Disclaimer : Naruto by Masashi Kishimoto

Locked out of Heaven song by Bruno Mars (recommended song)

My story by mine

Warning : AU. Alur lambat (I've warned you). Kata-kata yang terlalu bertele-tele. Typo(s?) dimana-mana.

Enjoy

.

.

.

Saat kukatakan dalam sehari aku hanya tidur selama 2 jam, apakah kau akan percaya? Sepasang lingkaran hitam di sekeliling mataku mungkin dapat menjadi bukti nyata bagi kalian. Depresi saat kecil dan sifat workaholic membentukku sebagai seseorang yang membenci tidur. Tidur artinya memainkan kenangan saat si ayah sialan itu menghajarku mati-matian. Tidur artinya meninggalkan bermacam berkas berharga ratusan juta. Tidur artinya mengenang seorang bocah berambut merah dengan tubuh penuh lebam. Tidur artinya melewatkan satu malam panas dengan seorang wanita. Oke, yang terakhir mungkin terlalu di luar topik, tapi itu adalah salah satu kegiatan penghilang stress favoritku.

Dan disinilah aku sekarang, tertidur dengan memeluk seseorang tanpa busana sama sepertiku. Bukan karena kelelahan saat melakukan aktifitas malam tadi. Bukan. Bahkan awalnya aku berencana menghabiskan malamku untuk memandangi wajahnya. Wajahnya yang terlelap lelah begitu sayang dilewatkan. Kemudian yang terakhir kuingat aroma keringat juga aura hangat yang menguar dari tubuhnya menjadi nada tak bergelombang pengantar untuk memasuki alam bawah sadarku.

Dan mimpi itu menghampiri, awalnya gelap kemudian terang. Lalu dia datang. Selalu dengan wajah malu-malunya yang selalu sukses membangkitkan gairah terdalamku. Dengan pipi gembil yang merah serta make-up tipis yang menghias wajah, dia menghampiri diriku yang menggeram menahan gairah. Hey, salahkan hormon kelaki-lakianku yang sukses bertemu katalisator macam dirinya. Kutelusuri gaun berwarna putih yang membalut tubuh sintalnya. Apakah aku pernah mengatakan betapa serasinya dia dengan warna putih? Fallen angel. Tak pernah berhenti membuatku terperosok dengan nuansa suci itu.

Sebuah benang tak berwujud seakan menyatukan kembali kepingan memori pertemuan pertamaku dengannya. Gaun putih itu. Suasana khidmat nan suci itu.

Sebuah resepsi pernikahan yang indah bukan?

Tersentak kembali dalam alam nyata. Mataku membelalak menyapa realita. Tanpa sadar kugerakkan tanganku dalam keremangan kamar tidur ini. Ada. Dia masih disini. Masih dengan tubuh polosnya yang menempel erat dalam lingkaran kedua lenganku.

Kutarik dan kuhembuskan nafasku secara teratur. Mimpi buruk sialan! Apakah tidak cukup selalu dihantui orangtua brengsek itu. Aku sudah kehilangan terlalu banyak. Aku sudah menderita terlalu banyak. Bisakah aku mencicipi kebahagiaan fana ini barang sekejab? Bisakah?

Kueratkan kembali rengkuhan lenganku pada sosok rapuh dalam dekapanku. Saat ini dia milikku. Kuhapus jejak-jejak air mata yang tersisa dari kedua belah pipinya. Dia milikku. Kukecup mesra setiap jengkal wajah polos yang sedang terlelap di sampingku.

Biarlah saat ini saja. Aku tahu aku hanyalah seorang pendosa menjijikan. Dan aku tahu setelah ini hanyalah neraka tempat yang akan menerimaku. Malaikat sepertimu tak akan pernah pantas bersanding dengan manusia rendah sepertiku. Tapi aku hanyalah pendosa. Pendosa yang terlalu mendamba pada sebuah malaikat sempurna.

Kutatap kembali lekuk wajahmu. Tak pernah puas aku menatap buah karya Dia. Terlalu sempurna. Yah, kamu terlalu sempurna untuk lelaki brengsek itu. Lelaki yang bahkan tak pernah mencintaimu. Lelaki yang terjebak dalam masa cinta monyetnya itu. Cih, lelaki menyedihkan nan malang. Bahkan dia tak sempat bersyukur karena memiliki istri sesempurna dirimu.

.

.

.

" Hey Gaar, kukira kamu tidak datang," sebuah suara yang begitu familiar di telinga bungsu Sabaku itu menyapa di tengah keramaian pesta tersebut.

" Kukira kau tak akan pernah menikah," membalikan badan, subjek yang menjawab menampakan wajahnya yang datar dan familiar bagi Namikaze Naruto. Oh, tambahkan nada datar dan perkataan menyebalkannya itu. Walau mungkin masih lebih baik daripada teman stoicnya yang lain, si pantat ayam Sasuke. Kami-sama, kenapa orang seaktif dirinya harus berteman dengan vampir-vampir tak berperasaan macam mereka, rutuk Naruto dalam hati.

