a/n: kekejar juga akhirnya sampe winter :')
judulnya aitakute (あいたくて) karena lagi-lagi dari reff lagunya choutokkyuu, kali ini yang judulnya snow break—yang cocok banget kalau merasa sedang butuh galauan receh di bawah hujan salju. (ye) atau dear, preferably yang dicover clear. udah saya lelah kenapa vocaloid lagunya galau semua. *goleran di salju*
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki dan saya tidak mendapat keuntungan materiil apa pun dari menulis fanfiksi ini.
三 あいたくて
冬
.
.
.
i want to meet you (but—)
.
MIDOAKANTOLOGI #2 - winter
[now playing: refrain;超特急
alternative: dear;clear's cover]
Orang-orang memenuhi jalan; semuanya sibuk dengan urusan mereka sendiri. Tapi memang dunia selalu seperti itu—bahkan jika kau adalah seorang depresi yang sudah berada di ambang bunuh diri, tidak akan ada yang peduli. Setiap orang selalu punya masalahnya masing-masing.
Midorima setidaknya selalu lebih tinggi sekepala dari orang-orang itu, tapi tidak ada lagi saat lain ketika ia merasa lebih kecil dan lebih tidak berarti dari sekarang.
(Sekarang ia hanya berjalan sendirian.)
(Sendirian tidak pernah ada di kamusnya dulu, karena Akashi selalu bersamanya.)
Sewaktu masih di Teikou, mereka pernah sekali melewati jalan yang diapit toko-toko di pusat perbelanjaan. Malam itu sehari sebelum Natal, dan Akashi mengajaknya makan malam, menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk "merayakan" ulang tahunnya yang beberapa hari lalu tidak bisa ia habiskan bersama teman-temannya. Tapi sebenarnya yang ada bukanlah perayaan sama sekali, dan tidak ada teman-teman; Akashi tidak pernah mengundang yang lain. Yang hadir hanyalah dirinya dan Akashi, hanyut dalam kerumunan di bawah lampu warna-warni.
Midorima ingat ia berkata kalau pemilihan waktunya sangatlah buruk; tidak ada di antara mereka yang menyukai keramaian. Tapi si rambut merah hanya tertawa kecil, menarik lengan jaket Midorima sementara mereka bersama-sama merayap di antara lautan manusia.
Ia juga ingat ingin bilang bahwa Akashi tidak perlu menggenggam pergelangan tangannya, ia tidak akan hilang—dan yang jelas ia tidak akan kehilangan Akashi. Siapa yang bisa mengabaikan rambut dengan warna semencolok itu?
(Tapi seandainya semua orang yang ada di jalan malam itu mengenakan topi santa merah pun, ia yakin yakin dirinya tetap akan bisa menemukan Akashi di antara kerumunan.)
Kerumunan dilihatnya setiap hari; di perempatan yang bergerak ketika tanda pejalan kaki menjadi hijau, di area kampus sewaktu pergantian periode, di kantin saat jam makan siang tiba. Di antara mereka semua juga, Midorima tanpa sadar selalu berusaha mencari-cari satu sosok yang selalu entah bagaimana, menemukan jalan kembali untuk mengganggu pikirannya; tidak peduli berapa kali pun ia berusaha mengusir, tidak peduli berapa kali pun ia berusaha berhenti mengingat.
Mengingat waktu yang pernah mereka habiskan bersama membuatnya ingin bertemu dengan Akashi.
Mereka bukanlah dua orang yang selalu berbicara, tapi terkadang hanyalah perasaan bahwa mereka saling ada untuk satu sama lain yang mereka butuhkan. Midorima pernah merasa bahwa ke mana pun dirinya melangkah, selalu ada yang menemaninya. Meski ia tidak sering mengeluarkan pendapat, selalu ada orang yang siap mendengarkan isi kepalanya. Ia tahu ada orang lain yang membagi apa yang dilihatnya, udara yang dihirupnya, bahkan irama langkah kakinya. Midorima tahu ia tidak sendirian.
Namun kenapa juga orang itu harus selalu Akashi? Midorima membenci dirinya sendiri karena ketidakmampuannya untuk menemukan kompanyon lain, karena ketidakmampuannya untuk memperjelas perasaannya bahkan pada dirinya sendiri, karena ketidakmampuannya untuk mempertahankan kebersamaan yang seharusnya masih dimiliki oleh mereka.
