.
Part 1 – chocolate sweet dream
.
—Ia teringat akan ruangan putih rumah sakit yang memuakkan. Mungkin karena suara rintik hujan yang menampar jendela tepat di sebelahnya.
Untuk suatu alasan, Yuugo selalu mampu mencium aroma disinfektan khas rumah sakit di hari hujan. Yuugo sendiri tidak membenci hujan—sebaliknya, Yuugo menikmati hawa dingin hari hujan dan akan senang hati menempelkan wajahnya di dinding kaca yang dingin. Ia menikmati suara tetes hujan yang menenangkan, yang kian meredakan amarahnya tidak peduli apakah kakaknya Yuuri dengan sembarangan mengganggu hari yang seharusnya menjadi hari yang menyenangkan miliknya. Ia menikmati tamparan hujan yang menghantam helm maupun wajahnya saat ia mengendara menembus hari hujan, tidak peduli walaupun ia harus kedinginan saat sampai di rumah karena pakaiannya yang basah. Ia juga menikmati saat-saat ketika mencium aroma tanah yang basah hingga suara cipratan saat ia tidak sengaja menginjak kubangan air, tidak peduli kalaupun sepatu dan kaus kakinya basah atau kakinya akan terasa aneh saat ia sampai di rumahnya nanti.
Intinya, Yuugo menyukai hujan—meski, untuk alasan yang tidak ia ketahui, ia mulai tidak menyenangi keberadaan hujan.
Pasti karena bau disinfektan yang memuakkan ini.
Mengerutkan keningnya, laki-laki berambut biru dengan poni kuning itu mendekatkan kembali cangkir putih yang sudah setengah kosong mendekati wajahnya, menghirup sedalam-dalamnya aroma cokelat hangat layaknya seseorang yang telah lama tidak meneguk oksigen, dan menyeruput cairan kental itu perlahan. Aroma disinfektan yang seolah mulai menempel di lidahnya menghilang, berganti menjadi rasa cokelat yang terlalu manis. Biasanya Yuugo mengeluhkan hal itu, namun kali ini, ia akan berterima kasih pada Yuuto karena cokelat yang terlalu manis ini.
Entah mengapa Yuuto selalu memberikan gula berlebih untuk cangkirnya—mungkin karena laki-laki berambut hitam berponi ungu muda itu tidak pernah membuat cokelat sebelumnya. Toh, setelah diingat kembali, Yuugo hampir tidak pernah melihat Yuuto meminum cokelat atau hal-hal yang manis lainnya—Yuugo hanya pernah melihat Yuuto meminum kopi dengan jumlah yang pastinya lebih dari yang seharusnya seseorang minum dalam satu hari. Yuugo mengingat ketika ia mengatakan itu, Yuuto selalu mengatakan bahwa kopi adalah salah satu kenikmatan manusia yang seharusnya tidak dilewatkan oleh siapapun, dan Yuugo selalu menahan diri untuk tidak memutar bola matanya karena itu.
Lagipula, Yuuto menambahkan, bahwa ia cukup menyukai minuman manis seperti soda, dan setidaknya satu kali dalam seminggu selalu menghabiskan satu botol soda setiap akhir minggu saat menginap dengan Shun atau saat kembali untuk mengecek kondisi adik semata wayang yang berbeda tiga tahun darinya itu.
(Yuugo mengatakan kalau soda bukan minuman manis—apakah itu memang sebuah minuman bahkan patut dipertanyakan. Yuuto membalas ucapannya dengan sebuah kuliah panjang tentang apapun kandungan yang ada di dalam soda—hal yang masuk dari telinga kiri dan langsung keluar dari telinga kanan secepat ia masuk.)
Untuk suatu alasan, Yuuto memilih saat yang tepat untuk masuk ke dalam ruangan saat Yuugo terkekeh oleh benaknya sendiri. Laki-laki yang hanya lebih tua darinya satu tahun itu mengangkat satu alis saat bertemu pandang dengan Yuugo, manik sewarna badai menunjukkan tanda tanya bahkan sebelum ia mengucapkan pertanyaannya sambil menyerahkan sebuah cangkir putih berisi cokelat yang masih mengepulkan asap putih. "Apa ada sesuatu yang menarik di luar sana?"