" Kapan kau tiba di Jepang? Kau brengsek tidak memberitahuku. " sahut Naruto dengan cengiran lebarnya yang khas. Mengabaikan fakta bahwa dirinya telah disindir dengan sadis oleh kawan lamanya. Hey bung, seseorang yang sedang menikah tidak mungkin bukan menampakan ekspresi kesal di tengah-tengah pestanya sendiri. Walaupun sebenarnya dia sanggup menonjok ekspresi datar sobat lampaunya itu sebagai salam perjumpaan kembali setelah bertahun lamanya tak bersua.

Masih tetap kepala baka, sindir Gaara dalam hati. "Seminggu yang lalu seseorang mengancamku untuk mengahadiri pesta pernikahannya yang hanya terjadi sekali seumur hidup," menyesap liquid merah dalam gelas berkaki, sang Sabaku mempehatikan bagaimana sahabat jingga nya itu menepuk keningnya sambil menggumamkan kata, aku lupa, dengan canggung. " Kupikir itu adalah suatu keajaiban dunia, akhirnya ada juga yang tidak alergi dengan tingkah tololmu itu dan bersedia menghabiskan sisa hidupnya bersamamu," sambung Gaara sambil mengangkat kedua bahunya lalu, seakan pernyataanya tadi tidak menimbulkan efek apapun bagi objek yang dituju.

Naruto yang sudah terbiasa dengan lidah tajam anti karat milik sahabatnya, kembali menampakan cengiran andalannya. Menggosokkan tangannya ke belakang kepala untuk menutupi tingkah bodohnya barusan. Yah, paling tidak ia mempunyai kawan yang setia. Sampai-sampai menyempatkan diri untuk menghadiri pesta pernikahannya. Menghapus jarak antara dua benua yang harusnya menjadi penghalang bagi Gaara untuk datang ke Jepang. Abaikan pernyataan yang terakhir dilontarkan Gaara karena Naruto tahu Gaara adalah tipe lelaki setia kawan. Walau tidak setia pasangan, tentunya.

"Naruto-kun?" seorang wanita bergaun putih ,yang tentunya menjadi bintang utama bersama Naruto malam ini, menyela interaksi antara dua kawan lama yang baru berjumpa itu. Sang gadis kemudian menunduk malu saat menyadari bahwa dirinya telah menginterupsi konversasi para pria dan melangkah pelan ke samping Naruto.

Membisikan sebaris verba pada salah satu indra pendengar Naruto, sang Sabaku yang terabaikan kembali menikmati minumannya yang tadi terlupakan. Naruto kemudian menganggukan kepalanya, entah dia mengerti atau tidak. Kemudian tanpa mengucapkan sepatah katapun, Narutopun menembus kerumunan pesta, meninggalkan istrinya berdua dengan kawannya.

Baka Naruto! Rutuk Gaara dalam hati. Setidaknya jangan tinggalkan kami dalam kondisi canggung begini. Menghembuskan napas kesal, Gaarapun berinisiatif meninggalkan ruangan penuh sesak itu. Masa bodoh di cap arogan, salahkan gadis dihadapannya yang terus saja menundukkan kepala seperti ada saja yang menarik perhatian dibawah sana.

Merasakan pergerakan kasar dari pria di hadapannya, sang Hyuuga sulung reflek menatap sosok pria berambut merah tersebut. Menyadari aura kekesalan dari pria yang sudah membalikkan badan, mempelai pengantin perempuan ini hanya terdiam merutuki ketidaksopannanya menghadapi tamu. Bukan maunya untuk mendiamkan lelaki bertato tersebut, tetapi aura yang dikeluarkan sang pria sangar dihadapannya seakan membuatnya mati langkah untuk membuka percakapan.

Sesuatu yang menangkap pergelangan tangan kanan Gaara menghentikan langkahnya. Bisa saja dia melepas paksa tangan ringkih itu dari pergelangan tangannya. Tapi, tentu saja, dimana sopan santunnya sebagai seorang tamu, seorang sahabat dari mempelai pria, dan sebagai seorang pria sejati? Menghembuskan napas lelah, mengingat sesampainya di Jepang dia langsung hadir di resepsi pernikahan Naruto, Gaara secara perlahan membalikkan badan tegapnya pada sosok yang menurutnya cukup mengganggu itu.

Kemudian semua seakan menjadi lambat. Dihadapannya seorang wanita bermata sewarna rembulan mendongak menatapnya. Terlihat keseriusan dalam kilat matanya, walau Gaara tahu wanita tersebut mati-matian mempertahankan fokusnya. Kegugupan sang wanita terlihat ketika tanpa sadar dia terus menggigit bibirnya pelan. Tangan ringkih sang wanita tergeming melingkari tangan kanan Gaara. Hangat, pikirnya.