Mereka masih bisa menemukan kesenangan tersendiri dari jarak yang memisahkan. Perbedaan waktu membuat Akashi dan Midorima tidak bisa berdiskusi sesering itu lagi, tapi di kesempatan-kesempatan tertentu, mereka tidak pernah absen mengirimi kartu pos. Ada kegembiraan kecil tertentu saat menulisi dan menerima kartu sungguhan dibanding dengan yang sekadar digital. Mungkin terkesan ketinggalan jaman—tapi mengingat tanggal-tanggal penting, saling berlomba memberikan kartu pos yang paling menarik—membuat Midorima merasa kalau dalam hal yang remeh ini, ia masih memiliki sesuatu yang menghubungkannya dengan Akashi.
Natal yang lalu, Midorima mengiriminya kartu Natal bergambar Santa yang keretanya ditarik oleh sekumpulan bangau dengan latar belakang pegunungan dan pepohonan Jepang. Sementara Akashi membalasnya dengan kartu bergambar karikatur pohon pinus yang berkacamata, menulisinya dengan "Dia mengingatkanku padamu". Midorima tidak yakin ia harus merasa tersanjung atau tersinggung.
Tapi kartu itu tetap tersimpan dengan rapi di kotak yang dikhususkannya untuk kiriman dari Akashi, sama seperti yang sebelum-sebelumnya.
Sebelumnya, Midorima selalu mengiriminya dua kartu dalam waktu yang nyaris bersamaan—satu untuk ulang tahun Akashi, satu untuk Natal—ia tidak keberatan bahkan kalau harus pergi ke kantor pos dua kali hanya untuk memastikan kalau kartu-kartu itu tiba pada tanggal yang ia maksudkan. Biasanya setelah menerima satu kartu, Akashi pasti akan mengiriminya pesan, memberitahunya kalau ia telah mendapat kiriman dari Midorima disertai komentar singkat.
Musim dingin ini, Midorima mengiriminya kartu ulang tahun, lalu kartu Natal, sama seperti dua tahun yang sebelumnya, tapi hingga hampir tanggal 25, ia tidak mendapat pesan apa pun dari Akashi.
Seusai kelas terakhirnya, ketika sedang berjalan menuju perempatan sembari masih menimbang-nimbang apakah sebaiknya berbelok saja ke arah kantor pos untuk mengecek, butir-butir tipis salju pertama jatuh dari langit. Ia menengadah, salju datang terlalu cepat tahun ini.
Di tengah hawa yang menggigit itu ia berpikir, apakah mungkin perasaannya pada Akashi sama saja seperti kartu-kartunya—tidak pernah sampai?
Sampai Natal tiba pun, ia sama sekali tidak menerima apa-apa. Midorima memeriksa layar ponselnya berkali-kali, tapi tidak ada satu email pun di sana. Ia paham, Akashi mungkin terlalu sibuk untuk mengurusi teman lama sepertinya, terlebih yang masih saja mau repot-repot mengirimi kartu pos seakan mereka hidup di zaman yang salah.
Sore itu sekembalinya dari minimarket, ia mendapati ada sebuah amplop di dalam kotak posnya. Bukan dari alamat yang ia kenali. Midorima menyelipkannya ke dalam kantong plastik yang berisi roti, lalu menaiki tangga hingga ke lantainya.
Surat itu dengan cepat terlupakan, terbiarkan diam di atas meja bersama sebungkus roti yang ia letakkan sementara dirinya sendiri sibuk menyimpan telur di kulkas, kebingungan tentang apa yang harus ia (coba) buat untuk makan malam.
Malam itu salju turun lagi, tetap dalam butiran kecil yang menari-nari di tengah tiupan angin. Midorima duduk di kursi dekat jendela, bersama segelas cokelat hangat sembari membalas pesan-pesan adik perempuannya yang rewel karena ia tidak pulang ke rumah untuk Natal. Pada akhirnya ia tidak membuat apa-apa (karena memangnya Midorima bisa memasak?), jadi ketika perutnya sudah hampir berteriak, ia beralih ke roti yang ia beli beberapa jam lalu.
Surat itu masih di sana, beruntung Midorima menemukannya sebelum ia membuang kantong plastiknya ke tempat sampah. Pemuda berkacamata itu tidak menyadari sebelumnya, tapi setelah melihatnya lagi, ia tahu ia mengenali tulisan tangan yang ada di amplopnya.
Dari Akashi. Alamat Kyoto.
Kyoto adalah tempat yang tidak pernah dikunjunginya bersama Akashi, tidak peduli pada musim apa pun. Terkadang di saat-saat tertentu ketika musim dingin sudah tiba, Midorima suka menyesali mengapa dulu ia tidak pernah memenuhi undangan Akashi untuk berkunjung di musim sebelumnya. Barangkali kalau pada waktu itu ia pernah pergi, mungkin ia punya hal lain yang lebih membahagiakan untuk diingat-ingat saat salju turun seperti ini.
