REINCARNATION
.
.
.
Chapter 1: Tetangga Baru
.
.
.
Di pagi yang dingin, jalanan masih sepi, lampu jalanan bersinar temaram. Rasa kantuk masih menyergap setiap langkah, kurasa ini terlalu pagi untuk hanya sekedar berjalan ke kedai membeli secangkir teh dengan asap yang mengepul. Ku rapatkan jaket yang ku kenakan berusaha melawan dinginnya pagi. Pria setengah baya menyambutku dari dalam kedai. Kursi-kursi sudah berjejer rapi lengkap dengan koran di setiap meja.
"Ku dengar ada seseorang yang pindah ke samping kontrakanmu" Paman Sam, pemilik kedai berseru seraya duduk di hadapanku masih dengan apron penuh sisa tepung kue melekat di bajunya. Ia meletakan teh tepat di hadapanku namun tak membiarkanku menyentuhnya, tangannya sudah siap memberikan pukulan ringan jika aku berani menyentuh gagang cangkir. "Ceritakan dulu padaku, baru minum"
Mataku mendelik tajam ke arahnya seakan menyalurkan rasa kesalku, sayangnya ia tak gentar. Rasa penasarannya jauh lebih kuat dari rasa takut kepada pelanggan setiannya ini yang bisa saja mengamuk mengobrak-abrik kedainya. Ku lipat tanganku di dada, menghembuskan nafas pelan, dengan satu tarikan nafas ku ucapkan, "Aku tidak tau, paman"
Paman Sam mendesah kecewa. Aku tersenyum penuh kemenangan, ku raih cangkirku, ku hirup harumnya bunga krisan yang di campur dengan seduhan teh, menyesapnya perlahan sampai satu cairan hangat pertama sampai di kerongkongan, cukup menghangatkan di perut yang masih kosong. Pandangan Paman Sam beralih ke pintu masuk kedai. Pelanggan keduanya di pagi ini rupanya. Segera Paman Sam menyambutnya dan memintanya duduk di bangku dekat pintu.
"Teh dann...Macaroon" ucapnya ragu-ragu. Suara laki-laki, batinku.
Aku menengok kearah si pelanggan baru, mencari tahu siapa kiranya yang sama gilanya dengan diriku mencari kehangatan secangkir teh di pagi buta dan sebuah kue warna-warni khas Perancis di sebuah kedai teh. Ayolah mungkin kalau hanya kue bolu disini ada, tapi macaroon...entahlah aku tak yakin Paman Sam mampu membuatnya.
Kulihat Paman Sam bahunya menengang mendengar pesanan ajaib dari pelanggannya. Pemuda itu menggosok-gosok lehernya canggung dan buru-buru meminta maaf, "Maaf, saya baru disini. Saya kurang tahu menu apa saja yang tersedia...tapi apakah bisa Anda membuatkannya?"
Di luar dugaanku Paman Sam terkejut bercampur senang karena sang penghuni baru kontrakan yang membuatnya penasaran sekarang sedang duduk di kedainya. "Ahhh...kau si penghuni baru rupanya. Senang bertemu denganmu" ujar paman Sam ramah disertai senyum lebarnya yang membuat keriput-keriput di sekitar matanya terlihat.
Paman Sam berjalan menuju dapurnya dengan penuh semangat, sementara itu aku masih memperhatikan si penghuni baru. Tangan kirinya menopang wajahnya sedangkan tangan kanannya meraba kaca jendela. Lalu sebuah senyum terukir di wajahnya seperti mendapat tontonan yang menarik. Namun nyatanya ia hanya memandangai bayangannya sendiri yang terpantul dari kaca. Ia sibuk dalam pikirannya sendiri. Semoga ia tak lupa membawa kewarasannya, batinku.
Esoknya aku kembali bertemu dengannya, bukan di kedai melainkan di pinggir jalan setapak. Duduk dengan tenang di bawah pohon yang mulai meranggas daunnya. Entah berapa lama ia membisu bersama angin yang semakin dingin menerpa kulit. Matanya menerawang ke kolam air mancur tak jauh dari tempatnya duduk. Aku tak mengenalnya. Aku ragu menghampirinya. Berterima kasihlah pada doktrin ibuku yang tak boleh percaya pada orang asing terlalu cepat. Aku berjalan melewatinya.
Krek ! suara ranting pohon patah akibat kaki seseorang menimpa sang ranting yang rapuh. Langkahku berhenti. Aku menengok ke belakang. Aku melihat seklebat bayangan, lalu entah hebusan angin dari mana menghantam wajahku dengan kuat. Terpaksa aku menutup mataku menghalau debu yang ikut terbawa angin.
