Ya~~ Satu lagi fic GJ dari saya.. :D

Fic ini adalah beberapa cerita bergenre horror seputar Eyeshield 21. Tapi mungkin kurang serem. Ceritanya pun tidak jauh dengan cerita-cerita horror pada umumnya. ''^^a


.

Eyeshield 21 © Riichiro Inagaki & Yusuke Murata

Story by Mitama134666

Genre : Horror/ Mystery

Main Chara : Sena Kobayakawa

Warning : Cerita gantung, ), horror sepertinya kurang terasa.

.

Special Thanks to Sapphire Schweinsteiger for Beta-ing this fic. Thank you so much dear..^_^

.

Pesan Kematian

.

.


.

Sena's POV

Ting Tong Ting Tong...

Ah, akhirnya bel pulang berbunyi juga.

Hari ini pun benar-benar membosankan, seperti biasanya. Sekarang aku memang mempunyai banyak teman di klub amefuto, tetapi di kelas aku tidak punya teman satu pun. Apalagi tidak ada yang tahu mengenai identitasku sebagai seorang Eyeshield 21.

Latihan akan dimulai satu jam lagi. Disaat teman-teman sekelasku satu persatu pulang ke rumah, aku hanya akan diam di kelas ini sambil menunggu latihan dimulai. Tetapi mulai hari ini, aku tidak bisa menunggu di kelas karena kelas ini akan dipakai oleh murid kelas tiga yang gedung kelasnya sedang direnovasi.

Seharusnya murid kelas tiga yang belajar pada pagi sampai siang hari karena mereka akan menempuh ujian akhir. Tetapi karena Hiruma-san mengancam Kepala Sekolah, akhirnya murid kelas satu yang didahulukan. Tentu saja hal itu karena sebagian besar anggota klub amefuto adalah murid kelas satu. Setengah jam lagi, kelas ini akan dipenuhi oleh murid-murid kelas 3-1.

Sebelum murid pertama datang, aku yang sedang bosan pun melakukan kebiasaan yang sudah melekat pada diriku sejak SD, yaitu mencoret-coret meja. Karena meja yang digunakan adalah meja yang permukaannya licin dan berwarna putih, aku yang biasanya menggunakan tipe-x untuk menuliskan apa pun yang sedang ada dipikiranku memutuskan menggunakan pensil saja agar mudah dihapus.

Mengingat salah satu peraturan di sekolah ini tidak memperbolehkan murid-murid mengotori meja mereka.

Hari ini lagi-lagi aku mendapatkan nilai nol dalam pelajaran matematika. Aku pun menuliskan 'aku benci matematika' di mejaku. Aku memang payah dalam pelajaran ini. Untunglah aku duduk di meja paling belakang—barisan pertama di dekat jendela. Jadi jika aku tertidur selama jam pelajaran, guru matematikaku yang sudah sangat tua dan rabun pun tidak akan memperhatikanku.

Kudengar sebuah langkah kaki mendekat, kupikir itu pasti salah seorang murid kelas tiga yang akan menggunakan kelasku. Maka aku pun bergegas pergi ke ruang klub dimana Mamo-neechan pasti sudah mulai menyiapkan segala sesuatunya untuk latihan sore.

.


.

Keesokan harinya aku pun melakukan latihan pagi bersama teman-teman satu klubku.

Latihan yang dimulai pada pukul 05.30 pagi itu berakhir pada pukul 06.45. Kami pun segera mengganti pakaian dengan seragam sekolah Deimon High yang bernuansa hijau. Setelah selesai, aku pun berlari menuju kelasku yang berada di lantai dua dengan kecepatan 4,2 detik. Aku takut terlambat karena pelajaran akan dimulai pada pukul 07.00.

Saat aku sampai, ternyata belum ada satu orang pun yang datang. Aku pun menuju mejaku yang biasa. Kulihat tulisan tanganku kemarin yang terletak di sudut meja. Tulisan itu masih utuh dan masih sama seperti kemarin. Hanya saja terdapat sebuah kalimat lain dibawah kalimat yang kutulis.

Dibawah kalimat 'aku benci matematika', terdapat kalimat 'aku juga'. Kupikir, yang menulis kalimat tersebut pastilah seorang kakak kelasku yang juga duduk di meja ini. Melihat tulisannya yang rapi dan indah, aku menyimpulkan kalau yang kakak kelasku itu pastilah seorang perempuan.

Sepulang sekolah, sebelum menuju ke ruang klub, aku menyempatkan menulis sebuah kalimat lain di mejaku. Kalimat yang sebelumnya telah kuhapus, kuganti dengan kalimat 'sekolah ini membosankan'. Dan keesokan harinya ternyata terdapat sebuah balasan berupa kalimat 'menurutku juga begitu'.