Ini adalah tahun yang sebenarnya dimulai Midorima dengan resolusi bahwa ia ingin merelakan Akashi. Sejak lama sesungguhnya ia sadar, bahwa tidak akan ada titik terang dari perasaan yang disimpannya untuk si rambut merah. Karena tentu saja, memangnya Midorima mau berharap apa lagi? Ia tidak bisa dan tidak pantas mempunyai ekspektasi dari sesuatu yang bahkan tidak pernah terucap.
Tapi setiap kali ia berusaha menghapus perasaannya pada Akashi serta memori akan momen yang pernah mereka habiskan bersama, semua itu hanya tersingkir seperti salju abadi yang dikeruk dan mengumpul di sudut-sudut jalan; sering kali tidak menarik perhatian, tapi tidak pernah betul-betul lenyap.
(Dan Midorima adalah orang yang berkali-kali tersandung gundukan salju itu lagi meski seharusnya ia yang paling tahu.)
Tahu-tahu saja, jam sudah menunjukkan waktu tengah malam. Baru ketika itu Midorima akhirnya memutuskan untuk membuka amplopnya. Seperti yang sudah ia terka, isinya adalah kartu Natal bergambar sebuah tempat di Kyoto yang namanya tidak bisa lebih diabaikannya lagi dari sekarang. Isinya hanyalah pesan singkat yang mengucapkan selamat Natal, dan maaf karena tidak bisa menemuinya meskipun ia sempat kembali ke Jepang. Akashi bilang ia kembali ke Kyoto karena ada urusan keluarga mendadak yang harus dibereskannya, dan ia yakin pada saat Midorima menerima kartunya, ia sudah dalam perjalanan kembali ke Inggris.
Di sudut bawah kartu, di bawah nama Akashi, ada satu kalimat yang ditulis dalam ukuran kecil:
Sampai musim berganti pun, kita—
(—kita; tidak pernah ada kata itu untuk mereka.)
(Yang ada hanyalah Midorima dan Akashi, tapi tidak pernah dengan satu kata ganti yang sama.)
Sama sekali tidak terbayang olehnya, apa yang Akashi tiba-tiba lakukan di Kyoto. Yang lebih menyesakkan untuk Midorima adalah fakta bahwa Akashi berada di jarak yang sebenarnya tidak seberapa darinya, tapi ia tetap saja tidak bisa menemuinya.
Tumbuh ngilu di dadanya, tapi ia dapati malah senyuman yang muncul di bibirnya. Akashi memang sialan, Akashi memang brengsek. Midorima membenci Akashi karena membuatnya jatuh cinta, Midorima juga membenci dirinya sendiri karena jatuh untuk orang yang seperti Akashi—yang ia tahu bahwa tidak peduli seberapa pun kuatnya perasaannya untuk bertemu, Akashi Seijuuoru akan tetap jadi orang yang tidak tergapai.
Tawa lolos dari bibir, sementara tangan kiri yang jemarinya masih diperban itu menyelipkan kartu di celah bingkai jendela. Tiga tahun itu sudah cukup baginya.
Salju di luar jendela masih turun, perlahan menghujami bumi dengan butir-butir kecil, persis seperti air mata Midorima.
Midorima melewati sisa tahunnya tanpa kejadian yang berarti. Orangtua serta adiknya mengunjungi apartemennya pada malam tahun baru dan mereka melewati pergantian tahun bersama-sama. Berikutnya semua berjalan tanpa ada perubahan. Liburan usai, kelas kembali dimulai. Ia sibuk lagi dengan hari-harinya sebagai mahasiswa kedokteran.
Terkadang, saat waktunya kosong dan ia mendapati dirinya sedang tidak melakukan apa-apa, ia mengingat-ingat dan semakin membenci dirinya sendiri karena tumbuh serta dewasa sebagai seorang pengecut. Kalau saja ia lebih mampu berterus terang, tentunya ia tidak akan menjadi manusia menyedihkan itu yang terus-terusan menggantungkan harapannya pada memori.
Pada akhirnya ia hanya melanjutkan hidupnya, berjalan terus, begitu saja. Midorima Shintarou sadar, ketika ia lagi-lagi menyusuri jalanan ramai yang dulu pernah dilewatinya (bersama seseorang yang paling signifikan di hatinya)—di sana, sekarang, ia hanyalah satu dari sekian orang-orang.