Yuugo meletakkan cangkir kosong yang ada di tangannya—ia sendiri bahkan tidak sadar telah meminum cokelatnya hingga tidak ada setetespun tersisa—dan menerima cangkir yang Yuuto serahkan padanya. "Tidak. Tidak juga." Ia menyesap aroma cairan cokelat yang kental di dalamnya dan mengernyit. "Apa kau selalu membuat cokelat semanis ini?" Meski begitu, Yuugo tetap menempelkan sisi cangkir putih tersebut dan menyeruput isinya yang masih panas dengan hati-hati.
Dari sudut pandangannya, Yuugo melihat Yuuto menjatuhkan dirinya di sebuah kursi yang tidak jauh dari jendela. Manik sewarna badai menutup saat ia menyeruput minuman dari cangkir yang sama dengan milik Yuugo, senyum penuh kebanggaan terlihat di wajahnya saat cangkir tersebut menjauh dari bibirnya. "Yuuya menyukai yang manis-manis." Ucapnya singkat, masih memandangi cangkir putihnya. Namun dari pandangan dan suaranya yang berubah lembut, pastinya ia tengah membayangkan adiknya yang kini duduk di bangku tahun akhir SMA tersebut. "Kalian cukup mirip, jadi kupikir selera kalian sama."
"Jangan samakan aku dengan anak kecil!"
"Kalian hanya berbeda dua—" Ia berhenti sebentar, kepala dimiringkan sedikit dengan pandangan terangkat pada langit-langit, sebelum mengangkat bahu dengan acuh. "—satu tahun dan beberapa bulan, ingat?"
"Kau tidak perlu mengingatkanku soal itu, bukan?"
"Tentu saja aku perlu." Sambil meletakkan gelas yang ada di tangannya di atas meja kecil di hadapannya, Yuuto berdiri dari tempat duduknya dan mulai berjalan ke arah Yuugo. "Aku tidak ingin menyamakanmu dengan adikku."
Yuugo mendengus, menemukan dirinya tidak mampu bertemu pandang dengan Yuuto ketika laki-laki yang lebih tua darinya itu telah berdiri di hadapannya. "Kau menyamakanku dengan Yuuya saat kau membuat cokelat yang terlalu manis ini, bodoh."
Ia baru menyamakan kembali tatapannya ketika merasakan dua jari di bawah dagunya, mengangkat kepalanya sedikit hingga Yuugo menatap langsung pada dua manik sewarna badai itu.
Dan sama seperti tiap kali bibir mereka bertemu, Yuugo menutup matanya dan memfokuskan dirinya pada bibir yang sedikit kering di bibirnya sendiri. Ciuman Yuuto tidak pernah menuntut, seolah ia melakukannya hanya demi menarik Yuugo ke dalam kehangatannya dan tidak ingin melepaskannya. Begitu pelan dan tidak terburu-buru, dan Yuugo menikmati tiap detik kehangatan dan ketenangan napas Yuuto yang seperti mengelus wajahnya.
Yuugo kembali membuka matanya ketika Yuuto memisahkan wajah mereka, memandangi refleksi wajahnya dari manik abu-abu Yuuto yang menggelap. Tidak lama kemudian Yuuto mengubur wajahnya pada pertemuan antara leher dan bahu Yuugo, lengannya terlingkar di pinggang sementara satu lagi mendorong kepalanya agar beristirahat di bahu laki-laki berambut hitam itu.
Yuugo membiarkan ketegangan tubuhnya lenyap dalam kehangatan pelukan Yuuto dan menutup matanya. Telinganya menangkap suara tetes hujan dari kejauhan. Hanya saja kali ini, aroma yang terpancar dari Yuuto menutupi sepenuhnya bau anestesi yang membuatnya tidak nyaman.
.
.
.
Sweet Dream, Sugar Wonderland
「 The nostalgic sweet chocolate, sound of rain, and the smell of anaesthetic 」
Pairing: Yuuto/Yuugo, mentioned: Yuuri/Yuuya
Warning: AU, character death, OOC, plot cepat, diksi kacau, Yuuto: Yuuto Sakaki
Yu-Gi-Oh! Arc-V Fanfiction
Yu-Gi-Oh! © Kazuki Takahashi, KONAMI
Yu-Gi-Oh! ARC-V © Studio Gallop
nanashimai gains nothing from this
.