Begitulah, akhirnya setiap hari aku saling bertukar pesan dengan kakak kelas yang bahkan namanya pun aku tidak tahu. Kebanyakan, ia membalas tulisanku dengan kalimat yang menyatakan bahwa ia setuju denganku. Aku senang, ternyata ada seseorang yang memiliki pendapat yang sama denganku.

Sampai suatu hari di awal musim panas, aku menuliskan 'hari ini panas sekali' di sudut mejaku. Karena penasaran, aku pun memberanikan diriku untuk menanyakan nama kakak kelas yang selalu membalas tulisanku tersebut. Dibawah kalimat yang kutuliskan tadi, kutambahkan kalimat 'kalau boleh tahu, siapa nama senpai?'.

Keesokan harinya, aku mendapatkan balasan yang cukup aneh. Balasan itu berbunyi 'namaku Ami. Aku juga merasakannya. Panas. Panas sekali. Aku tidak tahan. Tolong aku, Sena'. Aku heran, kenapa Ami-senpai bisa tahu namaku? Tapi aku tidak terlalu mengambil pusing soal itu, yang lebih mengherankan adalah permintaan tolongnya.

Akhir-akhir ini udara panas sekali karena memang sudah masuk musim panas, bagaimana caraku menolongnya dari udara panas yang tak bisa dihindari ini?

Sepulang sekolah, aku tidak menuliskan kalimat apa pun dimejaku. Tetapi, esoknya kutemukan sebuah kalimat lain di meja itu. 'panas. Tolong aku', bunyi kalimat tersebut. Karena merasa aneh, aku pun mengabaikannya. Rupanya walaupun tak mendapatkan balasan, setiap hari aku selalu mendapatkan pesan dari Ami-senpai dengan kalimat yang berbeda-beda tetapi tetap menyiratkan kalau ia kepanasan.

Semakin hari, kalimatnya semakin panjang sampai memenuhi permukaan meja. Karena tidak tahan lagi, aku pun memutuskan untuk menemui langsung kakak kelasku itu.

.


.

Selesai latihan sore, aku pun menuju kelasku dimana murid kelas tiga masih belajar. Betapa terkejutnya aku saat kulihat dari salah satu jendela bahwa tidak ada siapa pun yang menempati mejaku. Karena penasaran, aku pun menunggu kelas tiga selesai belajar. Begitu seorang murid keluar dari kelas, aku langsung menanyakan tentang penghuni meja di sudut ruangan itu.

"Permisi, senpai. Boleh aku menanyakan sesuatu?" tanyaku pada seorang murid perempuan yang pertama kali keluar dari ruang kelas.

"Ya, tentu. Apa yang mau kau tanyakan?" katanya ramah.

"Ano—siapa yang biasanya menempati meja di sudut ruangan itu?"

"Maksudmu meja paling belakang yang di dekat jendela itu?

"Iya, meja itu."

"Ehm—meja itu kosong. Tak ada siapa pun yang menempatinya," katanya dengan ekspresi heran.

"Eh? Lalu, apakah di kelas kakak ada seseorang yang bernama Ami?" tanyaku kemudian.

"A-Ami? Hanya ada satu Ami di kelas ini. Dia Sawachika Ami. Kenapa kau menanyakannya?" katanya dengan ekspresi yang bisa dibilang.. takut.

"Ah, tidak. Aku hanya ingin tahu. Apakah kakak bisa menunjukkan yang mana yang bernama Ami itu?"

"Maaf. Aku tidak bisa. Karena Ami… dia.. dia sudah meninggal."

"Eh? Su.. sudah meninggal?"

"Kau tidak tahu? Ami adalah satu-satunya korban tewas dalam kebakaran yang menghanguskan seluruh gedung kelas tiga beberapa minggu yang lalu. Saat kebakaran itu terjadi, ia sedang mengambil barangnya yang tertinggal di kelas," jelasnya.

"A.. apa? Jadi…"

Aku pun hanya bisa terduduk lemas. Seluruh tubuhku bergetar. Keringat dingin terus keluar dari tubuhku yang lemas. Kakak kelas yang tadi kutanyai memanggil teman-temannya untuk meminta tolong karena melihatku yang sudah sangat pucat. Sekarang aku mengerti pesan-pesan yang dituliskannya di mejaku.

.

.


'Panas.. panas sekali.. aku tidak tahan.. tolong aku.. panas..'


.

.

END

.

.


Ya-Ha! Seperti yang Fira-san bilang, isinya hampir deskripsi semua. Tapi saya bingung mau nyelipin dialog dimana. Jadi langsung dipublish aja. Hehe.. Gomen..

Ceritanya seramkah? Selanjutnya giliran Suzuna..

Buat yang punya cerita seram, kasih tau saya ya~~

.

Akhir kata : R.E.V.I.E.W.