Dalam hitungan detik angin itu berlalu bergitu cepat. Seketika hawa dingin semakin menjadi-jadi bahkan siap untuk menembus tulang. Oh jangan lupakan bulu kuduku yang tak kunjung berhenti berdiri. Sial.
Sesampainya di depan kontrakan, satu tepukan pelan di bahuku dan sukses membuatku berjenggit seketika. Si pelaku malah tertawa cekikikan tanpa rasa bersalah. Aku menatapnya tajam, tawanya berhenti, "Ups! Maaf." Aku mengeplak kepala kedua pemuda kakak beradik yang tak lain sepupuku sendiri, partner in crime sewaktu pantat kami masih di ganjal papers.
"Arggh! Aku bisa bertambah bodoh tau" protes Kim Jongdae atau akrab di panggil Chen, sedangkan Kim Jongin sang adik hanya bisa meratapi kepalanya yang berdenyut sakit, dia yang paling pendiam di antara kami bertiga.
Ingin ku balas memaki mereka tapi si tetanga baru mengalihkan pandangan kami bertiga seakan aura hitam keluar dari setiap jengkal langkahnya. "Dia siapa?" kini Jongin ambil suara, matanya tak lepas dari si penghuni baru. Si penghuni baru mendorong knop pintunya tanpa peduli keberadaan kami bertiga.
"Tetangga kontrakanku, kalian bisa berkenalan dengannya. Kebetulan aku berniat berkunjung malam ini" jawabku sekalian mengajak mereka berdua berkunjung, toh mereka juga akan menjadi tetangganya, mengingat mereka berdua juga mengontrak tak jauh dariku.
"Entahlah, aku merasa dia tidak akan suka jika kita berkunjung" keluh Jongin. "Tapi aku akan menemanimu jika kau ingin" lanjut Jongin seperti bisa melihat rasa takutku di tengah ajakan yang ku tawarkan.
"Thanks, aku akan datang sendiri jika kau ragu" putusku final, Jongin agak terkejut dengan keputusanku...aku biasanya akan mengikuti feeling-nya, jika Jongin enggan melakukan suatu kegiatan artinya sesuatu yang buruk akan terjadi jika tetap dilakukan.
"Hati-hati" guman Jongin pelan.
"Masuklah! Aku punya beberapa potong kue sisa kemarin" ajakku memecah ketegangan.
"Well, tidak buruk. Ingatkan aku menulis wasiat setelah ini" sahut Chen mengikutiku masuk kedalam lalu mengoceh panjang lembar tentang restaurant barunya.
Sepanjang percakapan aku masih memikirkan rencanaku untuk berkunjung. Sialnya malam datang begitu cepat. Aku tidak pernah sepanik ini menyambut penghuni baru lainnya. Biasanya aku akan antusias membawakan mereka kue dan makanan lainya untuk mengisi kulkas mereka. Tapi kali ini, ditengah kebingunganku aku malah membeli bunga babybreath dan sekantung buah apel bewarna merah merekah.
"Kau tidak perlu kesana jika tidak ingin" suara Jongin mengingatkan. Sedangkan Chen masih sibuk meraup kerupuk kulit dengan santai sampai berbunyi 'krauk krauk krauk' memenuhi setiap sudut ruangan.
Rupanya niatku sudah bulat. Kuberanikan mengetuk pintu. Satu kali. Tak ada jawaban. Dua kali. Tak ada jawaban. Tiga kali. Tak ada jawaban. Sepertinya memang aku tak harus datang, pikirku. Aku bersiap berbalik pergi. Namun kuurungkan ketika mendengar suara pintu pelan-pelan terbuka. Pelan. Dan ragu-ragu.
Hanya sedikit pintu yang terbuka, memancing siapa pun untuk menengok ke isi rumah. Gelap. Itu yang aku tangkap di dalam rumah. Hingga tanpa ku antisipasi seekor tikus..bukan..bukan...ini segerombolan tikus berlomba-lomba keluar di celah pintu dan seekor kucing hitam meloncat dengan gesitnya tepat ke arahku. "Ya Tuhan !" pekikku mengakhiri pengelihatanku yang semakin buram.
.
.
.
Note :
Sebagai awalan dikit dulu. Kalau pembaca merasa terlalu kaku dan membosankan, saya akan delete cerita ini. Mumpung belum terlalu jauh. Jangan sungkan untuk menuliskan komentar. Saya akan terima semua masukannya.
Semoga hari kalian menyenangkan.