Gaara tak pernah percaya akan kebenaran dongeng. Itu hanyalah bentuk khayalan tak terbatas dari mahluk bernama manusia dan tak pernah terjadi dalam kehidupan nyata. Gaara masih ingat saat Temari, kakaknya, menggerutu tentang perawakannya yang begitu maskulin. Pernah satu kali saat Gaara masih berumur 10 tahun, dia menyelinap dalam kamar Temari seperti biasa. Yang tidak biasa adalah saat menemukan sebuah buku cerita bergambar terpeluk mesra dalam dekapan lelap Temari.

Sehati-hati mungkin Gaara kecil mengambil buku cerita tersebut. Penasaran, tentu saja. Kakaknya yang apatis dengan hal-hal berbau feminim bahkan di kamarnya yang harusnya menjadi kamar penuh kosmetik ,benda-benda imut khas ABG 14 tahun ,tak terlihat dimanapun. Menyimpan sebuah buku cerita bergambar yang terlihat kekanakan tentu sangat kontras bagi pribadi "gahar" sang sulung Sabaku.

Terkikik sepelan mungkin, Gaara kecil membuka halaman bukunya satu demi satu. Matanya terhenti pada satu kalimat yang melekat sempurna hingga detik ini.

"Kulitnya seputih salju yang berkilat tertimpa sinar mentari. Halus selembut satin, tentu satin kualitas termahal yang ada dalam negeri itu. Bahkan tanpa menyentuh fisiknya, kamu dapat merasakan kelembutan dirinya. Ya, bahkan hatinya pun begitu lembut dan santun. Menguarkan rasa hangat dan tentram. Membuat semua orang terasa nyaman disisinya.

Tapi dari semua itu, matanyalah yang begitu menarik perhatian. Dia tak pernah membantah tapi dia hanya menatap. Dan saat itulah kau tahu arti kata dari merah. Merah di atas putih. Keberanian yang berlandaskan keteguhan. Merah, itulah yang diinginkan ibunya dulu. Saat pertama menatap tetesan darahnya terjatuh mengenai salju pertama yang turun, hanya gambaran sederhana itu yang diinginkan sang permaisuri bagi anaknya kelak. "(Snow White and the Huntsman, dengan beberapa perubahan)

Entah berapa lama waktu terbuang memainkan lamunannya. Yang dia sadari kemudian, riuh pesta serta orang-orang di sekelingnya lamat-lamat terdengar. Kemudian hening.

Bahkan Gaara tahu, atau menyakini, tak terdapat eksistensi malaikat di dunia ini. Bagaimana mungkin ada? Bahkan saat dia menjerit meminta pertolongan pada Tuhan, yang dirasa Gaara memiliki lebih banyak wewenang untuk memberi pertolongan saat itu, tak pernah mujizat Tuhan dan antek-antek-Nya bekerja menolongnya. Banyak malam yang dilalui tanpa hasil dari doa yang begitu setia dilantunkan dari bibir Gaara yang robek, ternoda darah. Tanpa hasil, tentu saja. Karena orang brengsek itu akan kembali menyiksanya. Lagi, lagi, dan lagi.

Kilasan balik itu seakan mengingatkan dirinya akan seseorang yang menjadi objek tatapannya. Gaara selalu merasa setiap hal yang dia jalani terhubung dalam suatu rantai yang kasat mata. Selama ini dia tak percaya dongeng. Gereja yang beberapa meter dari rumahnya hanya dia lewati tanpa ada niat bersenda gurau pada sang Pencipta. Inilah titik baliknya. Saat semua yang dia percayai, saat semua yang dia pegang teguh. Hancur.

Terbungkus putih, merah dibalik kedua mata perak yang setia memandang lekat ke arahnya begitu mempesona. Ilusi. Bahkan Gaara tak mengerti mengapa dia mengasumsikan kilatan dalam sepasang netra itu berwarna merah. Keberaniankah? Nafsukah?

Detik itu,Sabaku Gaara tak mengenal apa itu mitos, kepercayaan, ilusi . Saat itu, yang dia ingat bagaimana membara sekujur tubuhnya saat mengerti arti dari kata yang tercetak di dahinya.

.

.

.

Baru menyadari terlalu banyak typos yang mengganggu mata reader sekalian. Bagian ini sudah diedit ulang dan bila masih banyak kesalahan dalam penggunaan kata, diksi, dan lain-lain mohon maaf sebanyak-banyaknya. Ah, dan atas dukungan pembaca semua, saya dengan percaya diri mem-publish bagian 2 dari cerita ini. Terima kasih buat kalian yang membaca serta memberi masukan buat kelanjutan cerita ini *bungkukdalam*. Saya tunggu masukan kalian di bagian selanjutnya

Aish, terlalu banyak kata dari penulis pemula ini.

hatakrj