.
.
.
.
Ketika Yuuto memutuskan untuk pergi ke luar—persiapapan sesuatu, Yuugo mengingat, namun ia tidak bisa mengingat pasti apa yang sedang laki-laki itu siapkan—Yuugo menemukan dirinya sendiri memeluk bantal dalam posisi fetal di sofa ruang televisi mereka, tidak sedikitpun memperhatikan tayangan televisi yang terus menampilkan drama-drama yang tidak lagi menarik minatnya. Mengambil remote televisi untuk mengganti tayangan juga terlalu menyusahkan, dan akhirnya Yuugo terjebak dalam posisi yang sebenarnya tidak terlalu menyenangkan ini.
Dari luar masih terdengar suara hujan, dan seperti biasa, yang pertama terpikir olehnya adalah Yuuto; ia sudah mengingatkan Yuuto untuk menunggu hujan reda daripada harus pergi ke toko di tengah hujan yang cukup lebat seperti ini, namun Yuuto bersikeras kalau ia akan menggunakan mobil, sehingga Yuugo tidak perlu khawatir tentang Yuuto yang kebasahan nantinya.
"Bukannya begitu—" namun Yuugo memutuskan untuk tidak melanjutkan kalimatnya, tidak lagi menggubris Yuuto yang melemparkannya tatapan bingung sekaligus khawatir. Hujan dan Yuuto dengan mobil justru membuat Yuugo lebih tidak nyaman. Laki-laki itu memang tidak pernah belajar dari pengalamannya.
Dan televisi sama sekali tidak membantu—setidaknya Yuugo setengah bersyukur karena berita mendadak memotong drama membosankan yang terpaksa masuk ke dalam kepalanya. Namun konten berita itu langsung membuat Yuugo bangkit dari tempat duduknya—kecelakaan motor dan mobil yang menewaskan satu orang. Yuugo tidak menunggu lebih lama untuk mendengar siapa yang meninggal dan langsung beranjak pergi dari ruangan—ia bahkan tidak mengenakan jaket dan helmnya dan langsung menembus hujan dengan motornya.
(Yuugo sendiri tahu ia tidak memiliki hak untuk mengatakan kalau Yuuto tidak pernah belajar dari pengalamannya. Yuugo sendiri tahu. Menembus hujan seperti ini, dengan kepalanya tidak bersih dari kepanikan akan kondisi Yuuto, ia tidak lagi melihat lampu menyala dari kejauhan, terlambat menyadari ketika—)
—Yuugo terbangun dengan satu lonjakan. Dadanya terasa sesak dan tubuhnya terasa dingin oleh keringat. Ia memeluk bantal dalam pelukannya lebih erat, berharap mampu kembali mengatur napasnya kembali normal—
"Yuugo?"
Ia merasakan sofa di sebelahnya bergerak oleh beban tambahan, dan tanpa perlu melirik Yuugo langsung memiringkan tubuhnya hingga ia bersandar di bahu Yuuto yang kini duduk di sebelahnya. Dibandingkan dengan Yuuto yang begitu tenang, Yuugo mampu merasakan tubuhnya sendiri dingin dan bergetar.
Ketika Yuuto menggumamkan namanya lagi, Yuugo hanya menggeleng, menyatakan ia tidak apa-apa. "Hanya," ucapnya, sedikit ragu ketika suaranya masih terdengar tidak meyakinkan, "mimpi buruk."
Yuuto tidak membalas beberapa saat, namun ketika laki-laki berambut hitam itu menyandarkan dagunya di puncak kepalanya dan tangannya mulai mengelus punggungnya, Yuugo merasakan dirinya sendiri mulai berubah tenang. Kini ia tidak lagi mendengarkan ucapan Yuuto tentang kembang api yang akan diadakan malam ini dan kembali tenggelam dalam dunia mimpinya—kini dalam sebuah mimpi yang terlalu manis hingga terasa pahit seperti cokelat.
.
.
.
.
