlaineDidNothingWrong. Iya, ini saya lagi pamer.

(6). Jika ada yang kalian anggap ambigu silahkan bayangkan sendiri karena ini memang dibuat se-mindfuck dan se-gantung mungkin.

(7). Sekian dari Elpiji. Saya ucapkan terima kasih sudah membaca, terutama kalo mau ngereview.

(8). Final words: I SAID CRAAAAAAYEEAAAAH